Genealogi Kekerasan
1. Penjelasan Freud.
Kekerasan bersumber dari naluri manusia yang mau menghancurkan, ingin mengarah ke kematian (thanatos). Naluri purba ini bertolak belakang dengan naluri kehidupan (eros). Namun Freud memberi ciri agresifitas manusia yang dalam naluri kematian berusaha menyingkirkan lawan-lawannya.
Kekerasan bersumber dari naluri manusia yang mau menghancurkan, ingin mengarah ke kematian (thanatos). Naluri purba ini bertolak belakang dengan naluri kehidupan (eros). Namun Freud memberi ciri agresifitas manusia yang dalam naluri kematian berusaha menyingkirkan lawan-lawannya.
Lebih lanjut lagi Freud meletakkan muara agresifitas pada diri yang tak sadar (id) dimana pengalaman represi terhadap trauma-trauma masa kecil ditekan ke alam bawah sadar sehingga nampaknya terjadi pembenaman pengalaman kekerasan / traumatik namun tidak mendapat penyaluran keluar.
Neurosis yang membuat pribadi hidup disumberkan pada id itulah yang mencari jalan keluar agresifitas manakala diri tak sadar mencapai ambang batas pemendamannya sehingga meledak keluar ke apa saja atau siapa saja yang mau dilampiasi. Freud menaruh pula diri sadar (ego) yang secara kesadaran menentukan untuk memenuhi id pada realitas, karena itu ego juga disebut sebagai prinsip realitas.
Bagi Freud kebudayaan dengan seluruh wujud-wujudnya hanyalah sublimasi dari libido yang bersumber pada id dan dipaksakan untuk dilaksanakan tidak keras dan mengancam karena super ego : semua aturan moralitas yang dipaksakan oleh tradisi maupun dari luar untuk memaksa orang-orang lebih melakukan dan mengekspresikan eros daripada thanatos.
Bagian kebudayaan sebagai sublimasi dengan daya hidup dan daya benci menuju kematian dikenal dalam mitos (narasi yang berbahasa kisah mitis untuk menjelaskan secara common sense mengapa ada dendam kesumat, di satu pihak dan ada cinta kehidupan di lain pihak). Di kita, mitos ini terungkap dalam penjelasan Siwa sebagai penghancur dan Wisnu sebagai perawat alam. Lebih simbolik lagi dikisahkan dalam Durga sebagai naluri yang ada dalam manusia yang sama yang mau dan bernafsu menghancurkan; sekaligus dalam manusia yang sama terdapat Umayi : sisi naluriah diri manusia yang mau merawat kehidupan dan mencintainya.
Usulan psikoanalisa Freud untuk menyelesaikan bentuk-bentuk kekerasan lewat diri sadar (ego) dan lewat sublimasi kebudayaan yang berarti endapan-endapan pengalaman jadi korban untuk diangkat ke kesadaran sampai hari ini cuma menjelaskan dan menjawab kecil mengapa kekerasan dan bunuh membunuh masih terus berlangsung.
Mitos suci kitab kejadian dengan personifikasi Kain dan Abil, dimana iri hati dan cemburu pada saudaranya yaitu Abil, maka Kain membunuhnya; menjadi salah satu genealogi mengapa kekerasan yang tega menumpahkan darah saudaranya sendiri berlangsung amat sangat awal dari bangsa manusia. Namun genealogi ini (baca : dalam arti asal-usul mitis, narasi simbolik yang memberi pengertian awal / epistemnya Michel Foucault) mengenai penjelasan pertumpahan darah dan kekerasan tetap saja hanya bisa di’iya’kan namun tidak memuaskan akal budi kita.
2. Penjelasan Biologi dan Histori.
Pendapat bahwa manusia adalah an aggressive animal species yang diteliti Konrad Lorenz memberi tahu kita mengapa agresifitas menjadi pedang kekerasan? Pertama, untuk kelangsungan hidup spesies. Ketika pangan dan habitat dalam proses seleksi alam terbatas, maka terjadi saling rebut antar spesies untuk survival of the fittiest (Darwin) dan demi menyelamatkan dan melindungi anak-anak dan yang muda.
Pendapat bahwa manusia adalah an aggressive animal species yang diteliti Konrad Lorenz memberi tahu kita mengapa agresifitas menjadi pedang kekerasan? Pertama, untuk kelangsungan hidup spesies. Ketika pangan dan habitat dalam proses seleksi alam terbatas, maka terjadi saling rebut antar spesies untuk survival of the fittiest (Darwin) dan demi menyelamatkan dan melindungi anak-anak dan yang muda.
Bahwa manusia merupakan makhluk berspesies sama untuk survival, bisa diuji ketika seorang ibu yang dalam kondisi sekitar yang amat mengancam lalu datang orang lain yang mau merampas anak bayinya. Dari ungkapan seorang perempuan yang amat caring, ia berubah menjadi galak dan agresif demi anak bayinya. Lorenz juga memberi tahu agresifitas adalah bagian manusia yang meliputi naluri seksual, ketakutan dan tidak mau mati konyol karena lapar merupakan sebab mengapa dalam keadaan terjepit dan saling bersaing di situasi mini makanan dan perlindungan, maka kekerasan menjadi ungkapan pelaksanaan agresifitas demi kelangsungan hidup.
Kebutuhan naluriah biologis mendasar ini oleh piramida Abraham Maslow ditaruh tahap bertahap dan yang paling dasariah adalah kebutuhan-kebutuhan biologis fisik akan makanan, air, dan udara. Diatasnya kebutuhan rasa aman (need for safety; protection against harm). Diatasnya setelah kebutuhan-kebutuhan pokok biologis dipenuhi, manusia butuh penerimaan social (afeksi, cinta, sense of belonging dan persahabatan). Makin ke atas orang butuh lebih abstrak yaitu self esteem (dihargai, prestise, sukses). Tertinggi manusia butuh aktualisasi diri dalam hal memberi apa yang ia mampu dan memenuhi idealisasi diri.
Apakah psikolog perilaku berdarah Rusia namun hidup di USA ini memberi pada kita genealogi paling dasar dari kebutuhan hidup yang kalau tidak bisa diperoleh secara damai dan tersedia secara cukup lalu mendorong struggle for survival yang mengandaikan adanya tata masyarakat yang adil dan merata dan adanya cukup makanan dan minuman hingga tidak akan terjadi bunuh-bunuhan untuk basic needs? Ujian nyata di setiap daerah bencana dan kelaparan dimana orang harus antri dengan pengandaian menerima jatah minim menurut antrian akan kacau balau dan jarah menjarah ketika tahu pasti bahwa yang akan dapat jatah hanya sepuluh urutan terdepan. Lihat pula situasi memprihatinkan dan menyedihkan setelah berhari-hari tanpa air dan tiada makanan, begitu bahan makanan datang dalam jumlah yang tidak cukup, disana rebutan dan injak menginjak merupakan pemandangan yang menggaris bawahi tesis Maslow ini.
Jalan keluar pengaturan sistemik secara akal budi dalam rasionalitas ternyata memprasaratkan lebih dahulu terpenuhinya basic needs. Sama seperti pendapat Marx, agama hanya akan jadi candu masyarakat yang lapar dan memproyeksikan ke surga dalam kelaparannya sementara ketimpangan struktural antara yang kenyang dan berpunya dengan mereka yang lapar dan tak punya menjadikan Marx membuat hipotesis benturan kelas sosial dalam utopi revolusi yang menghalalkan kekerasan untuk sebuah masyarakat tanpa kelas.
3. Solusi rasional dan Kesadaran Akal Budi
Solusi rasional dan dipakainya kesadaran akal budi untuk mengatur dan mengontrol naluri liar serta agresifitas dan dibayangkan menjadi jalan pemecahan terhadap kekerasan ternyata dalam sejarah terbukti membuat wajah baru kekerasan lebih tega, lebih dingin, dan lebih tragis. Nazi Hittler Jerman dalam PD II justru dengan rasionalitas yang sistematis dan akal budi yang dirancang cermat penuh perhitungan dalam diri Hittler dan staffnya, Eichmann, serta para teknokratnya membuahkan system pelenyapan jutaan manusia di kamp konsentrasi yang seluruhnya sistematis, rasional dengan layar puncak sejarah yang disebut “peradaban Eropa” : dengan musik klasiknya, Wagner ; di tanah munculnya seniman-seniman agung Beethoven dan filsuf sekaliber Hegel, Heidegger, terjdilah tragedi pembantaian kemanusiaan yang sampai hari ini tidak mampu dijawab mengapa-nya dan genealogi-nya!
Solusi rasional dan dipakainya kesadaran akal budi untuk mengatur dan mengontrol naluri liar serta agresifitas dan dibayangkan menjadi jalan pemecahan terhadap kekerasan ternyata dalam sejarah terbukti membuat wajah baru kekerasan lebih tega, lebih dingin, dan lebih tragis. Nazi Hittler Jerman dalam PD II justru dengan rasionalitas yang sistematis dan akal budi yang dirancang cermat penuh perhitungan dalam diri Hittler dan staffnya, Eichmann, serta para teknokratnya membuahkan system pelenyapan jutaan manusia di kamp konsentrasi yang seluruhnya sistematis, rasional dengan layar puncak sejarah yang disebut “peradaban Eropa” : dengan musik klasiknya, Wagner ; di tanah munculnya seniman-seniman agung Beethoven dan filsuf sekaliber Hegel, Heidegger, terjdilah tragedi pembantaian kemanusiaan yang sampai hari ini tidak mampu dijawab mengapa-nya dan genealogi-nya!
Mungkinkah karena rasionalitas dipakai secara instrumental untuk kekuasaan menundukkan dan menguasai sesama manusia? Mungkinkah karena rasionalitas bertujuan yang seharusnya menjadi ruang pertimbangan dalam memilih tujuan yang hanya menghalalkan cara-cara manusiawi justru secara akal budi yang sama dijalankan seorang psikopat seperti Hittler? Padahal jawaban dan penelitian mengenai ini sampai hari ini masih menjadi objek penelitian dan komoditi misteri kekejaman manusia. Mungkin jawabannya harus dicermati lewat pisau urai kesalahan-kesalahan epistemologis berikut ini :
Kesalahan-kesalahan epistemologis (proses mengetahui) proyek modernitas pencerahan : pertama, mengira proses sejarah sebagai garis lurus yang sewenang-wenang diukur melulu dari penalaran (rasionalitas) bahwa yang terbelakang berarti ketinggalan, modern berarti maju dan lebih maju lagi. Padahal perkembangan ragam tradisi budaya dalam sejarah tak pernah berbentuk garis lurus dalam kecepatan maju ke depan yang sama, melainkan beraneka perkembangan dengan kompleksitas yang rumit, saling berbeda serta terungkap dalam kemajemukan ekspresi tidak hanya progress, juga mendalam batin secara religius; merayakan pemuliaan hidup dengan keragaman ekspresi seni dan keindahannya berkait dengan ritus syukur identitas-identitas etnik, maupun festival perayaan panen bumi sampai tahapan-tahapan jenjang dewasa kehidupan (rites of life passages-nya van Gennep).
Kesalahan kedua, van Gennep berpendapat bahwa individulah pelaku yang mengubah sejarah. Padahal begitu dibenturkan pada fakta sejarah Holocaust (pembantaian manusia PD II oleh Hittler), jelaslah bahwa situasi sejarah individu dengan tuntutan konteks psikologi dan shadow mitos keunggulan ras tertentu sebuah bangsa ternyata secara rasional, sistematis, melenyapkan bangsa lain dengan dingin dan sadar seperti ditulis Sygmunt Bauman sebagai berikut :
“… in short, the Holocaust was not an antithesis of modern civilization and everything it stands for, more than a deviation from an otherwise straight path of progress, more than of cancerous growth on the otherwise healthy body of civilized society. We suspect (even if we refuse to admit it) that the Holocaust could merely have uncovered another face of the same modern society whose other face we so admire. And that the two faces are perfecthy comfortably atthaced to the same body” (Sygmunt Bauman, Modernity and the Holocaust, 1989, p.7)
Kutipan di atas secara padat mau merumuskan bahwa setiap konstruksi rasional dengan konsepsi nalar selalu akan membagi secara kotak-kotak pembelahan antara yang “primitif” karena belum rasional, belum bernalar dan mereka yang sudah modern karena bernalar. Dengan kata lain “nalar” yang awalnya merupakan salah satu cara mengetahui realitas kemudian diperlakukan mutlak sebagai satu-satunya kebenaran apalagi diukur sebagai kemodernan, progress atau maju. Artinya, reason direduksi dalam rasionalisme. Bila diukur dengan korban tragedi kemanusiaan nyatalah Holocaust Perang Dunia II membenturkan sisi dehumanis modernitas!
Kesalahan ketiga, modernisme lebih telak dan parah lagi di tingkat bagaimana proses mengetahui atau knowledge itu dicapai. Pencerahan dan rasionalisme memutlakkan dan keliru mengandaikan pemahaman orang mengetahui realitas pasti lewat abstraksi, konseptualisasi teori pengetahuan. Padahal seperti dibuktikan oleh Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (1970) bahwa konstruksi atau kerangka teori dan intelektual kita yang bernama “paradigma”lah yang membentuk cara kita melihat dunia paradigma ini pra-konseptualisasi dan pra-teori abstraksi objektivitas.
Tidak hanya itu, konstruksi kita melihat dan menangkap realitas ditentukan oleh pencecapan, cara merasa, cara melihat, cara menghidupi dan watak tradisi dimana kita dilahirkan dan dihidupi nilai-nilainya dan pandangan-pandangan dunianya dari apa yang oleh Pierre Bourdieau disebut “habitus”. Jadi “habitus” adalah serumpunan disposisi rasa, pikiran, watak pergaulan, nilai-nilai, selera, motivasi hidup dimana “our theoretical models are influenced by our social, cultural and social scientific locations and try to become aware of our biases” (Bourdieau, P., Outline of A Theory of Practice, 1977)
Dengan demikian “habitus” merupakan cara membaca realitas dan mengenal dunia melalui seperangkat disposisi kultural yang tak hanya persepsi kognitif, tetapi intuitif; tak hanya komunal, tapi pribadi pula. Bahkan pengetahuan yang dihasilkan oleh hegemoni tafsir dominasi nilai tertentu bisa fatal karena monopoli tafsir konstruksi patriarki yang “bias gender” seperti kritik Sandra Harding dalam bukunya The Sience Question in Feminism (1986). Isinya, pandangan dunia tanda petik ilmiah patriarki telah meminggirkan nilai-nilai afektif intuitif, perasaan dan politik peduli dari perempuan.
Dengan kritik tajam dan catatan kritis di tingkat pengetahuan atau epistemologi ini, proyek pencerahan rasional dan modernitas disimpulkan pedas sebagai menghentikan proses terus bernalar yang mestinya (seharusnya) terus mampu menuju peradaban yang lapis-lapis kebenarannya, beragam aneka ungkapannya tak selalu berbahasa rasional, tetapi telah menghentikan nalar dari ziarah mencari kebenaran dalam becoming : menjadi dihentikan dalam formalisme being (ada).
4. Pembongkaran Konsepsi Sejarah Klasik
Sebenarnya genealogi kekerasan ditunjukkan dalam pembongkaran konsepsi sejarah klasik selama ini dan diteliti lewat arkeologi kekuasaan dari arsip-arsip dan klinik-klinik praktek pendisiplinan serta wacana yang dikumpulkan oleh Michel Foucault. Kekerasan berkait erat dengan kekuasaan yang mendisiplinkan dan menaruh yang lain dalam pengawasan panoptikon dalam praksis penjara, rumah-rumah sakit gila, serta diskursus yang meletakkan tafsir sehat, waras, benar pada yang punya monopoli tafsir dan yang memiliki kekuasaan penentu yang lain sebagai ‘gila’. Kekuasaan ini tersebar dimana-mana, ada dimana-mana dan tiap kali menaruh yang lain sebagai objek (meskipun Foucault sendiri justru mau menjawab persoalan mengenai subjektivitas apakah ia ada dan bagaimana manusia oleh ilmu pengetahuan sekaligus menjadi objektivitas pelaku pengetahuan itu sendiri yaitu si manusia). dalam arkeologi pengetahuan Michel Foucault meneliti kembali proses terjadinya pengetahuan, istilahnya “epistem”, dimana relasi kekuasaan dan pendisiplinan itulah penentu sejarah epistem.
Sebenarnya genealogi kekerasan ditunjukkan dalam pembongkaran konsepsi sejarah klasik selama ini dan diteliti lewat arkeologi kekuasaan dari arsip-arsip dan klinik-klinik praktek pendisiplinan serta wacana yang dikumpulkan oleh Michel Foucault. Kekerasan berkait erat dengan kekuasaan yang mendisiplinkan dan menaruh yang lain dalam pengawasan panoptikon dalam praksis penjara, rumah-rumah sakit gila, serta diskursus yang meletakkan tafsir sehat, waras, benar pada yang punya monopoli tafsir dan yang memiliki kekuasaan penentu yang lain sebagai ‘gila’. Kekuasaan ini tersebar dimana-mana, ada dimana-mana dan tiap kali menaruh yang lain sebagai objek (meskipun Foucault sendiri justru mau menjawab persoalan mengenai subjektivitas apakah ia ada dan bagaimana manusia oleh ilmu pengetahuan sekaligus menjadi objektivitas pelaku pengetahuan itu sendiri yaitu si manusia). dalam arkeologi pengetahuan Michel Foucault meneliti kembali proses terjadinya pengetahuan, istilahnya “epistem”, dimana relasi kekuasaan dan pendisiplinan itulah penentu sejarah epistem.
5. Konsekuensi Pendapat Foucault
Konsekuensi pendapat Foucault bila diterapkan ke agama dan ideologi sebagai epistem, akan menunjuk jalan setapak mengapa religi sekaligus berwajah pendamai dan pemecah. Religi yang mengabdi pada kepentingan politis dan menjadi alat kekuasaan serta tidak toleran pada keragaman cepat atau lambat akan menjadi “instruments of death”. Demikian pula mengapa nasionalisme sempit sectarian dan imperialisme ekonomis menjadi biang kekerasan paling menonjol abad 20 dengan ketidakadilan sosial ekonomisnya. Pula mengapa identitas suku, kebangkitan etnisitas karena penjajahan kapitalisme global liberal menjadi jalan perjuangan kekerasan lantaran represi ekonomis yang mengasingkan para pemilik kekayaan alam dunia ketiga dilaksanakan sistematis habis-habisan hingga menjadikan bangsa pinggiran dan korban di negaranya sendiri.
Konsekuensi pendapat Foucault bila diterapkan ke agama dan ideologi sebagai epistem, akan menunjuk jalan setapak mengapa religi sekaligus berwajah pendamai dan pemecah. Religi yang mengabdi pada kepentingan politis dan menjadi alat kekuasaan serta tidak toleran pada keragaman cepat atau lambat akan menjadi “instruments of death”. Demikian pula mengapa nasionalisme sempit sectarian dan imperialisme ekonomis menjadi biang kekerasan paling menonjol abad 20 dengan ketidakadilan sosial ekonomisnya. Pula mengapa identitas suku, kebangkitan etnisitas karena penjajahan kapitalisme global liberal menjadi jalan perjuangan kekerasan lantaran represi ekonomis yang mengasingkan para pemilik kekayaan alam dunia ketiga dilaksanakan sistematis habis-habisan hingga menjadikan bangsa pinggiran dan korban di negaranya sendiri.
6. Eksklusi Sosial
Eksklusi sosial : ‘kami’ versus ‘mereka’, dimana mereka bukan bagian dari kami secara sosial, agamis, ekonomis, ras, mewajahkan rupa-rupa ungkapan tragis dan berdarah-darah dari kekerasan.
Eksklusi sosial : ‘kami’ versus ‘mereka’, dimana mereka bukan bagian dari kami secara sosial, agamis, ekonomis, ras, mewajahkan rupa-rupa ungkapan tragis dan berdarah-darah dari kekerasan.
7. The Culture of Violence
The culture of violence is prevalent in male chauvinistic societies. There is violence in homes, and violence among young people. Genocide, the total elimination of the other is the ultimate degree of violence.
The culture of violence is prevalent in male chauvinistic societies. There is violence in homes, and violence among young people. Genocide, the total elimination of the other is the ultimate degree of violence.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar