IN MEMORIAM:
TAN MALAKA.
Hari ini adalah hari kematian Tan Malaka
Ia dihukum mati tanpa proses peradilan. Inilah kisah tragis seorang politikus-pemikir yang dibunuh bangsanya sendiri. Persis 69 tahun yang lalu, Tan Malaka dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah itu datang dari Letda. Soekotjo, yang menurut sejarawan Harry Poeze, “Orang kanan sekali yang beropini bahwa Tan Malaka harus dihabisi.”
Pengujung kisah hidup Tan Malaka dimulai ketika dia dibebaskan dari penjara di Magelang, 16 September 1948. Sekeluarnya dari penjara, dia mencoba kembali mengumpulkan pendukungnya dan menggagas pendirian partai Murba pada 7 November 1948. Partai ini berasaskan “antifasisme, antiimperialisme dan antikapitalisme”.
Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4. Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949.
Usai kongres pendirian Partai Murba, Tan mesti menentukan pilihan tentang hari depan pergerakannya. Meski Yogyakarta strategis (saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia), dia merasa tidak aman di kota itu. “Dikhawatirkan akan terjadi pendudukan Belanda, dan bahaya penangkapan oleh pemerintah,” tulis Poeze. “Dia juga ingin menjajaki alam pikiran rakyat.”
Ada dua rencana perjalanan yang hendak ditempuh: Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemungkinan ke barat (Banten) pupus mengingat Darul Islam sangat aktif di sana dan membenci kaum komunis, terlebih Banten terisolasi dari pusat Republik.
Pilihan Tan jatuh ke Jawa Timur. Selain menjadi medan subur bagi pengikut gerakan kiri, sebagaimana yang dia asumsikan dalam Naar de Republiek Indonesia, “di sanalah pukulan yang menentukan akan diselesaikan.”
Pada 12 November 1948, Tan berangkat ke Kediri, mengingat tawaran bantuan dari komandan batalion Sabarudin, dan jaminan keamanan serta perasaan simpati dari komandan divisi Soengkono dan stafnya.
Dimulailah jalan gerilya di Jawa Timur. Tan berkesempatan bertemu dengan para prajurit TNI dan pimpinan politik. Jika senggang, tulis Poeze, “dia berjalan-jalan untuk melihat-lihat dan mencaritahu tentang keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka.”
Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi yang dijalankan oleh Sukarno-Hatta yang dia sebut “telah menyia-nyiakan hak-hak mereka sebagai pemimpin.” Dalam ‘Program Mendesak’, dia bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin Revolusi Indonesia.
Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) untuk menghadapi serangan Belanda bilamana sewaktu-waktu datang. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek.
Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.
Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukotjo. Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Soekotjo. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze.
Setelah sejarawan asal Belanda itu berhasil menemukan makam Tan Malaka, untuk membuktikan apakah jasad yang dimakamkan di Selopanggung itu Tan Malaka, sekelompok dokter ahli forensik dari Universitas Indonesia telah mengambil sampel DNA dari keluarga Tan Malaka untuk dicocokan dengan DNA jasad yang ada di makam. Namun, hingga hari ini hasilnya belum bisa dipastikan cocok 100 persen.
Tapi Harry Poeze, berdasarkan data-data yang dia peroleh, meyakini jasad di kuburan Selopanggung itu adalah Tan Malaka. Dia berharap jenazah Tan Malaka bisa dipindahkan ke taman makam pahlawan Kalibata sebagai wujud penghormatan kepada Tan Malaka.
NB:
Tan Malaka itu bukan sekadar tokoh kemerdekaan. Pemilik nama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka itu adalah wakil semangat anak muda untuk melakukan pekerjaan besar tanpa mementingkan itu menguntungkan dirinya atau tidak. Terbukti, kala mati pun dia berstatus sebagai pria yang belum pernah mencicipi indahnya pernikahan.
Saya pribadi kali pertama mengenal namanya saat masih SMP. Hanya dari mulut ke mulut. Sebab saat Soeharto masih menjadi nama paling terkenal di negeri ini, buku-buku tentang Tan Malaka dianggap sebagai masalah. Kalaupun ada, maka orang memilih menyimpan secara diam-diam, itu juga lebih banyak dari "kopian" saja. Mereka yang sudah membacanya pun acap kali hanya bercerita kepada kalangan yang paling dia percaya saja. Sebab jika bocor bahwa ia pernah membaca bukunya, bisa menjadi masalah serius dan ini sudah rahasia umum.
Maka itu, saya sangat menikmati saat SMP mendengar nama dengan Tan Malaka. Terlebih dia menjadi nama yang tak biasa di benak saya, sebab saat SD pun di buku-buku seperti Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) nyaris tak ada tertulis secuil pun tentang sosoknya.
Sampai kemudian kuliah hingga bekerja, keleluasaan menikmati butir-butir pemikirannya terasa lebih leluasa. Walaupun awalnya, untuk mendapatkan bukunya seperti Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) harus berburu ke Yogyakarta. Terlebih di sanalah berbagai buku lebih mudah didapatkan. Selain itu, berbagai artikel di internet pun lebih mudah saya dapati.
Tentang sejarah hidupnya, sekarang Anda bisa menemukan lebih mudah, meski tak pernah membeli bukunya. Sedangkan jika merasa ingin memiliki bukunya, berbagai toko buku pun sudah tidak perlu diam-diam untuk menjualnya. Buku "Dari Penjara ke Penjara" termasuk buku yang juga saya punya, yang saya beli tanpa perlu mencemaskan seperti saya alami di masa-masa ketika Pak Harto masih menjadi tokoh paling terkenal di negeri ini.
Saya disini takkan bercerita tentang kehidupan dan sejarahnya. Sebab berbagai buku dan artikel tentangnya memang akan sangat mudah Anda temukan di mana-mana. Media daring seperti Tirtodan Antaranews,bahkan telah menurunkan sangat banyak artikel tentangnya. Saya sendiri, meski telah memiliki beberapa bukunya, tetap merasa penting membaca ulasan media seputar dirinya.
Kenapa perlu mendalaminya? Selain ia terbilang paling sering diposisikan sebagai "penjahat" dalam sejarah yang masih sangat berbau Orde Baru, hingga banyak orang turut mendudukkannya sebagai penjahat. Tak sedikit juga yang mengafirkannya lantaran ideologi yang dianutnya.
Tampaknya ideologi telah menjadi alasan banyak orang untuk merdeka menghakimi, tanpa pernah peduli apa yang pernah dia beri. Alhasil, puluhan tahun, Tan Malaka nyaris tak kenal henti didudukkan dan dihakimi sebagai penjahat, sebagai komunis, sebagai PKI.
Itu juga yang pernah disesalkan oleh salah satu tokoh Minang, Khairul Apit. "Ada beberapa pihak yang sengaja memplesetkanperjuangan-perjuangan Tan Malaka, dan mengaitkan beliau dengan golongan kiri atau komunis. Tan Malaka itu tidak seperti yang dibayangkan orang."
Apalagi jika mengulik sejarahnya, Tan Malaka dengan tokoh-tokoh PKI sendiri di masa lalu kerap kali berdiri berhadapan, sebagai lawan. Silakan lihat saja bagaimana dia berdiri di posisi lawan ketika ia berhadapan dengan Moeso. Bahkan saat PKI merencanakan untuk melakukan kudeta, Tan Malaka adalah figur sentral di kalangan kiri yang menolak rencana itu. Sebab ia sendiri masih melihat masyarakat Muslim sebagai kelompok yang tak dapat diabaikan sebagai bagian penting di negeri tempat ia berdiam dan turut dia perjuangkan.
Dia tidak duduk di dua kursi dengan pendapatnya. Tan Malaka dapat dibilang sebagai tokoh sangat mengenal Islam, dan bahkan jauh mendalami Islam dibandingkan dengan Soekarno atau bahkan Mohammad Hatta. Terlebih dia pun telah belajar Islam dari kanak-kanak, dan kabarnya pernah mendalami tarikat hingga pernah menjadi guru agama di kampung asalnya, Limapuluh Koto, Sumatra Barat.
Namun dia tak ingin berhenti hanya pada pemahaman yang pernah diberikan dan dituntun oleh lingkungan saja. Dia merasa perlu mendidik dirinya lewat berbagai hal dan tentang lebih banyak hal betul-betul karena kesadaran sendiri; mana yang paling dia butuhkan, dan mana yang dapat membantunya berpikir lebih jernih. Maka itu, pemahaman luas tentang Islam di masa kecilnya, tak mampu membuatnya berhenti hingga ia pun mendalami Marxisme yang juga masih diimbangi kegandrungannya menyimak perkembangan Pan Islamisme.
Tan Malaka adalah pribadi yang tak ingin terkungkung oleh satu ideologi, maka itu alih-alih mengikuti PKI, ia lebih memilih untuk menggagas Partai Musyawarah Rakyat Banyak alias Murba. Ia punya kemiripan dengan Soekarno yang cenderung berada di tengah, meski kemudian persepsi yang lebih terbangun di tengah publik dan turut dibesar-besarkan lawan politiknya; dia adalah seorang komunis yang tak bedanya dengan kalangan PKI umumnya.
Tudingan miring ke arahnya lantaran memang rekam jejaknya di dunia politik dan pergerakan tak lepas dari sosok Henk Sneevliet, seorang Belanda yang belakangan menjadi Bapak Komunis bagi kalangan kiri. Maklum Sneevliet sendiri adalah salah satu penggagas Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang pernah tercatat sebagai organisasi pergerakan yang terbilang paling berpengaruh di zamannya.
Di sisi lain, praktek Islam pun tak begitu saja dia tanggalkan. Toh banyak catatan yang menunjukkan jika dia adalah salah satu penganut tarikat dan tak melepaskannya begitu saja meski ia berkiprah di dunia pergerakan yang acap dilabeli kekiri-kirian. Sebab bagi dia, Islam dan komunisme bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan, karena satu sama lain memiliki kemiripan--di luar urusan agama--melainkan dalam hal konsep dan "niat baik" pada rakyat kecil yang acap terpinggirkan.
Ya, Tan Malaka bukan pribadi yang sepenuhnya tunggal. Dia terbentuk di tengah pembauran berbagai budaya, Urang Minangsebagai latar belakangnya yang memengaruhinya secara budaya dan mental yang tangguh, selain juga perjalanannya yang panjang di dunia pergerakan. Dia juga terbukti di banyak rekaman sejarah sebagai sosok yang acap menjadi kunci di tengah banyak masalah dialami tokoh pergerakan lainnya. Dia mampu membawa solusi.
Tan Malaka menunjukkan dirinya sebagai sosok yang merdeka. Maka itu, gagasannya paling diingat banyak tokoh pergerakan dan aktivis adalah "Merdeka Seratus Persen". Sebab, baginya, apa yang telah dipelajari bukanlah alasan untuk memenjarakan diri di dalamnya. Melainkan, apa yang bisa dilakukan, tanpa perlu berambisi kelak semua niat baik akan dibayar pujian atau penjara.
Tak heran jika kemudian, di akhir hidupnya kematiannya mirip dengan "guru pertama" yang mengajarinya seputar pergerakan, Sneevliet. Mati ditembak dan sempat dihakimi oleh sejarah yang tidak adil, hingga didudukkan sebagai "penjahat". Meski begitu, seiring perjalanan waktu dan makin banyak mata yang lebih memilih terbuka, tak sedikit yang mengakui jika dia adalah seorang pahlawan.
Kenapa perlu mengenalinya? Ya, bagaimana memerdekakan diri dari ketakutan, dari kebodohan, dan dari perasaan puas dengan pengetahuan yang didikte saja. Dari berbagai buku dan tulisan yang saya dapati tentangnya, saya menyimpulkan pesan paling penting; perjuangan bukan soal untuk mengharumkan nama sendiri, tapi perjuangan adalah usaha tak mengenal kata henti untuk mencarikan bunga-bunga terbaik hingga menyebarkan harum yang bisa menggugah semangat dan gairah; untuk memberi, bukan mati hanya untuk mengejar apa yang bisa didapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar