Ads 468x60px

John Rawls : Keadilan Sebagai Fairness


Abstraksi
Setiap orang di dunia ini, pasti mendambakan kehidupan yang harmonis. Hal itu terjadi jika tercipta kebaikan bersama (bonum commune). Salah satu aspek penting demi terciptanya bonum commune adalah keadilan. Oleh kerena itu, banyak orang berbicara tentang keadilan. Banyak orang berusaha dan berjuang demi terwujudnya keadilan. Dalam setiap konstitusi suatu negara pun selalu diselipkan tujuan demi tercapainya keadilan sosial.
Berikut ini akan disampaikan salah satu pemikiran tentang keadilan dari seorang pemikir Amerika, John Rawls. Teorinya yang mengatakan bahwa keadilan adalah fairness, sampai sekarang masih dianggap sebagai suatu teori yang paling komprehensif.
Mengenal John Rawls
John Borden Rawls lahir dari keluarga Willian Lee Rawls dan Anna Abell Stump pada tanggal 21 Februari 1921 di Baltimore, Maryland. Mereka adalah keluarga yang kaya dan terhormat. William adalah seorang ahli hukum perpajakan dan konstitusi sementara Anna adalah pendukung gerakan feminis. Letar belakang pendidikan dan kerier orang tuanya ini akan sangat berpengaruh pada pemikiran-pemikiran Rawls. Ia tumbuh sebagai pribadi dengan kepekaan sosial yang tinggi.
Pada tahun 1939, ia masuk universitas Princeton. Di sinilah mulai tumbuh minatnya pada filsafat berkat perkenalannya dengan Norman Malcolm, seorang sahabat dan pengikut Wittgenstein. Setamat dari Princeton, ia masuk pada dinas militer dan pernah ditugaskan di New Guinea, Filipina, dan Jepang. Pengalaman perang yang begitu mengerikan tertanam kuat dalam dirinya. Oleh karena itu, ia memilih mengundurkan diri (1946) dan bergabung dengan kelompok Havard yang gencar menentang perang.
Selepas dari dinas militer, ia kembali menekuni filsafat yang pernah memikat hatinya. Ia kembali ke Princeton dan mengambil doktoralnya dengan disertasi tentang filsafat moral. Pada tahun-tahun terakhir kuliahnya, ia juga belajar politik. Dengan latar belakang pergulatan hatinya karena pengalaman perang dan pengetahuannya yang diperoleh dari bangku kuliah inilah, Rawls menyusun teori keadilannya. Pada tahun 1957, ketika ia mengajar di Oxford, ia menulis sebuah artikel dengan judul ”Justice as Fairness” yang merupakan inti sari teorinya. Empat belas tahun kemudian, ia menerbitkan bukunya A Theory of Justice setelah mengalami pergumulan yang panjang. Di sinilah tertuang semua pemikiran Rawls tentang keadilan. Karyanya yang terbaru dan semakin mempertegas gagasannya tentang keadilan tertuang dalam Political Liberation yang terbit pada tahun 1993.

Keadilan sebagai fairness
Dalam bukunya A Theory of Justice, Rawls menawarkan suatu teori keadilan alternatif yang sekaligus mengoreksi teori keadilan yang berkembang dan diterima masyarakat. Koreksi-koreksi tersebut berpangkal pada penilaiannya bahwa teori-teori yang ada tidak mampu menciptakand dan menjamin kehidupan yang benar-benar adil. Hal ini desebabkan oleh besarnya pengaruh utilitarisme dan intuisionisme.
Paham utilitarisme dikembangkan oleh Henry Sidwick dalam sebuah teori moral di zaman Victoria. Teori ini menerapkan asas manfaat sebagai norma masyarakat. Asal suatu kebijakan dan tindakan memberikan manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, hal tersebut dikatakan adil. Dengan demikian, dimensi manusia sebagai individu kurang diperhatikan. Mereka menganggap behwa kesejahteraan mesyarakat pada umumnya sudah meliputi kesejahteraan individual, padahal kenyataanya tidak.
Rawls tidak percaya kesejahteraan sosial dengan sendirinya menjamin kesejahteraan individual. Utilitarisme terlalu mengabaikan hak, kebebasan, dan keunikan individu. Maka tidak jarang dijumpai bahwa sesuatu yang membawa manfaat bagi sebagian besar anggota masyarakat justru merugikan yang minoritas. Utilitasirme gagal menjamin bahwa setiap individu, terutama mereka yang paling lemah (the worst off) dapat memperoleh apa yang menjadi haknya. Hal ini jelas tidak adil, apalagi sampai mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang demi keuntungan sebagian besar.
Rawls menekankan bahwa setiap kebijakan dan tindakan harus dibuat atas dasar hak daripada manfaat. Itulah tindakan yang adil.
Sedangkan intuisionisme mengandalkan kemampuan intuitif untuk mengatasi problem keadilan. Intuisi memang berguna tetapi akan lahir kesulitan sebab ia tidak memberikan prinsip moral secara tegas mana yang harus didahulukan. Intuisi ini cenderung bersifat pribadi sehingga kurang objektif. Masing-masing orang memiliki intuisi yang berbeda dan tidak jarang mereka menganggap bahwa pertimbangannya benar sehingga sulit dicapai kesepakatan sebagai standart prioritas. Selain itu, intuisionisme juga mengabaikan prosedur rasional demi kesepakatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Padahal prosedur rasional ini amat penting demi diterimanya dan dapat dipertanggungjawabkannya prinsip-prinsip keadilan.
Kemudian, keadilan alternatif macam apa yang ditawarkan Rawls? Tesis pokok Rawls dalam teori keadilannya mengatakan bahwa ‘keadilan adalah fairness. Artinya, suatu kebijakan dan tindakan dikatakan adil apabila memberikan kesempatan yang fair serta hak yang sama bagi semua anggota masyarakat. Dengan demikian, keadilan menyangkut distribusi hak dan kewajiban yang merata dan seimbang bagi seluruh anggota masyarakat. Pelaksanaan hak dan kewajiban itu sendiri dijamin oleh konstitusi dan hukum yang disusun dengan prosedur yang benar serta diterima oleh semua pihak karena memang menjamin semua pihak, tidak menguntungkan atau merugikan pihak tertentu. Dengan demikian, warga masyarakat akan melaksanakannya secara konsisten dan konsekuen.
Supaya konstitusi dan hukum yang menjadi basis utama pelaksanaan hak dan kewajiban yang adil sungguh kuat, Rawls yakin bahwa teori keadilan yang baik adalah yang bersifat kontrak. Artinya, teori tersebut lahir dari kesepakatan semua pihak yang terkait dalam proses penentuan konstitusi dan hukum. Dengan demikian, semua pihak akan sepakat dan secara konsekuan taat padanya.
Gagasan Rawls bahwa keadilan adalah fairness, dicoba disejajarkan dengan pandangan Kant tentang ‘imperatif ketegoris’ . Pada Kant, pandangan ini berpangkal pada gagasannya tentang person moral. Dengan dipengaruhi gagasan person moral Kant, Rawls berpendapat bahwa manusia sebagai person moral dilengkapi dengan doa kemampuan dasar. Kemanpuan dasar yang pertama disebut a sense of justice. Kemanpuan dasar ini menjadikan manusia bisa mengerti dan membedakan antara adil dan tidak adil serta bertindak berdasarkan rasa keadilannya. Kemampuan yang kedua adalah a sense of the good, yang memampukan manusia untuk mengerti dan mebedakan baik dan buruk serta mendorongnya untuk memilih yang baik. Kedua kemampuan dasar ini menjadi landasan bagai setiap orang untuk mangambil keputusan-keputusan moral.
Gagasan tentang kedua kemampuan dasar manusia ini tidak terlepas dari keyakinan Rawls bahwa hakikat manusia yang paling mendasar adalah bahwa mastabat manusia terletak pada rasionalitas, kebebasan dan kesederajatannya. Setuju dengan Kant, Rawls menegaskan bakwa karena martabatnya inilah maka manusia harus diperlakukan sebagai tujuan bukan sarana belaka. Bahwa manusia merupakan makhluk yang bebas, rasional dan sederajat ini, bagi Rawls menjadi unsur yang mendasar demi terciptanya keadilan sabagai fairness.
Kembali pada persoalan kemampuan dasar manusia, terutama yang kedua, timbul persoalan bahwa tidak jarang muncul perbedaan. Setiap orang, karena kemampuan moralnya yang berbeda-beda, bisa jami mempunyai konsep yang berbeda pula akan yang baik. Padahal konsep mengenai yang baik ini akan mendasari kepentingan-kepentingan yang hendak diperjuangkan. Dengan demikian, terjadi bahwa semua pihak harus memperhatikan kepentingan umum tetapi juga tidak boleh mengabaikan kepentingan masing-masing individu. Keadilan sebagai fairness berutmpu pada keduanya dan memberikan tempat kepada masing-masing secara proporsional.
Tekanan keadilan pada pendistribusian hak dan kewajiban secara fair menuntut adanya prinsip-prinsip keadilan yang juga merupakan hasil dari prosedur yang adil. Artinya, prinsip-prinsip tersebut dirumuskan dengan prosedur yang tidak memihak. Oleh karena itu, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness adalah pure procedural justice . Dalam pure procedural justice, yang dibutuhkan adalah prosedur yang benar dan adil untuk menjamin hasil yang benar dan adil pula. Inti dari prosedur yang adil dan benar tersebut adalah tidak memihak.
Inti pokok keadilan sebagai fairness adalah pentingnya suatu prosedur yang fair yang mampu menjamin kebijakan-kebijakan yang dapat dijelaskan dan diterima secara rasional serta dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat diterima setiap orang sebagai hal yang adil. Demi terjaminnya prosedur ini, dibutuhkan agar semua pihak yang terlibat dalam pemilihan prinsip-prinsip keadilan berada dalam “posisi asali” (the original position). Posisi asali ini menjadi hal yang esensial demi terbentuknya keadilan sebagai fairness . Pada dasarnya, semua orang berpeluang untuk masuk pada posisi asali ini, tetapi dalam praksisnya, hanya mereka yang memenuhi kriteria rasionalitas, kebebasan dan kesamaan, yang bisa disebut berada dalam posisi asali. Singkatnya, kondisi awal yang harus dipenuhi adalah sebagai manusia yang bebas, rasional, dan sama.
Berpijak dari pengertian akan keadilan sebagai fairness dan juga gagasannya akan posisi asali, Rawls masuk pada prinsip-prinsip keadilan. Pada pokoknya ada dua prinsip keadilan. Pertama, adalah prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Prinsip ini mengetengahkan bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang meliputi kebebasan politik (bersuara dan berkumpul, mencalonkan diri dalam pemilihan), kebebasan berpikir dan menuruti suara hati, kebebasan menjadi diri sendiri, kebebasan atas milik. Semua kebebadan tersebut harus dijamin oleh konstitusi supaya pelaksanaan hak yang sama bagi setiap warga benar-benar terjamin.
Di sini kemudian muncul pertanyaan, bukankah kontitusi yang mengatur itu justru membatasi kebebasan? Bagi Rawls, hal ini tidak masalah sebab menurutnya kebebasan-kebebasan dasar harus ditempatkan dalam suatu sistem sebagai satu kesatuan, baik antara kebebasan yang satu dengan kebebasan yang lain maupun antara kebebasan seseorang dengan yang lainnya. Memang seseorang bebas bersuara tetapi harus pula memperhatikan suara orang lain dan tidak boleh memaksakan begitu saja pendapatnya pada orang lain. Dengan kata lain, kebebasan-kebabasan tersebut tidak bersifat absolut dan dapat dilaksanakan sejauh tidak membahayakan kebebasan keseluruhan sebagai sistem. Maka pengaturan kebebasan secara konstitusional harus dilihat sebagai regulasi supaya lebih baik.
Prinsip keadilan yang kedua terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip diferen (the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity). Inti dari bagian yang pertama adalah agar perbedaan sosial ekonomis (kesejahteraan, otoritas, pendapatan) yang ada harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung (the worst off). Sedangkan bagian kedua menegaskan bahwa ketidaksamaan sosial ekonomis harus diatur sehingga membuka peluang yang sama akan jabatan dan kedudukan sosial bagi mereka yang memiliki kesempatan yang sama. Singkatnya biarlah orang yang memiliki ketrampilan, kemampuan dan motivasi yang sama dapat menikmati kesempatan yanga sama pula.
Dari prinsip kedua di atas dapat dikatakan bahwa ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga memberi keuntungan bagi setiap orang dan semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang . Di sinilah kekuatan teori Rawls, keadilan sebagai fairness: menekankan kesamaan (kesempatan mendapatkan kehidupan yang lebih baik) bagi semua pihak, sekaligus mengakui dan menerima ketidaksamaan asal tetap memberi keuntungan dan meningkatkan taraf hidup mereka yang kurang beruntung. Di sini perbedaan diakui sejauh menguntungkan semua pihak sekaligus memberi prioritas pada kebebasan.
Dengan demikian, hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa keadilan sebagai fairness, tidak berarti menempatkan semua orang untuk mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama. Keadilan tetap memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif melekat pada masing-masing individu. Penghargaan akan perbedaan yang wajar justru akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi semua pihak dan dengan demikian terciptalah keadilan karena masing-masing orang menerima apa yang menjadi haknya dan melaksanakan kewajibannya. Contohnya adalah perbedaan tingkat rasionalitas. Adalah fair jika orang-orang yang memang rasionalitasnya tinggi duduk di lembaga perwakilan sementara yang rendah tetap sebagai rakyat biasa. Dengan rasionalitasnya yang tinggi itu mereka diharapkan membuat kebijakan-kebijakan yeng benar-benar menguntungkan semua pihak.
Masih ada hal penting yang harus diperhatikan agar keadilan sebagai fairness dapat terwujud, yaitu jaminan berupa masyarakat yang teratur. Rawls memberikan tiga kriteria masyarakat yang teratur: pertama, maayarakat tersebut diatur secara efektif oleh konsep keadilan yang diterima umum; kedua, orang-orangnya sadar sebagai person moral yang memiliki kekebasan dan persamaan derajat; dan ketiga, adanya lembaga-lembaga sosial yang mengontrol tingkah laku warga. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa masyarakat yang tertata baik meletakkan dasarnya pada demokrasi. Kondisi masyarakat yang tertata dengan baik ini akan menjamin terciptanya keadilan sebagai fairness.
Hal lain yang harus diusahakan agar keadilan sebagai fairness terwujud dalam masyarakat adalah sikap saling menghargai, yang oleh Rawls dimasukkan sebagai kewajiban natural (the natural duty of being just) yang kalau diistilahkan dalam bahasa Kant disebut dengan imperatif kategoris. Sikap saling menghargai ini menjadi tanda yang amat nyata bagi pengakuan antar anggota masyarakat sebagai person moral. Secara nyata, tindakan saling menghargai ini terwujud dalam sikap memandang dan memahami orang lain dari sudut pandang orang tersebut tentang yang baik dan bernilai, dan kesediaan untuk mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang berkaitan dengan pihak lain.
Dari pembicaraan mengenai keadilan sebagai fairness di atas dapat dikatakan secara ringkas bahwa paham keadilan tersebut mengandung tiga tuntutan moral . Pertama, kebebasan dan independensi dari pihak lain; kedua, distribusi yang adil akan kesempatan, peranan, kedudukan dan berbagai manfaat atau nilai-nilai sosial dalam masyarakat; ketiga, distribusi kewajiban secara adil. Dengan kata lain, keadilan sebagai fairness menuntut distribusi hak dan kewajiban secara adil. Dan dengan demikian, menyangkut hubungan sosial yang bersifat resiprok (timbal balik). Mengacu pada Aristoteles, keadilan adalah kebajikan yang menyangkut kebaikan tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga kebaikan orang lain.
Keadilan dalam kehidupan politik
Keadilan sebagai fairness merupakan pendistribusian hak dan kewajiban secara adil. Karena menyangkut distribusi hak dan kewajiban, maka perhatiannya tidak terlepas dari pola-pola hubungan masyarakat. Dengan demikian, keadilan sebagai fairness pada dasarnya merupakan moralitas politik yang memperhatikan distribusi hak dan kewajiban secara adil demi terciptanya pola-pola hubungan yang menguntungkan semua .
Keadilan sebagai moralitas politik, menuntut kesediaan setiap warga untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya secara adil sekaligus pengakuan hak-hak politik semua warga. Kewajiban mendasar yang harus dipenuhi adalah mematuhi konstitusi yang adil sebab kepatuhan ini merupakan jaminan bagi hak setiap orang. Kewajiban untuk mendukung dan memelihara lembaga-lembaga yang adil juga merupakan cara yang adil untuk menegakkan keadilan. Sebab, bagaimanapun juga, keadilan harus ditegakkan dengan cara-cara yang adil pula. Pelaksanaan kewajiban ini juga sejalan dengan asas resiprositas yang diperjuangkan dalam prinsip-prinsip keadilan sehingga masing-masing anggota masyarakat dapat saling memberikan keuntungan. Adalah adil jika satiap warga tidak hanya menuntut haknya dipenuhi tetapi juga ia sendiri memenuhi kewajibannya.
Berkaitan dengan hak, disebutkan, paling tidak ada tiga yang harus diperhatikan, yaitu hak atas partisipasi politik, hak warga untuk tidak patuh, dan hak warga untuk menolak kebijakan politik berdasarkan hati nurani. Pertama, hak atas partisipasi politik yang sama (right to equal political participation) . Seperti sudah dikatakan di atas bakwa keadilan sebagai fairness, hanya bisa diterapkan pada mayarakat yang domokratis (tertata baik). Tatanan politik masyarakat yang demokratis tersebut merupakan demokrasi konstitusional. Demokrasi konstitusional itu ditandai dengan 1) badan perwakilan yang dipilih secara fair dan bertanggung jawab pada rakyat yang memilihnya, dan 2) adanya pelindungan konstitusional atas kebebasan-kebebasan dasar.
Dalam masyarakat yang demokratis itu setiap campur tangan pihak luar atas hidup individu tidak dilegalkan dan justru menuntut agar hak politis setiap individu harus diprioritaskan. Jaminan atas hak partisipasi politik yang sama tidak berarti bahwa setiap warga diberi partisipasi yang sama beasar dan bentuknya. Sesuai dengan prinsip keadilan, yaitu kebebasan dan diferen, maka nilai kebebasan politik setiap orang tidak sama. Dipertimbangkan juga perbedaan kemampuan dan kemauan seseorang sebagai pijakan untuk berpartisipasi dalam politik secara fair. Hanya saja mereka yang mempunyai kemampuan dan kemauan yang kurang lebih sama harus mendapat kesempatan yang sama pula. Namun demikian, mereka yang lebih beruntung harus juga membuka kesempatan bagi yang kurang beruntung untuk mendapatkan akses yang sama.
Mereka yang mempunyai kemampuan dan kemauan serta kesempatan untuk duduk di badan perwakilan harus benar-benar mewakili rakyat dengan menentukan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan semua pihak, tidak hanya cari untung sendiri. Oleh kerena itu, hal ini harus dijamin dan diatur oleh konstitusi yang disusun dengan proses yang adil, terbuka, dan tidak memihak. Sejauh proses ini dipenuhi, konstitusi yang terbentuk dapat diterima sebagai adil dan dapat berfungsi efektif untuk mengatur hak politik setiap warga.
Kedua, hak warga untuk tidak patuh (right to civil disobedience). Sistem politik demokrasi yang menekankan kebebasan dan kemerdekaan hak politik tiap warga tidak jarang menimbulkan konflik-konflik gagasan. Perbedaan pandangan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pendidikan, lingkungan sosial, keyakinan moral dan religius, dll yang memang dihargai merupakan konsekuensi logis dari demokrasi. Konflik-konflik tersebut dapat mengambil bentuk yang tegas sebagai hak untuk tidak patuh. Ketidakpatuhan ini harus ditempatkan pada penolakan terhadap hukum yang tidak adil (memihak) karena hal itu jelas bertentangan dengan sifat hakiki hukum sebagai penjamin dan penegak keadilan .
Oleh karena itu, tidak patuh pada negara karena hukumnya tidak adil merupakan tindakan yang sah. Hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ketidakpatuhan ini adalah bahwa tindakan itu harus merupakan tindakan politik untuk menolak dan memperbaiki hukum yang tidak adil, harus merupakan tidakan publik (dilakukan secara terbuka) karena terkait dengan kepentingan umum/ kebijakan publik, dan harus dilaksanakan dalam batas-batas hukum dengan menghindari terjadinya kekerasan sebab kekerasan itu sendiri bertantangan dengan prinsip keadilan. Pelaksanaan hak untuk tidak patuh harus pada situasi yang tepat, yaitu manakala terjadi pelanggaran prinsip kebebasan, kelompok mayoritas tidak peduli pada yang minoritas, dan terjadi pelanggaran atas perlakuan dan kesempatan yang sama. Hal ini terwujud dalam aneka aksi damai atau demo non kekerasan yang menentang kebijakan pemerintah yagn dirasakan tidak adil. Manfaat yang diperoleh dari sini adalah koreksi atas lembaga-lembaga yang tidak adil .
Ketiga, hak untuk menolak keputusan politik berdasarkan hati nurani (right to conscientious refusal). Penolakan atas suatu keputusan politis bersadarkan hati nurani ini biasanya berakar dari keyakinan moral dan religius meskipun tidak menutup kemungkinan berasal dari pertimbagnan pilitis juga. Karena berdasar pada keyakinan moral atau religius, maka sifatnya lebih personal dan inilah yang disebut sense of justice yang harus tetap dihargai dan diberi kebebasan mengingat hal ini berkaitan dengan otonomi manusia yang diperjuangkan dalam keadilan sebagai fairness. Meski demikian, harus diperhatikan bahwa asas hukum tetap lebih tinggi dan harus diprioritaskan sebab keadilan di sini menyangkut hubungan sosial yang diatur oleh hukum universal sedangkan hukum religius cenderung bersifat partikular pada kelompok tertentu.
Sumbangan Teori Keadilan Rawls terhadap usaha menciptakan budaya politik santun
Dari uraian-uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keadilan sebagai fairness yang merupakan keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik . Hal ini menjadi semakin jelas kalau kita melihat beberapa sumbangan Rawls dengan teori keadilannya.
Pertama, penekanan kebebasan, persamaan hak, dan rasionalitas merupakan hal yang sangat penting bagi moralitas politik. Politik yang bermoral selalu mengandaikan adanya pengakuan bahwa masing-masing individu memiliki kesamaan derajat dan dengan demikian persamaan hak serta pengakuan akan kebebasan. Rasionalitas penting sebab menjadi pendorong manusia rasional agar menggunakan kebebasannya untuk diabdikan pada kebaikan.
Dalam hal ini, dibutuhkan juga alat bantu dari luar berupa kimtitusi sebagai penjamian pelaksanaan kebebasan dan persamaan hak yang fair. Konstitusi dibuat sebagai prosedur pelaksanaan sekaligus evaluasi atas penerapan keadilan demi terciptanya fairness dan asas resiprositas. Hal ini tercapai sebab di samping mengatur penggunaan kebebasan dan pemenuhan persamaan hak juga menekankan pentingnya masing-masiing orang memenuhi kewajibannya.
Kedua, penggunaan prinsip diferen menunjukkan penghargaan atas perbedaan-perbedaan objektif dan tak terhindarkan antar individu. Perbedaan diterima dan sah termasuk dalam hak dan kesempatan politik. Justru tidak rasional jika keadilan hanya asal semua orang memperoleh kedudukan yang sama dalam politik. Namun penerimaan atas perbedaan ini tidak semaunya sendiri sebeb harus juga diabdikan demi bonum commune dengan dijembatani oleh prinsip solidaritas. Adanya orang yang duduk di lembaga perwakilan, sementara ada yang hanya sebagai rakyat biasa, tetapi semuanya harus berjuang demi terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing.
Ketiga, adanya relasi antara konstitusi dan moral sebagai penjamin tata hubungan sosial. Jaminan akan tata hubungan sosial ini menjadi kuat sebab kekuatannya tidak hanya dari luar saja (hukum) tetapi juga dari dalam (moral). Manusia sebagai person moral memiliki kecenderungan natural untuk taat pada nuraninya. Dengan demikian, aturan-aturan kontitusional dapat terbatinkan dalam dirinya sehingga menjadi pendorong untuk mewujudkan suatu hubungan sosial yang harmonis. Tak seorangpun dalam hatinya mengharapkan masyarakat yang kacau.
Dengan mengingat beberapa sumbangan diatas, kiranya dapat dikatakan bahwa teori keadilan Rawls ini cukup penting bagi terciptanya budaya politik santun. Budaya politik santun tidak terlepas dari etika politik yang meliputi tiga aspek: tujuan, sarana, dan aksi politik . Tujuan etika politik adalah terwujudnya kesejahteraan dan damai berdasarkan kebebasan dan keadilan.
Dalam aspek sarana yang memungkinkan tujuan itu tercapai, keadilan menjadi prinsip tatanan sosial dan politis di samping prinsip solidaritas dan subsidiaritas serta penerimaan pluralitas. Selain itu, kekuatan-kekuatan politis juga harus ditata sesuai dengan prinsip timbal-balik (resiprok). Sedangkan aksi politik dibuat berdasarkan asas rasionalitas yang meliputi rasionalitas dalam orientasi situasi, persepsi kepentingan, manajemen konflik, disposisi kekuasaan dan menghindari kekerasan. Dengan ini mau dikatakan bahwa budaya politik mengandaikan aspek normatif (moral dan etika), kaidah kebudayaan (aturan main yang adil dan fair) dan peduli pada nilai-nilai dan perwujudan cita-cita. Dalam aturan main yang adil, dibutuhkan prosedur dan prinsip yang adil: menerima pluralitas (prinsip diferen), keadilan prosedural, prinsip solidaritas dan subsidiaritas.
Bagi bangsa Indonesia, apa relevansi pemikiran Rawls ini? Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mejemuk. Saat ini perjuangan untuk mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat sedang galak-galaknya. Kemajemukan masyarakat dalam bidang budaya, agama, ras, bahasa, pandangan hidup, dll menjadikan pengambilam keputusan cenderung ditentukan kepentingan egois, terutama bagi kelompok yang kuat dan mayoritas. Konsekuensinya, sulit dicapai keputusan yang menguntungkan semua pihak. Teori keadilan Rawls dapat dipakai sebagai acuan sekaligus koreksi atas praktek-praktek seperti ini. Pentingnya rasionalitas, persamaan hak dan kebebasan yang ditekankan Rawls menjadi hal yang amat relevan untuk diperjuangkan.
Penerapan prinsip diferen kiranya juga amat penting kalau bertatapan dengan realitas kemajemukan masyarakat kita. Perbedaan-perbedaan itu diterima namun dengan catatat diabdikan demi kabaikan bersama. Mereka yang memiliki kesempatan, harta, dan otoritas yang lebih kuat harus memakainya tidak untuk kepantingan sendiri tetapi untuk kepentigan bersama dan selalu memberikan kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sudah selayaknya, bahwa mereka yang duduk di lembaga perwakilan, menggunakan otoritas, rasionalitas, dan kebebasan mereka demi kebaikan seluruh bangsa.
Sementara itu, pelaksanaan hak-hak rakyat untuk perpartisipasi politis, tidak taat, dan menolak berdasarkan hati nurani yang dikemukakan Rawls dalam teori dan praksisnya, dapat juga dipakai sebagai pedoman bagi rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya tersebut. Dengan demikian, perjuangan hak tidak akan jatuh pada aksi-aksi kekerasan yang justru mencerminkan tindakan ketidakadilan. Perjuangan hak atas nama keadilan harus dilaksanakan dengan cara-cara dan prosedur yang adil pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar