Ads 468x60px

SPIRIT "SANG BURUNG MANYAR"



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI POLITIKA (2)
SPIRIT "SANG BURUNG MANYAR":
Politik Hati Nurani dan Politik Akal Sehat
(Belajar dari Sikap Politik Y.B. Mangunwijaya)
A.
Pemahaman Politik Mangunwijaya.
Selama hidupnya, Romo Mangun memang banyak terlibat dalam persoalan-persoalan dalam masyarakat. Ia berkiprah di banyak tempat demi hidup masyarakat yang lebih baik. Pengalaman hidupnya di Code, Yogyakarta; Gigrak, Gunungkidul; Kedungombo, Boyolali mengungkapkan betapa ia peduli terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Ia hanya ingin terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat manusia.
Hasratnya untuk terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat manusia membuatnya tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, dia pun berpolitik.
Komentar dalam buku Politik Hati Nurani mengatakan demikian:
“Romo Mangun memang berpolitik, tapi bukan politik dalam arti mencari kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara. Ia menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikannya. Politik harus menggunakan hati nurani dan hati nurani sendiri juga harus dipolitikkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas dan demi keadian bagi seluruh lapisan.”
Komentar ini nampaknya ingin menegaskan apa yang diyakini dan dihidupi oleh Romo Mangun. Romo Mangun pun mempunyai pandangan tersendiri mengenai politik. Ia nampaknya mempunyai pemahaman politik menurut artinya yang paling tradisional seperti diungkapkan oleh Aristoteles.
Menurut Aristoteles, manusia menurut kodratnya merupakan zĂ´oon politikon: makhluk yang hidup dalam polis . Berinspirasi dari pemahaman tersebut, Romo Mangun menuliskan pandangannya mengenai politik:
“Memanglah ada dua paradigma dan pengARTIan dasar politik.
Yang pertama lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni politik dalam aspek kekuasaan. Penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan, pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status-quo kekuasaan, dst., pendek kata segala yang menyangkut power atau might, kekuasaan (PK- Politik Kekuasaan). Termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang nisbi lemah. Lazimnya khalayak ramai mengartikan politik melulu dalam arti pertama ini. Sehingga ada ucapan yang terbang di mana-mana: ‘politik itu kotor.’
Namun bagi orang terpelajar, ada politik berparadigma ke-2 yang sebenarnya lebih asli dan otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis, ataupun sesuai koderat alam manusia dan masyarakat, (tetapi kurang terkenal populer) yakni politik dalam arti: segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum. Jasmani rohani. Bukan untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia atau partai itu atau umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan umum, semua warga bahkan universal semua bangsa, tanpa pandang siapa dan golongan, luas, misalnya sila ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Juga demi perdamaian, kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dsb. demi tata hidup bersama yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualis maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest, dsb. dst.
Ini politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral (dan iman).”
Dalam pandangan itu, Romo Mangun mengungkapkan bahwa semua orang harus terlibat dalam politik dalam arti yang kedua. Politik tidak hanya ditujukan untuk orang-orang tertentu.
Melalui artikel “Rohaniwan Tak Boleh Berpolitik?” ini, Romo Mangun secara khusus menyoroti tentang pengecaman keterlibatan Uskup Belo sebagai rohaniwan Katolik dalam medan politik di Timor-Timur.
Ia berpandangan bahwa rohaniwan Katolik harus berpolitik dalam arti yang kedua “demi kesejahteraan bersama”.
Dalam artikel yang sama, ia menyitir kisah Mgr. Soegijapranata, imam pribumi pertama yang menjadi Vikariat Apostolik Semarang, yang benar-benar aktif dalam kancah politik pada masa revolusi . Kisah tersebut mengungkapkan bahwa Mgr. Soegija tidak hanya berjuang untuk memelihara umat Katolik, tetapi berjuang untuk kesejahteraan bersama, yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia.
Keterlibatan seluruh orang dalam hal politik ini didasarkan pada pengajaran agamanya masing-masing. Bagi orang Katolik, keterlibatan itu didasarkan pada ajaran Yesus.
Dalam artikel yang sama, ia menuliskan:
“Dan memang Nabi Isa mengajar para penganutnya demikian. Jangan pakai pedang, tetapi lewat kebenaran, iman, harapan, cintakasih. Karena yang didambakan masyakarat umum yang normal sejati, apalagi yang berkeTuhanan, berPancasila, akhirnya dan akhirnya justru inilah, tata negara dan masyarakat yang berpijak pada moralitas dan etika fair play (serta iman) dalam arti luas di atas.”
B.
Hati Nurani:
Sumber dan Dasar Keterlibatan Politik sebagai Wujud Penghayatan Iman
Ignatius Haryanto, dalam kata pengantar buku Politik Hati Nurani mengatakan bahwa pemilihan judul Politik Hati Nurani itu dilakukan dengan berbagai alasan. Salah satu alasan yang mendasar bersumber pada penangkapan penyunting atas nilai yang diperjuangkan oleh Romo Mangun. Ia menulis:
“Sosok Mangunwijaya yang pasti bukanlah seorang politikus dalam arti seorang yang memimpin partai, memimpin sekelompok massa, dan memperjuangkan suatu kepentingan bersama. Romo Mangun mengerti soal politik, dan dalam arti luas, ia juga berpolitik, namun ia mendasari politiknya lewat pengabdian pada kemanusiaan. Profesinya sebagai seorang rohaniwan mau tidak mau mempengaruhi option yang dipilihnya tersebut. Dengan seluruh karya sosialnya, Mangun menunjukkan bahwa ia bergerak atas dasar panggilan nurani kemanusiaan...
Hati Nurani Politik merupakan suatu pesan tersendiri yang hendak disampaikan, bahwa perpolitikan sungguhpun berkaitan dengan usaha yang mulia memperjuangkan kesejahteraan umum, memajukan masyarakat dan melaksanakan keadilan sosial, kerapkali jatuh pada cara-cara yang menghalalkan segala cara. Landasan moral, nilai-nilai, hati nurani, seringkali tak menjadi perhitungan dalam langkah-langkah politik
Justru kondisi demikian yang hendak dikritik di sini. Politik sebenarnya adalah usaha pendapaian tujuan dengan berbasis pada nilai-nilai, hati nurani, dan moralitas juga.
Para politikus dapat tetap mengerjakan tugasnya, tanpa mengabaikan hal tentang nilai atau hati nurani. Hati nurani bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan politik, bahkan justru kegiatan politik harus memiliki Hati Nurani jika perpolitikan hendak berlangsung abadi dan mendapatkan simpati dari rakyat.”
Dalam setiap tulisan atau karya yang dibuat Romo Mangun, unsur hati nurani yang diwujudkan melalui keberpihakan kepada nilai-nilai universal ini secara nyata dinampakkan.
Ia mengatakan, “Yang utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil dan solider terhadap yang menderita... demi perdamaian dunia, kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan.” Menurutnya, iman adalah tindakan. Tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia .
Hati nurani sebenarnya bukan hanya sumber dan dasar tindakan politik manusia saja, tetapi harus menjadi sesuatu yang integral dalam diri manusia dan menjadi sumber seluruh tindakan manusia. Hati nurani merupakan unsur yang perlu dimekarkan dalam kehidupan.
Romo Mangun memasukkan unsur hati nurani ini sebagai salah satu daya yang harus dimekarkan dalam pendidikan. Sebagai seorang pendidik, ia berpendapat bahwa ada lima macam daya yang harus dikembangkan, yaitu daya kognitif atau daya nalar; cita rasa dan kemampuan afektif yaitu rasa, intuisi dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan; kemampuan untuk saling berkomunikasi, bergaul, bekerjasama, teratur, tenggang rasa; kesehatan raga; dan hati nurani, sikap atau semangat tolong menolong, setia kawan, sopan, dan cinta kasih .
Pemekaran hati nurani ini akan membuahkan kehidupan yang subur dan berbuah . Pendidikan hati nurani itu dapat dilakukan melalui komunikasi iman – bukan agama – dalam kehidupan, dialog, percakapan, dan lebih-lebih perbuatan. Tujuan komunikasi iman ini adalah untuk menumbuhkan sikap dasar yang benar, hati nurani yang peka terhadap segala yang baik, adil, benar, senang menolong, dan membuat orang lain gembira, sekaligus memekarkan watak yang menolak segala yang buruk, menghina teman yang miskin, cacat, atau lambat belajar .
Pemekaran hati nurani ini menjadi sebuah modal untuk terlibat dalam kehidupan masyakarat. Hati nurani yang mampu mempertimbangkan baik buruk, bersikap adil, suka menolong menjadi sebuah dasar untuk bertindak dalam masyarakat.
Yang menjadi patokan dalam bertindak bukanlah sikap suka atau tidak suka, tetapi unsur-unsur keadilan, kemanusiaan, perdamaian dan kemerdekaan: apakah tindakan yang aku buat membantuku dan orang lain untuk mewujudkan nilai-nilai itu.
Pastinya,tindakan politik Romo Mangun didasari pengalaman mistiknya dengan Allah. Ia tidak melakukan politik-politikan, tetapi ia sungguh-sungguh berpolitik, membangun negara yang demokratis. Ia ingin betul-betul tidak ada orang yang disingkirkan dalam pembangunan negara. Artinya, melibatkan semua orang berpartisipasi.
Romo Mangun tidak pernah lepas dari suara kenabian Gereja. Apa yang dilakukan Romo Mangun adalah tanggapan kenabian terhadap kenyataan yang bobrok . Dan kiranya tidak berlebihan kalau Jennifer Lindsey menilai bahwa Romo Mangun adalah hati nurani bangsa. “Orang agung yang bijak di dunia ini memang jarang dan Romo Mangun adalah salah satu di antaranya. Beliau adalah salah seorang cendekiawan Indonesia terbesar, seorang yang amat mencintai negaranya dan dari rasa cinta tersebut berani bicara sebagai hati nurani bangsa” .
C.
Memperhatikan Rakyat, terutama Yang Kecil, Lemah, Miskin dan Tersingkir
Dalam seluruh hidup Romo Mangun, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah pilihan keberpihakannya kepada rakyat, terutama kaum miskin, lemah, miskin, dan tersingkir. Sejak awal, sikap ini menjadi pilihan hidupnya. Pilihan keberpihakan ini diawali dengan pengalamannya di kota Malang.
Waktu itu, ada perayaan penyambutan Tentara Indonesia. Semua mengelu-elukan tentara sebagai pahlawan. Lalu Mayor Isman mendapat giliran berpidato. Pidato itu bagaikan halilintar di siang bolong bagi Mangun. Mayor Isman mengatakan,
“Kami bukan pahlawan. Kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat. Karena kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan melakukan hal-hal yang kejam... Sebetulnya kami ini bukan pahlawan. Yang pahlawan adalah rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi kami. Jika Belanda datang, kami lari. Memang bukan karena pengecut, melainkan karena kekuatan tidak seimbang. Tapi rakyat tidak bisa lari. Mereka yang menjadi korban diperkosa, dibakar rumahnya, ditembak. Mereka yang berkorban, tetapi yang menjadi pahlawan bukan rakyat.”
Pengalaman ini membuat Romo Mangun tergugah untuk membalas budi kepada rakyat. Usaha pembalasan budi kepada rakyat itu ditempuhnya dengan menjadi imam praja. Ia lebih memilih menjadi imam praja karena ia ingin bekerja langsung di tengah rakyat jelata. Bagi Mangun, menjadi imam adalah sebuah cara untuk berusaha menjadi link – ex officio – antara manusia dan Tuhan. Seorang imam harus menyuarakan hati nurani kolektif, sabda, wahyu ilahi, kemanusiaan, dan jawaban manusia. Imam akan hancur kalau dia menjadi birokrat agama, apalagi kalau berkolaborasi dengan penguasa .
Dalam sebuah wawancara, Romo Mangun mengakui bahwa status imamat memang memberi banyak kemudahan baginya, tapi ia ingin menjadi manusia biasa saja. “Yang berat justru untuk tetap bertahan sebagai manusia biasa. Sebab pastor itu ‘kan seolah-olah kasta tersendiri. Mudah membuat orang menjadi sombong. Karena itulah orang seperti kami harus selalu aware jangan sombong.”
Tindakan keberpihakan Romo Mangun pada kaum kecil ini menjadi perwujudan imannya kepada Yesus Kristus. Romo Mangun hanya ingin meneladan Yesus. “Suri teladan Yesus yang menampakkan diri sebagai Putra Allah yang memilih lahir dalam pangkuan orang-orang dina, lemah, miskin di Betlehem, mengungsi ke Mesir akibat kesewenang-wenangan sang penguasa dunia, kemudian merendah di desa kecil, Nasareth... Hidup publik selanjutnya dari Yesus di Galilea, Samaria, Yudea, ternyata lebih dipersembahkan kepada yang justru di bawah, yang menderita, yang tergusur dan terbuang.” Yesus telah menempatkan hatinya untuk orang miskin.
Demikianlah dari awalmula, pembelaan kaum kecil yang tidak dimanusiawikan selalu menjadi bagian yang melekat pada spiritualitas murid Yesus. Tradisi Kristiani memang selalu mengoreksi dan kritis bahkan sering berkonflik melawan para penguasa dunia yang cenderung mengekploitasi manusia bawahan sebagai alat untuk menguntungkan dan memuliakan diri atasan . Inilah tantangan yang dihadapi oleh para murid Kristus pada zaman ini: bagaimana mewujudkan keadilan, perdamaian, kemanusiaan, dan kemerdekaan.
Pilihan keberpihakan kepada rakyat itu dengan gigih disuarakan oleh Romo Mangun kepada semua pihak. Sebagai warga negara Indonesia, dia menyerukan suaranya kepada pemerintah dan masyarakat. Ia menulis demikian:
“RI 17 Agustus 1945 itu kan pada hakikatnya dimaksud untuk membela rakyat kebanyakan yang kalah menghadapi kelompok kecil yang mengeksploatasi si dina miskin . Nasionalis itu pecinta rakyat negeri. Yang sepantasnya kita cintai itu kan justru rakyat kecil lemah miskin yang mayoritas dan tak berdaya itu. ”
“Kita harus berani percaya kepada kekuatan dan kemampuan serta bakat-bakat dan kearifan praktis dari rakyat yang paling dina sekalipun. Tanpa kepercayaan yang tebal seperti itu, kita sudah kandas sebelum mulai.
Untuk itu, kita harus meninggalkan mental ingin menjadi pemimpin yang merasa diri lebih pandai dan lebih tahu daripada rakyat. Terutama para mahasiswa dan cerdik-pandai, tetapi seumumnya yang punya bakat “kepemimpinan” dan bermurah budi untuk berkorban demi rakyat. Pendek kata, kita semua harus kembali kepada rakyat, di tengah-tengah rakyat, dan bersama dengan rakyat. Sekali lagi bukan sebagai pemimpin, pembina atau penuntun, akan tetapi sebagai kawan atau saudara.”
Ia pun dengan lantang menyerukan suara kemanusiaan ini kepada seluruh warga Gereja:
“Di Asia, khususnya di Indonesia, manusia kecil, lemah, miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka yang kaya dan berkuasa... Hukum rimba: diapa kuat, dia menang. Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia, yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.”
“Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %. Namun, setiap rohaniwan gereja Katolik (yang notabene terkenal sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah “terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin, tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”
Keberpihakan Romo Mangun kepada kaum miskin adalah sesuatu yang digulatinya terus-menerus. Hidup Romo Mangun seakan-akan menjadi sebuah usaha yang tiada henti untuk memperjuangkan kaum miskin, lemah, kecil, dan tersingkir ini.
Tentang perjuangan Romo Mangun untuk kaum miskin ini, Mgr. Julius Darmaatmaja, S.J. menuliskan:
“Cinta dan perhatian beliau kepada kaum papa dan terhadap masalah kemanusiaan seluas kemanusiaan itu sendiri. Inilah yang menyebabkan beliau tak terkurung olehs ekat perbedaan agama, suku, dan budaya. Inilah yang membuat beliau berjuang melawan ketidakadilan bagi siapapun, inilah yang membuat beliau berjuang melawan kemiskinan, melawan segala bentuk penderitaan manusia, menjadi dasar dan kekuatan bagi perjuangan beliau di hampir segala bidang kehidupan.”
Banyak komentar yang terungkap atas perjuangan Romo Mangun untuk kaum miskin. Ia adalah Bapak Kaum Papa; Pembela Kaum Miskin; Kawan dan Tetangga Kaum Miskin. Sebutan-sebutan ini merupakan bukti bahwa banyak orang menangkap di mana ia berpihak.
D.
Penutup
Kehidupan Romo Mangun menunjukkan bagaimana ia berpolitik dalam arti sesungguhnya, terlibat dalam masyarakat demi kesejahteraan bersama. Ia telah menunjukkan kesadarannya untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan Gereja Katolik Indonesia. Pergumulan pemikiran, karya, dan tindakannya menjadi wujud kepeduliannya untuk menyumbangkan sesuatu bagi lingkungan sekitarnya .
Kita melihat bahwa kehidupannya sebagai orang Katolik telah menyumbangkan sesuatu kepada bangsa dan negara Indonesia. Ia telah mencoba membayar utangnya kepada rakyat. Melalui kehidupan Romo Mangun, kita pun diingatkan kembali kepada pertanyaan Mgr. Soegijapranata: apakah Gereja beserta umatnya sungguh-sungguh mempunyai manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia?
Semoga semakin banyak orang tergerak berbuat dan menyumbangkan sesuatu bagi kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar