"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,
sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang
percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."
(Yoh. 3:16).
Kadang kita memiliki luka dan hidup dengan luka tersebut bukan? Kedirian kita sendiri memang dibentuk oleh pengalaman cinta tapi juga luka, yang kadang tak kunjung terolah dan terselesaikan. Apa yang kerap membuat kita mudah terluka: mudah marah, gampang kecewa, kerap sinis-skeptis dan pesimis, sulit memuji orang dan mudah menjelekkan orang lain?
Satu hal yang saya lihat, kita mudah terluka karena mungkin kita lupa akan kasih Allah. Allah yang begitu sungguh mencintai kita, secara pribadi sekaligus mendalam. Bicara soal lupa, kadang kita lupa bukan? Wajar, jika kita diminta untuk biasa mengingat bukan? Mengingat sendiri adalah sebuah action. Mengingat juga adalah dialog yang khusyuk antara saya dan diri saya sendiri. Aktivitas mengingat dengan demikian merupakan refleksi atas pengalaman dengan dunia di luar diri saya,terlebih mengingat pengalaman kapan Tuhan sungguh mencintai dan menyapa saya secara pribadi.
Idealnya, aktualisasi dialog reflektif ini menghasilkan suara hati. Tapi realnya, kadang kita lupa, sehingga hidup menjadi dangkal, gagal untuk memikirkan apa yang sedang dilakukan. Kita hidup dalam suatu ungkapan kesadaran praktis menurut seorang sosiolog Inggris, Giddens. Kita mudah lupa, dan tidak biasa berpikir mendalam, gagal mengambil jarak atau memberi makna pada setiap tindakan. Jelasnya lagi, apa yang perlu kita ingat? Sekali lagi, ingatlah yang baik, yang telah banyak Tuhan perbuat. Inilah penggalan dari Erich Kastner, dalam, In Memoriam Memoriae, “Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat.”
Di sinilah menjadi jelas, kita harus belajar melibatkan kesadaran reflektif: mengambil jarak, bersikap kritis, mempertanyakan dan memberi makna pada tindakan, sehingga luka kita bisa perlahan berubah kembali menjadi cinta. Dalam hal ini, pharmakos (“racun” karena dilukai) mesti diubah menjadi pharmakon (“obat” karena dicintai). Karena kasih Allah yang begitu besar pada dunia ini sehingga ia memberikan anaknya yang supaya yang percaya tidak binasa tetapi beroleh hidup kekal (Bdk. Yoh 3:16) tetapi semua manusia berdosa sehingga hak untuk hidup kekal disurga menjadi hilang (Bdk, Roma 3:23 & Roma 6:23) sehingga Allah melalui Putranya Yesus Kristus mendamaikan hubungan Allah dengan kita dan Yesus yang adalah “jalan kebenaran dan hidup” (Bdk Yoh 14:6) merintis jalan itu dengan wafat, kematian-Nya serta dengan kebangkitan-Nya yang melambangkan kekalahan maut atau dosa yang mendamaikan kita dengan Allah (Bdk Rom 5:10).
Satu kalimat klasik yang membuat saya tidak mudah lupa, yakni jalan sederhana ala Bunda Teresa, “Berikanlah pada dunia hal terbaik yang kamu miliki dan kamu akan mendapatkan kekecewaan. Bagaimanapun juga berikanlah pada dunia hal terbaik yang dapat kamu berikan.”
Sekarang anda masih lupa betapa baiknya Allah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar