Di zamannya, di Indonesia awal abad ke-20, Kartini memang tidak mengemukakan gagasannya ke depan umum. la menghindar untuk menulis di surat kabar, meskipun kesempatan itu tersedia: '...aku ingin [menulis di surat kabar] tapi tidak dengan namaku sendiri. Aku ingin tetap tidak dikenal...di Hindia ini, karena jika seseorang mendengar tentang artikel-artikel yang ditulis perempuan Jawa, mereka akan segera tahu siapa menulis tulisan itu', demikian lugas dikatakannya dalam surat bertanggal 14 Maret 1902.Bisa jadi, Kartini gamang karena ia sadar akan posisinya sebagai 'perempuan Jawa' dalam masyarakat kolonial di Jawa tengah waktu itu. Justru kemampuan teknologi informasi media untuk mengungkap dirinya itu, menyebabkan otonomi Kartini sempat menciut. Syukurlah, ia akhirnya jeli memilih korespondensi sebagai mediumnya. Lewat medium korespondensi itu, tampak pengertian kemerdekaan sendiri, bagi Kartini, tak datang dari ide dan buku. Hasrat kemerdekaan datang dari hidupnya sebagai perempuan di sebuah masyarakat yang menindasnya.
Kemerdekaan di sini terkesan sebagai inner voice: dorongan kodrati manusia. Kartini benar ketika, dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon ia. menggambarkan dirinya sendiri dan adik-adiknya bukan cuma kutu buku yang menerima kedatangan ide-ide dari jauh: “....Orang menyalahkan buku yang 'penuh omong-kosong'; yang datang dari Barat dan merasuk dalam ke pulau ini, ke wilayah yang tenang dan damai di pantai Jawa yang selalu hijau,...Bukan hanya buku yang membuatnya memberontak...Rasa rindu kepada kemerdekaan, kemandirian dan emansipasi bukannya lahir baru kemarin, tapi sudah sejak masa mudanya yang awal, ketika kata 'emansipasi' belum lagi dikenalnya. [Sesungguhnya] keadaan di cakrawala yang jauh dan dekat itulah yang telah menghidupkan hasrat itu..”
Tuhan memberkati + Bunda merestui.
Fiat Lux! (@RomoJostKokoh).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar