Back to "J"
Kisah Aji Saka Dan Asal
Mula Aksara Jawa
Pada zaman dahulu kala, di Desa Medang Kawit, Desa
Majethi, Jawa Tengah. Hidup seorang kesatria bernama Ajisaka. Dia seorang
tampan dan memiliki ilmu yang sangat sakti. Ajisaka memiliki dua orang punggawa
bernama Dora dan Sembada. Mereka berdua setia menemani Ajisaka. Suatu hari,
Ajisaka ingin pergi berkelana, bertualang meninggalkan Pulau Majethi. Kemudian
Ajisaka pun pergi bersama dengan Dora. Sedangkan Sembada tetap tinggal di Pulau
Majethi. Sebelum pergi Ajisaka berpesan kepada Sembada untuk menjaga keris
pusaka Ajisaka dan membawanya ke Pegunungan Kendeng.
“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng.
Jagalah keris ini baik-baik dan jangan serahkan kepada orang lain sampai aku
datang kembali untuk mengambilnya!” Aji Saka berpesan kepada Sembada.
“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga keris pusaka ini
dan tidak akan memberikan kepada siapapun!” jawab Sembada.
Pada waktu itu di Jawa ada negeri yang terkenal makmur,
aman, dan damai, yang bernama Negeri Medang Kamulan. Negeri itu dipimpin oleh
Prabu Dewata Cengkar, seorang raja yang berbudi luhur dan bijaksana. Ia selalu
memberikan yang terbaik untuk rakyatnya. Sehingga Negeri Medang Kamulan
sejahtera. Namun semuanya berubah bermula ketika sang juru masak kerajaan
teriris jarinya saat memasak. Sehingga potongan kulit dan darahnya pun masuk ke
dalam sup yang akan disuguhkan kepada Sang Raja. Kemudian ia pun menyajikan
masakannya kepada Prabu Dewata Cengkar. Prabu Dewata Cengkar langsung melahap
habis sup tersebut ia merasa sup yang disajikan sangat lezat, kemudian ia
mengutus patihnya yaitu Jugul Muda untuk menanyai juru masak kerajaan. Kemudian
sang juru masak berkata bahwa ia tidak sengaja teriris jarinya menyebabkan
kulit dan darahnya tercampur masuk ke dalam sup yang dihidangkan untuk Prabu
Dewata Cengkar.
Setelah kejadian itu Prabu Dewata Cengkar memerintahkan
kepada patihnya untuk menyiapkan seorang rakyatnya untuk disantap setiap
harinya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging dan darah manusia
dan sifatnya pun berubah menjadi bengis, jahat dan senang melihat orang
menderita. Negeri Medang Kamulan pun perlahan berubah menjadi negeri yang sepi
karena satu per satu rakyatnya disantap oleh rajanya, namun ada juga rakyat
yang pergi mengungsi ke daerah lain.
Ajisaka bersama Dora saat itu tiba di Hutan yang sangat
lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar
teriakan seorang laki-laki meminta tolong.
“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong...!!!” demikian suara
itu terdengar.
Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju
ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki
paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.
“Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.
Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka.
Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut,
Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah tendangan
keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak
sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu.
“Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan
kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.
Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang
pengungsi dari Negeri Medang Kamulan. Ia mengungsi karena raja di negerinya
yang bernama Prabu Dewata Cengkar setiap hari mengincar rakyatnya untuk di
hidangkan. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, lelaki itu kabur dari negeri
itu.
Aji Saka dan Dora tersentak kaget mendengar cerita
laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.
“Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan
heran.
“Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging
manusia bermula ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan
kulit jari dan darahnya itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu.
Rupanya, beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang
makan daging manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki
itu.
Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan
untuk pergi ke Negeri Medang Kamulan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamulan
dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar
masuk hutan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya
mereka sampai di Kerajaan Medang Kamulan. Ajisaka pun melihat keadaan negeri
Medang Kamulan yang sunyi dan menyeramkan itu. Semua penduduk pergi meninggalkan
negeri itu.
“Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora.
“Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk
ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas.
Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana.
Suasana di sekitar istana tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang
sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana.
“Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji
Saka berada di depan pintu gerbang istana.
“Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu.
“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan
sang Prabu,” jawab Aji Saka.
“Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang
Prabu?” sahut seorang pengawal yang lain.
“Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk
menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.
Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka.
Tanpa banyak tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat
berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena
Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia
langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa.
“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda
berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.
Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran
makanan. Dengan tidak sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk
menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul
akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata:
“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu
permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta
Aji Saka sambil menunjukkan sorban yang dikenakannya.
Permintaan itu dikabulkan oleh Sang Prabu. Ajisaka
kemudian meminta Prabu Dewata Cengkar menarik salah satu ujung sorbannya.
Ajaibnya, sorban itu setiap diulur, terus memanjang dan meluas hingga meliputi
seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Karena saking senangnya mendapat
mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur serban itu sampai
di pantai Laut Selatan. Kemudian Ajisaka mengibaska sorban tersebut, hal ini
membuat Prabu Dewatacengkar terlempar ke laut. Wujud Prabu Dewata Cengkar lalu
berubah menjadi buaya putih.
Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan
kembali dari tempat pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi
Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom
Aji Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana,
sehingga keadaan seluruh rakyatnya pun kembali hidup tenang, aman, makmur, dan
sentausa.
Setelah beberapa hari, Ajisaka menyuruh Dora pergi ke
Pulau Majethi untuk ngambil keris pusaka yang dijaga oleh Sembada.
“Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil
keris pusakaku. Katakan kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” kata
Ajisaka.
“Baik Tuan!” jawab Dora seraya memohon diri.
Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di
Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling
rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud
kedatangannya kepada Sembada.
“Sembada, sahabatku! Kini Tuan Ajisaka telah menjadi raja
Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya
untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora.
“Tidak, sabahatku! Tuan Ajisaka berpesan kepadaku bahwa
keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang
datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.
Sembada yang patuh pada pesan Ajisaka tidak memberikan
keris pusaka itu ke Dora. Dora tetap memaksa agar pusaka itu segera diserahkan.
Akhirnya keduanya bertarung tanpa ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras
mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih
baik mati daripada mengkhianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah
pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Namun karena mereka
memiliki ilmu yang sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.
Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu
kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng.
“Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia
belum juga kembali?” gumam Aji Saka.
Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung
tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul ke Pegunungan Gendeng seorang
diri. Betapa terkejutnya ia saat tiba di sana. Ia mendapati kedua pengikut
setianya Dora dan Sembada telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan
kesetiaannya kepada tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya
tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah
dhentawyanjana yang bunyinya:
"ha na ca ra ka"
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (sama-sama menjaga pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama menjadi mayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar