“Qui habet aures audiendi audiat"
Sabtu Paskah VKis 16:1-10; Mzm 100:1-2,3,5; Yoh 15:18-21
“Qui habet aures audiendi audiat - Barang siapa bertelinga, hendaklah dia mendengar.” Inilah salah satu pesan inti Yesus kita sbg umat pilihanNya yakni untuk benar-benar mendengarkan-meresapkan dan melaksanakan segala perintahNya. Adapun tiga keutamaan iman supaya kita bisa mendengarkan-meresapkan dan melaksanakan perintah Tuhan dalam keseharian, yakni” KPU”, al:
Sabtu Paskah VKis 16:1-10; Mzm 100:1-2,3,5; Yoh 15:18-21
“Qui habet aures audiendi audiat - Barang siapa bertelinga, hendaklah dia mendengar.” Inilah salah satu pesan inti Yesus kita sbg umat pilihanNya yakni untuk benar-benar mendengarkan-meresapkan dan melaksanakan segala perintahNya. Adapun tiga keutamaan iman supaya kita bisa mendengarkan-meresapkan dan melaksanakan perintah Tuhan dalam keseharian, yakni” KPU”, al:
1.Komitmen pada iman:
Ingatlah, bukankah pembajak yang mengagumi benda tetangganya di sawah sebelah tidak akan membajak dengan lurus? Kita tidak akan tetap berada di jalan yang sempit dan lurus, kalau mata kita selalu melihat ke kiri dan ke kanan, bukan? Cepat atau lambat akan tiba saatnya bahwa kita akan menyimpang. Nah, sebagaimana membajak menuntut perhatian yang tak terbagi dari sang pembajak, demikian juga beriman kepada Yesus menuntut perhatian yang tak terbagi. Sekali kita memulai tugas kita, kita harus berkomitmen menyelesaikannya. Komitmen sendiri berarti segera meninggalkan apa yang sedang mereka kerjakan dan mengikuti Yesus. Dkl: Menolak memberikan semuanya kepada Yesus berarti ada sesuatu yang lain yang kita ikuti yang kita anggap lebih penting daripada Yesus (Luk 14: 26-27). Disinilah menjadi jelas bahwa pekerjaan, keluarga, ambisi kita dan bahkan hidup kita sendiri harus menjadi nomor dua setelah komitmen kita kepada Yesus. Ini tidak berarti bahwa kita melalaikan keluarga kita atau melakukan pekerjaan seenaknya sendiri. Yang dimaksudkan ialah bahwa Yesus harus didahulukan.
2.Percaya pada Tuhan:
Kepercayaan atau ‘percaya” itu dalam bahasa Ibrani, mengandung pengertian tertelungkup tanpa daya, dengan segenap hati, sebuah ketergantungan yang mutlak! Kecenderungan kita adalah percaya kepada diri sendiri, dan kurang bersandar pada Allah. Dkl: kita harus menyandarkan diri kita kepada Allah. Allah menjadi sandaran dan penolong kita. Kalau kita bersandar pada pengertian kita sendiri, kita akan kalah dan terluka. Yang pasti, kepercayaan pada Tuhan mengalahkan banyak kekuatiran karena keraguan melihat rintangan tapi kepercayaan melihat jalan, keraguan melihat malam kelam, tapi kepercayaan melihat hari terang! Keraguan bertanya “Siapa percaya”?, tapi kepercayaan menjawab “Saya!” Yah, jika kita percaya pada Allah: Dominus meus et Deus meus - Ya Tuhanku dan Allahku”, kita boleh yakin bahwa Dia akan selalu membimbing kita (Rom l0:9 ,Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan)
3.Utuh dalam kehidupan:
Kita semestinya memiliki pengalaman pribadi dalam hubungan dengan Tuhan, entah yang berupa pengalaman akan Allah (mistis) atau pengalaman religius (inkarnatoris) yang dialami lewat doa pribadi, bacaan profan maupun bacaan rohani, juga lewat studi mendalam atau perjumpaan iman dengan orang lain. Mengapa? Pertama, Pengalaman berjumpa dengan Allah secara pribadi inilah yang menjadi dasar pertumbuhan keutuhan sikap hidup kita kepada Tuhan, oleh karena masing-masing dari kita disentuh secara langsung oleh Allah sendiri dalam hidupnya. Kedua, Kemampuan kita untuk menyadari kehadiran Allah dalam setiap peristiwa hidup. Ini adalah sebuah kemampuan yang bisa kita latih sekaligus sebagai sebuah tanda pertumbuhan rohani secara utuh dan penuh, khususnya apabila dalam kegelapan hidup dan kesulitan yang kita hadapi, kita masih mampu beriman kepada Tuhan.
“Banyak biara di Yogyakarta - Kurangi bicara, banyaklah memberi cinta."
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar