KILAS BALIK:
De AHOK Numquam Satis
Bicara Soal AHOK Seolah Tak Ada Habisnya:
TJAHAJA YANG PURNAMA.
“Urip Iku Urup - Hidup itu nyala!” Hidup itu hendaknya memberi manfaat
bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita
berikan tentulah akan lebih baik. Dalam bahasa pemazmur: "Kami berpegang
teguh pada tangan-Nya, dan gelap pun menjadi TJAHAJA!" Biarlah TJAHAJA
wajah-Mu menyinari kami, ya TUHAN!” (Mz 4:7)
Itulah filosofi
hidup banyak orang baik yang terlibat di ruang publik, seperti Koh Ahok
yang bernama asli “Basuki Tjahaja Purnama” yang splendor veritatis –
penuh dengan warna warni pelangi kemanusiaan - dan kini sedang
"dipenjara" di Mako Brimob.
Dari banyak politisi di seantero
nusantara, bisa jadi KOH AHOK adalah salah satu “martir” dalam mendobrak
dan meng-antitesa politik pasca-reformasi, yang senantiasa memoles
kemasan agar terlihat indah, namun isi-nya sangat busuk dan berbau. Ia
tampil apa adanya, “jurdil – jujur dan adil”, berpenampilan spontan dan
apa adanya, berbicara apa adanya, tanpa diksi atau gaya bahasa yg
indah-indah, tanpa dibuat-buat.
Figur dan tuturnya “down to
earth”, jauh dari sosok seorang pejabat kebanyakan dan tidak tersilaukan
oleh gilang gemilang harta yang coreng moreng dan kekuasaan yang
mentereng. Pendapatannya- pun kerap digunakannya untuk membantu pelbagai
karya sosial dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Mungkin ia
terkesan "kasar", namun sekaligus ia “besar”, sangat substantif dan
hatinya mulia alias integratif.
Koh Ahok ini memang benar-benar
low profile. Ia berani “blusukan” karena tidak pernah takut mati.
Baginya, hidupnya itu sederhana saja: hadir dan terus mengalir. Mungkin
relung hatinya kerap berkata: “Don't worry Be happy God will make a
"WAY". I have special security guards. They are the "Father, the Son,
and the Holy Spirit.”
A.
SOP
SIMPLE OPTIMIS POSITIF
Di balik kesederhanaan sikap dan karakternya yang ceplas ceplos ,
hidupnya sendiri penuh keyakinan iman dan harapan yang tanggap zaman.
Dari figurnya yang teruji oleh banyaknya gesekan dan tekanan dari
“liane”, tertegaskan kesederhanaan salah satu prinsipnya bahwa bermimpi
itu perlu dan kita harus terus berusaha untuk mewujudkan mimpi itu
dengan sikap optimis, dimana ia menampilkan hati nurani yang diimani
sekaligus akal sehat yang diyakini sebagai bagian integral dari
perpolitikannya yang berpola trilogi “BTP” – “Bersih Transparan
Profesional.” Jelasnya: "When we're dreaming alone, it's only a dream
When we're dreaming with others, its the beginning of reality"
Ya, lewat figur dan tuturnya yang akhir-akhir ini banyak menghiasi
media, entah dipuji atau dicaci, politik janganlah menjadi
banal/dangkal, tapi haruslah menggunakan hati nurani dan hati nurani
sendiri juga haruslah di-“politik”-kan untuk mencapai “bonum
commune/kesejahteraan bersama”, karena sejatinya politik akal sehat
bukan cuma apa yang mengenyangkan "perut" dan menyamankan "mulut" tapi
apa yang "mengenyangkan" nurani: otak watak dan akhlak.
Selain
apa adanya dan optimis, berpikir positif juga melekat pada dirinya:
"Fluctuat nec mergitur" Terombang-ambing tapi tdk tenggelam. Baginya,
politik itu tidak abu-abu, tidak jahat dan tidak busuk. Politik itu
adalah cara-cara sportif untuk meraih kebaikan umum secara cerdas:
Politik tidak kotor.Yang kotor adalah pelakunya. Politisinya. Karena
itu, politik harus “dibaptis” dan tidak menjadi alat untuk korupsi,
melainkan penyucian”.
B.
"BIMA" YANG BUKAN DARI PANDAWA LIMA.
Ibarat tokoh salah satu pentolan Pandawa Lima yakni "Bima" dalam cerita
wayang, bisa jadi ia adalah salah satu tokoh tegas-lugas-jelas-kontras
dalam pergerakan Pandawa melawan kesewenang-wenangan Kurawa, walaupun
dia memang bukanlah orang Jawa.
Terkenang juga sebuah pepatah
bestari jawani, “Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara” -
Manusia hidup di dunia itu harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan
dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan
tamak – yang seakan menjadi refrain dalam hidup kesehariannya.
Tercandra, baginya politik itu “tremendum sed fascinosum” (menakutkan
tapi menarik). Ya, meski para pelaku politik cenderung membuat politik
menjadi sesuatu yang negatif di mata masyarakat, sesungguhnya politik
itu (pada dirinya sendiri) bagus, dan lewat “interupsi” yakni kehadiran
keterlibatan seorang “double minority” (kristen dan tionghoa), kita
sebagai orang Indonesia apapun agama dan suku budayanya diajak untuk
bekerjasama secara tuntas - “kerja keras-kerja cerdas-kerja ikhlas” -
menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik guna mencapai masyarakat
yang lebih adil dan sejahtera.
Disinilah, sang "Bima" dari
Belitung, negerinya "Laskar Pelangi" ini mengajak kita melihat politik
secara positif dan arif, berani sekaligus memaknainya sebagai
“sakramen”: tanda dan sarana keselamatan. Mungkin saja, tanpa ia sadari,
ia juga mengejawantahkan ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni
“manunggaling kawula-Gusti” (kesatuan hamba dan Rajanya yakni Tuhan).
Persis! Keutamaan dasar inilah yang juga ditawar-segarkan oleh
kehadirannya yang josss di tengah hingar-bingarnya dunia perpolitikan di
kota Jakarta pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Ya, salah
satu kriteria sang pemimpin adalah leburnya tubuh jasmani dengan
batinnya: “ Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadag lan batine
pepindhane wadhah lan isine.”
Baginya, jabatan adalah anugerah
Tuhan, karena hal yang mulia ini menantangnya untuk selalu “bersih -
transparan - profesional”, bersadar diri dan berjuang total dalam
memberi kesaksian iman kepada masyarakat umum karena iman baginya adalah
tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia, menjadi lebih
punya hati nurani, menjadi lebih budiman/berbudi dan beriman, menjadi
lebih berbudaya/berbudi dan berdaya. Jelasnya: sebuah kerja nyata dan
tidak hanya kata-kata hampa haruslah terus dilakukan seraya Tuhan sudah
rapi tersimpan dalam sebuah iman yang dpt digunakan bagaikan sebuah peta
perjalanan.
Bisa jadi, pesan Mgr. Soegijapranata mendapatkan
aktualitasnya lewat kesaksian dan kehadiran seorang bernama Koh Ahok
ini: “Kita memang bukan bagian yang lebih besar (pars major), tetapi
kita harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior).”
C.
SEBUAH AJAKAN :
"PAS" - "POLITIK AKAL SEHAT"
Akhirnya:
Saya bukan tim sukses pilkada, dan tak pernah berminat untuk menjadi
tim sukses pilkada. Saya juga bukan simpatisan atau kader salah satu
partai politik tertentu. Saya juga bukan konsultan politik yang dibayar
untuk memenangkan kandidat tertentu apalagi menjelang pilkada serentak
dan "tahun politik" ini.
Namun...
Sebagai warga negara di
republik “kaya raya” – tanah air beta yang gemah ripah loh jinawi, dan
sangat kami cintai ini, saya berkentingan: berharap, berdoa dan turut
berusaha, agar "orang-orang baik dengan niat baik" mendapatkan
kesempatan dan menemukan momentum untuk dapat memimpin daerah, juga
dapat meraih momentum emas untuk memimpin daerahnya, bangsanya dan
rakyatnya.
Di lain matra, ada banyak orang yang terlalu lelah,
dan nyaris putus asa, karena kerap hidup di “republik bandit”, yang
kadang dipimpin oleh orang-orang jahat, rampok, maling, garong, preman
yang terpilih karena dikemas dengan berbaju malaikat.
Bisa jadi,
dulunya mereka terpilih karena membeli suara rakyat dengan menggunakan
uang rampokan, yang mereka peroleh dari merampok uang rakyat: “Remota
itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia - Negara yang
tidak menyelenggarakan pemerintahannya secara jujur dan adil adalah
seperti komplotan bandit atau rampok bagi rakyatnya.” Dalam bahasa Butet
Kertaredjasa: “Menjadi politikus busuk itu sulit, .....saya harus
pura-pura tuli-meski telinga saya sehat. Kan susah, punya pendengaran
bagus, tapi harus terus menerus pura-pura tidak mendengar aspirasi
rakyat” (Butet Kertaredjasa, "Monolog Tukang Kritik", Tuan Politikus
Sowan Raja Jin, hal.151).
Nah, bukankah, kita harus senantiasa
menciptakan setiap momentum agar ada kesempatan bagi "orang-orang baik,
dengan niat baik untuk bangsa dan rakyat", dapat memimpin. Kewajiban
kita adalah menaruh "hati yang hangat dan budi yang sehat" dalam
kehidupan bersama karena politik tanpa "hati dan budi" adalah malapetaka
bagi bangsa besar ini
Janganlah cuma terbang bergoyang seperti
seekor ayam kalau kita mampu terbang tinggi melayang seperti seekor
rajawali, yang punya jiwa dan punya nyali. “V A M O S” (Bhs Spanyol:
“mari kita pergi”). Kita sebagai satu bangsa juga mesti “VAMOS”, “pergi“
dari “will to affair” ke “will to fair” dan dari “will to power” ke
“will to truth”
Lenyapkanlah jalan-jalan yang menjadi buruk
karena ditaburkan oleh penyebar kebencian. Terangilah jalan-jalan yang
akan menjadi baik dengan “TJAHAJA” yang ditabur subur-penuh-utuh,
“purnama” dan paripurna dalam hati-budimu
Jangan biarkan hidup
kita menjadi sia-sia Jadilah manusia yang berguna, yang nyala, yang
“urup”. Tinggalkan jejak tapak tjahaya.
Pancarkan terus teduhnya sinar purnama harapan iman dan kasih
Semoga kita mau menghidup-kembangkan iman sebagai "interupsi" (keterlibatan - keberpihakan)
Semoga kita mencari Tuhan
Semoga kita menemukan Tuhan
Semoga kita mencintai Tuhan
Semoga muncullah orang-orang yang sungguh benar benar mencintai
negaranya, dan dari rasa cinta tersebut sungguh benar benar berani
bicara sebagai "hati nurani bangsa", bukan yang berpola “isis – ikut
sana ikut sini” tapi yang “taktis” - punya otak watak dan sungguh
humanis sekaligus kritis:
dalam ruang dan waktu
dalam hidup yang bersekutu
dalam pilihan yang bermutu
ORANG BAIK DENGAN NIAT BAIK HARUS BISA DIBANTU UNTUK MENJADI YANG TERBAIK.
POLITIK AKAL SEHAT BISA MENGALAHKAN SI JAHAT
POLITIK YANG PUNYA ESENSI DAN SUBSTANSI BISA MENGALAHKAN
POLITIK YANG PENUH IMITASI DAN DEKORASI
POLITIK DEMI KESEJAHTERAAN SEMUA INSAN BISA MENGALAHKAN POLITIK KEMASAN.
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Politik Hati Nurani dan Politik Akal Sehat
(Belajar dari Sikap Politik Romo Mangun, "Si Burung Manyar")
Pemahaman Politik Mangunwijaya
Selama hidupnya, Romo Mangun memang banyak terlibat dalam
persoalan-persoalan dalam masyarakat. Ia berkiprah di banyak tempat demi
hidup masyarakat yang lebih baik. Pengalaman hidupnya di Code,
Yogyakarta; Gigrak, Gunungkidul; Kedungombo, Boyolali mengungkapkan
betapa ia peduli terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Ia hanya
ingin terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat manusia.
Hasratnya untuk terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat manusia
membuatnya tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan
kehidupan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, dia pun
berpolitik.
Komentar dalam buku Politik Hati Nurani mengatakan demikian:
“Romo Mangun memang berpolitik, tapi bukan politik dalam arti mencari
kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara. Ia menampilkan hati
nurani sebagai bagian integral dari perpolitikannya. Politik harus
menggunakan hati nurani dan hati nurani sendiri juga harus dipolitikkan
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas dan demi keadian bagi
seluruh lapisan.”
Komentar ini nampaknya ingin menegaskan apa
yang diyakini dan dihidupi oleh Romo Mangun. Romo Mangun pun mempunyai
pandangan tersendiri mengenai politik. Ia nampaknya mempunyai pemahaman
politik menurut artinya yang paling tradisional seperti diungkapkan oleh
Aristoteles.
Menurut Aristoteles, manusia menurut kodratnya
merupakan zôoon politikon: makhluk yang hidup dalam polis . Berinspirasi
dari pemahaman tersebut, Romo Mangun menuliskan pandangannya mengenai
politik:
“Memanglah ada dua paradigma dan pengARTIan dasar politik.
Yang pertama lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni
politik dalam aspek kekuasaan. Penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan,
pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status-quo kekuasaan,
dst., pendek kata segala yang menyangkut power atau might, kekuasaan
(PK- Politik Kekuasaan). Termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani,
agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak
yang lebih kuat kepada yang nisbi lemah. Lazimnya khalayak ramai
mengartikan politik melulu dalam arti pertama ini. Sehingga ada ucapan
yang terbang di mana-mana: ‘politik itu kotor.’
Namun bagi orang
terpelajar, ada politik berparadigma ke-2 yang sebenarnya lebih asli dan
otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis, ataupun sesuai koderat alam
manusia dan masyarakat, (tetapi kurang terkenal populer) yakni politik
dalam arti: segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum.
Jasmani rohani. Bukan untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia
atau partai itu atau umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan
dan kesejahteraan umum, semua warga bahkan universal semua bangsa, tanpa
pandang siapa dan golongan, luas, misalnya sila ke-2, kemanusiaan yang
adil dan beradab, sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Juga
demi perdamaian, kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dsb. demi
tata hidup bersama yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti
tinggi, yang menyemarakkan kesetiakawanan dan menumpas egoisme,
individualis maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum
rimba survival of the fittest, dsb. dst.
Ini politik dalam arti
asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera
umum atau politik dalam dimensi moral (dan iman).”
Dalam
pandangan itu, Romo Mangun mengungkapkan bahwa semua orang harus
terlibat dalam politik dalam arti yang kedua. Politik tidak hanya
ditujukan untuk orang-orang tertentu.
Melalui artikel “Rohaniwan
Tak Boleh Berpolitik?” ini, Romo Mangun secara khusus menyoroti tentang
pengecaman keterlibatan Uskup Belo sebagai rohaniwan Katolik dalam
medan politik di Timor-Timur.
Ia berpandangan bahwa rohaniwan Katolik harus berpolitik dalam arti yang kedua “demi kesejahteraan bersama”.
Dalam artikel yang sama, ia menyitir kisah Mgr. Soegijapranata, imam
pribumi pertama yang menjadi Vikariat Apostolik Semarang, yang
benar-benar aktif dalam kancah politik pada masa revolusi . Kisah
tersebut mengungkapkan bahwa Mgr. Soegija tidak hanya berjuang untuk
memelihara umat Katolik, tetapi berjuang untuk kesejahteraan bersama,
yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia.
Keterlibatan seluruh orang
dalam hal politik ini didasarkan pada pengajaran agamanya masing-masing.
Bagi orang Katolik, keterlibatan itu didasarkan pada ajaran Yesus.
Dalam artikel yang sama, ia menuliskan:
“Dan memang Nabi Isa mengajar para penganutnya demikian. Jangan pakai
pedang, tetapi lewat kebenaran, iman, harapan, cintakasih. Karena yang
didambakan masyakarat umum yang normal sejati, apalagi yang
berkeTuhanan, berPancasila, akhirnya dan akhirnya justru inilah, tata
negara dan masyarakat yang berpijak pada moralitas dan etika fair play
(serta iman) dalam arti luas di atas.”
Hati Nurani: Sumber dan Dasar Keterlibatan Politik sebagai Wujud Penghayatan Iman
Ignatius Haryanto, dalam kata pengantar buku Politik Hati Nurani
mengatakan bahwa pemilihan judul Politik Hati Nurani itu dilakukan
dengan berbagai alasan. Salah satu alasan yang mendasar bersumber pada
penangkapan penyunting atas nilai yang diperjuangkan oleh Romo Mangun.
Ia menulis:
“Sosok Mangunwijaya yang pasti bukanlah seorang
politikus dalam arti seorang yang memimpin partai, memimpin sekelompok
massa, dan memperjuangkan suatu kepentingan bersama. Romo Mangun
mengerti soal politik, dan dalam arti luas, ia juga berpolitik, namun ia
mendasari politiknya lewat pengabdian pada kemanusiaan. Profesinya
sebagai seorang rohaniwan mau tidak mau mempengaruhi option yang
dipilihnya tersebut. Dengan seluruh karya sosialnya, Mangun menunjukkan
bahwa ia bergerak atas dasar panggilan nurani kemanusiaan...
Hati
Nurani Politik merupakan suatu pesan tersendiri yang hendak
disampaikan, bahwa perpolitikan sungguhpun berkaitan dengan usaha yang
mulia memperjuangkan kesejahteraan umum, memajukan masyarakat dan
melaksanakan keadilan sosial, kerapkali jatuh pada cara-cara yang
menghalalkan segala cara. Landasan moral, nilai-nilai, hati nurani,
seringkali tak menjadi perhitungan dalam langkah-langkah politik
Justru kondisi demikian yang hendak dikritik di sini. Politik sebenarnya
adalah usaha pendapaian tujuan dengan berbasis pada nilai-nilai, hati
nurani, dan moralitas juga.
Para politikus dapat tetap
mengerjakan tugasnya, tanpa mengabaikan hal tentang nilai atau hati
nurani. Hati nurani bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan politik,
bahkan justru kegiatan politik harus memiliki Hati Nurani jika
perpolitikan hendak berlangsung abadi dan mendapatkan simpati dari
rakyat.”
Dalam setiap tulisan atau karya yang dibuat Romo
Mangun, unsur hati nurani yang diwujudkan melalui keberpihakan kepada
nilai-nilai universal ini secara nyata dinampakkan.
Ia
mengatakan, “Yang utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil
dan solider terhadap yang menderita... demi perdamaian dunia,
kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan.” Menurutnya, iman adalah
tindakan. Tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia .
Hati nurani sebenarnya bukan hanya sumber dan dasar tindakan politik
manusia saja, tetapi harus menjadi sesuatu yang integral dalam diri
manusia dan menjadi sumber seluruh tindakan manusia. Hati nurani
merupakan unsur yang perlu dimekarkan dalam kehidupan.
Romo
Mangun memasukkan unsur hati nurani ini sebagai salah satu daya yang
harus dimekarkan dalam pendidikan. Sebagai seorang pendidik, ia
berpendapat bahwa ada lima macam daya yang harus dikembangkan, yaitu
daya kognitif atau daya nalar; cita rasa dan kemampuan afektif yaitu
rasa, intuisi dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan; kemampuan
untuk saling berkomunikasi, bergaul, bekerjasama, teratur, tenggang
rasa; kesehatan raga; dan hati nurani, sikap atau semangat tolong
menolong, setia kawan, sopan, dan cinta kasih .
Pemekaran hati
nurani ini akan membuahkan kehidupan yang subur dan berbuah . Pendidikan
hati nurani itu dapat dilakukan melalui komunikasi iman – bukan agama –
dalam kehidupan, dialog, percakapan, dan lebih-lebih perbuatan. Tujuan
komunikasi iman ini adalah untuk menumbuhkan sikap dasar yang benar,
hati nurani yang peka terhadap segala yang baik, adil, benar, senang
menolong, dan membuat orang lain gembira, sekaligus memekarkan watak
yang menolak segala yang buruk, menghina teman yang miskin, cacat, atau
lambat belajar .
Pemekaran hati nurani ini menjadi sebuah modal
untuk terlibat dalam kehidupan masyakarat. Hati nurani yang mampu
mempertimbangkan baik buruk, bersikap adil, suka menolong menjadi sebuah
dasar untuk bertindak dalam masyarakat.
Yang menjadi patokan
dalam bertindak bukanlah sikap suka atau tidak suka, tetapi unsur-unsur
keadilan, kemanusiaan, perdamaian dan kemerdekaan: apakah tindakan yang
aku buat membantuku dan orang lain untuk mewujudkan nilai-nilai itu.
Pastinya,tindakan politik Romo Mangun didasari pengalaman mistiknya
dengan Allah. Ia tidak melakukan politik-politikan, tetapi ia
sungguh-sungguh berpolitik, membangun negara yang demokratis. Ia ingin
betul-betul tidak ada orang yang disingkirkan dalam pembangunan negara.
Artinya, melibatkan semua orang berpartisipasi.
Romo Mangun
tidak pernah lepas dari suara kenabian Gereja. Apa yang dilakukan Romo
Mangun adalah tanggapan kenabian terhadap kenyataan yang bobrok . Dan
kiranya tidak berlebihan kalau Jennifer Lindsey menilai bahwa Romo
Mangun adalah hati nurani bangsa. “Orang agung yang bijak di dunia ini
memang jarang dan Romo Mangun adalah salah satu di antaranya. Beliau
adalah salah seorang cendekiawan Indonesia terbesar, seorang yang amat
mencintai negaranya dan dari rasa cinta tersebut berani bicara sebagai
hati nurani bangsa” .
Memperhatikan Rakyat, terutama Yang Kecil, Lemah, Miskin dan Tersingkir
Dalam seluruh hidup Romo Mangun, satu hal yang tidak dapat dipungkiri
adalah pilihan keberpihakannya kepada rakyat, terutama kaum miskin,
lemah, miskin, dan tersingkir. Sejak awal, sikap ini menjadi pilihan
hidupnya. Pilihan keberpihakan ini diawali dengan pengalamannya di kota
Malang.
Waktu itu, ada perayaan penyambutan Tentara Indonesia.
Semua mengelu-elukan tentara sebagai pahlawan. Lalu Mayor Isman mendapat
giliran berpidato. Pidato itu bagaikan halilintar di siang bolong bagi
Mangun. Mayor Isman mengatakan,
“Kami bukan pahlawan. Kami bukan
bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat. Karena kami sudah membunuh,
kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan melakukan hal-hal
yang kejam... Sebetulnya kami ini bukan pahlawan. Yang pahlawan adalah
rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi kami. Jika Belanda datang,
kami lari. Memang bukan karena pengecut, melainkan karena kekuatan tidak
seimbang. Tapi rakyat tidak bisa lari. Mereka yang menjadi korban
diperkosa, dibakar rumahnya, ditembak. Mereka yang berkorban, tetapi
yang menjadi pahlawan bukan rakyat.”
Pengalaman ini membuat
Romo Mangun tergugah untuk membalas budi kepada rakyat. Usaha pembalasan
budi kepada rakyat itu ditempuhnya dengan menjadi imam praja. Ia lebih
memilih menjadi imam praja karena ia ingin bekerja langsung di tengah
rakyat jelata. Bagi Mangun, menjadi imam adalah sebuah cara untuk
berusaha menjadi link – ex officio – antara manusia dan Tuhan. Seorang
imam harus menyuarakan hati nurani kolektif, sabda, wahyu ilahi,
kemanusiaan, dan jawaban manusia. Imam akan hancur kalau dia menjadi
birokrat agama, apalagi kalau berkolaborasi dengan penguasa .
Dalam sebuah wawancara, Romo Mangun mengakui bahwa status imamat memang
memberi banyak kemudahan baginya, tapi ia ingin menjadi manusia biasa
saja. “Yang berat justru untuk tetap bertahan sebagai manusia biasa.
Sebab pastor itu ‘kan seolah-olah kasta tersendiri. Mudah membuat orang
menjadi sombong. Karena itulah orang seperti kami harus selalu aware
jangan sombong.”
Tindakan keberpihakan Romo Mangun pada kaum
kecil ini menjadi perwujudan imannya kepada Yesus Kristus. Romo Mangun
hanya ingin meneladan Yesus. “Suri teladan Yesus yang menampakkan diri
sebagai Putra Allah yang memilih lahir dalam pangkuan orang-orang dina,
lemah, miskin di Betlehem, mengungsi ke Mesir akibat kesewenang-wenangan
sang penguasa dunia, kemudian merendah di desa kecil, Nasareth... Hidup
publik selanjutnya dari Yesus di Galilea, Samaria, Yudea, ternyata
lebih dipersembahkan kepada yang justru di bawah, yang menderita, yang
tergusur dan terbuang.” Yesus telah menempatkan hatinya untuk orang
miskin.
Demikianlah dari awalmula, pembelaan kaum kecil yang
tidak dimanusiawikan selalu menjadi bagian yang melekat pada
spiritualitas murid Yesus. Tradisi Kristiani memang selalu mengoreksi
dan kritis bahkan sering berkonflik melawan para penguasa dunia yang
cenderung mengekploitasi manusia bawahan sebagai alat untuk
menguntungkan dan memuliakan diri atasan . Inilah tantangan yang
dihadapi oleh para murid Kristus pada zaman ini: bagaimana mewujudkan
keadilan, perdamaian, kemanusiaan, dan kemerdekaan.
Pilihan
keberpihakan kepada rakyat itu dengan gigih disuarakan oleh Romo Mangun
kepada semua pihak. Sebagai warga negara Indonesia, dia menyerukan
suaranya kepada pemerintah dan masyarakat. Ia menulis demikian:
“RI 17 Agustus 1945 itu kan pada hakikatnya dimaksud untuk membela
rakyat kebanyakan yang kalah menghadapi kelompok kecil yang
mengeksploatasi si dina miskin . Nasionalis itu pecinta rakyat negeri.
Yang sepantasnya kita cintai itu kan justru rakyat kecil lemah miskin
yang mayoritas dan tak berdaya itu. ”
“Kita harus berani percaya
kepada kekuatan dan kemampuan serta bakat-bakat dan kearifan praktis
dari rakyat yang paling dina sekalipun. Tanpa kepercayaan yang tebal
seperti itu, kita sudah kandas sebelum mulai.
Untuk itu, kita harus
meninggalkan mental ingin menjadi pemimpin yang merasa diri lebih
pandai dan lebih tahu daripada rakyat. Terutama para mahasiswa dan
cerdik-pandai, tetapi seumumnya yang punya bakat “kepemimpinan” dan
bermurah budi untuk berkorban demi rakyat. Pendek kata, kita semua harus
kembali kepada rakyat, di tengah-tengah rakyat, dan bersama dengan
rakyat. Sekali lagi bukan sebagai pemimpin, pembina atau penuntun, akan
tetapi sebagai kawan atau saudara.”
Ia pun dengan lantang menyerukan suara kemanusiaan ini kepada seluruh warga Gereja:
“Di Asia, khususnya di Indonesia, manusia kecil, lemah, miskin umumnya
tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka yang kaya dan berkuasa...
Hukum rimba: diapa kuat, dia menang. Hukum ini nyata hidup dalam
keseharian manusia, yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.”
“Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %.
Namun, setiap rohaniwan gereja Katolik (yang notabene terkenal sebagai
agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah “terperangkap”
dalam suatu sistem yang memang memberinya kesempatan dan fasilitas besar
untuk memberi kepada kaum miskin, tetapi sangat menghalangi dia untuk
menjadi kaum miskin.”
Keberpihakan Romo Mangun kepada kaum
miskin adalah sesuatu yang digulatinya terus-menerus. Hidup Romo Mangun
seakan-akan menjadi sebuah usaha yang tiada henti untuk memperjuangkan
kaum miskin, lemah, kecil, dan tersingkir ini.
Tentang perjuangan Romo Mangun untuk kaum miskin ini, Mgr. Julius Darmaatmaja, S.J. menuliskan:
“Cinta dan perhatian beliau kepada kaum papa dan terhadap masalah
kemanusiaan seluas kemanusiaan itu sendiri. Inilah yang menyebabkan
beliau tak terkurung olehs ekat perbedaan agama, suku, dan budaya.
Inilah yang membuat beliau berjuang melawan ketidakadilan bagi siapapun,
inilah yang membuat beliau berjuang melawan kemiskinan, melawan segala
bentuk penderitaan manusia, menjadi dasar dan kekuatan bagi perjuangan
beliau di hampir segala bidang kehidupan.”
Banyak komentar yang
terungkap atas perjuangan Romo Mangun untuk kaum miskin. Ia adalah Bapak
Kaum Papa; Pembela Kaum Miskin; Kawan dan Tetangga Kaum Miskin.
Sebutan-sebutan ini merupakan bukti bahwa banyak orang menangkap di mana
ia berpihak.
Penutup
Kehidupan Romo Mangun menunjukkan
bagaimana ia berpolitik dalam arti sesungguhnya, terlibat dalam
masyarakat demi kesejahteraan bersama. Ia telah menunjukkan kesadarannya
untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan Gereja Katolik
Indonesia. Pergumulan pemikiran, karya, dan tindakannya menjadi wujud
kepeduliannya untuk menyumbangkan sesuatu bagi lingkungan sekitarnya .
Kita melihat bahwa kehidupannya sebagai orang Katolik telah
menyumbangkan sesuatu kepada bangsa dan negara Indonesia. Ia telah
mencoba membayar utangnya kepada rakyat. Melalui kehidupan Romo Mangun,
kita pun diingatkan kembali kepada pertanyaan Mgr. Soegijapranata:
apakah Gereja beserta umatnya sungguh-sungguh mempunyai manfaat bagi
negara dan rakyat Indonesia?
Semoga semakin banyak orang tergerak berbuat dan menyumbangkan sesuatu bagi kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia.