YOHANES FIDELIS SUKASNO, SH
“Urip Iku Urup”
“Hidup itu nyala! Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentulah akan lebih baik.” Itulah filosofi hidup seorang umat Katolik bernama Yohanes Fidelis Sukasno, yang splendor veritatis – penuh dengan warna warni pelangi kemanusiaan - dan kini masih menjadi ketua DPRD kota Solo selama dua periode terakhir.
Figur dan tuturnya “down to earth”, jauh dari sosok seorang pejabat dan tidak tersilaukan oleh gilang gemilang harta dan kekuasaan. Ia lebih memilih untuk tinggal di rumahnya yang coreng moreng daripada di rumah dinasnya yang mentereng karena rumahnya yang asli nyata-nyata berada di tengah perkampungan padat penduduk di kawasan Gandekan - Jebres. Ia mengakui bahwa dengan tinggal dan tetap berada di tengah perkampungan padat penduduk, ia selalu diingatkan untuk benar-benar dekat dan bersahabat dengan jerit tangis dan aspirasi banyak rakyat yang diwakilinya. Uang gaji bulanannya sebagai ketua DPRD pun kerap digunakannya untuk membantu pelbagai karya sosial dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Selain rutinitas hariannya sebagai ketua DPRD Solo sekaligus Ketua Badan Anggaran dan Ketua Badan Musyawarah, ia juga aktif menjadi pengurus beberapa kelompok di kota Solo, seperti ketua “KSI – Komite Sepeda Indonesia”, ketua “Ganisri – Keluarga Alumni Universitas Slamet Riyadi” serta ketua “LPMK – Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kota.” Selain itu, berangkat dari salah satu hobinya mendalang dan bermain wayang kardus sejak tahun 2000-an, ia juga diangkat menjadi ketua “Pepadi – Persatuan Dalang Indonesia” sekaligus ketua “Pokdarwis – Kelompok Sadar Wisata” di kota Solo. Ia menggalakkan adanya program multikultur serta parade atau kirab budaya seperti “SBC” (Solo Batik Carnival) yang sudah berlangsung lima tahunan ini, sehingga kecintaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan penghargaan terhadap keaneka-ragaman budaya dan agama sungguh sungguh mendapat ruang yang cukup terbuka di kota Solo dan sekitarnya.
SOP – Simple, Optimist dan Positive Thinking
Sukasno! Itulah namanya sejak terlahir di desa Wonogiri pada 1 November 1959. Pak Sukasno yang kadang juga disebut “Pak YF” yang sejak kecil memang hijrah ke kota Solo ini hidup bersama isteri terkasihnya, Maria Goretti Dayati serta dikarunia tiga anak, antara lain: Yosef Wahyu Caroko, Ignatia Kastriyati dan Katharina Kasmaranti. Pengagum Bung Karno dan pecinta olahraga bulutangkis ini ternyata adalah juga seorang wasit PSSI ber-sertifikat “C2” setingkat propinsi. Kakinya sendiri pernah patah ketika menjadi bek dalam pertandingan sepakbola. Ia juga pernah beberapa kali menjadi ketua RT - RW serta memulai karir politiknya sungguh dari bawah. Adapun tiga sikap pokok yang bisa langsung terungkap-tangkap dari figurnya yang hangat dan bersahabat adalah:
Simple! Itulah kesan pertama ketika kita menemuinya di rumah dan juga di ruangan kantornya. Ia biasa dan terbuka menerima tamu dari pelbagai kalangan, bahkan makan indomie rebus di warung kaki lima atau makan nasi bungkus di meja kantornya juga bukanlah barang asing baginya. Ia juga sering ikut dalam acara “resik-resik” Car Free Day (CFD) di sepanjang jalan protokol kota Solo. Ia berjalan bersama sambil membawa sapu lidi dan memunguti sampah yang ditemuinya. Sapu, karung plastik dan kesederhanaan hidup menjadi senjata andalannya. Bahkan, pelantikan Walikota Solo yakni bapak FX Hadi Rudyatmo yang menggantikan Jokowi yang tadinya dianggarkan ratusan juta kini sama sekali tidak mengeluarkan APBD: "Dana APBD untuk pelantikan Pak Rudy nanti nol rupiah." Menurut Sukasno, acara pelantikan walikota dikemas sesederhana mungkin tapi tetap penuh makna walaupun semuanya gratis: "Pengisi acara, dekorasi dan sebagainya nanti semuanya sambatan, gratisan semua. Jadi kalau ada paduan suara ya gratis, kalau ada dekorasi ya gratis," jelasnya.
Menurut pengakuan supir pribadinya, Robertus Agung Lamiyono, pak Sukasno ini memang benar-benar low profile. Ia sering blusukan (keluar masuk kampung) dengan sepeda motor atau sepeda gunung tanpa pengawalan. Ia juga tidak punya ajudan khusus karena ia tidak pernah merasa terancam atau takut mati. Baginya, hidupnya itu sederhana saja: hadir dan terus mengalir. Salah satu semboyannya yang lain, “Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara” - Manusia hidup di dunia itu harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak seakan menjadi refrain dalam hidup kesehariannya.
Optimis. Itulah kesan yang kedua. Di balik kesederhanaan sikap dan karakternya, hidupnya sendiri penuh keyakinan dan harapan. Ia bahkan menegaskan bahwa bermimpi itu perlu dan kita harus terus berusaha untuk mewujudkan mimpi itu dengan sikap optimis. Misalnya, ketika menjelang pilkada atau pemilihan dewan, banyak calon yang sibuk memasang baliho dimana-mana, tapi dengan optimis ia mengatakan, “baliho saya sudah ada di hati rakyat!” Disinilah, ia bersikap optimis dengan menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikannya. Baginya, politik harus menggunakan hati nurani dan hati nurani sendiri juga harus dipolitikkan untuk mencapai “bonum commune”, kesejahteraan bersama. Menjelang Pemilihan Gubernur Jawa Tengah pada akhir Mei 2013 ini, Sukasno yang juga sibuk sebagai tim sukses salah satu calon mengatakan bahwa pihaknya berkonsentrasi untuk melakukan kampaye secara terus-menerus di pelbagai kelurahan, sebagai basis masyarakat. Menurut Sukasno, pihaknya sengaja tidak memilih kampanye terbuka untuk lebih mendewasakan diri: “Kampanye tidak perlu hura-hura. Kami memilih gerakan stikerisasi yaitu membagikan stiker di setiap rumah. Ini lebih efektif karena saat membagi stiker ternyata ada pertanyaan-pertanyaan soal Pilgub dan sebagainya,” ungkapnya.
Adapun sikap optimisnya ini diakuinya karena ia tidak mempunyai banyak konflik kepentingan. Seperti tokoh Semar yang setia bersemangat HAMBA dalam melayani ksatria Pandawa, ia hanya ingin setia dalam melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Satu hal yang tidak dapat dipungkirinya juga adalah pilihan keberpihakannya kepada rakyat, terutama kaum miskin, lemah, miskin, dan tersingkir. Sejak awal, sikap ini menjadi pilihan hidupnya karena ia sendiri juga berasal dari kalangan kecil, miskin, tergusur dan pada awalnya hanyalah bekerja sebagai pembuat shuttlecock bulutangkis yang hidupnya pas-pas an. Sebuah kisah nyata, pada akhir Maret tahun 2012 lalu ketika marak rencana kenaikan harga BBM, lagu "Iwak Peyek" berkumandang mewarnai aksi ratusan massa yang memerahkan jalanan utama Kota Solo dengan long march dan pelbagai aksi teatrikal. Di hadapan ratusan orang, YF.Sukasno turut menyanyikan lagu "Iwak Peyek" yang diubah syairnya, menjadi ejekan terhadap penguasa eksekutif. Ia menegaskan sikap dasarnya untuk menolak kebijakan kenaikan harga BBM, karena hanya akan menambah penderitaan rakyat: "Ketua DPRD dipilih oleh rakyat dan hanya bisa dipecat oleh rakyat, oleh karena itu, pejabat seharusnya membela rakyat," katanya.
Selain sederhana dan optimis, berpikir positif juga melekat pada diri Sukasno yang juga adalah Wakil Ketua Bidang Organisasi, Rekruitmen dan Keanggotaan DPC PDIP kota Solo ini. Baginya, politik itu tidak abu-abu, tidak jahat dan tidak busuk. Politik itu adalah cara-cara sportif untuk meraih kebaikan umum secara cerdas: “Politik tidak kotor.Yang kotor adalah pelakunya. Politisinya. Karena itu, Politik harus dibaptis dan tidak menjadi alat untuk korupsi, melainkan penyucian”. Ibarat tokoh Semar dalam cerita wayang yang dikaguminya, bisa jadi Sukasno adalah salah satu tokoh moral dan spiritual dalam pergerakan Pandawa melawan kesewenang-wenangan Kurawa. Baginya, politik itu tremendum sed fascinosum (menakutkan tapi menarik). Ya, meski para pelaku politik cenderung membuat politik menjadi sesuatu yang negatif di mata masyarakat, politik itu (pada dirinya sendiri) bagus, dan kita sebagai orang Katolik di Indonesia diajak untuk bekerja sama menciptakan kehidupan politik yang lebih baik guna mencapai masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Disinilah, Sukasno mengajak kita melihat politik secara positif dan arif sebagai “sakramen”: tanda dan sarana keselamatan. Itulah juga sebabnya kadang ia membuat kaos berslogan “dari rakyat, bersama rakyat dan untuk rakyat” untuk mengingatkan pentingnya bekerjasama dan berpikir positif dalam membangun etika berpolitik.
HIK – Harapan, Iman, Kasih
“HIK - Hidangan Istimewa Kampung”. Itulah nama pelbagai warung makanan angkringan yang terkenal di kota Solo dimana kadang pak Sukasno juga mampir dan ikutan “nongkrong” bersama. Secara imani, sebenarnya “HIK” juga bisa berarti “Hidangan Istimewa Katolik”, dengan tiga menu andalannya: “H”arapan “I”man dan “K”asih. Persis! Tiga keutamaan kristiani inilah yang juga ditawar-segarkan oleh kehadiran Sukasno di tengah hingar-bingarnya dunia perpolitikan di kota Solo pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Baginya, jabatan sebagai ketua DPRD ini adalah anugerah Tuhan. Ia merasa kerap tergetar ketika sidang pleno/paripurna, nama baptisnya disebutkan dengan lengkap karena hal ini menantangnya untuk selalu bersadar diri dan berjuang total dalam memberi kesaksian iman kepada sesama anggota parlemen dan masyarakat umum. Bisa jadi, pesan Mgr. Soegijapranata mendapatkan aktualitasnya lewat kesaksian dan kehadiran Sukasno: “Orang Katolik memang bukan bagian yang lebih besar (pars major), tetapi orang Katolik harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior).”
Secara jujur, ia mengakui banyak menimba inspirasi dari lakon Semar dalam pewayangan: Meskipun secara lahiriah, Semar hanyalah hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam, namun di balik wujud lahir tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni bijaksana mengayomi, memecahkan pelbagai masalah dengan sabar dan penuh humor. Menurutnya, Semar adalah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni “manunggaling kawula-Gusti” (kesatuan hamba dan Raja).
Adapun harapannya pada umat Katolik di Indonesia agar tetap menggunakan hak pilihnya sehingga nilai dan keutamaan kristiani tetap mewarnai peri-kehidupan masyarakat dan bangsa ini. Ia sendiri mengakui bahwa kehadiran umat Katolik di Solo cukup baik karena dirasakan pengaruh dan perannya oleh agama lain, misalnya dalam pembentukan kepanitiaan tujuh belasan. Lebih lanjut, ia mengharapkan munculnya banyak kader dari Gereja Katolik yang berani terjun ke dunia publik atau kepartaian karena jelasnya partai adalah soko guru bangsa untuk membuat tata negara dan melahirkan parlemen.
Bicara soal iman, ia mengakui tetap berusaha menyeimbangkan dimensi horisontal dengan vertikal. Ia selalu naik motor bahkan kadang naik becak jika mengikuti misa kudus pada hari minggu pagi di Gereja Antonius Purbayan Solo, katanya demi alasan praktis dan belajar memperhatikan kepentingan umum karena terbatasnya lahan parkir. Lebih lanjut, berangkat dari pengalamannya melihat langsung adanya beberapa umat kristiani yang sangat sulit mendapatkan haknya untuk bebas beribadah, maka ia merasa perlunya semua umat untuk semakin menguatkan iman yang mandiri, bukan melulu iman yang tergantung pada hidup berkomunitas. Ia sendiri menangis sedih ketika mengingat dan menceritakan pengalamannya melihat adanya sekelompok umat Katolik yang sangat sulit untuk bisa beribadat. Ia merasa perlunya ditumbuh-kembangkan semangat solidaritas sosial dengan sesama umat yang gerejanya sedang bermasalah karena mendapat intimidasi atau terror dari kelompok lain.
Selain harapan dan iman, ia menyadari perlunya nada dasar “kasih” dalam kehidupan menggereja di tengah masyarakat Indonesia. Ia yang pada awalnya berasal dari latar belakang keluarga Islam dan Kristen, mengakui bahwa pendidikan dasar yang penuh kasih adalah pintu masuk yang mengantarnya untuk mengenal dan semakin mencintai iman Katolik. Baginya, pendidikan dasar adalah tempat persemaian iman. Dia mencatat bahwa dulu pelbagai sekolah Katolik mendapat cap sebagai sekolah favorit karena kualitasnya baik dan harganya terbilang murah dan bisa terjangkau. Kini, di tengah maraknya sekolah negeri yang murah bahkan gratis, sebaliknya malahan banyak sekolah Katolik yang terkesan elit karena mahal. Merupakan sebuah kewajaran jika para orangtua Katolik menjadi berpikir ulang untuk memasukkan anaknya di sekolah Katolik. Disinilah, ia menyarankan perlunya tindakan kasih yang real-aktual dan operasional bagi kemajuan dan masa depan pendidikan dan sekolah Katolik, tentunya juga bagi perkembangan iman kristiani dan Kerajaan Allah secara lebih nyata. Hal inilah juga yang mendasari dirinya untuk menjadi “ayah” bagi banyak anak angkat/anak asuh. Ia ingin membagikan kasih kepada banyak anak miskin supaya bisa lebih maju menatap masa depannya. Bagaimana dengan kita sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar