Teror dan Horor : Dialektika Maaf dan Keadilan
HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Teror dan Horor : Dialektika Maaf dan Keadilan
Abad ke-20 yang baru saja lewat dan abad ke-21 yang sedang kita alami menjadi saksi bisu bagi “yang destruktif” itu. Di masa ketika konon peradaban manusia mencapai puncaknya itu, kita—sendiri atau berbondong-bondong—melihat dengan telanjang betapa yang destruktif itu begitu mudah muncul di mana-mana dan menyisakan luka, yang terakhir tragedi berdarah di Nice Prancis.
Tentu saja selain rentetan teror terakhir yang melanda beberapa kawasan di Eropa dan Timur Tengah, yang katanya didalangi oleh ISIS, pertama-tama banyak dari kita yang pasti menyebut Auschwitz, salah satu tempat yang memperagakan dengan sempurna horor dari abad modern.
Di titik-titik ghetto itu, kita tahu, ribuan orang Yahudi disekap dan dipekerjakan tanpa belas, sebelum akhirnya diburu dan dibariskan rapi seperti sekawanan biri-biri ke dalam kamar gas. Auschwitz, kata orang, adalah drama. Jelas, ia bukan drama biasa. Ia adalah kejahatan dalam bentuknya yang absolut, yang tak tertampik karena kekejiannya yang amat sangat.
Tapi Auschwitz bukan cuma cerita yang sesak dengan pilu dan rintihan. Di sana kita juga mendengar harapan, yang tumbuh sering kali dengan cara yang amat menakjubkan. Anne Frank, seorang gadis kecil Yahudi, dalam sebuah catatan hariannya menulis betapa “manusia pada dasarnya baik”. Anne tahu betapa kejinya Hitler, tapi ia percaya bahwa manusia diciptakan dengan nurani. Tak terkecuali sang Fuehrer.
Anne yang hidup di bawah bayang-bayang ketakutan, hanyalah gadis lugu yang cuma tahu bahwa ia tak punya siapa-siapa yang dapat menemaninya selain beberapa carik kertas yang ditulisnya setiap hari. Tapi ia yang mati di usia 16 itu tak henti-hentinya percaya bahwa ada yang tak mudah lapuk dalam diri manusia. Sesuatu yang berharga justru karena dengannya kita bisa terus berharap, dan itulah yang ditunjukkannya: walaupun ia tahu bahwa ada yang keji dalam hidup, ia yakin ada sisi terang yang terselubung dalam hati manusia, betapapun kita ingin menutupnya dengan senjata dan kuasa.
Anne mungkin benar. Manusia itu baik dan menghasrati kebaikan. Hidupnya yang pendek tapi menyentuh memberi bukti akan hal itu. Tapi “baik” yang ia bayangkan bukanlah sesuatu yang hakiki, karena meskipun konon tercipta sebagai makhluk yang tak bernoda dan fitri, ada sisi gelap dalam diri manusia yang dihuni oleh semacam ketakaburan. Dan dari sanalah kekerasan itu muncul.
Auschwitz berkembang dari ketakaburan bahwa ada yang “murni” dalam hidup, masyarakat, dan negara, yang harus dijaga agar tak terkontaminasi oleh yang-beda. Dan Hitler menemukan virus pengganggu itu pada kaum Yahudi. Dengan ratusan peleton tentaranya, ia bergerak ke seluruh Eropa dan membasmi siapa saja yang dalam tubuhnya menitis darah Yahudi. Ia melakukannya, sekali lagi, demi “kemurnian”.
Tak jelas benar apa alasan Hitler melakukan semua itu. Kebencian, jelas. Tapi mengapa Yahudi?
Beberapa tahun sesudah rezim fasis tumbuh, di Eropa tumbuh gerakan Zionis. Awalnya motif mereka adalah melawan anti-Semitisme Hitler. Tapi perlahan, gerakan ini juga menjadi semacam “fasisme” baru. Sasarannya adalah kaum muslim yang anti-Israel. Terhadap yang terakhir ini, mereka tak segan-segan membunuh atau menghabisi, karena buat mereka yang ada hanyalah “kemurnian”, dan hanya dengan itu negara Israel dapat dibangun. Tapi mengapa kaum muslim?
Kekerasan selalu punya alibi. Dan itu tak semata lahir dari kebencian. Ia juga berbiak dari ambisi untuk menertibkan, dari otoritas untuk mengatur dan menundukkan yang-beda. Karena itu, kekerasan tak akan pernah berhenti di kamp Auschwitz. Dalam kehidupan yang terus berputar, kita akan menemukan kekerasan itu terulang di tempat lain, di “Auschwitz-Auschwitz” baru: Dari Aceh, Kalimantan, Papua, Bali, sampai Belgia dan Prancis.
Betul, kekerasan itu seperti sebuah spiral. Ia seperti bergerak tak putus-putus dari satu garis ke garis lain. Menyalakan api di sini, membubuhkan bara di sana. Seperti bakteri, ia merambah ke mana-mana dan, dengan atau tanpa sadar, membentuk cara pandang “kita” terhadap “mereka”. Kekerasan, kata Emmanuel Levinas, bahkan bermula ketika kita memberanikan diri menyentuh Wajah sang lain, ketika terbersit kehendak untuk mengurai dan membiarkan kemisteriusannya tersingkap.
Di sinilah problemnya: jika setiap waktu terjadi kekerasan di mana-mana, mungkinkah ia berakhir? Mungkinkah kita memutus mata rantai kekerasan? Pertanyaan ini penting diajukan mengingat setiap kekerasan membawa tumbalnya masing-masing. Di sana pasti ada korban yang terluka dan nahas. Dan luka korban itu bukan tak mungkin suatu waktu akan mengeras menjadi kebencian.
Agaknya karena itulah Derrida dalam sebuah dialognya dengan Giovanna Borradori (dalam sebuah buku memukau, Philosophy in a Time of Terror) menyebut teror dan kekerasan sebagai “auto-imunitas”: kekerasan itu, seperti tubuh, memiliki mekanisme yang membuatnya kebal. Tak lain lewat kebencian baru, yang lahir sering kali justru dari luka dan trauma para korban. Kekerasan, lanjut Derrida, juga sebuah upaya “bunuh diri”: dengan kekerasan, para pelaku menularkan infeksi baru kepada korban, yang akan membalas balik kekerasan itu kepada pelaku.
Maka kemudian tak jelas lagi siapa pelaku dan korban. Kita tak dapat mendefinisikan secara pasti siapa “pelaku” dan “korban” dalam pengertian sesungguhnya. Pelaku juga menjadi korban, tapi di saat yang sama korban juga menjadi pelaku. Kedua pihak digerakkan oleh kebencian yang sama dan, tentu saja, semangat untuk memusnahkan yang lain.
Kita dapat menangkap api kebencian itu di raut wajah Janis Karpinski, jenderal AS yang memperlakukan ratusan tahanan Abu Ghuraib (Irak) dengan keji. Atau wajah Imam Samudra dan para pelaku teror pun horor, yang dengan nada bersemangat mengutuk AS sebagai biang keladi kehancuran dunia.
Tentu ada beda di sini. Imam Samudra awalnya bersuara sebagai “korban”: ia seperti hendak mewakili perasaan sebagian umat Islam yang terdesak oleh kebijakan AS. Sementara, Karpinski yang lahir dan besar di Amerika, mungkin adalah “pelaku” sebagaimana serdadu-serdadu AS yang lain. Ia menjadi organ kekerasan yang dilakukan secara telanjang oleh Negara. Tapi perbedaan itu menjadi tak berarti ketika keduanya sama-sama mengutuk dan meledakkan amarah: Imam Samudra di Bali, Karpinski di Irak.
Kebencian bisa beranak-pinak menjadi kebencian baru, dan seterusnya dan seterusnya. Di sini, kejahatan menjadi amat mengerikan justru karena ia bisa dilakukan oleh siapa saja. “Korban” dan “pelaku” jelas bukan dua identitas yang tetap. Saya, Anda, dan mereka bukanlah manusia yang bebas dari infeksi kekerasan. Hari ini, saya menyiksa Anda, tapi besok atau lusa, siapa tahu, Anda akan datang membunuh saya. Kekerasan melumpuhkan imajinasi karena ia membuat kita tak mampu berpikir siapa yang salah, sebab siapa pun ternyata bisa bersalah, pernah bersalah.
Maka yang diperlukan kemudian adalah kerendahan hati untuk mengakui betapa masing-masing kita bisa berbuat jahat, justru karena kita tak menginginkannya. Dan cermin dari kerendahan hati itu adalah kesediaan untuk memberi maaf kepada siapa pun yang salah.
Memberi maaf? Ya, memberi maaf. Bukan hal yang mudah, memang, terutama karena orang lebih percaya bahwa kekerasan harus dibalas dengan yang setimpal, dan “kesetimpalan” itu identik dengan “keadilan”. Jika misalnya saya mencucuk hidung Anda hingga kesakitan, maka Anda harus membalasnya hingga saya kesakitan. Itu baru “adil”.
Tapi, akan selalu ada yang bertanya, dengan apa kita mengukur “kesakitan” itu? Mungkinkah kita menakar penderitaan kita dan orang lain, dengan cara dan hitungan yang persis sama? Itulah persoalan yang kita hadapi setiap kali kita gigih bicara tentang keadilan. Apakah “keadilan” itu, tetap tak akan terjawab. Keadilan adalah sebuah aporia: kita tak dapat menentukan dengan pasti batas-batasnya, terutama apabila kita berpikir bahwa keadilan adalah sebuah simetri kekerasan: satu nyawa untuk satu nyawa, sebiji mata untuk sebiji mata, sepotong gigi untuk sepotong gigi.
Karena itu, ada sesuatu yang mendesak kita lakukan hari ini—dan inilah yang berulang kali ditekankan oleh Derrida—yakni bagaimana “melampaui” keadilan sekaligus bergerak “menuju” keadilan. Dengan kata lain, keluar dari konsep keadilan sebagai “simetri” dan menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang tak-mungkin (l’impossible) atau yang belum mungkin: keadilan sebagai agenda yang tak pernah selesai, justru karena orang tak tahu cara terbaik menerapkan keadilan oleh sebab yang adil saat ini atau di sini belum tentu adil besok atau di sana.
Keadilan bukan konsep. Kita tak dapat membayangkan ia berdiri utuh sebagai sesuatu yang “koheren”. Ia tak dapat diukur dan karenanya selalu bersifat anekonomis dan asimetris: keadilan, berbeda dengan pembalasan, tak dapat ditebus.
Barangkali menyadari hal itu, Derrida menyatakan bahwa keadilan hampir selalu berupa “keadilan-yang-akan datang” (la justice à venir). Kita tak sekali-kali dapat menangkap keadilan atau mengklaim bahwa “tindakan saya adil”. Keadilan selalu mrucut dari jangkauan kita.
Oleh sebab itu, kata Derrida, keadilan harus dibedakan dari hukum. Hukum menghendaki simetri dan batas-batas yang jelas, sementara keadilan melampaui itu semua. Keadilan tak tertampung oleh sistem apa pun; ia tak seperti hukum yang menuntut penyelesaian karena ia tak terputuskan justru di saat kita mengatakan bahwa ia telah “ditegakkan”.
Dalam kaitan inilah, memberi maaf lebih dari sekadar momen yang berharga. Kesediaan memberi maaf dari sang korban menunjukkan bahwa ada yang terwakilkan oleh bahasa hukum. Kekerasan akan terus terjadi dan memakan korban. Tapi setiap kali kekerasan itu terpatahkan secara radikal ketika kita mendengar korban berkata: “Aku memaafkanmu”.
Maaf, seperti keadilan, tak menuntut balas. Sang pemberi maaf tidak memegang kendali apa pun untuk memaksa pelaku kekerasan untuk bertobat atau mengubah perilakunya. Pemaafan niscaya muncul dari keadaan “tak bersyarat”, ketika korban memberikan segalanya tanpa mengharapkan apa-apa.
Dengan begitu kita bisa memahami arti kerendahan hati. Seperti dikatakan Gandhi, hanya orang yang berhati baja yang bisa meminta dan memberikan maaf. “Memaafkan yang tak termaafkan”: jelas ini bukan hal yang mudah. Terutama karena di dalam diri kita masing-masing kadang masih ada sisa-sisa dengki, yang mau agar kekerasan itu terus berlanjut untuk menuntaskan dendam yang tak henti terbalas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar