Hari Minggu Biasa III B
Yun 3:1-5.10; 1Kor 7:29-31; Mrk 1:14-2
Yun 3:1-5.10; 1Kor 7:29-31; Mrk 1:14-2
Menemukan Tuhan Dalam Segala
1:14 Sesudah Yohanes ditangkap datanglah
Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah, 1:15 kata-Nya: "Waktunya telah
genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!"
1:16 Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat Simon dan
Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka
penjala ikan. 1:17 Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku dan
kamu akan Kujadikan penjala manusia." 1:18 Lalu mereka pun segera
meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. 1:19 Dan setelah Yesus meneruskan
perjalanan-Nya sedikit lagi, dilihat-Nya Yakobus, anak Zebedeus, dan Yohanes,
saudaranya, sedang membereskan jala di dalam perahu. 1:20 Yesus segera
memanggil mereka dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, di dalam perahu
bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia.
Renungan :
01. Ada perbedaan tekanan antara Injil
Yohanes dengan Injil-injil Sinoptik tentang makna kemuridan. Dalam Injil Yohanes
menjadi murid adalah sebuah pilihan, maksudnya inisiatif menjadi murid berasal
dari keinginan para murid itu sendiri, sedang dalam Injil Sinoptik inisiatif
berasal dari Yesus. Dialah yang memilih dan memanggil murid-murid-Nya. Menjadi
murid bagi Yohanes berarti "tinggal bersama” Yesus, sedang penginjil
Sinoptik lebih menekankan aspek “mengikuti” (akoloutheo) atau “berjalan di
belakang” Yesus untuk menyertai dan mengambil bagian dalam tugas perutusan-Nya
yakni mewartakan Injil yakni Kerajaan Allah yang sudah mendekat, yang mesti
disambut dengan sikap tobat (ay. 14). Orientasi kemuridan menurut Injil Yohanes
adalah pengenalan akan pribadi Yesus secara mendalam, sedangkan dalam Injil
Sinoptik panggilan sebagai murid berarti terlibat dalam tugas perutusan-Nya
mewartakan datangnya Kerajaan Allah. Dengan demikian Yohanes dan penginjil
Sinoptik saling melengkapi dalam menggambarkan ciri kemuridan Yesus, yaitu
mengenali pribadi-Nya secara mendalam dan ikut serta dalam tugas perutusan-Nya.
Menjadi murid di satu pihak merupakan pilihan, di lain pihak adalah panggilan.
02. Pemaknaan kemuridan seperti itu
mempengaruhi Markus dalam menyusun injilnya. Setelah kisah panggilan para murid
yang pertama, langsung diceritakan bahwa “Yesus dan murid-murid-Nya tiba di
Kafernaum” (Mrk 1:21). Sejak dipanggil, para murid selalu mengikuti atau
berjalan bersama Yesus kecuali, tentu saja, saat mereka diutus berdua-dua.
Demikianlah, sejak awal Markus menampilkan Yesus yang selalu bersama-sama
dengan murid-murid-Nya. Itulah sebabnya panggilan para murid diletakkan di awal
karya publik-Nya.
03. Pertobatan sebagai tanggapan akan
datangnya Kerajaan Allah oleh Markus secara konkret dimaknai dengan menjadi
murid Yesus dan dengan segera tanpa ragu-ragu meninggalkan segala sesuatu untuk
mengikuti-Nya. Markus menghilangkan kisah bahwa sebelumnya mereka pernah
berjumpa dengan Yesus (lih. Yoh 1:35-51) atau kisah mukjizat penangkapan ikan
sebelum Yesus memanggil Petrus sebagai murid-Nya (lih. Luk 5:1-11). Dengan
menghilangkan semua detail itu, kisah panggilan para rasul tampak menjadi kisah
yang ideal. Pesan kisah panggilan murid pertama itu : menjadi seorang murid
yang baik itu ialah segera setelah mendengar panggilan Yesus tanpa ragu-ragu
langsung mengikuti Dia dengan meninggalkan semua jaminan hidup dan masa depan
(ay. 18 “jala”; ay. 20 “ayahnya”). Dengan demikian teks ini lebih berciri
teologis daripada naratif historis. Sikap para rasul dalam menanggapi panggilan
Yesus menjadi model bagaimana seharusnya kita menanggapi panggilan-Nya. Menjadi
murid Yesus bukan kegiatan "part-time" tetapi “full-time”, tidak bisa
setengah-setengah tetapi menuntut komitmen yang total dan radikal. Membiarkan
seluruh hidup kita diperbaharui oleh Yesus menjadi “anggur baru”.
04. Dalam ay. 17 Yesus mengungkapkan isi
panggilan para murid, “Kamu akan Kujadikan (I will make you become, poieso
humas genesthai) penjala manusia”. Ungkapan itu mengandaikan bahwa menjadi
murid itu merupakan suatu proses, membutuhkan sebuah pelatihan, dan tidak
terjadi secara instan atau sekali jadi. Tidak! Sebagaimana menjadi seorang
nelayan, sebagai penjala manusia yang handal diperlukan keahlian, menguasai
tehnik-tehnik tertentu, mempunyai kekuatan fisik yang prima agar tahan
menghadapi segala cuaca dan situasi, mengetahui medan, kondisi dan waktu yang
tepat untuk menjala manusia. Semua itu membutuhkan proses belajar. Istilah
“penjala manusia” yang dipakai Yesus di sini bukan hanya merupakan permainan
kata. Dalam tradisi Perjanjian Lama sebutan penjala manusia diberikan kepada
Allah dalam konteks pengadilan terakhir (Yer 16:16; Yeh 29:4-5; Am 4:2; Hab
1:14-17). Dalam konteks itu urgensi panggilan Yesus dan ketaatan para murid
yang total dan radikal bisa dipahami. Tugas perutusan yang dipercayakan kepada
para murid adalah tugas eskatologis, yakni mengumpulkan manusia karena
pengadilan Allah akan segera terjadi. Sikap yang tepat untuk menyongsong
pengadilan Allah itu adalah bertobat.
05. Dalam perikop ini dikisahkan bahwa
Tuhan memanggil beberapa murid untuk menyertai-Nya dalam perjalanan berkeliling
di wilayah Palestina untuk mewartakan Injil. Namun tidak semua murid diajak
untuk melakukan hal itu, seperti misalnya Lazarus, Marta dan Maria, Nikodemus,
Zakeus dan sebagainya. Para murid yang mengikuti Yesus kemana pun Dia pergi
juga tidak lebih baik daripada murid-murid yang lain. Misalnya Yudas Iskariot
yang selalu berjalan bersama Yesus ternyata imannya jauh lebih dangkal daripada
Bunda Maria yang tinggal di Nazareth. Karena itu yang penting bukan Tuhan
memanggilku untuk menjadi apa (entah sebagai imam, biarawan-biarawati atau
membangun hidup berkeluarga) atau apa profesiku tetapi bagaimana aku menanggapi
panggilan itu: Apakah aku menanggapinya seperti para murid pertama (tanpa
keraguan dan dengan iman yang mendalam, kesediaan masuk dalam zona perjuangan
dan ketekunan, meninggalkan semua yang kuanggap bisa menjamin hidupku)?
06. Mengikuti mode atau tokoh idola
biasanya diikuti dengan menyesuaikan penampilan kita dengan penampilan sang
tokoh idola, mulai dari gaya bicara, cara perpakaian, potongan rambut dan cara
hidupnya. Namun hal itu hanya sementara, merupakan tempelan dari luar dan tidak
masuk ke kedalaman hidup. Setiap saat bisa muncul idola baru yang menjadi
trend-setter. Mengikuti Yesus berarti berani dan bersedia untuk mengubah haluan
hidup sampai ke kedalaman batin, sampai balung sungsum, bersedia meninggalkan
kemapanan pola pikir, cara hidup dan kebiasaan-kebiasaan lama untuk masuk dalam
mind-set, gaya hidup, pola perilaku baru yang selaras dengan Injil Kerajaan
Allah. Tuhan menjumpai kita tidak hanya saat kita berada di “tempat kudus” atau
melakukan “tindakan yang kudus” tetapi Dia menemui dalam keseharian kita, dalam
aktivitas harian kita yang biasa. Tugas kita adalah menemukan Tuhan dalam
segala.
07. Seorang raja yang termashyur datang
menemui guru spiritualnya dan bertanya, “Guru, engkau tahu bahwa aku adalah
seorang raja yang amat sibuk. Katakan bagaimana caranya aku bisa menemukan
Tuhan?”. Dengan penuh kesabaran Sang Guru menjawab, “Jawabannya hanya ada satu
yaitu DIAM”. Raja itu mengejarnya dengan bertanya, “Lalu bagaimanakah caranya
aku bisa diam?” “Berdoa,” jawab sang Guru. Sekali lagi raja bertanya:
“Bagaimana berdoa dengan baik?” Guru menjawab: “Diam”.
Dalam dunia modern yang sibuk seperti
sekarang ini, keheningan batin menjadi barang langka. Di mana-mana orang
tenggelam dalam berbagai kegiatan dan berada dalam lingkungan yang penuh dengan
keramaian. Rasa-rasanya setiap orang begitu sibuk dan tergesa-gesa. Saat hening
atau berdiam diri malah dianggap sebagai pemborosan waktu, atau pengangguran
yang tidak produktif. Kita ingin mengisi seluruh waktu dengan “pekerjaan yang
produktif” atau “yang menyenangkan”. Bahkan pada saat kita mestinya tenang,
misalnya saat mengikuti retret atau rekoleksi, atau berada di tempat-tempat
yang “sakral” atau pun di saat merayakan Ekaristi godaan untuk mengisi waktu
hening dengan hal-hal lain tetap kuat. Rasanya hampir tidak mungkin kita
menemukan Tuhan dalam hidup sehari-hari tanpa menyediakan waktu untuk hening
dalam doa. Kita memang percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam kehidupan kita
sehari-hari. Namun tanpa menyediakan waktu untuk hening, dalam doa
merefleksikan dan merenungkan peran Tuhan dalam hidup, kita tidak akan
menyadari kehadiran-Nya. Akibatnya kita tidak akan dapat menemukan Tuhan dalam
hidup sehari-hari.
Dalam doa, kita membuka diri untuk
kehadiran Tuhan, mengarahkan hati kepada Tuhan. Dalam doa kita menyadari bahwa
segala-galanya adalah rahmat dan anugerah. Kesadaran itu menjadikan kita tidak
takut menghadapi pengalaman apa pun yang tidak pernah terduga-duga. Kita siap
berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan mana pun dan kapan pun. Apa pun yang kita
alami, yang harus kita hadapi adalah anugerah. Dari doa kita menimba kekuatan
untuk menjalani tugas hidup sehari-hari. Karena doa kita dapat menghayati tugas
itu sebagai panggilan luhur yang datang dari Tuhan sendiri. Itulah makna
terdalam dari upaya menemukan Tuhan dalam segala.
Berkah Dalem.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar