Ads 468x60px

REQUIESCAT IN PACE Uskup Emeritus Jayapura Mgr. Hermanus Ferdinandus Maria Muninghoff OFM



REQUIESCAT IN PACE
Uskup Emeritus Jayapura
Mgr. Hermanus Ferdinandus Maria Muninghoff OFM, meninggal dunia di usia 96 tahun pada Rabu (7/2) di Belanda.
Sebelum meninggal dunia, ia dirawat selama sekitar satu bulan di sebuah rumah perawatan yang terletak di Nijmegen, Belanda.
Misa khusus untuk mendoakan mendiang uskup emeritus diadakan Kamis (8/2) malam bagi komunitas Fransiskan di Jayapura, ibukota Propinsi Papua.
Uskup Emeritus Munninghoff lahir di Woerden, Belanda, pada 30 November 1921. Ia ditahbiskan sebagai imam OFM pada 15 Maret 1953. Ia diangkat sebagai uskup Jayapura pada 6 Mei 1972 dan ditahbiskan sebagai uskup Jayapura pada 10 September 1972.
Ia menjabat sebagai sekretaris Uskup Jayapura Mgr Rudolf Joseph Manfred Staverman OFM sejak 1957 hingga 1997, saat ia diangkat sebagai uskup.
Ia mengundurkan diri sebagai uskup Jayapura pada 19 Agustus 1997. Pada 9 Agustus 2005, ia meninggalkan Papua dan tiga hari kemudian meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negara asalnya.
Pastor Gabriel Ngga, provinsial OFM di Jayapura, mengatakan ia mengunjungi Uskup Emeritus Munninghoff di rumah perawatan itu dua minggu lalu: “Beliau sakit tua. Ada penyakit kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuh. Tapi saya tidak tahu persis kanker apa,”
“Ketika ditanya apakah beliau senang tinggal di hospice (rumah perawatan), beliau bilang ‘saya senang tinggal di sini, diperhatikan oleh staf di sini, tapi kematian saya sudah dekat,’” lanjut imam itu.
Menurut Pastor Ngga, masyarakat Papua mengingat Uskup Emeritus Munninghoff sebagai seorang pejuang hak asasi manusia.
“Beliau menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia yang ada di Papua sehingga komunitas internasional tahu,” katanya.
Bagi Suster Laura FSGM, staf di Keuskupan Jayapura yang pernah bertemu Uskup Emeritus Munninghoff pada tahun 2000, mendiang prelatus asal Belanda itu “mudah bersahabat dengan orang sekitar. Beliau menyayangi orang Papua. Untuk kebersamaan, beliau selalu mengusahakannya."
"GOING HOME - BERPULANG - SOWAN GUSTI"
Berpulang, aku berpulang
Tenang dan damai, aku berpulang
Tidaklah jauh, lewati pintu terbuka
Tugas telah usai, tiada cemas tersisa
Bunda menanti, ayah pun menunggu
Banyaklah wajah yang kukenal,
dari masa lalu
Ketakutan lenyap, kesakitan hilang
Rintangan musnah, perjalanan usai
Bintang fajar terangi jalanku
Mimpi buruk hilang sudah
Bayang-bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Di hidup abadilah aku
Tiada jeda, tiada akhir
Hanya ada kehidupan
Tersadar penuh, dengan senyuman
Untuk selamanya
Berpulang, aku berpulang
Bayang bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Hidup abadi kumulai
Aku kini berpulang
---------
Going home,
I am going home
Quiet like some still day
I am going home
It's not far, just close by
Through an open door
Work all done, care laid by
Never fear no more
Mother's there expecting me
Father's waiting too
Lots of faces gathered there
All the friends I knew
No more fear, no more pain
No more stumbling by the way
No more longing for the day
Going to run no more
Morning star lights the way
Restless dreams all gone
Shadows gone, break of day
Real life has begun
There's no break, there's no end
Just a living on
Wide awake with a smile
Going on and on
Going home,
I am going home
Shadows gone, break of day
Real life has begun
I'm just going home
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
CURICULUM VITAE.
Mgr. Hermanus Ferdinandus Maria Münninghoff, O.F.M. (lahir di Woerden, Belanda, 30 November 1921; umur 96 tahun) adalah Uskup Emeritus Jayapura. Ia terpilih pada 6 Mei 1972 dan permohonan pensiunnya diterima pada 29 Agustus 1997.
Pada awalnya, Münninghoff konon memang tidak berniat untuk menjadi seorang misionaris. Dia menginjak bangku universitas untuk menjadi notaris, namun hal ini tidak dapat terlaksana karena terjadinya Perang Dunia II.
Pada tahun 1940, bersama keluarganya ia mengungsi dari rumahnya, dan bersembunyi selama tiga tahun. Ia kemudian mendapat tempat perlindungan di sebuah seminari Fransiskan di Megen, Belanda.
Para imam di sana bersikeras agar ia tinggal duli di sana bersama dengan para seminaris untuk menjalani hidup seperti mereka. Ia kemudian memutuskan untuk menjadi seorang imam dengan mengikuti teladan Santo Fransiskus. Hal ini didukung oleh kedua orang tuanya. Selama menjalani studi, ia tertarik dengan kehidupan para misionaris. Iapun tertarik untuk bermisi ke Papua.
Setelah ditahbiskan menjadi imam pada 15 Maret 1953, ia berangkat ke Jayapura pada tahun 1954.
Setelah tiba, Prefek Apostolik saat itu, Mgr. Oscar Cremers, O.F.M., menunjuknya sebagai sekretarisnya.
Pada tahun 1956, Münninghoff diangkat sebagai pastor paroki di Arso, sebuah desa kecil yang terletak di pedalaman, sekitar 40 sampai 50 kilometer dari Jayapura. Tugas utamanya adalah merayakan misa dan memberikan pelajaran agama di desa-desa dalam Paroki Arso.
Pada tahun 1957, ia dipanggil kembali ke Jayapura untuk menjadi sekretaris bagi uskup pertama, Mgr. Rudolf Joseph Manfred Staverman, O.F.M., dan juga untuk mengelola keuangan misi.
Pada masa-masa itu, kehadiran para imam dari Belanda dianggap menjadi suatu bom dari Belanda, sehingga tidak mendapat penerimaan yang baik. Terutama pada masa tersebut adalah terjadinya "Act of Free Choice."
Seiring dengan diterimanya pengunduran diri Mgr. Staverman, Münninghoff terpilih menjadi uskup di Keuskupan Jayapura pada tanggal 6 Mei 1972.
Ia ditahbiskan menjadi uskup pada 10 September 1972 oleh Uskup Agung Semarang, Kardinal Justinus Darmojuwono. Bertindak sebagai uskup ko-konsekrator, Vikaris Apostolik Merauke, Mgr. Herman Tillemans, M.S.C. dan Uskup Agats, Mgr. Alphonsus Augustus Sowada, O.S.C.
Mgr. Münninghoff sendiri pensiun pada 29 Agustus 1997 dan kepemimpinan Keuskupan Jayapura dilanjutkan oleh Mgr. Leo Laba Ladjar, O.F.M., yang telah menjadi Uskup Auksilier sejak ditunjuk pada 6 Desember 1993.
Setelah pensiun, ia kembali ke Papua dan bertempat tinggal di panti wreda di Warmond. Ia juga menyatakan bahwa hanya sedikit bagian karya para misioner yang terkait dengan agama dan gereja, sementara lainnya pada bidang yang terkait langsung dengan kehidupan masyarakat, termasuk kedokteran, kesehatan, dan budaya.
Mgr. Hermanus Ferdinandus Maria Muninghoff
Lahir:
Woerden, Belanda, 30 November 1921
Tahbisan Imam (OFM):
15 Maret 1953
Ditunjuk Uskup Djajapura:
6 Mei 1972
Tahbisan Uskup Djajapura:
10 September 1972
Pentahbis Utama:
Uskup Agung Semarang, Kardinal Justinus Darmojuwono (Kardinal-Imam Santissimi Nome di Gesù e Maria in Via Lata)
Pentahbis Pendamping:
Uskup Agung Emeritus Merauke, Mgr Herman Tillemans MSC dan Uskup Agats, Mgr Alphonsus Augustus Sowada OSC
Diangkat Uskup Jayapura:
22 Agustus 1973. (Pengangkatan ini terjadi karena Keuskupan Djajapura berganti nama lagi menjadi Keuskupan Jayapura sebagai bentuk penyesuaian terhadap perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan Ejaan Yang Disempurnakan, EYD)
Pensiun sebagai Uskup Jayapura:
29 Agustus 1997
Selama menjadi Uskup, Mgr Herman Ferdinandus Maria Münninghoff OFM telah menjadi Uskup Pentahbis Utama bagi Uskup Pembantu yang kelak akan menjadi penerus Takhta Keuskupan Jayapura, yakni: Mgr Leo Laba Ladjar OFM sebagai Uskup Tituler Bencenna ketika diangkat menjadi Jayapura (10 April 1994)
Selain itu, Mgr Herman Ferdinandus Maria Münninghoff OFM juga menjadi Uskup Pentahbis Pendamping bagi: Mgr Jacobus Duivenvoorde MSC sebagai Uskup
Agung Merauke (1 Oktober 1972)
Keuskupan Jayapura:
Pendahulu:
Mgr Rudolf Joseph Manfred Staverman OFM
Penerus:
Mgr Leo Laba Ladjar OFM
B.
SEJARAH MINI GEREJA KATOLIK DI PAPUA
Gereja Katolik berdiri di Tanah Papua pada 15 November 1966, ditandai dengan resminya Mgr. Rudolf Staverman, OFM menjadi Uskup Keuskupan Sukarnopura (kini: Keuskupan Jayapura).
Sebelum itu, para misionaris dari Belanda telah menyebarkanluaskan injil dari Maluku hingga Irian Barat (Irian Jaya, kini Papua) sejak tahun 1937 hingga tahun 1966 melalui perjanjian ‘ius commussionis’ dari tahta suci Vatikan.
Awalnya, daerah selatan Papua diserahkan kepada Konggregasi Misi Hati Kudus Yesus (MSC), daerah kepala burung Papua diserahkan kepada Konggregasi St. Agustinus (OSA) dan daerah utara Hollandia hingga pegunungan Papua diserahkan kepada Konggregasi Misi Fransiskan (OFM).
Sejak keuskupan Jayapura resmi berdiri, misionaris Mgr. Rudolf Staverman, OFM dipercaya sebagai Uskup untuk pertama kali tahun 1966. Ia membangun berbagai bengkel misi, pertukangan, layanan pesawat, pertanian, peternakan, kesehatan dan pendidikan atas bantuan misi Eropa.
Uskup Keuskupan Jayapura yang kedua adalah Mgr. Herman Munninghoff, OFM yang diangkat pada 1972 menggantikan Uskup Staverman, melanjutkan karya sebelumnya yaitu perjalanan ziarah gereja yang madiri dalam hal tenaga pastoral, hingga sosial-ekonomi.
Uskup Herman mulai membangkitkan semangat gereja Katolik saat itu dengan prinsip gereja bukanlah gedung melainkan ‘gereja adalah persekutuan’ atau saat itu dikenal dengan semboyan ‘kita adalah persekutuan’.
Karena alasan kesehatan dan usia, Uskup Herman mengundurkan diri dan beristirahat di Belanda dan akrab dipanggil 'Uskup ‘Emeritus’ Herman, OFM.
Tahta Suci Vatikan sendiri melihat gereja lokal Keuskupan Jayapura yang terus bertumbuh, maka menunjuk orang Indonesia menjadi Uskup ketiga yaitu Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM yang sejak 1997 melanjutkan karya Uskup Herman.
Uskup Leo L. Ladjar, OFM bersama umat Katolik Keuskupan Jayapura membangkitkan semangat kemandirian dengan merencanakan, bekerja, hingga evaluasi secara bersama-sama, tidak hanya dilakukan oleh kaum religus saja, tetapi seluruh umat terlibat.
Orang Muda Katolik (OMK) dan Komunitas Basis (Kombas) dipercaya mampu menjalankan berbagai misi gereja Katolik Keuskupan Jayapura saat ini yaitu membangun persekutuan tanpa meninggalkan corak khas Papua, menginjili di semua aspek, dialog antar agama demi kebaikan bersama, hingga menyelenggarakan keuangan yang sehat. Tentunya semangat kemandirian ini terus direfleksikan setiap saat agar umat Katolik di Keuskupan Jayapura bisa mandiri.
Para misionaris dari Eropa telah mengajarkan semangat misi Kristus di Tanah Papua, semangat misi inilah yang terus didorong oleh Gereja Katolik Keuskupan Jayapura agar umatnya juga menjadi misionaris bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan tanah air.
Keuskupan Jayapura sendiri terdiri dari 27 Paroki yang tersebar di Kota Jayapura, Sentani, Keerom, Pegunungan Tengah dan Pegunungan Bintang.
C.
SUARA GEMBALA DAN KASUS TIMIKA.
Nama Uskup Mgr. H.F.M. Munninghoff OFM, 74 tahun, tiba-tiba berkibar di media massa. Tokoh Gereja Katolik di Irian Jaya itu
membuat laporan tentang berbagai pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) di Timika, Kabupaten Fakfak, Irian Jaya.
Laporan setebal 26 halaman itu mencatat rinci pelanggaran HAM antara 6 Oktober 1994
sampai 31 Mei 1995. Tertulis di laporan itu: 17 penduduk sipil tewas, empat orang dilaporkan hilang, dan 48 orang ditangkap, ditahan, dan dianiaya.
Tentu saja laporan uskup berdarah Belanda itu membuat geger. Soalnya, pelanggaran HAM itu -- menurut laporan ini -- dilakukan oleh sejumlah oknum ABRI yang bertugas di sana. Komnas HAM pun membentuk tim penyelidik dengan empat anggota, dipimpin Wakil
Ketua II Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Marzuki Darusman.
Laporan Munninghoff setebal 26 halaman itu dibuat berdasarkan keterangan para saksi yang menurutnya patut dipercaya. Karena mereka itu terdiri dari para korban sendiri atau orang yang dekat dengan peristiwa. Selain itu, pastor ini membuat laporannya berdasarkan referensi yang sudah ada sebelumnya, seperti laporan
yang dibuat Australian Council for Overseas Aid (ACFOA -- Dewan Australia untuk Bantuan Luar Negeri).
Oleh pastor itu, laporan tersebut disampaikannya ke Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI). "Untuk dijadikan bahan keprihatinan bersama, dan lebih penting lagi untuk diproses lebih lanjut sampai menjadi bahan perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia," demikian antara lain ditulis Munninghoff dalam
laporannya. "Seharusnya laporan itu hanya untuk Komnas HAM dan
Kardinal di Semarang saja, bukan untuk publikasi," kata Munninghoff.
Nyatanya, entah bagaimana, laporan itu sudah beredar di sementara LSM. Pertengahan Agustus lalu, ketika lima LSM di Jakarta
menghadap Komnas HAM, kasus Timika sudah jadi persoalan. LSM itu -- YLBHI, Walhi, ELSAM, INFID, dan LPPS -- dengan mengutip
laporan Munninghoff, membocorkan kasus pelanggaran HAM di Timika.
"Kasus Timika ini seperti api dalam sekam. Kalau dibiarkan, suatu saat akan meledak," tutur Bambang Widjojanto, Direktur Operasional YLBHI.
Bambang, yang pernah tinggal di Irian Jaya selama tujuh tahun, bahkan menghubungkan kasus pelanggaran HAM itu dengan keberadaan PT Freeport Indonesia Co., perusahaan pertambangan tembaga dan
emas milik Amerika Serikat yang beroperasi sejak 1967. Soalnya, tempat pelanggaran itu terjadi di dalam wilayah kerja perusahaan
asing itu.
Salah satu laporan Munninghoff adalah peristiwa 31 Mei 1995, di Kampung Hoe, yang menewaskan Pendeta Jema'at Protestan Kingmi Kampung Hoe dan 10 penduduk, termasuk anak berusia lima tahun.
Menurut saksi mata yang dikutip Munninghoff, kala itu pasukan ABRI yang ditempatkan di Pos Keamanan Kampung Jila -- 90 km sebelah timur Kota Tembagapura -- mengejar gerombolan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di sekitar hutan Kampung Hoea.
Sekitar Juni dan Desember 1994, terjadi kontak senjata antara ABRI dan gerilyawan OPM. Warga sipil Kampung Hoea itu sendiri rupanya ikut melarikan diri ke hutan. Saat peristiwa terjadi, para warga -- menurut Munninghoff -- sebenarnya sedang berdoa bersama dan
mencari kesepakatan: siapa yang mau kembali ke Pemerintah Indonesia dan siapa yang tetap bertahan di hutan. Belum ada kata putus, sejumlah personel ABRI di bawah Sersan Dua
Marjaka menyerbu.
Melihat itu, Pendeta Martinus Kibak yang sedang memimpin doa segera menyerah. Namun Marjaka rupanya tak peduli. Bahkan ia perintahkan Prada Titus Kobogou menembak. Kibak pun tewas. Bersamaan dengan itu rentetan peluru pun menghajar
penduduk. Insiden ini menewaskan 10 penduduk di lembah Tsinga
itu, termasuk anak kecil tadi.
Contoh lain perkosaan HAM di Timika, demikian Munninghoff, yakni disiksanya lima warga Dani dari Waa dan 10 orang Dani dari
Timika. Peristiwanya terjadi seusai perayaan Natal di Tembaga Pura, tahun silam. Kali ini yang bertindak adalah pasukan dari
Pos Mile 66. Peristiwa penyiksaan ini merupakan buntut demonstrasi dan
penaikan bendera OPM di Tembagapura pada saat itu. Akibatnya, aparat mencurigai setiap warga sekitar. Maka 15 warga Dani yang
datang dengan menumpang kendaraan milik Freeport itu pun menemui saat nahas. "Sekalipun mereka sudah menggenggam surat jalan, rupanya tak menjamin keselamatan mereka. Tuduhan sebagai pengunjuk rasa tetap diajukan aparat," tutur Munninghoff.
Rupanya tragedi itu bermula ketika Wenda Tabuni, 28 tahun, mencoba melarikan diri. Seorang anggota ABRI memburunya dan
berhasil menusuknya dengan sangkur. Ikut mati pula, Yoel Kogoya, 27 tahun, Peregamus Waker, 28 tahun, dan Elias Jikwa, 28 tahun.
Pangdam Trikora Mayor Jenderal I Ketut Wirdhana menampik isi laporan Munninghoff tersebut. Wirdhana juga menolak adanya peristiwa 31 Mei 1995. "Kita memang melakukan penembakan. Tapi itu sebagai
pertempuran dengan orang yang berkategori GPK OPM," kata Ketut
Wirdhana sembari menunjuk peristiwa penembakan Kelly Kwalik dan
kawannya di bulan Oktober 1994.
Menurut Wirdhana, Kelly Kwalik benar-benar terbukti sebagai GPK. "Dia itu kan sudah mengibarkan bendera GPK, ya kita tembak,"
katanya. Ditambahkannya, ABRI tak punya pikiran jahat terhadap rakyat. "Kalau terjadi penyimpangan, itu merupakan kesalahan
oknum," kata Wirdhana.
Munninghoff menolak menunjuk hidung. "Saya
tidak anti-ABRI, juga tak anti-Freeport. Tapi saya ingin perkosaan HAM di Timika dihentikan," katanya. KSAD Jenderal R. Hartono sendiri segera mengirimkan tim untuk mengadakan penyelidikan ke lapangan. "Kemungkinan penyimpangan memang ada. Tapi harus diingat, kontak senjata di Irian juga masih mungkin terjadi. Kan di sana masih ada GPK," kata Kapuspen ABRI Brigadir Jenderal Suwarno Adiwijoyo.
Sementara itu Freeport, yang disebut sebagai pemicu kekerasan di Timika, menolak tudingan. Menurut Presiden Direktur Freeport, Hoediatmo Hoed, pihaknya tak pernah menggusur rakyat. Tanah yang mereka garap sejak 1974 adalah tanah kosong, dan semua complain penduduk sudah dibicarakan bersama penduduk dan Pemerintah Daerah setempat. "Soal keamanan, itu urusan aparat keamanan. Peristiwa
yang dilaporkan Munninghoff itu pun saya tahu dari aparat. Tapi kalau memang mau diselidiki, Freeport siap menyediakan fasilitas
yang dibutuhkan," kata Hoed.
====
Ordo Fransiskan (O.F.M = Ordo Fratrum Minorum = Saudara Dina) didirikan oleh St. Fransiskus Asisi.
Dengan mottonya "Pax et Bonum = Damai dan Kebaikan", para Fransiskan menjawab panggilan ilahi dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dengan semangat persaudaraan, ketaatan, kemiskinan, dan kesucian.
Semangat St. Fransiskus yang disadari dan diteruskan setiap biarawan Fransiskan hingga kini adalah pertobatan dan pewartaan kabar gembira ke seluruh dunia/missionaris, dengan pelayanan dan karya di tengah masyarakat.
Beberapa tokoh Fransiskan yang terkenal, antara lain; St. Antonius dari Padua, St. Bonaventura, St. Clara Asisi, Padre Pio, St. Maximillian Kolbe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar