“Homo homini SOCIUS.”
Pekan Biasa VII
Sir 4:11-19; Mrk 9:38-40
“Homo homini SOCIUS - Manusia adalah sahabat bagi sesamanya”. Inilah semangat dasar yang coba saya tawarkan ketika di medio tahun 2008 kami mulai membentuk “rumah socius” dan mengumpulkan para eks narapidana dari pelbagai latar belakang agama. Adapun satu kesadaran awalnya bahwa semua manusia adalah sama-sama citra Allah, walau memang berbeda latar belakang agama dan budayanya. Premis “homo homini socius-manusia adalah sahabat bagi sesamanya” ini sendiri merupakan antitesis dari premis lama ala Hobessian yang berbunyi, “homo homini lupus-manusia adalah serigala bagi sesamanya.”
Pastinya, seperti Yesus yang hari ini bersabda: "Barangsiapa tidak melawan kita, ia memihak kita", bisa jadi kita diajak untuk mengenakan pola pikir “persahabatan” bukan “perseteruan”, menganggap sesama sebagai “sahabat”, bukan sebagai “serigala.” (Buku “HERSTORY”, Sahabat: “SAtu dalam suka, HADir dalam duka, berjaBAT dalam doa”). Dkl: Yesus mengajak kita untuk belajar berpikir positif dan bersahabat dengan sesama. De facto, bukankah seringkali kita ini berpola negatif, entah lewat pikiran perkataan bahkan tindakan kita: 'permusuhan', 'balas dendam', 'iri hati', 'penyingkiran', member cap buruk? Adapun tiga penyebab dasar pola negatif ini adalah “3K”, antara lain:
1. Kesombongan:
Kita kadang merasa bahwa diri kita atau kelompok kitalah yg paling baik. Akibatnya, ketika ada “the others -yang lain”, kita mudah menganggapnya sebagai saingan yang harus disingkirkan, dimusuhi dan bahkan dipinggirkan dan dikambinghitamkan. Kita mau menjadi “super, tidak mau dikalahkan oleh yang lain, dalam hala supremasi maupun dominasi.
2. Kecurigaan:
Di sekitar kita, tampak bahwa keanekaragaman belum sungguh-sungguh menjadi, bagaikan indahnya susunan warna-warni pelangi yang enak dinikmati dan dikagumi. Hati yang curiga, iri - dengki dan penuh dengan praduga buruk membuat hidup kita sulit terbuka dan pelit berdamai, terlebih dengan orang atau kelompok yang berbeda latar belakang dengan kita. Kita mudah berasumsi macam-macam tentang orang lain sehingga membutakan hati nurani bahwa setiap orang adalah sama-sama datang dan kembali kepada Tuhan yang sama.
3. Ketertutupan:
Dunia kita memang satu, persis seperti apa yang dikatakan Stevie Wonder: We are the world. Kita ditantang untuk menanggapi persoalan yang justru menyentuh aspek kemanusiaan, yang tidak melulu berbicara tentang manusia dalam konteks primordial, karena masing-masing kita adalah manusia kembara yang sedang dalam berproses menjadi. Bukankah setiap pribadi tidak bisa berkembang dengan wajar tanpa kontak dengan yang lainnya? Individu menemukan jatidirinya justru dalam keterkaitannya dengan individu lainnya, bukan? Sikap yang picik, tertutup dan ekslusif malahan membuat kita menjadi buta dan tidak berkembang. Human change the world by acting on it!
“Cari soto babat di kota Serang – Mari bersahabat dengan semua orang.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
Pekan Biasa VII
Sir 4:11-19; Mrk 9:38-40
“Homo homini SOCIUS - Manusia adalah sahabat bagi sesamanya”. Inilah semangat dasar yang coba saya tawarkan ketika di medio tahun 2008 kami mulai membentuk “rumah socius” dan mengumpulkan para eks narapidana dari pelbagai latar belakang agama. Adapun satu kesadaran awalnya bahwa semua manusia adalah sama-sama citra Allah, walau memang berbeda latar belakang agama dan budayanya. Premis “homo homini socius-manusia adalah sahabat bagi sesamanya” ini sendiri merupakan antitesis dari premis lama ala Hobessian yang berbunyi, “homo homini lupus-manusia adalah serigala bagi sesamanya.”
Pastinya, seperti Yesus yang hari ini bersabda: "Barangsiapa tidak melawan kita, ia memihak kita", bisa jadi kita diajak untuk mengenakan pola pikir “persahabatan” bukan “perseteruan”, menganggap sesama sebagai “sahabat”, bukan sebagai “serigala.” (Buku “HERSTORY”, Sahabat: “SAtu dalam suka, HADir dalam duka, berjaBAT dalam doa”). Dkl: Yesus mengajak kita untuk belajar berpikir positif dan bersahabat dengan sesama. De facto, bukankah seringkali kita ini berpola negatif, entah lewat pikiran perkataan bahkan tindakan kita: 'permusuhan', 'balas dendam', 'iri hati', 'penyingkiran', member cap buruk? Adapun tiga penyebab dasar pola negatif ini adalah “3K”, antara lain:
1. Kesombongan:
Kita kadang merasa bahwa diri kita atau kelompok kitalah yg paling baik. Akibatnya, ketika ada “the others -yang lain”, kita mudah menganggapnya sebagai saingan yang harus disingkirkan, dimusuhi dan bahkan dipinggirkan dan dikambinghitamkan. Kita mau menjadi “super, tidak mau dikalahkan oleh yang lain, dalam hala supremasi maupun dominasi.
2. Kecurigaan:
Di sekitar kita, tampak bahwa keanekaragaman belum sungguh-sungguh menjadi, bagaikan indahnya susunan warna-warni pelangi yang enak dinikmati dan dikagumi. Hati yang curiga, iri - dengki dan penuh dengan praduga buruk membuat hidup kita sulit terbuka dan pelit berdamai, terlebih dengan orang atau kelompok yang berbeda latar belakang dengan kita. Kita mudah berasumsi macam-macam tentang orang lain sehingga membutakan hati nurani bahwa setiap orang adalah sama-sama datang dan kembali kepada Tuhan yang sama.
3. Ketertutupan:
Dunia kita memang satu, persis seperti apa yang dikatakan Stevie Wonder: We are the world. Kita ditantang untuk menanggapi persoalan yang justru menyentuh aspek kemanusiaan, yang tidak melulu berbicara tentang manusia dalam konteks primordial, karena masing-masing kita adalah manusia kembara yang sedang dalam berproses menjadi. Bukankah setiap pribadi tidak bisa berkembang dengan wajar tanpa kontak dengan yang lainnya? Individu menemukan jatidirinya justru dalam keterkaitannya dengan individu lainnya, bukan? Sikap yang picik, tertutup dan ekslusif malahan membuat kita menjadi buta dan tidak berkembang. Human change the world by acting on it!
“Cari soto babat di kota Serang – Mari bersahabat dengan semua orang.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar