Ads 468x60px

TUMBUK AGENG 64 TAHUN PERTAPAAN ST MARIA - OCSO (TRAPPIST) RAWASENENG 1953 – 2017 part 3



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK:
TUMBUK AGENG
64 TAHUN PERTAPAAN ST MARIA - OCSO (TRAPPIST) RAWASENENG
1953 – 2017

A.
ORDO CISTERCIENSIS / TRAPPIST
Pada tahun 1098, sejumlah rahib dari biara Benediktin di Molesme, Perancis, dipimpin oleh St. Robertus, Alberikus dan Stefanus Harding, meninggalkan biara mereka dan membuka hutan Cîteaux (dekat kota Dijon) untuk mendirikan biara yang baru.
Di Cîteaux, mereka menjalankan hidup bertapa secara keras, yang mereka anggap lebih sesuai dengan semangat asli St. Benediktus. Mereka sangat menekankan kesederhanaan dan kerja tangan, yang menurut hemat mereka sudah kurang mendapat perhatian di biara Molesme. Dari nama “Cîteaux” inilah muncul nama “Ordo Cisterciensis”.
Beberapa waktu lamanya tak seorang pun bersedia menggabungkan diri dengan para rahib Cîteaux, karena takut melihat cara hidup mereka yang keras. Hal ini membuat para rahib gelisah dan putus asa. Siang malam dengan mencucur¬kan air mata mereka mohon panggilan-panggilan baru kepada Tuhan.
Ternyata doa mereka tidak sia-sia. Pada tahun 1112, di luar dugaan, karena belas kasih-Nya, Allah mengirimkan pemuda Bernardus bersama 30 orang sanak saudara dan temannya masuk ke biara Cîteaux.
Berkat pengaruh St. Bernardus, dalam beberapa dekade saja Ordo Cisterciensis sudah meluaskan sayapnya di benua Eropa. Sebelum St. Bernardus wafat pada tahun 1153, hampir 350 buah biara Cisterciensis sudah tersebar di seluruh Eropa.
Sayang kejayaan ini tidak bersifat langgeng. Sejak abad XIV, kemerosotan mulai menggerogoti Ordo dan kecemerlangan Cisterciensis semakin memudar. Kemerosotan ini antara lain disebabkan juga oleh wabah penyakit pes, peperangan-peperangan, skisma, dan timbulnya Reformasi Protestan.
Meskipun demikian, tiap kali selalu ada biara-biara yang ingin membarui diri. Dalam abad XVII, ada biara-biara yang ingin kembali ke semangat asli dan menamakan diri biara-biara ”Observansi Ketat”.
Salah satu di antaranya adalah biara La Trappe, yang dari tahun 1664-1700 dipimpin oleh Abas De Rancé. Semangat pembaruan biara "La Trappe" (cikal bakal lahirnya sebutan para "trappist") mempunyai pengaruh besar terhadap biara-biara Cisterciensis Observansi Ketat lainnya di Perancis.
Pada saat Revolusi Perancis (akhir abad XVIII) berlangsung, hampir semua biara Cisterciensis, baik di Perancis maupun di negara-negara lainnya, disapu bersih oleh Napoleon.
Sesudah jatuhnya Napoleon (1814), para rahib yang masih bertahan berusaha mendirikan kembali biara-biara mereka. Sejak saat itu, para rahib yang melanjutkan pembaruan La Trappe lebih dikenal sebagai “rahib Trappist”.
Sementara itu, sebagian dari biara-biara Cisterciensis lain yang tidak mengikuti pembaruan La Trappe juga hidup kembali.
Dengan demikian dewasa ini, ada dua Ordo Cisterciensis yaitu: Sacer Ordo Cisterciensis (S.O.Cist.) yang juga disebut “Ordo Cisterciensis Observansi Umum”, dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau “Ordo Cisterciensis Observansi Ketat”, yang juga dikenal sebagai “Ordo Trappist”. Kedua Ordo tersebut, terdiri dari dua cabang, yaitu cabang pria (para rahib) dan cabang wanita (para rubiah).
B.
PERTAPAAN RAWASENENG
Rawaseneng adalah nama sebuah dusun kecil, 14 km dari kota Temanggung di Jawa Tengah, tepatnya di wilayah desa Ngemplak, kecamatan Kandangan. Di sana, sebuah komunitas para rahib dari Ordo Trappist hidup berdampingan dengan masyarakat pedusunan.
Sebelum digunakan untuk pertapaan, pada tahun 1936 berdirilah sekolah pertanian asuhan para Bruder Budi Mulia. Namun, ketika terjadi pertempuran pada tahun 1948, sekolah beserta asrama, biara dan bangunan gereja yang ada, dibumihanguskan sehingga yang tersisa tinggal puing-puing.
Pada tahun 1950, Pater Bavo van der Ham, seorang rahib Trappist dari biara Koningshoeven-Tilburg, negeri Belanda, datang ke Indonesia untuk menjajaki segala kemungkinan bagi pendirian biara cabang (“biara anak”).
Setelah mengunjungi beberapa tempat di Jawa Tengah, akhirnya pilihan jatuh pada Rawaseneng dan mulailah dibangun pertapaan di atas puing-puing bekas sekolah pertanian. Tiga tahun kemudian, tanggal 1 April 1953, pertapaan Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng dibuka secara resmi sebagai cabang dari pertapaan induk di Tilburg.
Sedikit demi sedikit berdatangan para pemuda yang ingin menggabungkan diri hingga pada tanggal 26 Desember 1958 pertapaan Rawaseneng diangkat menjadi biara otonom dengan status keprioran.
Pada tanggal 23 April 1978, dalam rangka Pesta Perak berdirinya biara, status pertapaan maju setapak lagi menjadi Keabasan. Rm. Frans Harjawiyata terpilih men¬jadi Abasnya yang pertama. Sejak 16 Oktober 2006, Rm. Frans meletakkan jabatannya sebagai abas dan digantikan oleh Rm. Gonzaga Rudiyat yang menggembalakan komunitas para rahib Rawaseneng hingga saat ini.
Pertapaan Rawaseneng merupakan biara Trappist pria pertama di Indonesia. Namun, sejak tahun 1997, dimulailah kehidupan biara cabang di Flores, tepatnya di desa Lamanabi, di Keuskupan Larantuka. Selain biara pria, biara Trappist wanita (atau lebih dikenal “Trappistin”) sudah dibuka secara resmi pada awal tahun 1987, di Gedono, Salatiga, Jawa Tengah.

C.
REFLEKSI:
Sebuah Kerasulan Tersembunyi
Setiap komunitas monastik diarahkan sepenuhnya kepada kontemplasi, persatuan utuh (budi-batin) dengan Allah. Seturut arah hidup itu, setiap rahib dan rubiah mengabdikan diri kepada Allah dengan menghayati kasih persaudaraan, kesunyian dan diam diri, doa dan kerja, serta tertib hidup monastik.
Melalui penggabungan tetap di biara sebagai “sekolah pengabdian Tuhan”, masing-masing rahib dan rubiah dilatih menertibkan hati dan tindakan guna mencapai kemurnian hati dan kesadaran terus-menerus akan Allah yang hadir.
Berkat ikatan cinta kasih, komunitas para rahib Rawaseneng mempersembahkan hidup untuk mencari Allah dan mengikuti Kristus, dalam pingitan biara Trappist. Hidup komunitasnya ditata menurut Peraturan St. Benediktus (PSB) dalam reksa pastoral seorang abas. Dalam tata hidup Benediktin-Cisterciensis yang khas itu, para rahib dan rubiah turut serta mengembangkan Tubuh Mistik Kristus berkat kesuburan “kerasulan yang tersembunyi”.
Wujud khas dari kerasulan monastik adalah hidup doa yang tak kunjung henti, terutama melalui praktik ibadat harian (ofisi) atau Opus Dei. Selain itu, mereka juga melakukan bacaan rohani (Lectio Divina) dan kerja tangan (Opus Manuale), serta mengembangkan hospitalitas melalui pendampingan para tamu supaya “dalam segalanya, Allah dimuliakan” (Peraturan St. Benediktus 57:9).
======
Memanusiakan Manusia
Rahib berolah diri
Untuk jadi orang damai:
Mapan, sopan
Baik, iba
Kebapaan, Keibuan
Tenang, Hening
Sendang Bening
Siapa pun boleh minum ...
Rendah hati
Tercerap Roh
Ramah Tanpa dibuat-buat
Tampil Empuk
Hadir Sejuk
Siapa pun boleh reguk ...
Budi, Hati
Ilmu, Cinta
Tumbuh Beranting Berbuah
Mewah Makmur
Merah Anggur
Siapa pun Bisa Terhibur ...
Rahib Asli
Mengemban Misi
Bagai Titik-Temu Bagi
Gurun Tandus
Dan Cinta Kristus:
Siapa pun Dicinta Khusus!
Rahib berusaha menjadi manusia
Yang memanusiakan Manusia.....
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

TUMBUK AGENG 64 TAHUN PERTAPAAN ST MARIA - OCSO (TRAPPIST) RAWASENENG 1953 – 2017 part 2



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK:
TUMBUK AGENG
64 TAHUN PERTAPAAN ST MARIA - OCSO (TRAPPIST) RAWASENENG
1953 – 2017
Hari ini, Jumat 25 Agustus 2017 adalah perayaan peringatan pemberkatan Gereja Pertapaan St Maria Rawaseneng yang persis di tahun 2017 ini memperingati hari jadinya yang ke-64.
Orang Jawa bilang, “tumbuk ageng”. Adapun "tumbuk alit", dimulai ketika seorang manusia berusia 8 tahun, masa anak-anak. Kemudian berlanjut, 8 x 2 = 16. 16 adalah awal masa remaja. Kemudian, 16x2 = 32, adalah awal masa dewasa.
Dan indahnya, 32x2 = 64. Karena 64x2 = 128 dan secara sederhana, tidak ada orang yang usia hidupnya sampai 128 tahun), maka umur 64 sendiri adalah awal masa kematangan, ketika seorang pribadi sudah semakin bijaksana dan kaya dalam olah-alih pengalaman dan otak-atik pemaknaan. Itulah juga yang diharapkan dari sebuah komunitas pertapaan di Dusun Rawaseneng ini.
A.
PROLOG
Kata bertapa sering anda dengar. Anda bisa mengartikan bermacam-macam. Pergi ke tempat sunyi, jauh dari kebisingan, ke gua-gua, kuburan atau makam keramat, tepi laut dan sebagainya.
Maksudnya? Mencari kesaktian, pangkat, kekayaan, umur panjang, pokoknya apa saja bisa menjadi alasan untuk bertapa. Caranya? Sering berpuasa, mati raga, berjaga, tidak tidur semalam suntuk, bersamadi dan sebagainya.
Itukah juga corak bertapa yang dilakukan para biarawan di Rawaseneng?
Adapun kata lain untuk pertapa, yang aslinya adalah kata Arab "Rahib" dan untuk pertapa wanitanya disebut "Rubiah". Umumnya di Indonesia, kata rahib digunakan untuk pertapa Kristiani. Hidup bertapanya disebut juga hidup kerahiban. Kata ini mau menerjemahkan kata Latin: "monachus". Dan bahasa Latin itu juga mengambil alih kata Yunani, yang berarti: tersendiri, menyendiri atau orang yang hidup menyendiri, mcngasingkan diri dari masyarakat ramai.

B.
SKETSA HISTORIS
1.
Asal Usul Hidup Kerahiban Kristiani.
Gerakan hidup kerahiban mulai timbul sekitar permulaan abad IV, di padang gurun Mesir sekitar bengawan Nil.
Gerakan ini didorong oleh keinginan batin yang berkobar-kobar untuk menghayati hidup Kristen secara radikal dan konsekuen.
Mereka menjadi rahib bukan untuk mengajar atau merasul, melainkan dengan tujuan utama: mau menjalani dan menghayati cita-cita Injili sebaik dan seradikal mungkin.
Apakah sebetulnya cita-cita Injili itu? Intinya dapat dikatakan: bersatu seerat-eratnya dengan Allah melalui Kristus (hal ini diungkapkan dengan macam-macam cara, misalnya: Kerajaan Allah, Keselamatan, Kebahagiaan Kekal).
Untuk mencapai cita-cita ini mereka mengasingkan diri dari “dunia”, masuk ke dalam kesunyian gurun. Mereka menjalani laku tapa yang keras, mengingkari hal-hal duniawi dan berdoa tanpa kunjung henti.
Dorongan batin untuk menghayati cita-cita Injili seradikal mungkin ini dituangkan dalam macam-macam bentuk. Umumnya dapat dibedakan dua golongan besar rahib: mereka yang hidup sendiri-sendiri disebut eremit. Dan para rahib yang hidup bersama dalam satu biara, disebut senobit. Bapak dan tokoh eremit yang terkenal di Mesir ialah S. Antonius (250-356). Riwayat hidupnya dikarang oleh S. Atanasius. Sedang bapak para senobit ialah S. Pakhomeus (290-346).
Hidup dan ajaran para rahib Mesir ini berhasil diperkenalkan ke Gereja Barat, antara lain melalui tulisan-tulisan S. Atanasius, S. Hironimus dan Yobanes Kasianus. Di antara para rahib Barat, S. Benediktuslah yang dapat dikatakan sebagai penegak dan bapak kerahiban Barat. Khususnya pengaruh S. Benediktus semakin meluas berkat "PSB", semacam peraturan hidup kerahiban yang disusunnya.
2. Santo Benediktus dan Peraturannya.
S. Benediktus lahir di Nursia, Italia, pada tahun 480 dari keluarga bangsawan. Sebagai mana layaknya putera-putera bangsawan waktu itu, pemuda Benediktus dikirim oleh ayahnya ke Roma untuk menuntut ilmu supaya kelak menda¬pat kedudukan terhormat dalam masyarakat.
Namun tak lama sesudah tiba di Roma, Benediktus mengubah arah hidupnya. S. Gregorius Agung, pengarang riwayat hidupnya mengatakan: “Ketika didapatinya banyak mahasiswa bejat hidupnya, dibuatnya keputusan untuk meninggalkan dunia yang baru saja hendak dimasukinya itu. Sebab ia takut, kalau ia ikut mencicipi ilmu mereka, ia akan turut mereka tercebur ke dalam kebinasaan. Jadi ditinggalkannya studi, keluarga dan warisannya. Dipeluknya hidup kerahiban karena ia mau menyenangkan Allah semata-mata. Dalam mengambil langkah ini ia sadar sepenuhnya bahwa ia mengurbankan ilmu. Ia sungguh berhikmat meskipun tak sangat terpelajar”.
Pergilah pemuda Benediktus ke Subiaco dan menjadi eremit dalam sebuah gua selama tiga tahun.
Rupanya Tuhan mempunyai rencana lain dalam hidup Benediktus. Ia mulai dikenal, banyak orang datang untuk meminta nasehat dan bimbingannya.
Kemudian ia berhasil mendirikan 12 pertapaan kecil, masing-masing beranggotakan 12 orang rahib dengan seorang pemimpin yang disebut Abas. MulaiIah ia merintis hidup senobit bagi para rahibnya.
Karena iri hati seorang imam bernama Florensius, Benediktus dan para rahibnya terpaksa mengungsi dari Subiaco ke Monte Cassino, dekat kota Napoli.
Disana, ia mendirikan pertapaan baru, yang sampai sekarang masih ada. Disana, ia juga menyusun sebuah anggaran dasar atau peraturan yang mengatur hidup para rahibnya. Di sana pula ia tutup usia pada tanggal 21 Maret 547.
3. Ordo Cisterciensis/Trappist.
Pada tahun 1098, sejumlah rahib dari biara Benediktin di Molesme, Perancis, dipimpin oleh S. Robertus, Alberikus dan Stefanus Harding, meninggalkan biara mereka dan membuka hutan Citeaux (dekat kota Dijon) sebagai tempat untuk biara mereka yang baru.
Di Citeaux ini, mereka menjalankan hidup bertapa secara keras, yang mereka anggap lebih sesuai dengan semangat asli S. Benediktus.
Mereka khususnya menekankan kesederhanaan dan kerja tangan, yang menurut hemat mereka sudah kurang mendapat perhatian di biara Molesme. Dari nama Citeaux inilah muncul nama Ordo Cisterciensis.
Beberapa waktu lamanya tak seorangpun mau menggabungkan diri dengan para rahib Citeaux, karena takut melihat cara hidup mereka yang keras.
Hal ini membuat para rahib gelisah dan putus asa. Siang malam dengan mencucurkan air mata mereka mohon panggilan kepada Tuhan. Ternyata doa mereka tidak sia-sia. Pada tahun 1112, di luar dugaan, rahmat Allah mengirimkan pemuda Bernardus bersama 30 orang sanak saudara dan temannya sekaligus masuk biara Citeaux.
Berkat pengaruh S. Bernardus dalam beberapa dekade saja Ordo Cisterciensis meluaskan sayapnya di benua Eropa.
Sebelum S. Bernardus wafat pada tahun 1153, sudah ter¬sebar hampir 350 buah biara Cisterciensis di seluruh Eropa.
Sayang kejayaan ini tidak bersifat langgeng. Sejak abad XIV kemerosotan mulai menggerogoti Ordo, kecemerlangan Cisterciensis semakin memudar.
Kemerosotan ini antara lain disebabkan juga oleh wabah penyakit pes, peperangan-peperangan, skisma dan timbulnya Reformasi Protestan.
Meskipun demikian tiap kali ada saja biara-biara yang ingin membarui diri. Dalam abad XVII ada juga biara-biara yang ingin kembali ke semangat asli dan menamakan diri biara-biara Observansi Tertib. Salah satu di antaranya adalah biara La Trappe yang dari tahun 1664- 1700 dipimpin oleh Abas De Rancé. Adapun, semangat pembaruan biara La Trappe mempunyai pengaruh besar terhadap biara-biara lainnya di Perancis.
Pada Revolusi Perancis (akhir abad XVIII) hampir semua biara Cisterciensis, baik di Perancis maupun di negara-negara lainnya, disapu bersih oleh Napoleon.
Sesudah jatuhnya. Napoleon (1814) para rahib yang masih bertahan mendirikan biara-biara lagi. Sejak waktu itu para rahib yang melanjutkan pembaruan La Trappe lebih dikenal sebagai rahib Trappist. Sebagian dari biara-biara Cisterciensis yang tidak mengikuti pembaruan La Trappe juga hidup kembali.
Dengan demikian, dewasa ini ada dua Ordo Cisterciensis yaitu: Sacer Ordo Cisterciensis (S.O.Cist.) yang juga disebut Ordo Cisterciensis Observansi Umum dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau Ordo Cisterciensis Observansi Tertib, yang juga dikenal sebagai Ordo Trappist.
Kedua Ordo tersebut terdiri dari biara-biara rahib dan biara-biara rubiah. Dengan kata lain kedua Ordo terdiri dari dua cabang, yaitu cabang pria dan cabang wanita
4. Pertapaan Rawaseneng.
Rawaseneng adalah nama sebuah desa kecil, 14 Km dari kota Temanggung di Jawa Tengah. Agak jauh dari desa, di pelosok, berdampingan dengan masyarakat pedesaan terletak sebuah pertapaan dari Ordo Trappist.
Sebelum digunakan untuk pertapaan, pada tahun 1936 berdirilah di sana sekolah pertanian asuhan para Bruder Budi Mulia.
Ketika pecah "clash action" pada tahun 1948, sekolah beserta asrama, biara dan bangunan gereja yang ada, dibumihanguskan
sehingga tinggal puing-puing.
Pada tahun 1950 datang ke Indonesia Pater Bavo van der Ham, seorang rahib Trappist dari biara Koningshoeven-Tilburg, negeri Belanda, untuk menjajaki segala kemungkinan bagi pendirian biara cabang.
Setelah mengunjungi beberapa tempat di Jawa Tengah, akhirnya pilihan jatuh pada Rawaseneng. Mulailah dibangun pertapaan di atas puing-puing bekas sekolah pertanian.
Tiga tahun kemudian, tanggal 1 April 1953, pertapaan Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng di buka secara resmi sebagai cabang dari pertapaan induk di Tilburg.
Sedikit demi sedikit berdatangan para pemuda yang ingin menggabungkan diri. Sehingga pada tanggal 26 Desember 1958 pertapaan Rawaseneng diangkat menjadi biara otonom dengan status keprioran.
Pada tanggal 23 April 1978 dalam rangka Pesta Perak berdirinya biara, status pertapaan maju setapak lagi menjadi Keabasan. Rm. Frans Harjawiyata terpiih menjadi Abasnya yang pertama.
Rawaseneng sendiri merupakan satu-satunya biara Trappist pria di Indonesia. Tetapi pada akhir tahun 1995 pertapaan Rawaseneng mulai mengadakan pra fundasi di Flores di Keuskupan Larantuka. Jumlah anggota pertapaan Rawaseneng pada awal tahun 1996 ada 47 rahib. Biara Trappist wanita sudah dibuka secara resmi pada awal tahun 1987 di Gedono, dekat Salatiga, Jawa Tengah. Pada awal tahun 1996 jumlah anggotanya ada 27 rubiah.
C. CORAK KEHIDUPANNYA
1. Panggilan Menjadi Rahib.
Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang dibaktikan kepada doa.
Seorang rahib mengundurkan diri dari “dunia” dan sesama saudaranya, bukan karena, ia tak mau ambil pusing akan keselamatan mereka, melainkan karena dengan pang¬ilannya itu ia justru ingin menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Apakah yang ingin disumbangkannya?
Secara singkat dapat dikatakan panggilan seorang rahib mengingatkan sesamanya akan nilai-nilai rohani yang harus diperjuangkan dan dijunjung tinggi.
Seorang rahib menjadi semacam tanda, suatu petunjuk, untuk memberikan kesaksian akan keagungan kasih Allah dan akan per-saudaraan akan semua orang dalam Kristus. Itulah panggilan hidupnya, sekaligus sumbangannya yang utama.
Panggilan hidup itu dijalankan dalam kesunyian. Kesunyian yang merupakan sarana untuk memudahkan setiap orang bertemu dengan Tuhan, bagi rahib menjadi suatu kebutuhan permanen dalam menghayati panggilan hidupnya. S. Antonius pernah berkata, “Sebagaimana ikan akan mati jika terlalu lama ditaruh di darat, demikian pun rahib akan hancur jika terlalu laina tinggal di luar kesunyian”.
Sebagai jawaban atas kasih Allah, rahib menjalani hidup yang dibaktikan kepada doa ini melalui sarana-sarana kerahiban lainnya: ketaatan, hidup wadat, kemiskinan, berjaga dan berpuasa, kekerasan hidup, kerja tangan, bacaan suci, ibadat bersama dan doa pribadi dalam keheningan. Semua sarana itu merupakan akibat dan tujuannya untuk hidup melulu bagi Allah.
Melalui semua sarana itu, rahib ingin mengungkapkan tekadnya untuk menjadikan Allah sungguh-sungguh pusat hidupnya. Dengan rendah hati dan tak kunjung henti, dengan segala usaha, ia mencari wajah Allahnya. Ia ingin seluruh hidupnya berakhir dan tercurah habis di hadapanNya dan untuk Dia. Karena Ia berhak atas persembahan diri itu. Hanya Dia melulu yang berhak memiliki persembahan hidup seutuhnya. Itulah hidup yang biasa disebut Kontemplatif, hidup yang sama sekali diarahkan sepenuhnya kepada persatuan dengan Allah.
Cita-cita hidup yang sederhana, mendalam dan indah ini tak dapat diraih tanpa pengurbanan. Seperti seseorang menemukan harta tak ternilai yang merebut seluruh minat perhatiannya, sehingga ia rela meninggalkan segalanya demi memiliki harta yang telah mempesona hatinya.
Begitulah kira-kira panggilan seorang rahib! Ia rela mengurbankan suatu kebaikan dan cinta demi kebaikan dan cinta yang lebih besar lagi. Hanya dengan keyakinan dan kesadaran inilah orang akan bertahan dengan tekun dan setia dalam panggilannya sebagai rahib. Ia melihat dalam hidup kerahibannya suatu panggilan akan adanya nilai yang lebih dan nilai-nilai lainnya, bahkan suatu nilai yang paling tinggi dan mutlak.
Kesadaran dan keyakinan inilah yang menyebabkan ia rela berjuang, bersama dan di dalam Kristus tanpa memanjakan diri sendiri, untuk mengalahkan kelekatan pada aku-nya supaya melekat pada Allah melulu. Inilah perjuangan yang membebaskan dia, sehingga menjadikan ia mampu mencintai Allah dengan segenap hati, segenap akal budi dan segenap tenaga. Itulah dambaan setiap rahib!
2. Hidup Bersama.
Rahib Cisterciensis termasuk golongan rahib senobit. Karena itu kehidupan bersama termasuk inti hidup mereka. Hidup bersama ini dinamakan juga hidup berkomunitas.
Kebersamaan ini terutama terletak dalam kebersamaan semangat, kebersamaan hati. Tetapi kebersamaan hati perlu diungkapkan dalam kebersamaan lahir. Karena itu dalam biara banyak latihan bersama: doa bersama, kerja bersama, makan bersama. Semua itu merupakan sarana untuk saling menguatkan dalam mengejar cita-cita bersama.
Tetapi dalam biara Cisterciensis, kesunyian juga termasuk inti hidupnya. Maka baik kebersamaan maupun kesunyian harus dijaga dan dijamin. Para rahib harus mengusahakan adanya keseimbangan antara kesunyian dan komunikasi.
Kesunyian di sini bukan berarti membisu total seumur hidup. Komunikasi antar sesama rahib diperkenankan meskipun dibatasi dan dengan tetap menjaga suasana hening dalam biara. Di samping latihan bersama ada juga saat-saat hening yang dapat digunakan secara leluasa oleh rahib sendiri-sendiri.
Setiap kehidupan bersama mengandaikan adanya seorang pemimpin. Begitupun setiap biara Cisterciensis yang bercorak senobit. Pemimpin biara disebut Abas, artinya bapak rohani.
Menurut S. Benediktus, bapak rohani yang sesungguhnya di dalam biara adalah Kristus sendiri. Abas diimani sebagai wakil Kristus dalam biara. Karena itu Abas harus memimpin para rahibnya menurut semangat Kristus sendiri, yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Abas harus melihat tugasnya lebih sebagai suatu pengabdian. Abas berperanan penting untuk me-nyatukan komunitas dalam mengejar cita-cita bersama. Ia juga menyadarkan dan mengarahkan komunitas kepada cita-cita Ordo.
3. Tiga Latihan Utama.
Doa bersama, bacaan suci dan kerja tangan sejak zaman dahulu menjadi tiga latihan dasar bagi pembentukan hidup rahib.
Bersama para saudaranya, rahib mengambil bagian dalam ibadat liturgis gerejani, yang disebut Ibadat Harian. Mereka memuji dan memohon kepada Allah di dalam Gereja dan sebagai anggota Gereja. Sebagai bagian dari Gereja, mereka bertugas menampakkan wajah Gereja yang berdoa.
Ibadat Harian di Rawaseneng dilakukan bersama tujuh kali sehari, dengan Perayaan Ekaristi sebagai puncaknya. Ibadat pertama sudah dimulai sejak pagi-pagi buta pukul 03.30 WIB sedangkan ibadat terakhir berlangsung pukul 19.45 WIB. Setiap ibadat sebagian besar terdiri dari mazmur dan kidung yang dinyanyikan.
Ibadat Harian akan mandul tanpa berbuah kalau tidak dijiwai secara pribadi. Oleh karena
itu rahib harus meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi.
Selain berfungsi sebagai jiwa ibadat, doa pribadi juga dimaksudkan untuk memperdalam hidup batin rahib. Doa batin-pribadi dengan doa liturgis-bersama saling mengisi dan memperkaya. Keduanya menjadi sarana utama bagi rahib untuk berdialog terus-menerus dengan Allah.
Karena doa merupakan dialog, maka per¬tama-tama rahib harus bersikap mendengarkan. Latihan mendengarkan suara Allah ini dilaksanakan secara khusus dalam bacaan suci atau Lectio Divina.
Lectio Divina dapat diartikan sebagai bacaan yang bemuara ke dalam doa. Karena itu dalam Lectio Divina ada unsur-unsur: membaca teks, meresapkannya dalam hati dengan cara mengulang-ulang, lalu secara spontan mengucap¬kan doa sebagai jawaban atas sentuhan rahmat yang diperoleh melalui teks tersebut.
Bahan utama Lectio Divina adalah Kitab Suci. Khususnya dengan mendengarkan suara Allah secara terus menerus dalam Kitab Suci, rahib semakin dibentuk dan diresapi oleh semangat Allah sendiri; ia semakin ditarik oleh-Nya untuk bersatu denganNya.
Tentu saja rahib tidak dapat hidup hanya dengan berdoa. Rahib harus bekerja juga. Kerja rahib terutama untuk mencari nafkah yang diperlukan bagi hidupnya. Menurut S. Benediktus rahib harus hidup dari hasil keringatnya sendiri, bukan dari bantuan atau derma orang lain.
Kerja di sini dapat dilihat pertama-tama sebagai suatu pelayanan dan pengabdian bagi sesama saudaranya sebiara.
Mata pencaharian utama rahib Rawaseneng ialah mengusahakan peternakan sapi perah dan perkebunan kopi. Dulu ada juga peternakan babi tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Di samping itu ada juga pembuatan kue kering dan roti tawar, susu pasteurisasi, yoghurt, keju, kebun buah-buahan dan sayur mayur.
Tentu saja semua pekerjaan tak mungkin ditangani oleh para rahib sendiri: Oleh karena itu ada banyak karyawan yang membantu mereka. Sehingga dengan peternakan dan perkebunan, secara tidak langsung pertapaan Rawaseneng menyediakan lapangan kerja bagi orang desa sekitarnya.
Selain bekerja dalam peternakan dan perkebunan, para rahib juga mengerjakan tugas-tugas lainnya, seperti di bidang administrasi, pertukangan kayu, bengkel, penjilidan dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya.
Ketiga latihan utama ini harus mendapatkan tempat yang seimbang dalam acara hidup harian rahib. Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini ialah supaya ketiga latihan mendapatkan waktu dan perhatian sedemikian rupa sehingga perkembangan hidup kerahiban para anggotanya dapat dijamin.
4. Kenyataan Hidup.
Apa yang sudah kita bicarakan sampai sekarang lebih menyoroti ideal hidup rahib Cisterciensis. Setiap orang yang mampu berpikir secara kritis pasti memahami bahwa dalam hidup ini sering terdapat ketidakcocokan antara ideal dan kenyataan. Sering dialami bahwa teori berbeda dari prakteknya. Bahkan kadang-kadang perbedaan itu demikian mencolok.
Di satu pihak kita harus tetap berpegang teguh pada cita-cita, pada ideal. Karena hidup tanpa suatu cita-cita luhur dan jelas, membuat orang berjalan tanpa arah.
Di lain pihak, kita harus berpijak pada kenyataan hidup yang real. Orang yang terlalu berpegang pada idealisme, sehingga melupakan kenyataan, dapat dikatakan pasti akan mengalami banyak kekecewaan dalam hidupnya.
Ada banyak alasan untuk menjadi kecewa! Kecewa karena ternyata saudara sebiaranya ma¬sih manusia biasa yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Kecewa karena melihat kurang adanya disiplin dalam hidup para rahibnya dan sebagainya. Bahkan dapat juga kecewa terhadap diri sendiri.
Selain itu suasana dan acara hidup yang senantiasa sama, monoton, dapat dirasa berat juga. Hidup Cisterciensis memang tak mengenal banyak variasi. Setiap hari seakan-akan sama saja: rentetan tugas dan kewajiban yang selalu terulang pada saat dan dengan cara-cara yang sama; bertemu dengan orang yang itu-itu juga.
Dkl: semuanya bisa membosankan, menjemukan, dapat menyebabkan rasa kering. Sehingga timbul keraguan: apakah aku terpanggil hidup sebagai rahib dengan saudara-saudara yang seperti ini? Di manakah Allah yang kucari? Apakah makna hidup ini? Semua terasa hambar, bahkan doaku yang dahulu begitu berkobar, sekarang menjadi gersang?
Bagi seorang rahib hidup ini tetap suatu perjuangan. Pada saat-saat kecewa, bosan dan pahit, ia seakan-akan ditantang kembali, untuk sekali lagi membarui niatnya yang semula. Selangkah demi selangkah ia harus menempuh jalan panjang untuk mencapai cita-citanya: berdaya upaya meneladan Kristus, menjadi kembaran Kristus dalam hal kebaikan dan kerendahan hati, kemurnian dan penyangkalan diri, ketaatan dan kesediaan hati untuk berkorban.
Dalam saat-saat seperti itulah ia dituntut untuk hidup lebih berdasarkan imannya. Pada saat itulah ia semakin disadarkan bahwa ia hidup bersama saudara-saudaranya bukan berdasarkan kesamaan hobby, bukan karena rasa cocok, bukan karena ikatan darah, melainkan pertama-tama karena kesatuan panggilan dan cita-cita.
Dalam saat seperti itu, ia disadarkan bahwa kebendak Tuhanlah yang telah membawa ia masuk ke dalam biara, bahwa ia tidak memilih sendiri saudara-saudara sebiara, demikianpun mereka tidak memilih dia, bahwa semua berada di biara karena dalam iman mau menjawab panggilan Tuhan. Dan bahwa bersama saudara-saudaranya inilah, ia telah mengikat diri seumur hidup dalam kaul stabilitas, untuk bersama-sama menanggung beban bersama menuju cita-cita bersama.

D.
PROSES FORMATIO
1. Tahapan Hidup Rahib.
Masuk ke dalam biara tidak berarti menjadi suci dalam waktu singkat. Tidak ada seorang pun yang menjadi rahib secara otomatis.
Seorang anggota baru tentu masih harus banyak menyesuaikan diri dengan irama hidup pertapaan, dengan sesama rahib yang menjadi saudara-saudara barunya, dengan segala suka duka hidup bersama.
Selama tahun pertama, yang disebut masa postulat, anggota baru dipersiapkan untuk secara berangsur-angsur beralih dari cara kehidupan di luar ke dalam cara kehidupan di pertapaan. Dalam tahap ini komunitas semakin mengenai dia, begitupun sebaliknya.
Sesudah menjalani masa postulat, ía diterima menjadi novis, mulailah tahap resmi dan hidup membiara. Dalam masa novisiat ini ia mendapat pembentukan dasar hidup kerahiban. Tahap novisiat dilangsungkan selama dua tahun.
Pada akhir masa novisiat, ia diperbolehkan mengikar diri pada komunitas dalam ikatan yang disebut kaul sementara (profes). Masa pembentukannya dalam tahap ini, yang disebut masa monastikat dimaksudkan untuk memperdalam dan mengembangkan pembentukan dasar yang telah diperoleh di novisiat. Khusus untuk pertapaan Rawaseneng, dalam masa monastikat kerap diberikan kursus-kursus, meliputi bahan-bahan seperti: Kitab Suci, Filsafat, Teologi, dan bahan pastoral lainnya.
Setelah menjalani masa kaul sementara sekurang-kurangnya selama tiga tahun, ía diperkenankan mengikrarkan kaul agung.
Dalam tahap ini, ia mengikat diri pada komunitas secara definitif untuk seumur hidup. Dengan kaul agung, pembentukan belum selesai, melainkan harus dilanjutkan sampai mati. Inilah yang disebut on going formation (pembentukan terus menerus).
Seorang rahib perlu dibentuk dan membentuk diri terus-menerus, terlebih-lebih untuk zaman sekarang, yang ditandai oleh situasi yang selalu berubah dengan cepat dan mendalam.
Setiap kali rahib harus mawas diri untuk mengolah perubahan-perubahan itu dan menentukan sikap yang tepat terhadapnya. Di satu pihak, rahib diminta untuk bersikap terbuka dan fleksibel, dan lain pihak ia harus kritis dan tetap berpedoman pada tradisi kerahiban pada umumnya serta tradisi Cisterciensis pada khususnya.
2. Pembentukan Imamat.
Panggilan Cisterciensis pertama-tama adalah panggilan untuk menjadi rahib. Karena itu setiap anggota pertama-tama diarahkan dan dibentuk untuk menjadi seorang rahib. Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya rahib imam.
Akan tetapi, tetap harus dibedakan antara panggilan menjadi rahib dan panggilan menjadi imam. Panggilan imamat dan kerahiban pertama-tama adalah demi kepentingan serta pelayanan komunitasnya. Diharapkan seorang rahib imam dapat mengintegrasikan panggilannya sebagai rahib dan sebagai imam.
Untuk menjadi rahib imam, selain adanya panggilan imamat dan kepentingan komunitas, diperlukan suatu persyaratan khusus, antara lain studi yang dituntut dari seorang calon imam pada umumnya. Di pertapaan Rawaseneng, studi untuk menjadi imam itu dijalankan sesudah kaul agung dan ikut tinggal bersama para frater di Fakultas Teologi Wedabhakti Kentungan Yogyakarta.
3. Persyaratan Masuk.
Biara Cisterciensis bukanlah tempat pelarian bagi mereka yang gagal dalam hidup bermasyarakat. Tidak sembarang orang dapat diterima begitu saja.
S. Benediktus dalam Peraturannya menyarankan Abas untuk menyelidiki para calon, apakah mereka sungguh-sungguh mencari Allah. Sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh seorang calon rahib dapat dirumuskan sebagai berikut:
o cinta akan alam kesunyian dan hidup terasing dari dunia
o cinta akan hidup doa dan samadi, dapat menghargai ibadat bersama, bukan pertama-tama karena rasa terharu, melainkan karena kesadaran akan nyala kasih ilahi
o kemampuan untuk hidup bersama
o pengertian yang jelas dan real akan inti hidup kerahiban
o tidak segan dan cepat patah semangat dalam menghadapi kesukaran dan rintangan
o bersikap optimis dan gembira, tak mudah cepat tersinggung
o berpandangan realistis.
Itu semua beberapa sifat yang diperlukan, di samping persyaratan umum, seperti:
o sudah dipermandikan secara Katolik sekurang-kurangnya selama lima tahun
o berpendidikan serendah-rendahnya tamatan SLTA/sederajat
o berusia antara 20 - 35 tahun
o sehat baik jasmani maupun mental.
Biasanya para peminat dianjurkan untuk datang meninjau langsung ke Rawaseneng terlebih dahulu, selama beberapa waktu di "Kamar Tamu". Kesempatan mengunjungi ini diulangi untuk jangka waktu 1-3 bulan di dalam komunitas, sampai dirasa cukup matang baik dari pihak peminat maupun dan pihak pertapaan.

E.
RELEVANSI UNTUK GEREJA DAN DUNIA.
1. Pelayanan kepada Tamu.
Sesuai dengan semangat hidup kerahiban yang bercorak kontemplatif, para rahib Rawaseneng membatasi diri dalam berkomunikasi dengan dunia luar.
Pembatasan dan keterpisahan ini bukan berarti sama sekali tertutup dan mengisolasi diri dari dunia luar. Karena sesuai juga dengan tradisi para rahib, pertapaan Rawaseneng terbuka untuk para tamu yang datang berkunjung.
Pelayanan yang disumbangkan oleh para rahib kepada para tamu ialah kehidupan komunitas sendiri. Kehidupan komunitas dan suasana pertapaan sudah merupakan kesaksian yang berharga.
Para tamu diberi kesempatan untuk turut serta merayakan ibadat bersama para rahib. Para tamu yang menyaksikan kehidupan para rahib dan turut dalam ibadat harian mereka diingatkan akan adanya nilai-nilai lain dalam hidup ini yang lebih mendalam.
Tamu-tamu yang percaya kepada Tuhan diingatkan akan pengaruh Tuhan dalam hidup mereka. Dengan demikian pelayanan para tamu dapat dilihat sebagal karya kerasulan. Selain itu ada juga tamu yang datang untuk mengadakan retret, rekoleksi, konsultasi pribadi, atau meminta bimbingan rohani. Maka karya di Kamar Tamu sebagian juga merupakan karya pastoral.
2. Pelayanan kepada Gereja.
Sumbangan paling berharga yang dapat diberikan oleh komunitas Rawaseneng kepada Gereja, khususnya di Indonesia, ialah kehidupannya sendiri.
Para rahib Rawaseneng tidak mempunyai tugas/karya kerasulan ke luar seperti para Imam atau Bruder lainnya. Misalnya mereka tidak bertugas menggembalakan umat beriman di paroki, tidak mengajar di sekolah dan sebagainya. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa biara kontemplatif, termasuk Rawaseneng, tidak merasul.
Tadi sudah disinggung, bahwa karya di kamar tamu ada segi pastoral dan kerasulannya. Dengan perkataan lain, kerasulan para rahib bukan berupa kegiatan di luar biara, melainkan tetap dalam lingkup biara itu sendiri.
Sejauh diperlukan dan sejauh dalam komunitas ada anggota yang mampu melakukannya, pertapaan juga menyumbangkan jasa-jasa tertentu, meskipun hanya bersifat sementara.
Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa pernah ada anggota pertapaan yang memberikan pelbagai sumbangan dalam bidang liturgi, musik gereja, spiritualitas, karangan-karangan bidang rohani, penterjemahan lagu dan doa doa berbahasa Latin serta lain sebagainya. Tetapi sumbangan seperti itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Karena sekali lagi, sumbangan yang paling utama tetap terletak dalam penghayatan hidup kontemplatifnya.
3. Pelayanan Kepada Masyarakat Setempat.
Yang dimaksudkan dengan masyarakat setempat adalah masyarakat di sekitar pertapaan, termasuk para karyawan pertapaan.
Seperti sudah disinggung, karya-karya pertapaan memerlukan banyak karyawan. Dengan demikian karya pertapaan menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Dapat dikatakan, karya-karya tersebut mempunyai pengaruh dalam bidang sosio ekonomi masyarakat sekitar.
Karena kerja tangan dalam biara-biara kontemplatif dijunjung tinggi, maka kiranya hal ini juga mempunyai arti yang besar bagi masyarakat. Banyak orang menganggap rendah kerja tangan. Pekerjaan tangan dipandang hina, seakan-akan hanya diperuntukkan bagi orang yang berpendidikan rendah saja. Dalam suasana pembangunan yang sedang populer di masyarakat kita, jelas bahwa sikap tersebut dapat menghambat pembangunan.
Para rahib memberikan tempat terhormat pada kerja tangan dalam hidup mereka. Dengan demikian mereka mengingatkan masyarakat bahwa mereka pun harus menjunjung tinggi kerja tangan yang sangat diperlukan demi suksesnya pembangunan.
Pada waktu-waktu tertentu, pertapaan memberikan bantuan bagi masyarakat, misalnya: menolong orang miskin dan desa sekitar (memberi makan, pakaian, obat, sembako, dana pendidikan/kesehatan), ikut berperan aktif memperbaiki jalan dan fasilittas umum serta fasilitas sosial sehingga ada jalinan yang cukup baik antara pertapaan dengan masyarakat setempat.
4. Pelayanan Kepada Masyarakat Luas/Dunia.
Dewasa ini dunia semakin menjadi ramai, bising dan sibuk. Kehidupan menjadi padat, ter-tekan oleh seribu satu informasi yang dihujankan betubi-tubi oleh alat-alat komunikasi modern. Banyak orang mengalami tekanan psikis karena otak dan syaraf manusia harus mengolah semua itu secara terus-menerus.
Dalam keadaan yang serba sibuk ini, orang memerlukan tempat yang hening dan teduh. Biara-biara kontemplatif dapat memberikan andil bagi mereka, untuk menemukan kembali keseim¬bangan rohaninya.
Almarhum Paus Paulus VI pemah memberikan amanatnya kepada para rahib Ordo Trappist sebagai berikut:
“Kehidupan anda juga menjadi contoh tanpa tanding yang justru diperlukan oleh masyarakat kita. Sering masyarakat kita membiarkan diri diserap sama sekali oleh barang-barang temporal. Berkat kesunyian dan doanya, biara-biara anda merupakan pulau atau pusat yang memberi sumbangan kepada dunia untuk memulihkan keseimbangan rohaninya. Anda memberikan sumbangan ini bukan hanya secara lahir. Lebih-lebih anda memberikannya juga dalam misteri persekutuan para kudus. Sebab kalau tidak begitu, dunia akan dicekik oleh aktivisme yang menjadi-jadi. Dunia akan kehilangan kepekaannya terhadap nilai yang hakiki”.

AKHIR KATA.....
Demikianlah selayang pandang kehidupan tapa para rahib di Rawaseneng. Inilah bentuk kehidupan yang indah dan luhur, namun sulit pelaksanaannya. Namun yang sulit itu menarik, ka-rena orang merasa ditantang untuk menjalaninya.
Inilah bentuk kehidupan yang menuntut orang bermental baja untuk menjalaninya yang menuntut keikhlasan dan serah diri total dan sebagai hadiahnya: Allah sendiri.
Dengan kerinduan hati, orang mencari Tuhan, karena Tuhan telah lebih dahulu mencintainya.
Anda tak’kan hidup sebelum menaruh cinta kasih.
Anda tak’kan menaruh cinta kasih sebelum anda menyerahkan segenap hati anda.
Anda tak’kan menyerahkan segenap hati anda sebelum anda menemui Tuhan
Maka anda akan mengetahui kebahagiaan yang telah disediakan bagi anda......
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

St. Bernard dari Clairvaux 3


HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Suatu perjalanan kembali ke Allah:
"Saint Bernard, Un itine'raire de retour, a Dieu"
BAGIAN III
KARYA-KARYA SANTO BERNARDUS
Tulisan-tulisan Santo Bernardus dapat digolongkan menjadi dua kelompok, sesuai dengan adanya dua macam aktivitasnya sebagai "guru rohani" dan "tokoh Gereja".
A.
GURU ROHANI.
Tugas utama Santo Bernardus ialah membimbing para rahibnya dalam hal mencari Allah. Ia menunaikan tugas ini dengan mengajar mereka memanfaatkan dua sumber tradisional spiritualitas monastic. Yaitu liturgi dan kitab suci.
Tiap kali bila kesehatan dan kesibukannya mengizinkan, ia bicara kepada para rahibnya yang berkumpul di ruang kapitel biara Clairvaux. Biasanya ceramah-ceramahnya sederhana dan mendalam.
Menurut kebiasaan yang berlaku pada waktu itu ceramah-ceramahnya itu diberi nama “kotbah”, dalam bahasa Latin "Sermones”.
Kotbah-kotbah Santo Bernardus dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
(a) Sermones de Tempore (Kotbah masa liturgi), yaitu kotbah-kotbah tentang, masa liturgi dan pesta-pesta sepanjang tahun liturgi.
(b) Sermones de Sanctis (Kotbah tentang para kudus), yaitu kotbah-kotbah tentang Santa Perawan Maria dan sejumlah orang kudus.
(c) Sermones de diversis (Kotbah tentang berbagai hal)
(d) Sermones in Cantica Canticorum (Kotbah tentang Madah Agung) yang merupakan puncak karyanya.
Namun rahib-rahib Clairvaux bukanlah satu-satunya kelompok rahib yang mengharapkan dari bapa abas mereka amanat yang memberikan terang dan santapan.
Banyak orang lain menghubungi Santo Bernardus bila sedang mengalami kesulitan. Mereka menerima dari padanya uraian-uraian singkat yang disusun rapi.
Di dalam uraian-uraian itu, Santo Bernardus mendapat kesempatan untuk menguraikan ajaran rohaninya secara lebih sistematis daripada di dalam ceramah-ceramahnya:
Uraian “De gradibus humilitatis et superbiae” (Hal tingkat-tingkat kerendahan hati dan kesombongan) merupakan jawaban kepada Gedofroy, kemenakannya yang menjadi abas di Fonteney, yang meminta untuk diberikan uraian tentang pasal Peraturan Santo Benediktus yang membicarakan hal kerendahan hati.
Uraian “De diligendo Deo" (Hal mencintai Allah) ditujukan kepada sahabatnya yang bernama Aimery, kanselir gereja Roma, yang menanyakan kepadanya mengapa dan bagaimana kita harus mengasihi Allah.
Karyanya "De gratia et libero arbitrio" (Hal rahmat dan kehendak bebas) bermaksud memberikan penerangan kepada kenalan yang dibingungkan oleh problem hubungan antara rahmat dan kebebasan.
Akhirnya uraian "De praecepto et dispentasione” (Hal perintah dan dispensasi) merupakan jawaban kepada rahib-rahib yang menghubungi dia karena mengalami kesulitan dengan abas mereka yang terlalu otoriter.
B.
TOKOH GEREJA.
Tugas Santo Bernardus tidaklah hanya membimbing para rahibnya dan orang-orang yang datang minta bimbingannya.
Semenjak tahun 1128 ia juga harus turun tangan dalam urusan-urusan gerejani. Banyak pangeran, uskup, bahkan paus sendiri minta nasihatnya dan minta dia menjadi "wasitnya".
Sejumlah tulisannya menampakkan kegiatannya sebagai tokoh Gereja yang harus menentukan sikap dalam konflik politik dan theologi di zamannya.
“Apologia ad Gulielmum” (Apologi kepada William dari Saint Thierry) bermaksud membela pembaharuan Sistersiensis terhadap serangan-serangan yang dilancarkan.
Uraian "De laude novae militiae” (Hal pujian bagi ketentaraan baru) memuji Ordo Ksatria yang peraturannya baru saja disahkan oleh Konsili Troyes pada tahun 1128.
Uraian "De Baptismo" (Hal pembaptisan) menjawab pertanyaan-pertanyaan theologi yang diajukan kepadanya oleh sahabatnya Hugo dari Saint Victor.
“Contra Capitula errorum Petri Abelardi” (Melawan ajaran-ajaran sesat Petrus Abelardus) dikiriman kepada paus untuk menunjukkan adanya bahaya dalam teologi khas Abelardus.
Akhirnya pada tahun-tahunnya yang terakhir Santo Bernardus menyusun buku "De Consideratione” (Hal pertimbangan), semacam memento yang dibuatnya, untuk Paus Eugenius III, bekas rahib Clairvaux.
Kecuali itu, disusunnya juga “Liber de gestis sancti Malachiae” (Riwayat hidup Santo Malakias), yang berkisah tentang seorang uskup Irlandia yang tutup usia di Biara Clairvaux.
Di samping karya-karya itu harus diingat juga bahwa Santo Bernardus meninggalkan surat banyak sekali.
Jumlah surat-suratnya yang tersimpan sekitar 500 buah. Di antaranya ada yang merupakan suatu uraian panjang.
Surat-surat itu merupakan kesaksian yang sangat berharga dan sekaligus juga dokumentasi yang sangat kaya.
Di situ dapat kita ikuti penerapan sehari-hari abas Clairvaux dalam dua tugasnya sebagai guru rohani dan tokoh gerejani.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)



St. Bernard dari Clairvaux 2


HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Suatu perjalanan kembali ke Allah:
"Saint Bernard, Un itine'raire de retour, a Dieu"
BAGIAN II (A)
AJARAN AJARAN SANTO BERNARDUS (1 - 4)
Seluruh pengajaran Santo Bernardus dikuasai oleh ide Kristen tentang keselamatan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pengajaran Santo Bernardus merupakan komentar pewartaan Kristus semata mata.
Meskipun begitu ada juga cirinya yang khusus, yaitu Santo Bernardus mengalami kerinduan besar sekali untuk mendahului mengalami kebahagiaan akhir selagi masih hidup di dunia ini.
Ia mempunyai keinginan kuat sekali untuk menikmati prarasa kebahagiaan akhir dalam kegembiraan ekstasis sekarang ini juga. Justru tujuan mistik Sistersiensis ialah memastikan kemungkinan adanya pengalaman adikodrati seperti itu, menentukan syarat-syaratnya dan membangkitkan keinginan kepadanya.
1. TUJUANNYA: MENJADI MIRIP DENGAN ALLAH.
Pengalaman adikodrati yang dibicarakan di atas memang tidak bisa dilukiskan. Meskipun begitu sekurang-kurangnya hakikatnya dapat kita ketahui. Keselamatan manusia terletak dalam menikmati Allah selama-lamanya dengan mengenal dan mengasihi-Nya dalam kebahagiaan surgawi.
Kebahagiaan ini mengandaikan adanya suatu "deifikasi" (pengilahian), artinya suatu transformasi adikodrati yang membuat manusia menjadi Allah, sekurang-kurangnya dalam arti tertentu yang masih perlu diperincikan lebih lanjut.
Istilah "deifikasi” sudah dipakai oleh Gregorius Nyssa, Dionysius Ariopagit dan Maximus Pengaku Iman.
Dengan menggunakan istilah itu, Santo Bernardus tidak bermaksud mengatakan bahwa substansi: manusia yang mengalami kebahagiaan akhir luluh dengan substansi ilahi. Percampuran manusia dan Allah seperti itu tidak mungkin sama sekali, sebab sungguh kontradiktoris jika suatu ciptaan menjadi Pencipta.
Seperti dapat dibaca dalam "De Consideratione”, pada hakikatnya Allah adalah Yang Ada, artinya Ia tidak dapat tidak ada. Ia ada seperti adanya berkat diri-Nya sendiri dan tiada lain dapat ada tanpa Dia. Allah mencukupi diri dalam hal ada-Nya. Hal ini menyebabkan Dia memiliki keluhuran yang luar biasa.
Hal ini juga menyebabkan Dia seperti diliputi oleh kesunyian yang tak terbatas, yang tidak dapat ditembus oleh ciptaan manapun juga. Ada Bapa. Ia adalah Allah. Ada Putera. Ia adalah Allah. Ada Roh Kudus. Ia adalah Allah. Kesatuan mutlak ketiga pribadi ilahi tak terpisahkan dengan keilahian mereka. Karena mereka adalah satu Allah, mereka sungguh satu. Barangsiapa tidak termasuk dalam keilahian dengan sendirinya juga harus tidak termasuk dalam kesatuan ilahi. Ciptaan hanya memiliki ada berkat Yang Ada. Maka ciptaan adalah secara radikal lain dengan Yang Ada. Oleh sebab itu kesatuan substansiil antara manusia dan Allah adalah kontradiktoris dan mustahil.
Kemustahilan ini sebenarnya sudah terungkap di dalam istilah "deifikasi” itu sendiri. Kalau dimengerti menurut arti yang kita kritik, “deifikasi” berarti membuat manusia menjadi Allah, artinya membuat seseorang yang dari dirinya sendiri bukan Allah menjadi Allah. Padahal tidak mungkin Allah dibuat, sebab Ia tidak dapat tidak ada.
Untuk dapat diilahikan (dideifikasikan), manusia harus diciptakan dulu, supaya sekurang-kurangnya ia ada sehingga juga bisa diilahikan, bisa ditransformasikan dengan jalan deifikasi untuk menjadi Allah yang tidak mungkin diciptakan karena Ia secara kekal dan mutlak tidak dapat tidak ada. Kalau dimengerti begitu, istilah "deifikasi” tidak dapat dianalisa tanpa bunuh diri. Jelas bahwa kalau dimengerti begitu, istilah itu tidak ada artinya sama sekali.
Kalau begitu istilah tersebut harus diartikan lain.
"Kesatuan" dalam arti yang sesungguhnya antara manusia dan Allah tidaklah mungkin. Hal ini sudah.kita lihat. Tetapi sekurang-kurangnya kita dapat memikirkan adanya semacam “persatuan”. Bahkan juga tidak ada larangan untuk mengunakan kata "kesatuan”, asal kita ingat bahwa yang dimaksud hanyalah kesatuan paling mesra yang dapat digambarkan antara dua diri yang saling distinks (berbeda) secara radikal “similitudo”
Tiap orang mengerti arti istilah "kemiripan”. Tetapi kenyataan yang diartikan oleh istilah tersebut sungguh merupakan suatu misteri. Seorang pribadi yang mau menjadi mirip dengan.pribadi lain harus menjadi seperti pribadi lain itu dengan tetap mempertahankan kepribadiannya sendiri.
Di sini ada sesuatu yang bersifat mendua. Hal ini tampak juga dalam cara orang membicarakan hal seperti itu. Kalau ada dua hal yang mirip, orang sering berkata begini "Keduanya itu sama". Memang harus ada dua, sebab kalau tidak, tidak bisa dikatakan mirip satu sama lain. Tetapi sejauh keduanya itu mirip, harus ada yang sama. Harus ada yang tidak dibedakan. Kalau kemiripannya itu ditingkatkan sampai titik akhir keduanya tidak lagi dapat dibedakan satu sama lain. Kalau tidak ada lagi perbedaan sama sekali, keduanya tidak lagi dua melainkan satu.
Persatuan dengan Allah yang menjadi sasaran mistik Sistersiensis adalah justru kemiripan yang dilukiskan di atas. Kemiripan itu mencapai titik dalam “visio beatifica". Di situ tidak ada sesuatupun lagi di dalam manusia yang membedakannya dengan Allah selain substansi manusia itu sendiri yang ditransfigurasikan menjadi mirip dengan penciptanya. Di sini ada kesatuan namun bukannya kesatuan suatu essensi dengan dirinya sendiri, melainkan kesatuan dua essensi distinkt.
Deifikasi yang dijanjikan bagi manusia dalam kehidupan yang akan datang dapat dilihat sebagai kemiripan sempurna antara dua diri yang distinkt sepenuhnya satu sama lain. Ekstasis yang merupakan prefigurasi (prarupa) deifikasi di dunia ini juga dapat dilihat demikian. Sungguh suatu kesatuan yang membahagiakan bagi yang mengalaminya, tetapi bukan apa-apa bagi yang membandingkannya, demikianlah kata Santo Bernardus, dalam salah satu antitesis yang menyimpulkan pandangannya.
Memang, kesatuan paling erat yang dapat dibayangkan antara Allah dan manusia bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan kesatuan Allah sendiri dengan Allah.
Batas tertinggi kesempurnaan yang dapat dicapai manusia terletak dalam kemiripan sempurna dengan Allah. Tetapi kemiripan sempurna ini tidak mungkin terlaksana sekiranya.Allah tidak membagikannya dalam diri kita semenjak kita diciptakan. Dalam kitab suci memang ada tertulis bahwa “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya”(Kej 1,27).
Atau lebih tepat lagi, Allah “menjadikan manusia menurut gambar dan rupa (kemiripan) –Nya (Kej 1,26). Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa filsafat, kalimat di atas berarti bahwa di antara semua makhluk yang hidup hanya manusialah yang menerima dari Allah pikiran (Latin: ”mens”), artinya hanya manusia yang menerima daya pikir yang menyebabkan dia mampu mengenal kebenaran dengan pikirannya dan kebebasan yang menyebabkan dia mampu mengejar kebaikan dengan kehendaknya.
Jadi kemiripan manusia dengan Allah terletak dalam pikirannya. Tetapi manusia hanya bisa menghendaki yang baik kalau ia mengenal.yang benar. Oleh sebab itu pengenalan akan yang benar sudah termasuk di dalam penghendakan akan yang baik Maka dapat juga dikatakan bahwa gambar Allah terletak terutama dalam kemampuan manusia untuk menghendaki kebaikan yang dikenal oleh daya pikirnya, dengan kata lain: dalam kehendaknya yang bebas. Memang sudah menurut kodratnya bahwa manusia mempunyai kehendak bebas. Memang sudah menurut kodratnya juga bahwa gambar Allah terletak pertama-tama dalam kehendak bebas manusia. Oleh sebab itu memang sudah menurut kodratnyalah bahwa manusia adalah gambaran yang mirip dengan Allah.
Mengingat itu semua,maka dapatlah dimengerti bahwa ekstasis mistik itu mungkin terjadi di dunia ini dan bahwa “visio beatifica'' juga mungkin terjadi dalam kehidupan yang akan datang. Kedua status itu tidak memperkosa kodrat manusia. Memang, keduanya mengangkat kodrat manusia ke atas dirinya sendiri.
Tetapi dalam pengangkatan ini ekstasis dan “visio beatifica” itu hanyalah menyempurnakan kodrat manusia menurut garisnya sendiri yang memang sudah ada. Karena diciptakan menurut gambar Allah, manusia memang mempunyai hak untuk menjadi mirip dengan Allah. Hak ini diterimanya sebagai hak kelahiran. Oleh ekstasis dan “visio beatifica’ kemiripan yang sudah menjadi hak manusia itu ditingkatkan mencapai kesempurnaannya yang paling tinggi. Hal ini harus kita perhatikan sungguh-sungguh kalau kita mau memahami pengajaran rohani Santo Bernardus dengan tepat.
Hidup mistik dan ekstasis tidak boleh dipandang sebagai suatu embel-embel yang tidak ada sangkut pautnya dengan kodrat manusia. Sesungguhmya hidup mistik dan ekstasis mengaktualisasikan secara adikodrati virtualitas (daya kemampuan) yang konstitutif (menjadi bagian yang mutlak membentuk) bagi kodrat manusia. Hidup mistik tidak menyeleweng, tetapi memenuhi dan menyempurnakan kodrat manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. Manusia menjadi diri sendiri secara penuh sejauh ia makin mirip dengan Allah.
Dalam rangka pengajaran seperti ini, bukanlah orang mistik yang abnormal, melainkan orang berdosa. Sebab orang berdosa tidak menyempurnakan diri dengan memenuhi kemiripannya dengan Allah. Ia membinasakan diri dengan menghilangkan kemiripan tersebut.
2. DALAM KEADAAN BEBAS.
Pengertian dosa, atau lebih tepat fakta konkrit yang diartikan oleh pengertian tersebut, mendatangkan suatu komplikasi dalam kehidupan manusia.
Ada baiknya kita mempunyai pandangan yang tepat tentang hakikat dosa. Sebab kalau tidak begitu kita tidak dapat memahami "hak hidup" kehidupan monastik pada umumnya dan kehidupan Sistersiensis pada khususnya.
Menurut kodratnya, manusia adalah gambar Allah. Gambar ini terletak dalam kehendaknya yang bebas. Oleh sebab itu kehendak bebas merupakan privilesi manusia yang tak dapat diambil dari adanya. Kehendak bebas tidak terpisahkan dengan pikiran (Latin: “mens”) yang juga tidak terpisahkan dengan manusia. Ada tiga pengertian, manusia, kehendak bebas dan kemiripan ilahi. Ketiganya saling berkaitan dan tak terpisahkan yang satu dengan yang lain.
Apakah arti kehendak bebas?
Kehendak bebas berarti kemampuan untuk menyetujui atau tidak menyetujui. Kemampuan ini tidak terpisahkan dengan.kehendak. Hal ini menjadi lebih jelas kalau kita perhatikan juga kebalikannya, yaitu keharusan. Kita dapat membayangkan makhluk-makhluk hidup, yang mempunyai daya untuk mengenal tetapi yang pengamatannya menentukan reaksinya sebagai suatu keharusan. Hal ini terjadi pada binatang. Binatang tidak bisa tidak mengadakan reaksi sesuai dengan sifat obyek yang diamatinya. Pengamatan obyeknyalah yang menentukan reaksinya.
Di lain segi, manusia tidak begitu. Manusia bisa menyetujui atau menolak obyek yang dikemukakan oleh daya pikirnya. Kemampuan untuk berkata ya atau tidak dan untuk menyetujui atau menolak membebaskan manusia dari keharusan yang menentukan naluri dalam tindakannya. Jadi manusia adalah bebas dari keharusan. Inilah yang disebut libertas a necessitate (kebebasan dari keharusan). Kebebasan ini menjadi hak bagi Allah dan bagi semua makhluk yang berdaya pikiran, baik malaikat maupun manusia. Kebebasan ini tidak bisa hilang, tidak bisa berkurang, dalam status manapun makhluk itu berada.
Dalam traktatnya “Hal rahmat dan kehendak bebas” Santo Bernardus menulis begini: “Orang tidak dapat kehilangan kehendak bebas, baik karena dosa maupun karena kemalangan. Kehendak bebas di dalam orang benar tidak lebih besar dari pada.di dalam orang berdosa. Kehendak bebas di dalam malaikat tidak lebih penuh dari pada di dalam manusia. Kalau kehendak bebas manusia menyetujui rahmat, yang mengarahkannya kepada kebaikan, ia menjadi baik secara bebas.
Dengan demikian, manusia menjadi bebas untuk kebaikan, artinya persetujuan itu mendorong manusia untuk menghendaki kebaikan itu dan tidak menariknya secara paksa. Sebaliknya kalau kehendak bebas menyetujui kejahatan ia menjerumuskan manusia secara spontan ke alam kejahatan.
Manusia berada di dalam kejahatan secara spontan dan bebas, sebab yang menjerumuskan dia ke situ adalah kehendaknya sendiri dan bukan suatu paksaan dari luar. Demikianpun malaikat di surga dan juga Allah sendiri tetap baik secara bebas artinya oleh kehendak sendiri dan bukan oleh paksaan dari luar. Sebaliknya setan juga bebas menceburkan diri dalam kejahatan dan tetap tinggal di situ, sebab yang menceburkannya adalah gerakan yang bebas dan bukannya paksaan dari luar.
Oleh sebab itu kebebasan tetap ada, juga bila daya pikirnya mengalami perbudakan, kebebasan tetap penuh pada orang jahat maupun pada orang baik, tetapi pada orang baik kebebasan lebih tunduk terhadap tata tertib, kebebasan sama 1engkapnya pada ciptaan dan pada pencipta, meskipun pada pencipta ia lebih kuat”.
Kehendak bebas dalam arti yang diuraikan di atas merupakan privilesi manusia yang tak dapat dirusak dan tetap utuh bahkan pada yang dihukum selamanya. Demikianpun kemiripan ilahi yang asli tetap utuh dalam diri kita juga bila kita berada dalam status berdosa, sekurang-kurangnya jika pengertian kebebasan sama dengan pengertian kehendak bebas. Tetapi kita akan melihat bahwa kemiripan ilahi itu lebih berada dalam kebebasan dari pada dalam kehendak bebas.
Mempunyai kehendak bebas berarti mempunyai kemampuan untuk secara spontan.memilih yang baik dan menolak yang jahat. Tetapi privilesi ini juga mencakup kemampuan untuk memilih yang jahat dan menolak yang baik.
Untuk dapat memahami sepenuhnya suatu tindakan yang bebas secara sempurna, kita tidak cukup hanya memperhatikan kehendak bebas, tetapi juga harus memperhatikan semua syarat yang harus dipenuhi supaya kehendak bebas sungguh bekerja seperti semestinya.
Adapun jumlah syaratnya ada dua, yaitu: mengetahui hal yang harus dilakukan dan mampu melakukannya. Sebab kehendak kita hanya sungguh bebas sejauh ia memang bebas sebagai kehendak dan diterangi oleh daya pikiran.
Untuk mempunyai kemampuan memilih yang baik atas yang jahat, diperlukan bahwa daya pikiran sungguh ada dan juga menunjukkan dengan tepat mana yang baik dan mana yang jahat. Selain itu sesudah kehendak mendapatkan penerangan dan tahu mana yang baik, harus masih diketahui juga apakah kehendak mempunyai kekuatan.untuk memilih yang baik itu atas yang jahat.
Dalam keadaannya yang asli waktu diciptakan oleh Allah, manusia mempunyai kemampuan untuk menghendaki secara bebas seperti yang dipunyainya sampai sekarang; tetapi di samping itu dalam keadaannya yang semula manusia juga mempunyai kemampuan untuk selalu mengetahui hal yang harus dikehendakinya dan untuk melaksanakan hal yang sudah dikehendakinya itu.
Santo Bernardus menghubungkan analisa ini dengan teks Kitab Kejadian yang mengatakan bahwa Allah menciptakan nanusia menurut gambar dan kemiripan-Nya (Kej 1926).
Pertama-tama ia menempatkan "gambar" dalam arti yang sesungguhnya.di dalam kebebasan dari keharusan (libertas a necessitate) seperti yang sudah kita lukiskan di atas.
Kemudian, ia membedakan dua buah kemiripan:
Kemiripan pertama terletak dalam kebebasan untuk menilai dengan tepat hal yang harus dilakukan (liberum consilium = pertimbangan bebas).
Kemiripan kedua terletak dalam kebebasan untuk menghendaki kebaikan yang diperintahkan oleh pikiran (liberum complacitum = persetujuan bebas).
Jadi dengan ringkas dapat dikatakan, bebas sepenuhnya tidak hanya mencakup kehendak, tetapi juga pengetahuan dan kemampuan.
Jadi dalam kebebasan yang lengkap ada tiga unsur.
Unsur yang mewujudkan gambar tidak dapat hilang. Hal ini sudah kita katakan. Tetapi unsur-unsur yang mewujudkan kemiripan tidaklah demikian. Tidak hanya ada kemungkinan bahwa kedua unsur itu hilang, tetapi dalam kenyataannya keduanya menghilang karena dosa asal. Kita memang tetap mampu menghendaki, sebab kita tidak bisa kehilangan kemampuan ini tanpa kehilangan kodrat kita sebagai manusia. Tetapi kita tidak lagi mempunyai kemampuan untuk selalu menilai dengan tepat mana yang baik dan mana yang jahat.
Dan kalau kita sudah tahu mana yang baik, kita juga tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kebaikan yang disetujui oleh pikiran tetapi pelaksanaannya berada di atas batas kekuatan kita. Oleh sebab itu kita adalah gambar Allah yang kehilangan kemiripan ilahi.
Peranan rahmat dalam jiwa kita ialah memberi kita kemungkinan untuk mengusahakan kembali kemiripan itu. Kehidupan Kristen, dan terutama kehidupan monastik yang merupakan perwujudannya yang sempurna, bertujuan pertama-tama untuk mengusahakan kembalinya kemiripan ilahi.
Pengalaman mistik yang kadang-kadang dianugerahkan Allah kepada jiwa Kristen adalah hadiah gratuit kehidupan tersebut, sedangkan “visio beatifica” adalah mahkotanya.
3. MENGENAL DIRI SENDIRI.
Hidup kristiani dalam segala tingkatnya merupakan usaha terus menerus untuk memulihkan kepada manusia sebagai gambar ilahi kemiripan yang telah hilang. Sebagai titik tolak dari usaha ini kita masing-masing harus menyadari keadaan kita yang diakibatkan oleh dosa asal.
Yang dimaksud di sini bukan hanya semacam pemeriksaan batin yang diadakan secara perorangan untuk diri masing-masing, tetapi juga “consideratio”.
Istilah ini dipakai oleh Santo Bernardus untuk mengartikan suatu usaha penuh perhatian yang dilakukan oleh roh untuk mencari suatu tata kebenaran tertentu.
Sebenarnya kata “consideration” berarti pertimbangan. Dalam tata kebenaran itu yang harus kita perhatikan pertama-tama adalah kebenaran yang menyangkut diri kita sebagai manusia. Memang tidak bisa lain, sebab pengajaran Santo Bernardus, sebagai pengajaran kristiani, memang dikuasai sepenuhnya oleh ide penyelamatan.
“Pertimbangan anda harus dimulai dengan diri anda”, kata Santo Bernardus dalam traktatnya “Hal pertimbangan”. “Sebab kalau tidak begitu ada bahaya bahwa anda mempertimbangkan lain-lainnya dengan.sia-sia. Apa gunanya anda memperoleh seluruh dunia, kalau anda kehilangan diri anda sendiri? Anda kehilangan hikmat, kalau meskipun memiliki hikmat anda tidak berhikmat terhadap diri anda sendiri. Kehilangan berapa?
Menurut saya, anda kehilangan seluruh hikmat anda. Sekalipun anda mengetahui semua misteri, mengenal luasnya bumi, tingginya langit dan dalamnya laut, namun anda tidak mengenal diri sendiri, anda dapat disamakan dengan orang yang membangun tanpa pondamen. Bukannya bangunan yang disediakannya, melainkan puing-puing.
Segala sesuatu yang anda bangun di samping anda, hanya akan merupakan debu yang menjadi mangsa angin. Memang tidak berhikmat orang yang tidak mengetrapkan hikmatnya terhadap diri sendiri. Orang berhikmat harus berhikmat terhadap diri sendiri. Ia sendirilah yang pertama-tama harus minum air dari sumurnya sendiri. Oleh sebab itu pertimbangan anda harus dimulai pada diri.anda sendiri.
Tidak hanya itu. Hikmat anda juga harus berakhir pada diri anda sendiri. Ke manapun hikmat anda menyimpang, anda harus mengembalikannya pada diri anda. Keselamatan anda akan beruntung karenanya. Bagi anda sendiri anda adalah yang pertama, anda adalah yang terakhir.
Ambillah contoh Bapa yang mahatinggi. Ia mengutus SabdaNya dan menyimpan-Nya. Sabda anda ialah pertimbangan anda. Hendaknya pertimbangan anda terbit dari anda, tetapi janganlah ia menjauh dari anda".
Yang menjadi sebabnya ialah, demikianlah kesimpulan Santo Bernardus, “karena dalam usaha memperoleh keselamatan bagi anda tidak ada keluarga yang lebih dekat dari pada putera tunggal ibu anda. Jangan memikirkan sesuatupun melawan keselamatan anda.
Bagaimana kata saya? Melawan? Sebenarnya saya harus berkata: di luar keselamatan anda. Barang apapun yang muncul dihadapan pertimbangan anda, kalau tidak ada sangkut pautnya dengan keselamatan anda, harus anda usir”.
Masalah sangat pribadi tentang keselamatan memang mendapatkan tempat pertama. Tidak mengherankan bahwa dalam spiritualitas Sistersiensis pertimbangan-pertimbangan psikologi sangat dipentingkan dan masalah manusia mendapatkan tempat sentral. Dalam hal ini cara berpikir Santo Bernardus berlainan dengan para ahli metafisika. Seorang ahli metafisika akan menaruh manusia pada tempatnya di dalam keseluruhan realitas.
Dari situ, ia akan menarik kesimpulan tentang hakikat hubungannya dengan Allah. Santo Bernardus tidak begitu. Ia mulai dengan menempatkan diri dalam problem keselamatan sendiri yang sangat individual dan konkrit.
Lalu ia mengundang kita untuk melakukan hal yang sama dan menunjukkan kepada kita, bagaimana kita dapat berharap keluar dari kemalangan untuk mencapai kebahagiaan menurut urutan pertimbangan tentang kodrat kita dan menurut urutan usaha-usaha terhadap diri kita sendiri yang dituntut oleh situasi kita sendiri. Apakah saya ini: Siapakah saya ini? Manakah asal saya? Manakah tujuan saya? Adakah saya masih berada dalam status di mana Allah menciptakan manusia? Adakah saya berada dalam jalan yang mengantar saya kepada tujuan yang ditentukan oleh kehendak Allah bagi kita?
Di jalan kehidupan manusia yang merupakan ziarah ini tiap orang harus tiap saat menentukan arahnya dan menentukannya kembali. Orang yang melakukannya lebih baik untuk diri sendiri juga akan lebih mampu menolong teman-teman senasib dan seharapan yang bergulat dengan kesulitan yang sama dan harus memecahkan problem yang sama.
Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya situasi semua orang adalah kurang lebih sama. Jika kita memeriksa diri kita kita masing-masing akan segera mendapatkan dalam dirinya sendiri keagungaan yang tercampur dengan kemalangan yang disebabkan karena di satu pihak kita masing-masing adalah gambar Pencipta yang tak terhapuskan, tetapi di lain pihak kita sudah kehilangan kemiripan karena dosa.
Untuk dapat memahami akibat-akibat dosa asal, kita harus ingat bahwa kemiripan ilahi jiwa dengan Allah berada dalam jiwa seperti semacam rupa yang ditambahkan secara cuma-cuma pada substansinya.
Kehormatan ini dulu merupakan kebahagiaan jiwa dan sekarangpun masih dapat menjadi kehormatannya. Inti kehormatan ini terletak dalam keagungan dan kelurusan. Tatkala diciptakan oleh Allah, manusia adalah agung, artinya ia luhur mengatasi segala makhluk lainnya, sebab ia mampu mengambil bagian dalam kehidupan ilahi dengan pengenalan dan cintakasih. Kecuali itu ia juga lurus sebab kehendaknya memang menginginkan mengambil bagian dalam kehidupan ilahi.
Padahal kehidupan ilahi sendiri adalah pada hakikatnya pengenalan kekal. Yang dimiliki Allah akan dirinya sendiri dalam Sabda-Nya dan cinta kasih kekal Allah kepada dirinya yang ada dalam Roh kudus.
Jadi kehidupan ilahi adalah pengenalan dan cinta kasih sempurna dari kebaikan sempurna yang merupakan kebahagiaan kekal. Tatkala menciptakan manusia, Allah menciptakan pikiran manusiawi yang merupakan pengenalan akan Penciptanya dan kehendak manusiawi yang diikutsertakan dalam kehendak ilahi yang menghendaki diri ilahi sendiri.
Dengan demikian Allah sungguh menciptakan makhluk hidup yang sungguh mirip dengan diri-Nya sendiri, dengan kehidupan dan kebahagiaan-Nya sendiri. Dosa asal manusia justru disebabkan karena ia membelokkan diri dari pengenalan dan cinta kasih akan Allah yang merupakan inti kemiripannya dengan Allah. Manusia membelokkan diri dari pengenalan dan cinta kasih akan Allah untuk mengarahkan diri kepada pengenalan dan cinta akan hal-hal duniawi.
Dengan demikian ia tidak lagi terarah kepada Penciptanya, melainkan kepada dirinya sendiri. Selama kehendaknya diikutsertakan dalam kehendak ilahi dan tetap mengasihi segala sesuatu demi Allah, manusia memang mirip dengan Allah.Tetapi bila ia mulai mencintai barang-barang demi dirinya sendiri akhirnya hanya dirinya sendirilah yang dicintainya.
Dengan demikian ia sekaligus kehilangan keagungan dan kelurusan yang merupakan inti kemiripannya dengan Allah. Ia mendatangkan keruntuhannya sendiri. "Di dalam kehormatannya, manusia tidak paham; ia meniru hewan yang tak berakal dan menjadi mirip dengannya” (Mz 48,13).
Oleh sebab itu mengenal diri sendiri adalah pertama-tama mengenal keagungan dan kemalangan manusia, keagungannya yang dulu dan kemalangannya yang sekarang. Tetapi mengenal diri sendiri juga berarti mengenal keagungan yang meski bagaimanapun juga sekarang masih tersisa dalam dirinya, untuk mengembalikannya dalam keagungannya yang sudah hilang.
Kalau tidak mengetahui keagungannya sebagai gambar Allah, manusia memerosotkan dirinya secara definitif kepada tingkat hewan dan untuk selamanya menutup segala harapan akan pengangkatan kembali. Tetapi bahaya yang sama juga mengancam dia kalau ia tidak menyadari kemalangan yang disebabkan oleh hilangnya kemiripannya dengan Allah. Bahayanya juga tetap sama kalau ia mengira bahwa keagungannya yang masih tersisa berada di tangannya sendiri dan bahwa ia mampu bangkit dengan kekuatannya sendiri.
Manusia memang bukan Allah dan juga bukan hewan. Kepastian tentang dua hal inilah yang menjadi dasar bagi pengangkatannya kembali.
Inti dosa terletak dalam penolakan akan Allah. Kalau dirumuskan dengan istilah teknis inti dosa. terletak dalam “kehendak sendiri”, artinya suatu tindakan makhluk berakal budi yang seharusnya menghendaki Allah demi Allah tetapi kenyataannya menghendaki diri sendiri dan semua lainnya demi diri sendiri.
Dengan demikian ia mendahulukan diri sendiri atas Allah. Jadi pertama-tama dosa merupakan suatu penyelewengan cintakasih. Oleh sebab itu spiritualitas Sistersiensis pertama-tama menampilkan diri sebagai suatu pendidikan kembali dalam cintakasih, atau dapat juga disebut: suatu latihan pemulihan cintakasih.
Yang harus diusahakan ialah pertama-tama meluruskan suatu penyelewengan yang sudah menjadi bawaan cintakasih manusiawi.
Teori penyembuhan ini dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Santo Bernardus, tetapi penerapannya dalam praktik dilakukan di biara-biara Sistersiensis.
Pengingkaran akan dunia bukan hanya merupakan suatu syarat abstrak bagi pemulihan cinta kasih Allah dalam diri manusia melainkan juga merupakan langkahnya yang pertama. Orang tidak bisa berkata: kita harus mengingkari dunia supaya dapat mencintai Allah demi Allah. Cinta kasih akan Allah demi Allah sendirilah yang sudah aktif, di dalam hati manusia dengan bantuan rahmat menarik manusia dari dunia untuk mengantarnya ke dalam biara.
Tidak ada cara lain untuk memahami bagaimana usaha seperti itu bisa terjadi. Tetapi sekurang-kurangnya orang dapat melihat mana pertimbangan pertimbangan yang menujukkan bahwa manusia yang ditolong o1eh rahmat mendapatkan dalam kesadaran akan kemalangaanya sendiri suatu undangan akan pengingkaran tersebut.
4. MENGARAHKAN DIRI KEPADA ALLAH.
Manusia mempunya keinginan yang tidak mungkin dipuaskan. Tiap kali manusia menginginkan sesuatu lain lagi. Hal ini diketahui setiap orang. Tak seorangpun menyangkalnya. Segala makhluk yang mempunyai kemampuan mengerti selalu menginginkan hal lebih baik lagi yang dapat dipikirkannya.
Tidak ada sesuatupun yang kalau dilihat sebagai sesuatu yang baik tidak diingininya. Orang yang miskin menginginkan kekayaan. Tetapi orang yang memiliki kekayaan menginginkan kekayaan yang lebih besar lagi. Yang berdiam di dalam sebuah rumah ingin mempunyai istana. Sekali menetap dalam istana ia masih membeli banyak rumah lagi. Kehausan manusia akan yang baik dan keinginannya akan yang lebih baik tidak mengenal batas atau ukuran.
Apa sebabnya?
Sebab tidak ada sesuatu-pun yang merupakan kebaikan mutlak, artinya, di antara hal-hal yang dapat dialami oleh manusia, tidak ada sesuatupun yang merupakan total dan tertinggi, yang memenuhi keinginan demikian rupa sehingga kalau dimiliki menyebabkan orang tidak lagi menginginkan sesuatu yang lain. Karena tidak ada obyek seperti itu, tidak ada sesuatupun yang memuaskan kita secara penuh. Perjalanan kita ke kebahagiaan selalu dihadapkan dengan tangga baru yang harus dinaiki, dan tangga itu tidak pernah merupakan tangga yang terakhir.
Di sini letak peranan gerakan tobat yang membuat manusia. memalingkan diri dari dunia. Kalau memang tidak ada sesuatupun yang mampu memuaskan kita, kalau pada hakikatnya keinginan kita lebih luas dari segala sesuatu, maka lebih baik kita melepaskannya segera.
Manusia dihadapkan dengan suatu dilema. Ada dua pilihan.
Pertama: mencari pemuasan diri dengan kepuasan-kepuasan yang tidak mengakibatkan perubahan apa-apa dalam keinginannya itu sendiri dan juga tidak menberikan kekuatan-kekuatan baru kepadanya.
Kedua: melepaskan pengejaran usaha yang mustahil dengan melepaskan keinginan itu sendiri satu kali untuk selamanya. Pilihan ini memang tidak mudah.
Di satu pihak sungguh gila kalau kita mau meredakan rasa lapar yang justru malahan meningkat jika kita redakan.
Di lain pihak bagaimana mungkin kita melepaskan keinginan yang tak terpisahkan dengan kehendak kita sendiri?
Kecuali itu, mengapa kita harus melepaskannya, kalau sebagai ganti pemuasan yang tidak memuaskan itu kita hanya dapat memberikan ketiadaan belaka?
Bagaimana menggerakkan manusia supaya memilih pelepasan yang menyelamatkan itu? Kita harus memahami pengajaran positif yang terkandung di dalam kegagalan kita.
Banyak kehidupan manusia menjadi bangkrut hanya karena salah urus. Kalau mau mengubah kegagalannya menjadi sukses cukuplah kalau tiap manusia melihat bahwa keinginannya yang tak terpuaskan itu mempunyai arti, mempunyai alasan untuk adanya, lalu tiap manusia harus mencari obyek satu-satunya yang akhirnya dapat memuaskannya secara penuh.
Kemudian menyusullah dilema yang kedua. Kemungkinan pertama adalah sebagai berikut: keinginan kita yang. mengarah kepada yang mutlak itu hanya mempunyai hal-hal relatif untuk memuaskan diri. Kalau begitu ia harus melepaskan segala harapan tentang kebahagiaan dan kehidupan.
Kecuali itu ia juga harus melepaskan kemungkinan menerangkan ketidak- terbatasan keinginannya. Kemungkinan kedua: kita bertitik tolak dari kenyataan bahwa keinginan kita tak terpuaskan.
Kenyataan ini kita terima sebagai suatu kenyataan yang dapat diterangkan secara positif. Keinginan kita tidak bisa dipuaskan oleh kebaikan yang disajikan kepadanya. Kasih kita mempunyai kecenderungan untuk melampaui batas kebaikan-kebaikan itu.
Apa sebabnya?
Hanya ada satu keterangan yang dapat dipikirkan. Yaitu: kita ditarik oleh Kebaikan yang tak terbatas. Kita memang mual terhadap tiap kebaikan khusus yang disajikan kepada kita. Ini tidak disebabkan semata-mata karena kita malas dan berat hati.
Kemualan ini tidak hanya mengungkapkan putus asa. Ia mengungkapkan juga adanya jarak tak terbatas yang dialami oleh kehendak kita, yaitu jarak yang memisahkan kebaikan khusus yang dimilikinya dan kebaikan mutlak yang diinginkannya.
Kalau begitu, tidak dapat dikatakan bahwa problem kasih tidak dapat dipecahkan. Asal problemnya diutarakan dengan tepat, pemecahannya dapat ditemukan.
Kalau kita mau mencari pemecahan.dengan tetap berada di lingkungan dunia ini, kita akan berusaha meredakan keinginan itu dengan mengantarnya dari kekecewaan yang satu kepada kekecewaan yang lain, yang diakibatkan oleh kesadaran akan jarak tak terbatas yang memisahkan kebaikan mutlak dengan tiap kebaikan terbatas. Kalau diutarakan begitu, problemnya tidak dapat dipecahkan.
Sebaliknya kalau kita meninggalkan dunia ini dan mengandaikan bahwa kemualan kita akan dunia sebenarnya adalah kasih akan Allah yang tersembunyi maka problemnya sudah dipecahkan.
Sebab kalau di dalam hati kita memang ada kehausan tak terpuaskan akan kebaikan yang sebenarnya merupakan kehausan tak terpuaskan akan Allah, tentunya Allah sendirilah yang menaruhkan kehausan itu dan memeliharanya.
Maka keputusasaan yang disebabkan oleh kemualan terhadap barang-barang terbatas merupakan segi negatif yang berada di balik segi positif harapan akan kebaikan tertinggi yang menjiwai dan menggerakkan kita dari dalam menuju kepadanya. Allah sendirilah yang mendahului, menopang dan memenuhi kita dengan kehadiranNya. Dialah yang membuat kita menginginkanNya, Dia sendirilah yang sesungguhnya kita inginkan.
Kalau begitu, mengapa masih ragu-ragu tentang penggerak kita untuk mengasihi.Allah? Mengapa masih bimbang tentang sasaran (Obyek) khusus kasih yang ditimbulkan oleh Dia sendiri?
Yang menggerakkan-kita untuk mengasihi Allah. ialah Allah sendiri. Menurut istilah filsafat, Allah sendirilah yang menjadi “causa eifficiens” (sebab yang mengadakan) dan “causa finalis” (sebab yang dituju) kasih kita. Dialah yang memberi kita kesempatan, Dialah yang memberi kita keinginan, akhirnya Dia jugalah yang akan menjamin dan menjadi kepuasan kita.
Oleh sebab itu tidaklah berlebih-lebihan kalau dikatakan bahwa asal problemnya dirumuskan dengan tepat pemecahannya pasti ditemukan, seperti diungkapkan dalam kalimat yang ditujukan oleh Santo Bernardus kepada Allah dalam traktatnya “Hal mengasihi Allah": “Tidak seorangpun dapat mencari Engkau selain yang sudah menemukan Dikau. Engkau mau ditemukan supaya orang mencari-Mu. Engkau mau dicari supaya orang menemukan Dikau. Orang memang dapat mencarimu dan menemukan Dikau, tetapi orang tidak dapat mendahului Dikau”.
Kalimat ini merupakan sumber gagasan Pascal yang paling terkenal: “Engkau tidak akan mencari Aku sekiranya engkau tidak memiliki Daku”, dan lagi: "Hiburkan dirimu, engkau tidak akan mencari Aku sekiranya engkau belum menemukan Daku”.
Di atas telah dikatakan, bahwa Allah adalah sebab yang mengadakan maupun yang dituju. Oleh sebab itu Dia adalah satu-satunya pahala yang dapat dipikirkan bagi kasih akan Allah. Memang dapat ditanyakan apakah kasih yang pantas disebut kasih dapat mengharapkan atau bahkan menerima pahala.
Santo Bernardus membicarakan hal ini panjang lebar dan kerap kali ia kembali pada persoalan ini, yaitu apakah satu-satunya kasih yang mampu memuaskan kita tidak kontradiktoris dan mustahil karena tak dapat didamaikan dengan hakikat kasih sendiri. Kalau benar bahwa pada hakikatnya kasih adalah tanpa pamrih, kalau kasih tidak mengharapkan pahala, bagaimana mungkin.kasih insani dapat melepaskan segala sesuatu untuk memiliki Allah semata-mata, tanpa terjerumus dalam tingkat pamrih.
Jawaban Santo Bernardus terhadap masalah ini sangat tegas. Kasih tidak dapat mengharapkan ganjaran tanpa. merusak diri sendiri. Tetapi orang yang sungguh mengasihi dengan sendirinya tidak bisa tidak diganjar.
Tentu saja, kasih puas akan dirinya dan mencukupi diri. Orang yang sungguh mengasihi melakukan itu bukannya demi ganjaran. Meskipun begitu ia menerima ganjarannya, yaitu justru mengasihi itu sendiri, dan dalam kasih itu ia menikmati kasihnya. Mana ibu yang memerlukan janji ganjaran untuk mengasihi anaknya? Namun begitu ia mengasihihya, dan justru dalam kasihnya akan anaknya itulah ia menikmati kegembiraan kasih keibuan; inilah ganjarannya yang paling berharga.
Singkatnya, baik pengertian kasih berpamrih maupun pengertian kasih tanpa ganjaran adalah kotradiktoris dan mustahil: “Kasih sejati tidak mengejar untung, tetapi mendapatkannya”, kata Santo Bernardus.
Dengan demikian pertanyaan yang tiap kali diajukan semenjak quietisme diajukan keliru, sebab kalau kasih mencari ganjaran, ia kehilangan justru karena kalau begitu ia bukan lagi kasih. Sebaliknya jika ia mengasihi, meskipun tidak bermaksud mengharapkan ganjaran, atau justru karena tidak mengharapkannya, ia pasti akan mendapatkannya.
Kalau pada kasih manusiawi saja halnya sudah demikian, betapa lebihnya hal itu berlaku bagi kasih adikodrati manusia akan Allah! Ada orang yang berpendapat bahwa kasih Allah kehilangan haknya atas sebutan tersebut kalau ia mengharapkah suatu ganjaran. Memang begitu, tetapi ada ganjaran yang tidak dapat direbut oleh siapapun, yaitu: menjadi kasih akan kebaikan tertinggi dan kegembiraan tanpa tara yang pasti dialaminya dalam mengasihi kebaikan tertinggi itu.
Jika kita meninggalkan segala sesuatu untuk mengasihi Allah semata-mata seperti Ia mengasihi diriNya sendiri, kita membangun kembali dalam diri kita kemiripan yang dirusak oleh dosa dan kita mengambil bagian lagi dalam kebahagiaan kehidupan ilahi, sejauh hal itu mungkin bagi manusia. Dengan demikian, karena kasih tersebut adalah yang paling tanpa pamrih, maka ia juga yang paling diganjar.
Kita melihat bahwa ada sesuatu amat positif yang tersembunyi dibalik sikap penghinaan akan dunia yang tampaknya serba negatif itu. Kemualan akan dunia dan akan segala sesuatu dari dunia adalah nama lain bagi kasih akan Allah yang mau bersifat mutlak. Bahkan bagi orang yang mengingkari dunia, masih ada banyak tingkat yang harus dinaiki kalau ia mau mencapai puncak.
Atau lebih tepat: ia tidak akan mencapainya secara sempurna di dalam kehidupan ini, sebab mencapainya berarti sudah menetap dalam kegembiraan sempurna yang disediakan oleh Allah untuk kelak bagi orang yang mengasihi-Nya. Tetapi yang kelak akan mencapainya hanyalah orang yang semenjak sekarang sudah mengarah kepada-Nya, dengan tiap hari berusaha mempelajari kasih sempurna.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)