“Sensus Catholicus.”Kej. 16:1-12,15-16;
Mat. 7:21-29
“Sensus Catholicus – Citarasa Kekatolikan.” Inilah salah satu rubrik mini yang saya buat dalam blog saya dan pernah saya tulis juga dalam buku "HERSTORY" (Kanisius), bahwasannya setiap orang Katolik perlu menampil-kenangkan imannya secara real dan kontekstual: “"Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga" (Mat 7:21)
“Sensus Catholicus – Citarasa Kekatolikan.” Inilah salah satu rubrik mini yang saya buat dalam blog saya dan pernah saya tulis juga dalam buku "HERSTORY" (Kanisius), bahwasannya setiap orang Katolik perlu menampil-kenangkan imannya secara real dan kontekstual: “"Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga" (Mat 7:21)
Adapun “tiga kendaraan” dalam menampilkan citarasa kekatolikan, al:
1. Dokar: “DOa dan KARya”
Iman memiliki tiga dimensi: “diungkapkan, dirayakan dan dinyatakan.” Kita kerap mengungkapkan iman dengan membuat tanda salib dan memasang pelbagai atribut kristiani. Kita juga kerap merayakan iman dengan mengadakan misa dengan aneka devosi dan intensi. Tidak begitu sulit bukan? Tapi, sudahkah kita juga “meng-horisontal”-kan yang “vertikal”? Sudahkah kita menyatakan iman dalam keseharian di lapangan? Disinilah kita perlu menyempurnakan hidup beriman dengan naik “dokar” – “doa dan karya”: Bukankah doa bisa menguatkan hidup karya dan hidup karya bisa menjadi persembahan dalam doa-doa kita? Bukankah doa mesti dinyatakan dalam karya dan karya mesti diteguhkan dalam hidup doa?
2. Sedan: “SEtia jadi telaDAN”
Orang Latin punya pepatah bagus: “verba movent exempla trahunt – kata kata menguap tapi teladan menyentuh hati”. Inilah bahasa kesaksian! Menyitir Seneca, ‘Manusia lebih percaya pada mata mereka, daripada pada telinga mereka!”, maka sebenarnya buat apa kesana kemari mengenakan ”jubah putih”, lambang kesucian, simbol pemihakan terhadap kebenaran, kalau buta dan tuli terhadap kebenaran itu sendiri? Disinilah kita diajak “konsisten”, setia menjadi teladan, jangan sampai kita malahan mengalami inkonsistensi iman, karena apa yang kita wartakan tidak sekaligus kita lakukan dalam kenyataan. (Bdk slogan Jawa: ‘esuk dele sore tempe, lambe domble, mencla-mencle’ atau “NATO: No Action – Talk Only).
3. Patas: “tePAT dan tunTAS”
Kita diajak untuk terlibat di tengah jemaat dan masyarakat, sehingga kita bisa lebih tepat membaca “bahasa masyarakat” sekaligus menjadi rasul yang benar-benar bisa berkarya sampai tuntas karena sungguh mengerti konteksnya. Terlebih, mengacu pada Karl Rahner: Kita sebagai ”Gereja” akan hadir secara nyata kalau mau membaharui diri terus menerus (a church in permanent genesis). Atas nama iman dan kemanusiaan, orang Katolik sebagai homo religiosus semestinya terus memberikan kesaksian iman yang ”tepat dan tuntas” di tengah dunia, karena berada di dalam dan untuk dunia tidak berarti menjadi milik dunia, bukan? Ego Mitto Vos!! (Aku sekarang mengutus kamu).
Bang Maman pergi ke Bhutan – Wujudkanlah iman dengan perbuatan.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar