HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI "HERSTORY" (17)
Edith Stein
AVE CRUX, SPES UNICA!
PROLOG
Teresia Benedikta dari Salib alias Edith Stein adalah seorang anak bungsu dari keluarga Yahudi dengan banyak atribut: Ia merupakan seorang kudus dalam Gereja Katolik sekaligus doktor filsafat, aktivis feminis, dosen, penulis, penterjemah, biarawati ordo Karmelit, dan sekaligus martir yang meninggal di kamp konsentrasi Auschwitz Polandia. Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 1 Oktober 1999, memaklumkannya sebagai pelindung Eropa bersama dengan St Katarina dari Sienna dan St Brigitta dari Swedia. Yah, Gereja menghormati “seorang puteri Israel.” Istimewa, bukan?
SEBUAH SKETSA PROFIL
“Barangsiapa mencari kebenaran,
entah sadar atau tidak, ia mencari Tuhan.”
(Tulisan Edith Stein kepada seorang biarawati Benediktin)
Pergulatan rohani Edith Stein dapat menjadi teladan perjalanan hidup rohani semua orang di jaman modern. Perjalanan hidupnya diwarnai dengan pencarian yang penuh liku. Dia menemukan iman kristiani karena cintanya kepada Yesus sang tersalib. Pemahaman Edith Stein mengenai keterlibatan dalam derita salib Kristus menjadi titik pusat imannya yang menjelaskan pengalaman hidupnya sebagai orang Yahudi dan Kristen. Bagi Edith, ‘salib’ hanya dapat dipahami dan dihayati apabila orang telah mengalami salib. Katanya, “Ave Crux, spes unica! (Salam, hai Salib, harapanku yang utama!)."
Edith Stein sendiri terlahir di Breslau, Silesia (waktu itu wilayah Jerman) pada 12 Oktober 1891, tepat saat keluarganya merayakan Yom Kippur, sebuah perayaan penting bangsa Yahudi yakni “Hari Pendamaian Agung”. Ia bertumbuh dalam keluarga Yahudi Ortodoks sebagai anak bungsu dari sebelas bersaudara. Ayah Edith, Siegfried Stein, seorang pengusaha kayu, meninggal dunia ketika Edith beranjak dua tahun. Ibunya, Auguste Courant Stein, seorang perempuan Yahudi yang amat saleh, pekerja keras dan berkemauan kuat. Sejak suaminya meninggal, ia harus menghidupi dirinya sendiri, mengurus keluarga dan kesebelas anaknya serta mengelola perusahaan kayu suaminya. Kesemuanya itu ditunaikannya dengan berhasil, namun demikian, ia tidak berhasil dalam memelihara tradisi iman Yahudi dalam diri anak-anaknya. Edith kehilangan imannya pada usia 13 tahun: “Aku secara sadar memutuskan, atas kemauanku sendiri, untuk berhenti berdoa”.
Yah, meskipun terlahir dalam keluarga Yahudi yang saleh, Edith merasakan kehampaan dalam batinnya. Pada 1904, dia menolak kepercayaan Yahudi dan menjadi ateis. Tetapi, walaupun imannya semakin meredup, ia tetap pergi ke sinagoga menemani ibunya. Ia juga tetap berpuasa. Delapan tahun lamanya dia bergulat dengan dirinya untuk dapat memahami Allah. Segala kegiatan yang berbau agamis tidak lagi menarik perhatiannya.
Di lain matra, dari segi akademis, Edith menunjukkan kecemerlangannya. Pada tahun 1911, Edith lulus dengan predikat cum laude dari ujian akhir sekolah. Ia melanjutkan kuliah di Universitas Breslau untuk mempelajari bahasa Jerman dan sejarah, meski ini hanya sekedar pilihan “sampingan”. Minatnya sesungguhnya pada bidang filsafat dan feminisme. Ia juga sempat menjadi anggota Serikat Prussian untuk Hak Perempuan: “Semasa di sekolah dan semasa tahun-tahun pertamaku di universitas, aku seorang aktivis yang radikal. Kemudian minatku hilang dalam segala urusan itu. Sekarang aku mencari solusi-solusi pragmatis yang murni.”
Pada awal Perang Dunia I, ia melayani di sebuah rumah sakit lapangan Austria. Ini adalah masa yang sulit baginya, di mana ia merawat banyak orang sakit dan melihat banyak orang muda yang mati: “Aku tak lagi memiliki hidupku sendiri”. Pada tahun 1913, di Universitas Göttingen, ia belajar filsafat di bawah bimbingan Edmund Husserl, seorang filsuf tersohor dan penggagas fenomenologi. Ia sendiri lulus dari doktoratnya dengan predikat summa cum laude pada tahun 1917 di usia 25 tahun, dengan tema seputar, “Problem Empati.” Soal kecemerlangan budi Edith Stein, Husserl pernah menuliskan referensi berikut, “Andai karir akademis terbuka bagi kaum perempuan, maka aku akan merekomendasikannya dengan segenap hatiku dan sebagai pilihan pertamaku untuk gelar professor.”
Di Universitas Göttingen inilah, perkenalannya dengan seorang filsuf lain yakni Max Scheller membuka cakrawala baru untuk masuk dalam dunia rohani. Max Scheller adalah seorang Katolik yang memberikan pandangan bahwa hanya agama saja yang dapat menjadikan manusia seorang manusia. Edith memberikan respon yang baik: Ia mulai membaca Kitab Suci Perjanjian Baru untuk mengenal Kristus dan dalam perjalanan waktu, hatinya begitu terpikat dengan autobiografi dari Santa Teresa.
Pada musim gugur 1918, Edith Stein mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai asisten pengajar Husserl. Ia ingin bekerja sendiri dan kembali ke Breslau. Di Breslau inilah, Edith Stein menulis artikel-artikel mengenai dasar filosofis dari psikologi. Ia juga mulai membaca Perjanjian Baru, Kierkegaard dan Latihan Rohani St Ignatius dari Loyola. Pada musim panas 1921, ia melewatkan beberapa minggu di Bergzabern, di tempat Hedwig Conrad-Martius, seorang murid Husserl yang lain. Suatu sore, dari perpustakaan Hedwig, Edith mengambil secara acak sebuah buku yang ternyata adalah buku autobiografi St Theresa dari Avila, dan ia terus membaca buku tersebut sepanjang malam: “Ketika aku selesai membaca, aku berkata kepada diriku sendiri: Inilah kebenaran!”
Keesokan harinya, Edith membeli buku Misa dan Katekismus yang di hari-hari selanjutnya menjadi tumpuan perhatiannya. Ketika dirasa ia sudah cukup paham, Edith untuk pertama kalinya masuk ke sebuah Gereja Katolik dan mengikuti jalannya Misa secara penuh. Ia ingin dibaptis segera; dan ketika Pastor Breitling mengatakan bahwa agar dapat dibaptis orang perlu persiapan untuk mengenal ajaran dan tradisi-tradisi Gereja, ia menjawab, “Ujilah saya!” Ini dilakukan pastor dan Edith lulus dengan cemerlang. “Edith, pernahkah engkau memohon rahmat iman sebelum engkau bertobat?” Jawabnya, “Terus-menerus mencari kebenaran itulah satu-satunya doaku.”
Pada tanggal 1 Januari 1922, Edith Stein dibaptis dengan nama Teresa di Gereja Santo Martinus, Bergzabern. Teresa Edith Stein berdiri dekat bejana baptis dengan mengenakan gaun pengantin putih milik Hedwig Conrad-Martius: “Aku meninggalkan agama Yahudiku ketika aku masih seorang gadis berusia belasan tahun dan tidak lagi merasakan keyahudian hingga akhirnya aku kembali kepada Tuhan.” Sejak saat itu, ia terus-menerus sadar sepenuhnya bahwa ia adalah milik Kristus bukan hanya secara rohani, melainkan juga karena hubungan darah. Pada tanggal 2 Februari, hari Peringatan Pentahiran Maria - suatu hari yang merujuk pada Perjanjian Lama - ia menerima Sakramen Penguatan oleh Uskup Speyer di kapel pribadi bapa uskup. Segera setelah penerimaan Sakramen Penguatan, kerinduan Edith Stein yang terdalam adalah menggabungkan diri dalam sebuah biara Karmelit. Tetapi, para pembimbing rohaninya (Vikaris Jenderal Schwind dari Speyer dan Erich Przywara SJ), beranggapan bahwa lebih baik Edith Stein mengabdi Gereja lewat ilmunya. P.Schwind memberikan dua tugas pokok baginya: Edith menjadi guru bahasa Jerman dan sejarah di sekolah para suster Dominikan dan sekaligus menjadi guru pembimbing para calon mahasiswa di Biara St Magdalena, Speyer.
Pada tahun 1931, Edith Stein meninggalkan sekolah biara di Speyer dan membaktikan diri untuk meraih gelar professor kembali, kali ini di Breslau dan Freiburg, meski ternyata usahanya sia-sia belaka. Pada waktu itulah ia menulis “Potensi dan Tindakan”, suatu studi mengenai konsep-konsep inti yang dikembangkan oleh St Thomas Aquinas (di kemudian hari, di Biara Karmelit di Cologne, ia menulis ulang studi ini demi menghasikan karya utamanya, “Keterbatasan dan Keabadian” yang diselesaikannya pada tahun 1936).
Pada tahun 1932, ia menerima jabatan dosen di Institut Jerman untuk Ilmu Pedagogi di Universitas Munster, di mana ia mengembangkan antropologinya. Dengan gemilang Edith memadukan ilmu pengetahuan dan iman dalam karya dan pengajarannya, sebagai usaha menjadi “alat Tuhan” dalam segala yang ia ajarkan: “Jika seorang datang kepadaku, aku ingin menghantarnya kepada Dia.” Di lain segi, serangan terhadap bangsa Yahudi semakin gencar pada tahun-tahun itu: “Aku telah mendengar perlakuan buruk terhadap bangsa Yahudi sebelumnya. Tetapi sekarang mulai tampak bagiku bahwa Tuhan telah menekankan tangan-Nya dengan kuat ke atas umat-Nya, dan bahwa nasib bangsa ini juga akan menjadi nasibku.”
Pada tahun 1933, Edith Stein pergi ke Breslau untuk terakhir kalinya dan ingin mengucapkan selamat tinggal kepada ibu dan keluarganya. Hari terakhirnya di rumah adalah tepat hari ulang tahunnya, 12 Oktober, yang adalah juga hari terakhir dari Pesta Tabernakel. Edith pergi ke sinagoga bersama ibunya. Sungguh hari yang sulit bagi keduanya, bukan? Ibunya yang adalah seorang Yahudi saleh itu harus melihat anak bungsunya menjadi seorang Katolik. Wajarlah, jika airmata sang ibu berlinang-linang membasahi wajahya yang keriput. Wajarlah juga jika Edith menangis karena belum pernah melihat ibunya yang tegar itu menangis. Ini terlalu berat bagi mereka berdua, bukan? Yah, airmata itu adalah ungkapan hati yang terdalam. Hedwig Conrad Martius sendiri menulis: “Lihat, inilah dua orang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (bdk Yohanes 1:47).
Keesokan harinya, Edith berangkat dengan kereta api ke Cologne. Edith menggabungkan diri dengan Biara Karmelit di Cologne pada tanggal 14 Oktober 1933, dan menerima busana Karmel pada tanggal 15 April 1934. Misa Kudus dipersembahkan oleh Abbas Agung Beuron. Edith Stein dikenal sebagai Suster Teresia Benedicta a Cruce - Teresa yang terberkati dari Salib.
Rest in Peace! Pada tanggal 14 September 1936, pembaharuan kaulnya bertepatan dengan wafat ibunya di Breslau: “Ibuku berpegang teguh pada imannya hingga saat terakhir. Sebab iman dan keyakinannya yang teguh kepada Tuhan-nya … adalah hal terakhir yang masih hidup di saat sakrat mautnya, aku yakin bahwa ia akan bertemu dengan seorang hakim yang sungguh berbelas kasihan dan bahwa ia sekarang adalah penolongku yang paling setia, sehingga aku dapat mencapai tujuanku pula.”
Pada tanggal 9 November 1938, gerakan anti-Semit oleh Nazi menjadi semakin nyata di seluruh dunia: Sinagoga-sinagoga dibumihanguskan, harta milik orang-orang Yahudi dijarah dan dirampas, orang-orang Yahudi dicekam ketakutan yang mendalam. Priorin Biara Karmelit di Cologne melakukan yang terbaik demi Edith Stein. Pada malam Tahun Baru 31 Desember 1938, Edith diselundupkan ke Biara Karmelit di Echt, Provinsi Limburg Belanda. Di sinilah, ia menuliskan wasiatnya tertanggal 9 Juni 1939, “Bahkan sekarang aku menerima kematian yang telah Tuhan persiapkan bagiku dalam penyerahan diri sepenuhnya dan dengan sukacita sebagai kehendak-Nya yang terkudus bagiku. Aku memohon kepada Tuhan untuk menerima hidupku dan matiku … sehingga Tuhan akan diterima oleh umat-Nya dan bahwa Kerajaan-Nya akan datang dalam kemuliaan, demi keselamatan Jerman dan perdamaian dunia.”
Yah, salibnya sudah di ambang pintu, sebab Nazi telah menguasai Belanda. Pada 20 Juli 1942, para Uskup Katolik Roma di Belanda mengumumkan pernyataan keras menentang pembuangan dan pembantaian orang-orang Yahudi. Sebagai balasannya, pada 26 Juli 1942, Adolf Hitler memerintahkan supaya Nazi menangkap semua orang Katolik keturunan Yahudi, termasuk para imam dan kaum religius, di Belanda.
Edith Stein alias Sr Teresa Benedikta ditangkap oleh Gestapo pada tanggal 2 Agustus 1942 ketika ia sedang di kapel bersama para biarawati lainnya. Ia diwajibkan melapor dalam waktu lima menit, bersama dengan Rosa - saudarinya yang telah menjadi Katolik dan seorang angota Karmelit Ordo Ketiga - yang melayani di Biara Echt. Dengan menggandeng tangan Rosa, Edith mengatakan, “Mari, kita pergi untuk bangsa kita.” Bersama dengan banyak orang Yahudi lainnya, kedua perempuan ini dibawa ke suatu kamp perhentian di Amersfoort dan kemudian dari Amersfoort ke Westerbork. Pada tanggal 7 Agustus, pagi-pagi benar, 987 orang Yahudi dideportasi ke Auschwitz dengan kereta api. Dua hari kemudian, Edith Stein bersama saudarinya dan banyak kaum sebangsanya dibantai dengan gas beracun dalam kamar gas Nazi dan kemudian jenazah mereka dibakar secara massal di krematorium di Auschwitz, Polandia.
Ketika Edith Stein dibeatifikasi di Cologne pada tanggal 1 Mei 1987, Gereja menghormati “seorang puteri Israel,” seperti dinyatakan Paus Yohanes Paulus II, yang, sebagai seorang Katolik pada masa penganiayaan Nazi, tetap setia kepada Tuhan Yesus Kristus yang tersalib, dan sebagai seorang Yahudi, kepada bangsanya dalam kasih setia.” Pada tanggal 11 Oktober 1998, Edith Stein dimaklumkan sebagai orang kudus oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma. Setahun kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1999, St Edith Stein, bersama dengan St Katarina dari Sienna dan St Brigitta dari Swedia, dimaklumkan sebagai pelindung Eropa. Sebelumnya, Eropa hanya memiliki tiga santo pelindung: St Benediktus, St Sirilus dan St Methodius. Paus sendiri mengatakan bahwa ia memaklumkan ini “guna menekankan peran penting yang telah dimainkan dan yang dimiliki kaum perempuan dalam gereja dan dalam sejarah sipil Eropa.” Pesta St Edith Stein dirayakan pada tanggal 9 Agustus.
REFLEKSI TEOLOGIS
1. Rohaniwan, Cendekiawan, Budayawan
“Aku terus-menerus memikirkan Ratu Ester
yang direnggut dari bangsanya tepat
karena Allah menghendakinya untuk memohon kepada raja
atas nama bangsanya.
Aku seorang Ester yang amat malang dan tanpa daya,
tetapi Raja yang telah memilihku
tak terhingga dalam kuasa dan belas kasihan-Nya.
Ini sungguh merupakan penghiburan besar bagiku”
(Edith Stein, 31 Oktober 1938).
Mengacu pada sebuah penggalan pernyataan Romo Mangun, si “Burung Manyar”, jelaslah bahwa setiap orang beriman, terlebih para pemuka agamanya mesti menghayati ketiga fungsi dasarnya, yakni menjadi: “Rohaniwan, Cendekiawan, Budayawan”. Bagi saya sndiri, Edith Stein adalah seorang pribadi istimewa yang sungguh bisa menghayati ketiga fungsi dasar ini secara utuh dan menyeluruh.
- Rohaniwan:
“Segalanya untuk semua orang,” itulah semboyan Edith Stein sejak ia menjadi Katolik, dan dalam hal itu ia menjadi teladan bagi semua orang. Satu dari banyak kesaksian yang ditulis oleh para mantan muridnya mengatakan, “Kami baru berumur tujuhbelas tahun dan Fraulein (nona) Doktor Edith mengajar kami bahasa Jerman. Sesungguhnya ia memberi kami segalanya. Kami masih sangat muda, namun daya tarik yang terpancar darinya tak akan pernah kami lupakan. Tiap-tiap hari kami melihat dia berlutut di bangku doanya, di depan koor, selama Perayaan Ekaristi. Maka kami mulai sedikit mengerti apa artinya iman dan sikap hidup yang diserasikan. Bagi kami, di usia yang penuh daya kritis, sikapnya saja sudah menjadi teladan. Kami tak pernah melihat dia selain daripada anggun, tenang dan pendiam. Seperti itu ia selalu masuk ke kelas kami, seperti itu juga ia seminggu sekali menemani kami waktu rekreasi….”Ada juga beberapa kesaksian seputar Edith Stein yang ditangkap oleh Gestapo pada tanggal 2 Agustus 1942. Misalnya, kepada Priorin Karmel di Cologne, diceritakan orang sebagai berikut, “Di antara para tahanan yang datang pada tanggal 4 Agustus, Edith (Sr Teresa Benedikta) mencolok karena ketenangannya yang dalam dan kegembiraannya. Penderitaan dan ketegangan dalam kamp itu tak terlukiskan. Ia berkeliling di antara ibu-ibu, menghibur, menolong, menenangkan, bagai seorang malaikat. Banyak ibu-ibu yang nyaris gila, sudah berhari-hari tidak menghiraukan anak-anak mereka. Mereka bingung dan putus asa. Sr Benedikta memperhatikan anak-anak yang malang itu, memandikan dan menyisir rambut mereka. Ia memberi contoh pengabdian yang tak kenal lelah, yang begitu baik, yang mengherankan semua orang.” Ny Bromberg, salah seorang yang ada di kamp konsentrasi bersama Edith Stein dan kemudian dibebaskan, memberikan kesaksian, “Perbedaan besar antara Edith Stein dan suster-suster lainnya adalah karena ia pendiam. Kesan pribadiku ialah bahwa ia sangat sedih tapi tidak takut. Satu hal yang dapat kukatakan bahwa ia memberi kesan harus memikul beban berat penderitaan, yang bahkan bila ia tersenyum, orang merasa terlebih sedih lagi. Ia hampir tidak berbicara, hanya seringkali ia memandangi kakaknya Rosa dengan amat sangat sedih. Pada saat aku menuliskan ini, muncul pikiran bahwa ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya dan orang lain. Sekali lagi, ini adalah kesanku: bahwa ia memikirkan penderitaan yang akan datang, bukan penderitaannya sendiri, karena ia terlalu tenang dan hampir kukatakan bahwa ia terlalu tenteram. Seluruh penampilannya sampai sekarang memberi aku kesan, bila aku membayangkannya lagi, duduk di muka barak: suatu patung pieta tanpa Kristus.” Prof Jan Nota, yang begitu dekat dengan Edith Stein, di kemudian hari menulis, “Ia adalah saksi kehadiran Tuhan dalam suatu dunia di mana Tuhan absen.” Bukankah jelas, dari penggalan kesaksian hidup orang lain inilah, Edith Stein hadir sebagai seorang rohaniwan yang mendalam sekaligus menawan?
- Cendekiawan:
Teresa Benedicta nama baptis biaranya. Ia bisa saja disapa, “Teresa” atau “Benedicta“, atau bahkan “Dicta.” Dicta sendiri bisa berarti, “terdidik dan tertata”. Yah, bukankah sejak kecil, Edith Stein cemerlang dalam akal budinya? Dia sungguh seorang pribadi yang “terdidik” dan “tertata”. Dalam perjalanannya menjadi seorang biarawati, Abbas Agung Raphael Walzer dari Biara Beuron pernah mendorongnya untuk menerima tawaran memberikan ceramah-ceramah. Dan, indahnya Edith menerima tawaran ini sebanyak mungkin, yang merupakan sarana baginya untuk mewartakan iman Katolik. Jadi Edith melewatkan hari-harinya sebagai seorang cendekiawan: Ia mengajar, memberikan kuliah, menulis dan menerjemahkan pelbagai buku. Ia memberikan ceramah-ceramah baik di Jerman maupun di luar negeri, dan segera saja ia terkenal sebagai seorang filsuf dan pengarang yang ternama. Edith belajar bahwa adalah mungkin untuk “mengejar ilmu pengetahuan sebagai suatu pelayanan kepada Tuhan. Hingga aku memahami hal ini maka aku mulai secara serius menekuni karya akademis kembali.” Sebagai seorang cendekiawan, Edith Stein bekerja keras luar biasa: Ia menerjemahkan surat-surat dan buku harian Kardinal Newman dari masa sebelum ia menjadi Katolik, pula Quaestiones Disputatae de Veritate tulisan St Thomas Aquinas: “Pada masa menjelang dan awal pertobatanku, aku pikir bahwa melewatkan suatu kehidupan religius berarti meninggalkan segala hal-hal duniawi dan mengarahkan akal budi pada hal-hal ilahi saja. Namun demikian, perlahan-lahan, aku belajar bahwa hal-hal lain juga diharapkan dari kita di dunia ini…. Aku bahkan percaya bahwa semakin seorang tenggelam dalam Tuhan, semakin ia harus `mengatasi dirinya sendiri' dalam hal ini, yakni, masuk ke dalam dunia dan melaksanakan hidup ilahi di dalamnya.”
- Budayawan:
Ketika di biara Cologne, Edith Stein diberi ijin untuk memulai studi akademisnya kembali. Ia merasa memiliki suatu kesempatan dan tanggung jawab yang khas, terlebih sebagai seorang Katolik yang berdarah Yahudi. Ia ingin menjembatani jurang pemisah antara pemahaman Kristiani dan Yahudi dengan sebuah pendekatan kultural. Ia menulis buku “Kehidupan sebuah Keluarga Yahudi”. Yah, sebuah buku tentang kisah hidupnya bersama keluarganya. Lewat kacamata budaya, ia berusaha menunjukkan kesamaan pengalaman manusiawi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristiani dalam kehidupan sehari-hari: “Aku hanya ingin menceritakan apa yang aku alami sebagai bagian dari bangsa Yahudi. Bahwa kami yang dibesarkan dalam agama Yahudi mempunyai kewajiban untuk menjadi saksi kepada generasi muda yang dibesarkan dalam kebencian rasial dari sejak awal kanak-kanak.”
2. Teresa:
TEguhkan iman, REsapkan pengalaman, SAlib jadi andalan.
Nama baptis biara dari Edith Stein adalah Sr Teresa Benedicta. Kata “Teresa” sendiri secara sederhana, bisa berarti tiga sikap dasar, yang juga dia hayati secara penuh, utuh dan menyeluruh, yakni:
- Teguhkan iman:
“Mereka yang menggabungkan diri dengan Ordo Karmelit tidak hilang bagi orang-orang terdekat dan terkasih, melainkan dimenangkan bagi mereka, sebab adalah panggilan kami untuk menjadi perantara semua orang kepada Tuhan.” PNiatnya untuk hidup membiara semakin diteguhkan setelah dia menerima Sakramen Krisma. Tetapi niat ini harus ditundanya seturut nasehat pembimbing rohaninya. Dia tidak kecewa tetapi melihat peristiwa ini dalam kacamata iman. Alasan utamanya adalah untuk menjaga perasaan ibunya. Karena ketika dia dibaptis, ibunya sangat terpukul atas keputusan Edith menjadi Katolik, apalagi keputusannya untuk masuk biara. Edith tahu persis akan perasaan ibunya yang sangat mencintai anak bungsunya ini. Setelah sekian lama menanti, pada tahun 1933 dia masuk dalam biara Karmelit. Pada tanggal 10 April 1934, dia mengenakan jubah Karmel. Namanya diganti menjadi Sr. Teresa Benedikta dari Salib. Ketika ia mengucapkan kaul kekal pada tanggal 21 April 1938, kata-kata St Yohanes dari Salib dituliskan pada gambar devosionalnya, “Sejak saat ini, satu-satunya panggilanku adalah mencinta.” (Studinya mengenai St. Yohanes dari Salib diberinya judul: “Kreuzeswissenschaft”, Ilmu tentang Salib; karyanya yang tak pernah terselesaikan). Sebuah kisah nyata bahwa imannya sungguh teguh: pada tanggal 7 Agustus, pagi-pagi benar, Edith Stein dan Rosa bersama sembilan ratusan orang Yahudi dideportasi ke Auschwitz, Polandia dengan kereta api. Dalam perjalanan, kira-kira pukul 12 siang, mereka tiba di Schifferstadt. Edith meminta petugas kereta api untuk menyampaikan salam kepada keluarga P. Schwind (pembimbing rohaninya yang telah wafat), yang tinggal di kota ini: “Saya diperjalanan ke arah timur! Ke arah timur! Ad orientem! Menuju kepada terang!” Yah, imannya sungguh diteguhkan Tuhan.
- Resapkan pengalaman:
Perjalanannya menjadi orang Katolik bukan hal mudah. Dia melalui perjumpaan-perjumpaan yang bersifat kebetulan, entah secara intelektual, personal atau komunal. Satu hal yang jelas, bahwa pelbagai perjumpaan dengan orang lain membuka matanya untuk semakin meresapkan pengalamannya akan Kristus. Beberapa pengalaman sederhana itu, antara lain:
a. Janda Reinach yang tetap tegar dan tabah setelah kematian suaminya. Adolf Reinach adalah sahabat baik Edith Stein di Göttingen. Ketika Reinach meninggal pada bulan November 1917, Edith pergi ke Göttingen untuk mengunjungi istri Reinach. Ia terkesima ketika menjumpai dan mengalami ketegaran hati istri Reinach. Baginya, dia adalah seorang perempuan penuh iman. “Inilah perjumpaan pertamaku dengan Salib dan kuasa ilahi yang diberikan kepada mereka yang menanggungnya … itulah saat ketika ketidakpercayaanku hancur dan Kristus mulai menyinarkan terang-Nya atasku - Kristus dalam misteri Salib.”
b. Seorang wanita yang masuk ke dalam Gereja Katedral di Frankfurt. Wanita ini sambil membawa keranjang dari pasar, ia berlutut untuk berdoa sebentar di dalam gereja: “Ini sesuatu yang sama sekali baru bagiku. Di sinagoga-sinagoga dan di gereja-gereja Protestan yang telah aku kunjungi, orang hanya pergi menghadiri kebaktian. Tetapi di sini, aku melihat seorang yang datang tepat dari keramaian pasar ke dalam gereja kosong ini, seolah ia hendak mengadakan suatu percakapan yang mesra. Ini sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan.”
c. Seorang petani dan keluarganya berdoa bersama dengan karyawan-karyawannya dan memberikan salam kepadanya di suatu pagi.
d. Menjelang masuk ke Ordo Karmelit: Pada tahun 1933, Edith bertemu dengan Priorin Biara Karmelit di Cologne. Ketika diberitahukan kepadanya bahwa ia tidak usah berharap dapat melanjutkan karya ilmiahnya di Karmel, Edith menjawab sepenuh hati, “Karya manusia tak ada gunanya, yang berarti hanyalah sengsara Kristus. Dan adalah kerinduanku untuk ikut ambil bagian di dalamnya.” Yah, pada tanggal 21 April 1935, Edith Stein mengucapkan kaul sementara, dan menulis, “Seorang Karmelit dapat membalas kasih Tuhan dengan melaksanakan tugas kewajiban sehari-hari dengan setia dan penuh bakti …. Inilah `jalan kecil', suatu rangkaian bunga yang disusun dari bunga-bunga kecil tak berharga yang setiap hari ditempatkan di hadapan Allah yang Mahakuasa - mungkin suatu kemartiran dalam diam, sepanjang hidup, yang tak diketahui orang dan yang pada saat bersamaan adalah sumber damai mendalam dan sukacita sejati dan sumber rahmat yang meluapi semuanya - kita tidak tahu kemana ia pergi, dan orang-orang yang menerimanya tidak tahu darimana ia berasal.”
- Salib jadi andalan:
“Aku memahami salib sebagai takdir umat Allah,
yang mulai tampak pada waktu itu.
Aku merasa bahwa mereka yang memahami Salib Kristus
hendaknya membebankannya pada diri mereka sendiri atas nama semua orang.
Tentu saja, aku tahu dengan lebih baik sekarang
apa artinya dikawinkan dengan Tuhan dalam Tanda Salib.
Namun demikian, orang tidak akan pernah dapat memahaminya,
sebab itu suatu misteri.”
(Edith Stein, 1938)
Ketika masuk biara, Edith Stein menjadi “Sr. Teresa Benedikta dari Salib”. Mengapa “dari Salib?” Nama dari Salib dia pilih karena begitu besar cinta dan penghayatan imannya kepada Yesus yang tersalib. Disinilah, saya mengangkat dua pengalaman salibnya, antara lain:
- Pada saat Pesta Salib Suci tanggal 14 September 1936, Edith harus menanggung salib demi cintanya kepada Tuhan. Tanggal itu adalah hari dimana Edith memperbaharui kaul kebiaraannya sekaligus hari kematian ibunya. Edith Stein berjuang menerima semua peristiwa itu sebagai rencana Allah.
- Tanggal 2 Agustus 1942 adalah babak baru baginya untuk lebih mencintai Tuhan lewat salibnya. Dia ditangkap oleh tentara Nazi karena ia adalah orang Yahudi. Penangkapan ini sebenarnya merupakan suatu kesalahpahaman dari priorinnya yang menyangka tentara Nazi itu adalah petugas imigrasi. Tetapi ia yakin bahwa peristiwa penangkapan dirinya ini adalah bagian dari rencana Allah. Dia tidak marah apalagi dendam, malahan dalam deritanya dia berusaha menghibur saudari-saudarinya di Biara Echt dengan mengirim surat kepada mereka. Dia sendiri dinyatakan meninggal pada tanggal 9 Agustus 1942 (data ini berdasarkan pada sebuah dokumen yang diterbitkan oleh Palang Merah Belanda pada 15 Februari 1950).
Yah, Edith Stein mengajak kita untuk merenungkan alasan mencintai salib itu bukan hanya demi mengenang perjalanan penuh derita Tuhan Yesus. Ia juga menegaskan bahwa Kristus tidak memanggul salibnya sendiri, tapi ada orang-orang yang turut ambil bagian, misalnya: Maria, Simon dari Kirene, Veronika. Mereka membantu Yesus demi cintanya kepada-Nya. Dalam pemaknaan inilah, Edith Stein ikut ‘memeluk’ salib itu. Secara kontemplatif, memeluk bisa berarti: menjadi satu, erat tak terpisahkan lagi, masuk dalam realitas itu dan realitas itu menjadi bagian dari dirinya. Satu hal yang pasti: salib itu nampak jelas pada ‘nyala Auschwitz’ yang mengantarnya pada kemartiran.
Pada tahun 1941, ia juga pernah menulis kepada seorang sahabatnya di ordo Karmelit: “Orang hanya dapat memperoleh scientia crucis (pengetahuan tentang salib) jika orang telah secara mendalam mengalami salib itu sendiri. Aku yakin akan hal ini sejak dari saat pertama dan seterusnya dan mengatakannya dengan segenap hatiku: `Ave, Crux, Spes unica!” (Aku menyambut Engkau, wahai Salib, satu-satunya pengharapan kami).” Edith Stein sungguh memaknai bahwa pengalaman salib sungguh menjadi pengalaman andalan. Disinilah, baik kita juga melihat dan mengingat kembali sebuah pernyataan iman Paus Yohanes Paulus II pada saat beatifikasi Edith Stein di Cologne pada 1 Mei 1987: “Kita membungkuk hormat di hadapan kesaksian hidup dan mati Edith Stein, seorang puteri Israel yang luar biasa dan sekaligus seorang puteri Ordo Karmelit, Suster Teresa Benedikta dari Salib, suatu pribadi yang mempersatukan dalam kehidupannya yang kaya, suatu perpaduan dramatis dari abad kita. Perpaduan dari suatu sejarah yang penuh luka mendalam yang masih menyakitkan dan juga perpaduan akan kebenaran penuh mengenai manusia. Semuanya ini menyatu dalam sebentuk hati yang terus-menerus gelisah dan tak tenang hingga akhirnya ia beroleh istirahat dalam Tuhan.”
EPILOG
“Aku tidak pernah tahu bahwa orang dapat seperti ini,
Aku juga tidak tahu bahwa saudara dan saudariku
akan harus menderita seperti ini. …
Aku berdoa bagi mereka setiap saat.
Adakah Tuhan mendengarkan doa-doaku?
Tentu Ia akan mendengarkan mereka dalam sengsara mereka.”
(Edith Stein)
Bukankah setiap orang memiliki “pengalaman salib” nya masing-masing? “Pengalaman salib” sulit untuk dimengerti oleh orang yang belum memahami arti salib, bukan? Maka bahasa hati yang dapat memahaminya, bahwa segala sesuatu yang buruk tidak selalu buruk bagi pertumbuhan rohani. Kadang-kadang keadaan tersalib malah melahirkan orang-orang yang tahan banting dan tabah terhadap segala tantangan. Kadang juga pengalaman salib memunculkan suatu kesadaran untuk memeluk penderitaan sebagai wujud cinta kasih yang tak terbatas dan wujud konkret cinta kepada Kristus. Yang pasti, saat-saat yang sulit merupakan saat-saat yang menantang iman, bukan? Iman menjadi lebih teguh dan murni jika dihadapkan pada situasi yang sulit, bukan? Bukankah tantangan akan memperkuat iman setiap orang? Edith Stein telah membuktikan kualitas imannya: “Ave Crux, Spes Unica! Salam, hai Salib, harapanku yang utama!”. Bagaimana dengan kita sendiri?
ASPIRASI
“Apapun yang tidak sesuai dengan rencanaku sendiri sungguh berada dalam rencana Allah. Aku bahkan memiliki keyakinan yang terlebih mendalam dan terlebih teguh lagi bahwa tak suatupun yang sekedar kebetulan belaka apabila dilihat dalam terang Tuhan, bahwa seluruh hidupku hingga ke hal-hal yang paling detil sekalipun telah dirancangkan bagiku dalam rencana Penyelenggaraan Ilahi dan memiliki makna yang sepenuhnya dan logis dalam pandangan Tuhan yang melihat semuanya. Jadi aku mulai bersukacita dalam terang kemuliaan di mana makna ini akan disingkapkan bagiku.”
(Edith Stein)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar