HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
"The Fruit of War",
foto korban bom Nagasaki yang dicetak dan dibagikan Paus Fransiskus.
The Holy See Press Office pada tgl 31 Des 2017 mengeluarkan sebuah gambar yang diinginkan Paus Fransiskus untuk dicetak dan dibagikan.
Paus menandatanganinya dengan tulisan
".. the fruit of war" (buah dari perang), dengan keterangan :
"Seorang anak sedang menanti gilirannya di krematorium untuk adiknya yang meninggal yang ia bawa di punggungnya.
Foto diambil oleh fotografer Amerika, Joseph Roger O'Donnell, setelah bom atom di Nagasaki.
Kesedihan anak itu hanya terlihat dalam gigitan bibirnya dan darah yang mengalir."
Foto ini diambil oleh fotografer Amerika Joseph Roger O'Donnell di tahun 1945, tak lama setelah pembom an Nagasaki pada akhir perang dunia II.
O'Donnel menghabiskan waktu 4 tahun di Jepang untuk mendokumentasikan keadaan pasca perang dan kemudian diterbitkan dalam buku "Japan 1945 : A US. Marine's Photographs from Ground Zero."
Para pengamat mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya sebuah gambar secara specifik diminta Paus untuk diedarkan di musim liburan, memberi tanda bahwa Paus percaya bahwa pesannya ini sangat relevan dengan situasi saat ini.
Sebelumnya, Paus pernah mengatakan mengutuk senjata nuklir dan menggaris bawahi dampak dan konfliknya terhadap anak-anak.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Foto bocah Jepang korban bom atom yang diambil fotografer Korps Marinir Amerika Serikat (US Marine) Joe O'Donnell.
Joe O’Donnell menjadi saksi mata penderitaan korban bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki -- mereka yang tewas, luka, kehilangan tempat bernaung, anak-anak yang tiba-tiba yatim piatu. Ia menyaksikan Jepang sebagai negara yang kalah perang.
Meski berpengalaman sebagai forografer perang di lokasi paling menyedihkan, hatinya tak urung terusik. Pun ketika melihat bocah kecil yang ia abadikan dalam kamera.
"Aku melihat seorang anak sedang melintas, usianya sekitar 10 tahun. Ia menggendong seorang bayi di punggungnya.
Saat itu di Jepang, kami masih bisa melihat anak-anak bermain bersama saudaranya, namun anak itu berbeda."
"Aku bisa melihatnya datang ke tempat ini untuk sebuah alasan yang serius. Ia bertelanjang kaki, tanpa sepatu. Ekspresi wajahnya keras. Kepala kecil di belakangnya kemudian beringsut, menunduk, seakan bayi itu tidur nyenyak. Bocah itu kemudian berdiri di sana sekitar lima sampai 10 menit."
"Lalu, sejumlah pria yang mengenakan masker putih menghampirinya. Perlahan, mereka melepas tali kain yang mengikat bayi itu ke tubuh sang bocah. Saat itulah aku menyadari, bayi itu sudah tiada. Pria-pria itu memegang jasad itu di bagian tangan dan kaki, lalu memasukkannya ke dalam api."
"Bocah itu hanya berdiri tegak, tanpa gerak, menyaksikan api yang berkobar. Ia menggigit bibir bawahnya begitu keras hingga berdarah.
Saat kobaran api kian padam, seperti matahari yang akhirnya terbenam. Bocah itu berbalik dan berjalan dalam diam, menjauh."
Itulah kejam dan jahatnya pertikaian dan perang. Bayangkan bocah tersebut anak, adik, cucu, atau seorang bocah yang kita cintai,
sedangkan kita sudah tiada karena menjadi salah satu korban perang, tidakkah hati kita menjerit, meratap dan menangis? Apa yang bisa kita lakukan agar terhindar darinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar