ANTARA FUNDAMENTALISME PASAR DAN
FUNDAMENTALISME AGAMA:
FUNDAMENTALISME AGAMA:
1. IZINKANLAH terlebih dulu saya jelaskan apa yang dimaksud dengan “globalisasi”. Secara umum, kalau orang berbicara tentang “globalisasi” di masa kini, orang selalu mengacu kepada pengaruh dominasi politik, ekonomi, dan kultural Amerika Serikat (AS) di dunia masa kini. Boleh dikata, orang berbicara tentang pengaruh imperialisme AS secara khusus, dan blok negara-negara kapitalis lanjut yang termasuk dalam blok Barat, yang sudah melebar menjadi blok Davos. Bukan permen Davos, tapi blok negara-negara kapitalis lanjut yang secara periodik bertemu di Davos, sebuah kota kecil di Pegunungan Alpen, Swiss, untuk mengkoordinasi perencanaan ekspansi ekonomi mereka, supaya tidak saling menjegal tapi justru punya efek sinerjik yang baik untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi mereka.
2. Dalam “menembak” pengaruh AS itu, kita dapat membedakan dua kecenderungan, yang timbul dari dua pandangan dunia (weltanschauung ) yang sangat berbeda. Pandangan dunia yang melihat perbedaan kaya miskin ada kaitannya dengan penguasaan sumber-sumber daya alam dan alat-alat produksi, dan pandangan dunia yang melihat perbedaan kaya miskin di dunia berkaitan dengan ketaatan pada ajaran agama yang ‘mereka’ (penganut pandangan dunia ini) anut. Pandangan dunia yang pertama berpendapat bahwa mereka yang telah berada “di atas” selalu berusaha mempertahankan kekuasaan mereka dengan segala cara, baik dengan kekuatan senjata maupun dengan dominasi ideologis yang dapat mereka pertahankan lewat aparat-aparat ideologis (lembaga agama, lembaga pendidikan, dan lembaga kebudayaan populer). Pandangan dunia yang kedua juga berpendapat bahwa mereka yang sedang berada “di atas” selalu berusaha mempertahankan kekuasaan mereka dengan segala cara.
3. Pandangan pertama sering disebut pandangan “Kiri”, yang diilhami Marxisme dan turunan-turunannya (neo-Marxisme dan post-Marxisme), sedangkan pandangan kedua disebut pandangan “Kanan”, yang dipelopori oleh faham-faham keagamaan yang merasa bahwa agama mereka adalah satu-satunya yang benar dan merasa bahwa saudara-saudara seiman mereka sedang hidup di bawah ancaman pemusnahan dan pemurtadan oleh para pemeluk agama lain, khususnya mereka yang sedang berada “di atas”. Penganut pandangan kedua ini seringkali disebut kaum fundamentalis, yang ingin saya lengkapi secara lebih akurat, menjadi kaum fundamentalis keagamaan.
4. Fundamentalisme keagamaan ini bukan monopoli satu golongan agama, sebagaimana pandangan populer yang beredar di dunia sekarang ini. Fundamentalisme keagamaan juga terdapat di antara kaum Nasrani, yang masih percaya bahwa “di luar gereja tidak ada penyelamatan” (extra ecclesia nulla sallus ), yang ditentang oleh teolog Jerman, Karl Rahner, dengan teologi “Kekristenan yang anonim”-nya. Dalam bentuknya yang lebih canggih, fundamentalisme keagamaan ini juga tersirat dalam tesis Clash of Civilizations nya Samuel Huntington, yang berpandangan bahwa “peradaban” Barat yang beralaskan agama-agama Jahudi dan Kristiani sedang terancam oleh “peradaban” Islam dan “peradaban” Asia Timur yang dipengaruhi agama-agama Buddha, Shinto, dan Taoisme (lihat Huntington 1993 dan 1996). Tesis ini sangat berbahaya, sebab pernah dijadikan dasar pembenaran dua “teroris” abad ini, yakni George Walker Bush dengan “perang melawan teror”nya, dan Usamah bin Laden, yang menjustifikasi perangnya terhadap AS, tanpa membedakan rakyat dan pemerintah, dengan alasan mengusir kaum “kafir” dari Tanah Suci.
5. Kembali ke perbedaan soal globalisasi dari kacamata “Kiri” dan “Kanan”. Kaum Kiri melihat bahaya hegemoni imperialisme AS dengan blok Davosnya adalah karena mendahulukan kepentingan pasar di atas kepentingan kesejahteraan rakyat. Bukan pasar Bringharjo, apalagi pasar Demangan di Yogyakarta, di mana ada tempat bagi para bakul (penjual) dari seluruh pelosok Ngayogyakarta, untuk bertransaksi dengan para pembelinya. Tapi pasar global, yang ditentukan norma-norma pedagangannya oleh maskapai-maskapai trans-nasional (transnational corporations), yang masih didominasi oleh TNCs yang berkedudukan di AS, dan khususnya berkantor pusat di New York, ibukota kapitalisme dunia.
6. Sementara itu, kaum Kanan, khususnya yang didominasi kaum fundamentalis Islam yang memperjuangkan tatanan dunia yang didasarkan pada aliran Wahhabi yang merupakan satu-satunya mazhab yang diakui di Arab Saudi, menentang imperialisme AS dan blok Barat, semata-mata karena dianggap merusak kemurnian pelaksanaan ajaran Islam di dunia. Khususnya, di Arab Saudi yang kini diduduki oleh ribuan tentara AS dan karyawan maskapai-maskapai migas AS, serta di Tanah Palestina, yang diduduki oleh tentara Yahudi sebagai pembela eksistensi negara Israel yang didominasi aliran Zionisme. Semua orang di dunia, yang tidak menentang politik AS di Timur Tengah dan di Afganistan, serta merta dicap “kafir” dan dengan demikian dapat dianggap “halal” darahnya.
7. Sesungguhnya, kaum Kiri di dunia, termasuk warga negara AS keturunan Yahudi, seperti Noam Chomsky, juga menentang politik AS di Timur Tengah dan Asia Tengah. Tapi argumentasinya bukan karena keberfihakan terhadap kelompok agama tertentu sambil mengkafirkan kelompok agama lain. Alasannya adalah, di balik retorika George W. Bush yang gemar mencap musuh-musuh politiknya sebagai “teroris”, terselip kepentingan politik ekspansi TNCs yang berbasis di AS. Khususnya lagi, korporasi-korporasi penambangan migas AS, yang merupakan basis konstituensi dan sumber dana Partai Republiknya George W. Bush. Pentagon memerangi rezim Taliban di Afghanistan, bukan untuk memusnahkan Usamah bin Laden dan Al-Qaedanya, tapi untuk mengganti rezim itu, yang menentang pembangunan pipa minyak mentah dari Kazakhstan ke Pakistan, melintasi Afghanistan, dengan suatu rezim baru yang lebih “bersahabat”.
8. Selanjutnya, bukan hanya kaum Kiri yang mengecam diplomasi “perang melawan teror” a la George Bush Jr, tapi juga kaum kapitalis di AS, yang tidak termasuk lingkaran bisnis yang dekat dengan Gedung Putih. Mereka mengecam kebijakan George Bush Jr. dan wakilnya, Dick Cheney, bekas wakil presiden ayahnya, George Bush Sr, untuk penunjukkan Kellog, Brown & Root (KBR), anak perusahaan Halliburton Group, yang mendapatkan hak monopoli pengadaan logistik pasukan-pasukan AS yang berkedudukan di seluruh dunia, kemudian masih “memenangkan” tender rekonstruksi negara-negara yang dihancurleburkan oleh pasukan-pasukan AS, khususnya Afghanistan dan Irak, sebesar hampir tiga juta dollar AS. Hal ini tidak terlepas dari pengamatan media bisnis dan media kiri di AS, yang mencatat bahwa Dick Cheney adalah mantan CEO (chief executive committee) KBR, sementara Staf Khusus George Bush di bidang luar negeri, Condoleza Rice, sebelum masuk ke kabinet adalah eksekutif salah satu raksasa migas AS, Unocal (Business Week, 13 Sept. 2003: 52-3).
9. Membisunya negara-negara Barat, kebanyakan gereja Kristiani, dan banyak kelompok ornop yang tidak berbasis Islam garis keras terhadap penderitaan bangsa-bangsa yang mayoritas Islam, seperti Afghanistan, Irak, Palestina, dan lain-lain, menyebabkan kelompok-kelompok Muslim beraliran Wahhabi, yang juga disebut “gerakan salafi radikal” oleh cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra (lihat Aritonang 004: 123, 132-7), juga memusuhi berbagai kelompok, gereja, dan negara Barat tersebut. Hanya saja, gerakan salafi radikal ini pada gilirannya membisu terhadap penderitaan (suku)bangsa Aceh, yang sudah puluhan tahun ditindas berturut-turut oleh tentara Belanda dan kemudian tentara Indonesia. Itu berbeda halnya dengan di Ambon dan Poso, yang dipersepsikan sebagai medan jihad. Jadi dari sini dapat disimpulkan, bahwa ada standar ganda yang diterapkan oleh gerakan ini: di mana penderitaan rakyat diakibatkan oleh tentara dan polisi, mereka membisu. Tapi di mana yang dipersepsikan sebagai “musuh” adalah sesama rakyat sipil, mereka maju berperang dengan semangat jihad dan semangat syuhada yang luar biasa. Berarti, ada agenda lain di balik “jihad” gerakan salafi radikal ini.
10. Terus terang, saya lebih cenderung menggunakan kacamata “Kiri” dalam menyoroti pengaruh globalisasi di Indonesia. Imperialisme AS berbahaya, karena dilandasi faham ekonomi yang begitu mengunggulkan kehebatan pasar. Sekali lagi, bukan pasar Demangan atau pasar Bringharjo, melainkan pasar global yang didikte oleh kehendak dan produk maskapai transnasional. Faham neo-liberalisme ini sama fundamentalisnya dengan faham Wahhabi yang melandasi gerakan salafi radikal di dunia. Kalau faham Wahhabi memutlakkan ajaran agama tertentu menurut interpretasi tertentu, dan tidak toleran terhadap tafsiran lain, apalagi terhadap keberadaan agama lain, maka neo-liberalisme terlalu memutlakkan kehendak dan produk maskapai-maskapai transnasional, dengan menggusur produk-produk lokal dan dengan mengesampingkan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat yang paling rentan secara ekonomis terhadap kebijakan ekonomi yang berdasarkan faham neo-liberalisme itu. Contohnya adalah “kebijakan” kenaikan harga BBM, yang membuka jalan bagi masuknya Shell dan Petronas untuk membangun pompa-pompa BBM mereka di Indonesia.
11. Untunglah bahwa dalam tatanan dunia yang tadinya sangat “uni-polar” (berkutub satu) kini telah muncul kutub baru, yang walaupun masih bersifat agak embrional, sudah cukup meresahkan Paman Sam. Panggung politik di negara-negara Amerika Latin, dari Venezuela sampai Chile, kini satu per satu telah berhasil direbut kepemimpinannya, secara damai, lewat mekanisme electoral, oleh partai-partai dan gerakan-gerakan kiri. Kini trio Fidel Castro (Kuba), Hugo Chavez (Venezuela), dan Evo Morales (Bolivia) merupakan penentang paling lantang dan paling diperhitungkan oleh AS, berkat kekayaan migas Venezuela dan Bolivia, yang bersama para guru dan dokter lulusan Kuba, dapat menawarkan kekuatan pembanding (countervailing power ) terhadap dominasi global AS lewat lembaga-lembaga internasional di bawah Bank Dunia dan PBB
12. Walaupun belum punya dampak internasional yang sangat signifikan di luar Amerika Latin, gejala ini menunjukkan bahwa tidak cuma ada satu model ekonomi yang dapat menjadi pilihan negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia, selain membebek pada Paman Sam. Kemunculan presiden-presiden kiri di Amerika Latin – termasuk presiden bangsa pribumi pertama di Bolivia (Evo Morales) dan presiden perempuan pertama di Chile (Michelle Bachelet) – juga menunjukkan, apa yang dapat dicapai oleh aliansi di antara berbagai gerakan sosial (social movements) dan partai-partai kiri, setelah perjuangan tanpa mengenal menyerah, walaupun ratusan cendekiawan, aktivis buruh, aktivis petani, aktivis perempuan, aktivis bangsa-bangsa pribumi, serta sejumlah rohaniwan – seperti Camilo Torres di Kolombia, Uskup Arturo Romero dari San Salvador, serta Ernesto Barrera dan Octavio Ortiz Luna, juga dari El Salvador -- harus mengorbankan jiwa mereka di altar demokrasi (lihat Comacho 1993; Pontoh 2005). Khusus untuk Brazil, pedagog radikal Paulo Freire punya andil yang tidak kecil dalam proses demokratisasi di negaranya, sebab metode pengaksaraannya punya andil meng-melek-huruf-kan jutaan petani yang kemudian dapat ikut mencoblos dalam pemilu-pemilu pasca kediktatoran militer di Brazil.
13. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa “globalisasi-dari-atas” yang terjadi lewat perselingkuhan antara lembaga-lembaga pendukung kapitalisme global, yakni Bank Dunia, IMF, dan WTO, kini semakin diimbangi oleh “globalisasi-dari-bawah” dari berbagai gerakan kemasyarakatan, yang mulai beraliansi secara global, berkat rintisan kerjasama antar ornop Utara-Selatan di benua Amerika, yang telah melebar ke Asia dan Afrika. Gerakan anti ekspansi Scott Paper ke Tanah Papua dan gerakan anti-bendungan Kedungombo di Jawa Tengah, merupakan bukti nyata dari semakin ampuhnya “globalisasi-dari-bawah” itu.
============
Tidak ada komentar:
Posting Komentar