Ads 468x60px

Selasa 2 Juli 2013

“Credo –Aku percaya!” 
Pekan Biasa XIII
Kej 19:15-29; Mat 23:27

Credo-Aku Percaya.” Inilah syahadat iman yang kerap kita ucapkan bersama dalam ekaristi mingguan. De facto, dalam ruwet renteng perjalanan hidup, kita kadang mengalami “cuaca buruk”: hujan air mata, badai pencobaan, gelombang kekerasan, ombak persaingan yang penuh intrik dll. Dalam situasi tersebut, kadang kita menjadi “kuper-kurang percaya” dan “kuman-kurang beriman”: merasa berjuang sendirian, seakan-akan Tuhan tertidur dan tidak mempedulikan kita. 

Adapun tiga kearifan lokal dari budaya Jawa yang bisa kita ingat supaya kita semakin percaya dan beriman , al:

1.Gusti ora sare:
Secara harafiah dapat diartikan Tuhan tidak tidur: “Nyuwuna marang Gusti Allah, ojo kendhat menyuwun marang Gusti, percaya-a Gusti Allah ora sare - Mohonlah kepada Allah, jangan berhenti untuk memohon kepada Allah, percayalah Allah tidak tidur”. Segudang persoalan yang menghadang dan cobaan hidup yang dijalani serasa ringan dengan hadirnya ungkapan iman tersebut. Hal ini didasari dengan keyakinan bahwa Allah selalu “hadir” dan “mencatat” sehingga carut marut problematika bukan lagi melulu menjadi lawan yang harus dihadapi vis-à-vis yang membuat kita lelah, sedih, galau dan kawatir tetapi seorang sahabat yang dihadirkan Allah untuk memproses kita menjadi manusia yang lebih beriman. Yang pasti, Tuhan tidak pernah lalai, apapun perilaku hambaNya, semua dalam rencana dan belaskasihanNya.

2. Wong urip mung mampir ngombe:
Secara harafiah dapat diartikan bahwa “orang hidup itu hanyalah istirahat sejenak untuk minum”. Dalam bahasa Floria Amelia, seorang bekas kekasih St Agustinus, “vita est brevis – hidup itu singkat”. Oleh karena itulah, kehidupan di dunia yang hanya sesaat tersebut haruslah disibukkan dengan tindakan-tindakan yang positif dan produktif, yang semakin “mengangkat manusia” dan “memuliakan Tuhan.” 

3.Berkah Dalem: 
Inilah kekhasan banyak umat kristiani di tanah Jawa ketika berjumpa atau memulai sebuah dialog iman. Arti sederhananya: “Tuhan memberkatimu.” Secara asal usul kultur, “dalem” itu berarti rumah, sebuah kata yang banyak dipakai oleh para abdi keraton. Dengan menyebut “dalem”, itu menunjuk pada Sultan, sang empunya dalem (rumah, kraton). Bagi orang Jawa, tidak sopan menunjuk langsung orangnya (ad hominem). Sedangkan mengacu pada asal usul historisnya: Sebelum Konsili Vatikan II, umat Katolik banyak memakai sapaan: Deo gratias, yang berlaku di segala waktu dan tempat. Lalu muncullah pelbagai usaha inkulturasi yang dirintis oleh para imam, sehingga “Deo gratias” menjadi “Berkah Dalem” yang lebih bernuansa lokal dan merakyat. Penjelasan etimologisnya: “Deo / Deus: Gusti/Sampeyan/Dalem”, “Gratias/Gratia/Grace: berkat/berkah.” Yang pasti, lepas dari karakter historis dan teologisnya, sebagai ekspresi iman, kata-kata “Berkah Dalem” menjadi ‘cara berada’ umat Katolik di tanah Jawa pada saat ini, yang melampaui “tempus/waktu, signum/simbol, dan verbum/kata itu sendiri. Ungkapan ini menyiratkan keyakinan bahwa Tuhan senantiasa memberkati hidup kita, terlebih ketika kita merasa takut dan sendirian dalam gelombang hidup ini. Sebuah analogi sederhana: kata “takut” memiliki 5 huruf, di tengah-tengah huruf itu ada huruf “K”, yang bisa berarti “Kristus.” Jadi, mengapa kita takut jika kita yakin dan mengimani ada “K”, yaitu “Kristus” di tengah-tengah pergulatan hidup kita? 

“Makan bakut di Pematang Siantar - Jangan takut dan janganlah gentar.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui. 
Fiat Lux!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar