Ads 468x60px

Kamis 16 Mei 2013

"Tremendum et fascinosum.”
Paskah VII-Novena RK VII
Kis 22:30.23:6-11; Yoh 17:20-26

"Tremendum et fascinosum - Menggentarkan sekaligus membahagiakan.” Inilah sebuah konsep pemikir Jerman, Rudolf Otto dalam bukunya Das Heilege (The Idea of the Holy). Dalam buku itu, Rudolf Otto berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat didekati dengan pemikiran rasional, sebab Tuhan bukan untuk dipikirkan tetapi untuk dihayati. Pemahaman Otto dimulai dengan suatu perasaan gentar (tremendum) ketika berhadapan dengan "yang kudus" (numinous) yang nampaknya misterius (misterium), tetapi untuk langkah selanjutnya ternyata yang misterius dan menggentarkan (tremendum) itu sekaligus "menyenangkan" (fascinosum).

Hari ini, Yesus juga benar-benar menjadi pribadi yang "tremens et fascinans.” Ia benar-benar ilahi sekaligus benar-benar insani. Secara imani, Dia yang ilahi berkenan turun mendoakan kita semua yang insani ini. Kebaikan hatiNya ini benar-benar menggentarkan sekaligus membahagiakan kita, bukan? Kebaikan dan ketulusan cinta dan perHATIanNya membuat diriNya benar-benar hadir dan mengalir dalam keseharian dan pergulatan kita.


Adapun tiga buah inti doa yang dikatakan Yesus kepada Bapa, yakni:

1. Kemuliaan: 
"Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku". Ia bermurah hati memberikan kemuliaan kepada kita. Sejak dibaptis, kita mendapat karunia dan diangkat menjadi anak-anak Allah yang mulia, maka sudah sewajarnya juga, cara hidup yakni pikiran perkataan dan terlebih perbuatan kita mencerminkan kemuliaan sebagai anak-anak Allah yang sudah diselamatkan. Disinilah orang di daratan Eropa pernah berkata, “noblisse oblisse” , yang bisa diartikan bahwa “nama/status” yang mulia sekaligus mengandung kewajiban untuk juga “bersikap dan bertingkah laku” dengan mulia: dewasa dan tidak lagi kekanak-kanakan, Kristussentris dan tidak lagi egosentris, menjadi berkat dan tidak lagi menjadi “batu sandungan” buat yang lain 

2.Kebersamaan: 
”Aku mau supaya di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku". Ia menghendaki agar kita senantiasa mengupayakan kebersamaan denganNya, yakni menjadi “satu communio” denganNya. Hal ini bisa jadi diupayakan dengan pelbagai reksa rohani (entah pribadi/bersama), maupun tindakan sosial dan karya karya jasmani kita yang jelas menghadirkan Kristus dalam setiap gerak polah keseharian hidup kita: “Qualis rex, talis grex-Seperti hal rajanya, demikian pula rakyatnya”. 

3. Kesatuan: 
“Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa ada di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau.” Ia menghendaki adanya persatuan yang sungguh sejati, bukan sekedar basa-basi. Harapan adanya kesatuan hati yang sepenuh hati inilah yang membuatNya berkenan mendoakan kita. De facto, bukankah dunia kita penuh dnegan ruang dan potensi perpecahan dan praktek adu domba? Marilah kita senantiasa belajar memaknai secara integral tentang arti iman menjadi anggota Gereja yang bukan hanya “Kudus”, “Katolik” dan “Apostolik” tapi juga Gereja yang “Satu”, yang tentunya kesatuan ini bisa dimulai dari perjumpaan dengan keluarga dan tetangga kita bukan? Disinilah menjadi benar kata Hamzah Kamturi, “saya sudah keliling kemana-mana mencari Tuhan, dan Tuhan ternyata cukup ditemui di dalam rumah, yah sebuah rumah bersama ketika kita bisa merasa bersatu dengan Tuhan dan semua sesama yang tinggal dalam rumah itu.

“Ikan louhan ikan pari - Berkat Tuhan melimpah setiap hari.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar