HIK – HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
“Sanctifica me - Kuduskanlah kami!”
Inilah salah satu harapan banyak orang beriman, terlebih menyambut masa prapaskah, yang juga kerap disebut sebagai “bulan puasa/pantang”.
Adapun, bagi kebanyakan orang lain, bulan 'puasa' kerap menjasi bulan penuh berkat, bulan tempatsegala dosa dihapuskan sesuai dengan prestasi puasa mereka, bulan pengabulan doa, yang tentu besar-kecil pengabulannya sesuai dengan ketaatannya berpuasa.
Pada jaman KSPL-pun pengertian puasa tidak jauh berbeda dengan itu, maka untuk sebagian orang yang tekun berpuasa dan merasa tidakmendapat 'pahala' setimpal, dengan mudah akan berseru: "Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikan juga?
Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?"
Ini terjadi karena bagi mereka berpuasa sama artinya mengumpulkan 'ganjaran' maka tidak heran jika Yesus pun 'ditegur' karena tidak mengajari murid-murid-Nya u/berpuasa: "Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?"
Sebenarnya, bila saat ini kita berpuasa, bukanlah semata untuk mendapat ganjaran yang banyak tapi untuk menjadi “kudus”, memaknai pertobatan dengan bermati-raga+melakukan banyak kebaikan dg penuh sukacita.
Nah, dilandasi rasa syukur akan kebaikan Tuhan, berpuasa itu bisa mengandung bbrp makna kekudusan iman, al:
1. Tanda kerinduan orang beriman akan kehadiranNya
2. Persiapan bagi kedatanganNya
3. Tanda kesedihan atas dosa dan kebobrokan dunia (Mat 6:16).
Pastinya, Yesus tidak menolak para muridNya berpuasa. Ia sendiri pun berpuasa selama 40 hari, bukan? BagiNya, puasa merupakan upaya personal untuk lebih dekat dengan Tuhan. Suatu proses pembaharuan spiritual u/ meningkatkan kekayaan rohani sambil mengingkari kenikmatan ragawi. Dengan demikian kita lebih rendah hati pada Tuhan dan bermurah hati terhadap sesama. Itu soal kemauan personal. Bukan karena diwajibkan.
"Ada angsa di Kalibata - Mari berpuasa dg penuh sukacita."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
AKU DAN MATIRAGA
Dalam masa-masa tertentu, khususnya Prapaskah, Gereja mengajak umatnya untuk mengadakan matiraga berupa pantang dan puasa. Melalui anjuran tersebut, Gereja mengharapkan agar matiraga dilaksanakan tidak hanya pada masa-masa khusus saja, tetapi dapat menjadi bagian hidup dari seluruh umatnya.
Karena itu, melalui artikel berjudul "Aku dan Matiraga", penulis mencoba merefleksikan hubungan yang erat antara matiraga dan kemanusiawian kita. Maksudnya, manusia yang manusiawi adalah manusia yang bermatiraga. Jika matiraga merupakan salah satu unsur kemanusiawian kita, apa arti matiraga Kristiani kita? Untuk itu, kami mencoba membagi tulisan ini dalam tiga bagian, yaitu:
(1) Matiraga sebagai bagian dari hidup manusia,
(2) Matiraga sebagai unsur penting dalam spiritualitas Asia, dan bagi orang Kristen,
(3) Matiraga adalah suatu rahmat dan tugas.
1. Matiraga sebagai bagian dari hidup manusia
Matiraga pada dasarnya adalah suatu bentuk penyangkalan diri terhadap kesenangan atau kegemaran tertentu. Dalam hal-hal yang sederhana, misalnya: berpantang coklat, daging, susu, alkohol, dll. Dalam hal-hal yang lain dapat berupa pola hidup sederhana yang dijalankan oleh para biarawan-biarawati melalui kaul kemiskinan mereka. Bahkan, dapat berupa penyiksaan diri seperti mencambuk diri, tidur di atas paku, dll. Matiraga, oleh sebagian besar orang Asia, dipandang sebagai sarana menuju pada yang ilahi. Pada suku-suku pedalaman yang masih primitif di beberapa tempat di Asia, Afrika, dan Amerika, kemampuan untuk menahan rasa sakit yang diperoleh dari matiraga dipandang sebagai tanda kedewasaan seseorang.
Karena itu, matiraga seringkali dianggap hanya sebagai bagian dari para biarawan, pertapa, orang-orang tertentu yang mencari "kesaktian", atau bagian hidup dari orang-orang pedalaman yang "primitif". Padahal tanpa disadari, matiraga merupakan salah satu bagian hidup manusia.
Dunia modern, yang menawarkan kenyamanan dan kenikmatan, juga menawarkan suatu bentuk matiraga. Kita mengenal pepatah "no pain no gain", atau dalam peribahasa Indonesia, "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Kedua pepatah tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa untuk mencapai sesuatu yang nilainya tinggi, manusia perlu mengurbankan sesuatu dari dirinya. Dengan kata lain, manusia perlu bermatiraga untuk mencapai sesuatu.
Banyak orang yang bersedia menyangkal diri atau mendera diri hanya untuk memperoleh kepuasan secara materi. Misalnya, untuk dapat memiliki barang yang diinginkan ia harus membelinya. Dengan membeli, ia mengurbankan uang yang telah dikumpulkannya, bahkan barangkali juga mengurbankan kegemarannya. Selain itu, desakan untuk tampil menarik, "memaksa" sebagian besar kaum hawa, dan juga kaum adam, untuk melakukan diet yang amat ketat untuk menjaga penampilannya.
Matiraga merupakan bagian dari hidup manusia dari segala zaman. Konsekuensinya, manusia hanya dapat berkembang dengan bermatiraga. Sebagai contoh, seorang bayi untuk dapat belajar, ia harus menanggalkan kenyamanannya, bahkan mungkin harus menderita sakit karena jatuh. Namun, jika ia tidak mau menanggalkan kenyamanannya dan tidak mau menerima rasa sakit karena jatuh, ia tidak akan pernah dapat berjalan. Matiraga mendesak orang untuk tidak berputus asa.
Karena itu, tidak mengherankan jika beberapa suku pedalaman memakai matiraga sebagai tanda kedewasaan seseorang. Bahkan, dewasa ini, dalam beberapa program empowering, orang diajak untuk mengalami dan mengatasi rasa sakit dan penderitaan. Contohnya, program-program outbound yang sempat digemari oleh beberapa perusahaan dan instansi sebagai salah satu sarana untuk mengoptimalkan kemampuan diri dan kerja sama tim. Singkat kata, jika orang ingin sukses, ia harus berani bermatiraga.
2. Matiraga sebagai unsur penting dari spiritualitas Asia
Dalam tradisi kebudayaan dan agama, khususnya Asia, matiraga merupakan salah satu aspek yang penting untuk mencapai kesempurnaan, seperti Hindu, Budha, Konfusianisme, Taoisme, Islam aliran Sufi dan Shi’a, dan masih banyak lagi kepercayaan tradisional yang menekankan pentingnya matiraga. Sebagai contoh, kegiatan nglakoni yang dilakukan oleh orang Jawa. Matiraga, oleh orang Asia, dipandang sebagai sarana menuju pada yang ilahi.
Dalam Hinduisme terdapat empat sasaran hidup manusia (purusharta), yaitu Dharma (hidup menghayati keutamaan), Artha (hidup menghayati sarana-sarana hidup, yakni segala sesuatu yang menopang hidup, antara lain: harta), Kama (hidup menghayati citarasa), dan Moksha (pembebasan diri). Manusia harus menempatkan dharma, artha, dan kama dalam harmoni agar mencapai moksha, melalui tiga jalan besar menuju keselamatan, yaitu Jnana, Bhakti, Karma.
Pada jalan Jnana, pembebasan adalah pengenalan paling dalam akan partisipasi manusia dalam Realitas Mutlak, yaitu Brahman. Oleh karena itu, jalan menuju keselamatan tercapai melalui pengetahuan yang paling dalam, di mana manusia melebur ke dalam realitas mutlak. Pada jalan Bhakti, pembebasan berarti melepaskan diri dari ikatan-ikatan kelahiran kembali dan halangan yang mengitarinya untuk berkunjung hadir dalam bhakti dengan Sang Guru. Proses keselamatan menjadi jalan yang menghantar manusia menuju ke pengilahian, di mana manusia menjadi sama dengan Yang Ilahi. Pada jalan Karma, pembebasan berarti memenuhi kewajiban manusia.
Budhisme memandang kenyataan dunia ini sebagai dukkha (sengsara), yang nampak dalam fenomena penyakit, tua dan mati; anatta, yang berarti tidak ada substansi yang tetap untuk "aku" manusia, karena ia selalu berubah; dan anicca, yang ditandai dengan tidak adanya substansi yang tetap dari benda-benda yang ada di dunia ini. Untuk dapat dibebaskan dari Dhukka, Gautama mengajarkan "Empat Kebenaran Luhur" untuk mencapai nirvana.
Desakan untuk bermatiraga dalam Konfusianisme bertolak dari kodrat manusia yang baik. Kebaikan kodrat manusia nampak juga dalam Kitab Untaian Tiga Huruf (San Zi Jing), yang berbunyi:
"Manusia pada mulanya; Watak sejatinya baik; Watak Sejati itu saling mendekatkan; Kebiasaan dan lingkungan itu saling menjauhkan; Bila tidak terdidik, tanpa mengikuti agama, Watak sejati dapat berantakan; Jalan Suci dari agama itu memberi kemampuan dalam perkara yang luhur mulia" (San Zi Jing)
Pengertian mengenai Watak Sejati dapat dijumpai dalam Kitab Meng Zi VII A, 21: 4, yang berbunyi: "Watak sejati ialah: cinta kasih (jin / ren), kebenaran (gi / yi), kesusilaan (lee / li), dan kebijaksanaan (ti / zhi). Inilah yang berakar dalam hati nurani". Kemudian Kitab Meng Zi juga menuliskan bahwa "orang yang mempunyai keempat benih ini, ialah seperti mempunyai keempat anggota badan" (Meng Zi IV A:6). Keempat benih tersebut harus dirawat baik-baik supaya dapat berkembang (Bdk. Meng Zi VI A:8).
Pernyataan tersebut, selain menunjukkan bahwa kodrat manusia itu baik, juga menunjukkan peran lingkungan dalam perkembangan Watak Sejati. Konfusius percaya bahwa lingkungan atau kebiasaan dapat merusak Watak Sejati manusia. Selain itu, sebagai makhluk jasmani manusia memiliki sifat naluriah yang disebut gembira (hi / xi), marah (no / nu), sedih (ay / ai), senang (lok / le). Keempat sifat naluriah ini jika tidak dikendalikan juga akan mengaburkan Watak Sejati di dalam diri manusia. Oleh karena itu, manusia perlu dididik untuk dapat mengaktualkan kembali Watak Sejatinya.
Taoisme menekankan perlunya mencari sumber kedamaian dan kebahagiaan, dengan menyatakan : "Jalan diperoleh melalui kehilangan setiap hari, kehilangan demi kehilangan, hingga akhirnya tibalah istirahat. Dengan membiarkan semuanya terjadi, semuanya pun terlaksana … Tetapi bila engkau mencoba dan mencoba terus, maka dunia tidak dapat dimenangkan" (Tao Te Ching, bab 48)
Taoisme mengajarkan bahwa pentingnya kehidupan sederhana dan harmonis, di mana motif untuk mencari untung harus dilepaskan, kepandaian diambil jarak, egoisme dilenyapkan, dan nafsu disurutkan dan diatur.
Agama-agama tradisional, misalnya Kejawen. Dalam alam pikiran orang Jawa, yang menjadi pusat perhatian bukanlah Allah melainkan manusia. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan keselamatan, pemahaman tentang manusia amat menentukan. Manusia adalah pusat pemahaman yang ada, maka segala derita, bencana, dan ketidakharmonisan kosmos harus diatasi dan diusahakan oleh manusia, serta dimulai dari manusia melalui olah batin yang terwujud dalam budi luhur. Salah satu praktik yang penting dalam oleh batin adalah praktik nglakoni. Dalam nglakoni tersebut orang diajak untuk belajar mati (sinau mati), yang pada akhirnya akan membawa orang pada pengalaman manunggaling rasa jati.
3. Matiraga sebagai Rahmat dan Tugas
Selama berabad-abad, orang Kristen telah mempraktikkan matiraga. Orang-orang Kristen awali bermatiraga melalui kemartiran berdarah. Mereka menerima penganiayaan dan penderitaan dengan penuh sukacita. Bentuk lain dari matiraga yang segera muncul setelah masa penganiayaan adalah hidup selibat.
Cara hidup selibat ini mendorong berkembangnya para pertapa di padang gurun. Para kudus, para pendiri ordo dan kongregasi, serta orang saleh lainnya menyadari bahwa matiraga merupakan unsur penting untuk menjadi pengikut Kristus yang sejati. Mereka sadar, seperti yang dikatakan Yesus kepada para murid-Nya, bahwa "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku" (Mat 16: 24). Karena itu, dengan disebut sebagai orang Kristen (bdk. Kis 11:26), kita semua yang telah dibaptis dipanggil untuk bermatiraga.
Matiraga orang Kristen berbeda dengan matiraga yang dipraktikkan oleh tradisi keagamaan lain atau yang dipraktikkan oleh orang-orang modern. Bagi tradisi keagamaan lain, matiraga merupakan suatu usaha untuk mencapai suatu pengalaman rohani yang mendalam, seperti Moksha bagi orang Hindu, Nirvana bagi orang Budha, Watak Sejati bagi pengikut Konfusius. Matiraga orang modern menekankan kemampuan pribadi untuk meraih kesuksesan. Sedangkan bagi kita, orang Kristen, matiraga adalah rahmat sekaligus tugas. Pada umumnya, kita lebih mudah mengerti matiraga sebagai suatu tugas dibandingkan sebagai suatu rahmat.
Di manakah letak matiraga sebagai rahmat dan tugas?
3.1. Matiraga sebagai rahmat
Rahmat adalah keikutsertaan pada kehidupan Allah (Katekismus Gereja Katolik #1997). Dengan memperoleh rahmat, kita ikut "dikuburkan bersama Kristus melalui baptisan dalam kematian-Nya, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati dalam kemuliaan Bapa, demikian juga kita dimungkinkan hidup dalam hidup yang baru" (Rm 6:4). Dengan dikuburkan bersama Kristus berarti oleh kuasa Roh Kudus, kita mematikan perbuatan-perbuatan daging (bdk. Rm 8:13).
Melalui rahmat tersebut, kita dihantar untuk mengambil bagian dalam persekutuan dengan Allah, yang membebaskan kita dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia (bdk. 2Ptr 1:4). Dengan demikian, matiraga kita bukan semata-mata perbuatan manusiawi kita, melainkan karya Roh Kudus, karena Allah-lah yang mengerjakan dalam diri kita, baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (bdk. Flp 2:13).
Dalam arti inilah matiraga adalah suatu rahmat. Suatu hal yang amat disadari oleh St. Therese Lisieux. St. Therese Lisieux tidak menjadi kudus karena ia melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan menonjol atau matiraga yang amat keras. Ia menjadi kudus dengan bermatiraga melalui hal-hal yang kecil dan sederhana. Ia, seperti yang yang ditulisnya sendiri, mempunyai kerinduan yang amat besar untuk menjadi martir, menjadi misionaris, dan ingin seperti para kudus besar.
Namun demikian, ia sadar akan kekecilan dan ketidakberdayaannya. Kesadaran itu tidak membuatnya putus asa, tetapi membuatnya untuk lebih bersandar pada Tangan Allah yang akan mengangkatnya seperti lift. Untuk itu, ia harus tetap tinggal kecil, supaya Allah yang baik dapat menggendongnya. Dalam suratnya kepada Marie, kakaknya, ia membayangkan dirinya sebagai seekor burung kecil yang hanya ditutupi oleh bulu yang tipis, namun dengan mata dan hati seekor elang ia berani untuk menatap matahari cinta. Walau ia tidak mampu untuk merentangkan sayap-sayapnya, ia tidak sedih.
Dengan keberanian yang mantap, ia tetap memandang pada matahari. Apabila pada saat-saat tertentu awan menutupi matahari, ia tidak goyah, karena ia tahu bahwa matahari tetap bersinar. Bahkan bila burung itu diterpa oleh badai godaan, bahkan tampaknya sudah kehilangan pegangan akan apa yang terjadi, ia tetap tinggal di tempatnya yang kecil dan pandangan matanya tetap terarah kepada matahari.
Berbeda bagi sebagian besar orang modern yang menekankan kemampuan diri untuk mencapai kesempurnaan, St. Therese mencapai kesempurnaan dengan kepercaya-annya yang tidak terbatas kepada Allah. Itulah matiraganya. Karena ia memandang Allah adalah Bapa yang mahabaik, Therese tidak pernah berputus asa. Ia senantiasa berharap pada-Nya, bahkan ketika ayahnya yang sangat dikasihinya mengalami sakit yang amat memalukan, ia tetap percaya bahwa Allah menyelenggarakan segala sesuatu seturut dengan rencana-Nya yang indah, sehingga ketika ia diolok-olok oleh rekan susternya dalam biara ia dapat tetap tersenyum dan tidak terluka.
Karena begitu mengasihi kita, Allah membantu kita untuk berkembang menjadi sempurna dengan memberi kesempatan-kesempatan kecil dalam hidup sehari-hari untuk bermatiraga. Sebagai contoh, pengalaman Daud ketika ia dikutuki dan dilempari dengan batu oleh Simei bin Gera. Pada saat itu Daud menerimanya dan melihatnya sebagai rahmat (2 Sam 16:5-12).
Dalam arti ini, matiraga Kristen berbeda dari matiraga yang dilakukan tradisi keagamaan lain dan orang-orang modern. Daya upaya matiraga dalam tradisi keagamaan lain dan orang-orang modern mengandalkan kemampuan diri. Sedangkan bagi kita, kemauan dan hasil matiraga merupakan semata-mata karya Roh Kudus. Roh Kuduslah yang mendorong kita untuk "mematikan" perbuatan daging kita yang membawa pada dosa, dengan menginsafkan kita akan dosa (bdk. Yoh 16:8-9).
Selain itu, mengusahakan pertobatan dengan bermatiraga bukan perbuatan manusia, karena "ia adalah usaha dari hati yang patah dan remuk, yang oleh rahmat diyakinkan dan digerakkan untuk menjawab cinta Allah" (Katekismus Gereja Katolik # 1428).
3.2. Matiraga sebagai Tugas
3.2.1. Kewajiban pertobatan kedua
Mengawali pelayanan-Nya, Yesus berseru: "Waktunya telah genap, bertobatlah dan percayalah kepada Injil" (Mrk 1:15). Bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus, seruan ini merupakan ajakan untuk menerima Kristus dan untuk memperoleh pengampunan dari segala dosa serta memperoleh suatu hidup yang baru, yang diwujudkan melalui pemberian diri untuk dibaptis.
Sedangkan bagi kita, orang-orang Kristen, seruan tersebut adalah ajakan untuk melakukan ’pertobatan kedua’. Pertobatan kedua tidak lain adalah tugas terus menerus dari seluruh umat beriman (bdk. Katekismus Gereja Katolik #1427-1428), karena selama kita hidup di dunia kita harus berjuang melawan "hukum lain" yang melawan hukum akal budi kita, yang membuat kita menjadi tawanan hukum dosa (bdk. Rm 7: 22-23).
Karena itu, dalam ensiklik Paenitentiam Agere / PA (1 Juli 1962), Paus Yohanes XXIII (25 November 1881 – 3 Juni 1963) menulis bahwa orang beriman wajib melakukan matiraga untuk menjaga tubuh mereka agar tetap di bawah kendali akal budi dan iman, dan sebagai silih atas dosa pribadi dan dosa dunia (PA 29). Setiap orang Kristen tidak dapat lepas dari tugas matiraga yang demikian, karena "Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya" (Gal 5:24).
Hal ini juga membedakan matiraga kristiani dengan matiraga pada umumnya. Matiraga kita diarahkan pada suatu pertobatan batin. Pertobatan batin adalah "suatu penataan baru, satu langkah balik, pertobatan kepada Allah dengan segenap hati, pelepasan dosa, berpaling dari yang jahat, yang dihubungkan dengan keengganan terhadap perbuatan jahat" (Katekismus Gereja Katolik #1431). Jadi, matiraga yang tidak membawa pada pertobatan batin tidak ada artinya (bdk. Katekismus Gereja Katolik #1430).
3.2.2. Panggilan menjadi orang kudus
"Semua orang Kristen, dari status atau jajaran apa pun dipanggil kepada kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih" (Lumen Gentium 40). Selain itu, singkat kata, setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi kudus, karena "haruslah kamu sempurna, seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna" (Mat 5:48).
Karena itu, Gereja mengajak semua umat beriman untuk mengusahakan kemajuan rohani yang berpuncak pada persatuan yang semakin erat dengan Kristus. Persatuan ini dinamakan mistik (bdk. Katekismus Gereja Katolik #2014). Karl Rahner, seorang teolog pada zaman modern, pernah berkata bahwa seorang Kristen adalah seorang yang mempunyai pengalaman mistik.
Mistik yang dimaksud di sini tidak sama dengan mistik dalam pengertian populer. Dalam pandangan populer, pengalaman mistik seringkali hanya disempitkan pada cara hidup yang aneh, eksentrik, bentuk kehidupan rohani yang penuh perasaan, atau pengalaman-pengalaman trans ekstase, yang dikaitkan dengan magis, hipnose, dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman yang seringkali ditayangkan dalam saluran-saluran televisi lokal. Pengalaman mistik yang kami maksud dalam tulisan ini adalah suatu gejala yang tetap dan sama dari kerinduan jiwa manusia untuk persekutuan pribadi dengan "Yang Transenden", yang membuat orang dapat mencintai segala makhluk dan materi dari sudut-Nya. Pengalaman mistik juga merupakan suatu pengalaman yang membebaskan manusia dari keterikatannya pada hal-hal yang lahiriah, yang nampak dan yang berubah.
Bagi kita, persatuan mistik merupakan partisipasi dalam misteri Tritunggal. Persatuan tersebut pertama-tama melalui partisipasi dalam sakramen-sakramen, yang merupakan bagian dari sakramen Yesus Kristus. Rahmat-rahmat khusus dan pengalaman-pengalaman adikodrati yang menyertai pengalaman mistik ini diberikan kepada orang-orang tertentu untuk menyatakan rahmat yang dianugerahkan Allah kepada kita semua (bdk. Katekismus Gereja Katolik #2014).
Berkaitan dengan hal ini, St. Yohanes Salib pernah berkata bahwa satu orang yang mencapai persatuan cinta kasih dengan Allah, jauh lebih berharga bagi Allah dan dunia, daripada banyak orang yang melakukan perbuatan baik tetapi tidak mencapai persatuan cinta kasih ini. Sama seperti Yesus yang merupakan wujud sempurna dari persatuan ini dapat menyelamatkan semua manusia sejak awal hingga akhir dunia. Oleh karena itu, kita semua, sebagai orang Kristen, dipanggil untuk mencapai persatuan ini.
Namun, untuk mencapai persatuan cinta kasih dengan Allah atau pengalaman mistik Kristiani, kita harus melewati salib. "Kemajuan rohani menuntut matiraga dan penyangkalan diri yang tahap demi tahap mengantar kita untuk hidup dalam damai dan dalam kegembiraan Sabda Bahagia" (Katekismus Gereja Katolik #2015). Tidak ada kekudusan tanpa pengurbanan diri dan perjuangan rohani. Untuk mencapainya, kita harus seperti seorang yang menemukan harta terpendam, yang kemudian menjual seluruh hartanya untuk memperoleh harta yang terpendam itu (Mat 13:44-46). Dengan demikian tugas kedua dari matiraga kita adalah untuk mencapai persatuan cinta kasih dengan Allah, dengan "mati" terhadap segala sesuatu yang bukan Allah.
Dengan demikian, jelas bahwa matiraga tidak dapat dilepaskan dari kemanusiawian kita, karena tanpa bermatiraga, kita tidak dapat berkembang. Bahkan, orang-orang modern pun, untuk meraih kesuksesan, mereka mempraktikkan matiraga. Menyadari akan hal ini, banyak tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal yang melaksanakan matiraga untuk mencapai pengalaman dan kedewasaan spiritual. Demikian juga dengan iman Kristiani kita. Matiraga tidak dapat lepas dari iman Kristiani kita untuk mengikuti jejak Yesus, dengan menyangkal diri dan memanggul salib setiap hari.
Matiraga Kristiani kita berbeda dengan matiraga yang lain. Matiraga kita, adalah rahmat dan tugas. Sebagai rahmat, kemauan dan kemampuan untuk bermatiraga merupakan karya Roh Kudus semata-mata. Sebagai tugas, matiraga kita, pertama-tama, merupakan suatu usaha untuk bertobat terus menerus, dan usaha untuk mencapai persatuan cinta kasih dengan Allah, yang membuat orang untuk ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi Allah. Orang yang demikian, seperti kata St. Yohanes Salib, menjadi seperti Allah karena partisipasi. Ia dapat berkata: "Hidupku bukannya aku lagi, tapi Kristus yang hidup di dalamku" (Gal 2:20).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar