Ads 468x60px

Reformatio vitae - Perubahan hidup

Kis 4:13-21; Mzm 118:1.14-15a.16a.18.19-21; Mrk 16:9-15
"Reformatio vitae - Perubahan hidup."
Itulah yang diharapkan ada dalam setiap pengalaman paskah karena pada dasarnya, paskah adalah sebuah "reformasi": “NEXT LEVEL”, perubahan dari kematian menjadi kehidupan, dari penyaliban menjadi kemuliaan, dari dukacita menjadi sukacita, dari gelap menjadi terang.
Adapun Yesus mencela ketidakpercayaan dan kedegilan hati orang banyak karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitanNya.
Disinilah, kita diajak memiliki perubahan hidup bahwa beriman itu tidak selalu harus melihat langsung tapi mempunyai 3 sikap dasar yang terwujud dalam hidup harian, antara lain:
1."Optimis":
Kita diajak hidup dengan penuh keyakinan, jauh dari sikap sinis-skeptis dan pesimis, tidak mudah curiga dan berpraduga tapi selalu bersemangat dan meyakini penyertaan ilahi dalam setiap pengalaman insani.
2."Obyektif":
Kita diajak untuk mempunyai hati dan budi yang terbuka pada pelbagai pengalaman, entah personal/comunal, lewat diri/sesama, mudah bersahabat dan tidak terkungkung pada "subyektifitas", ego dan kepentingan pribadi yang kadang mudah menuduh dan melupakan konteks utuhnya secara arif.
3."Optimal":
Kita diajak untuk menjadi orang beriman yang "magis", bersemangat lebih untuk "pergi dan memberitakan injil kepada semua makluk", lintas agama dan budaya, berani "keluar kandang" dan menjadi figur "in between", jembatan antara orang miskin dan kaya, orang kuat dan lemah dll lewat pelbagai sarana dan media duniawi.
"Makan nasi di atas bukit - Mari bersaksi karena Allah telah bangkit."


NB:

1.“Deo Vindice - Tuhan adalah Pelindung (Kita).”
Inilah motto Konfederasi Amerika yang saya tulis dlm buku “Carpe Diem” (RJK, Kanisius) dan terkait-paut dg pesan hari ini bahwa Ia selalu melindungi kita.
Adapun tiga seruan dasarNya hari ini, adalah:
A. Percayalah:
Bahasa lbraninya “PERCAYA” adalah tertelungkup tanpa daya dengan segenap hati/ketergantungan yang mutlak. Nah, sadar bahwa kecendrungan kita adalah lebih percaya pada diri sendiri maka Yesus berkali-kali menampakkan diri kepada para muridNya: dari Magdalena, dua murid Emaus sampai pada Thomas supaya para murid dikuatkan dan menjadi percaya pada Allah.
Salah satu buah penampakanNya adalah adanya pengakuan iman para rasul, diwakili oleh Tomas yg berseru: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28). Karena itu dengan perantaraan Tomas, Yesus berbicara pada kita tentang pentingnya “percaya”: Berbahagialah mereka yang tidak melihat tapi percaya” (Yoh 20:28-29). Bukankah dulu mereka ragu-ragu supaya kini kita tidak ragu-ragu lagi? Bukankah teladan iman kita ditandai oleh kenyataan bahwa kita “hidup karena percaya bukan karena melihat?
B. Pergilah:
Meskipun Yesus mencela ketidakpercayaan para murid tapi Ia tetap percaya dan mengutus mereka untuk ”pergi”.
Ya, kita bukan cuma dikuatkan, tapi kita dipercaya untuk ”action”, pergi membereskan diri dan keluar dari kemapanan pribadi: "Menjadi sibuk saja tidaklah cukup; semut-semut juga sibuk, persoalannya adalah apa yang menyibukkan kita, bukan?
Yang pasti, jika kita selalu menyibukkan diri untuk pergi bersama Allah, kita boleh yakin bahwa Dia akan menyertai “kepergian” kita, asal smuanya demi kemuliaan Tuhan.
Yah, seperti kata Paus Emeritus Benediktus XVI pada salah satu Audiensi Umumnya, "semoga cinta akan kebenaran dan keinginan terus-menerus untuk mengenal Tuhan merupakan dorongan bagi setiap umat Kristiani untuk tanpa merasa lelah mencari persatuan yang makin mendalam dengan Kristus: Jalan,
Kebenaran dan Kehidupan”.
C. Beritakanlah:
Ia mengajak kita untuk menjadi “juru kampanye ilahi”, dengan doa-kata dan terlebih tindakan nyata. Dengan kata lain: Kita tidak hanya dikuatkan dan dipercaya tapi kita juga diutusNya untuk bersaksi dan menjadi “kabar baik” bagi orang lain.
Seorang saksi dan utusan Tuhan harus menyuarakan hati nurani kolektif, sabda, wahyu Ilahi sekaligus kemanusiaan yang hakiki, sehingga apa yang diharapkan sungguh menjadi kenyataan bagi dunia: “gaudere cum gaudentibus, et fiere cum fientibus” (Bersukacitalah dengan yang bersukacita dan menangislah dengan yang menangis).
Adapun pasca Konsili Vatikan II, Tahta Suci memberikan ruang lebih luas kepada awam untuk berpartisipasi aktif membantu karya pastoral gereja di tengah dunia. Oleh karena itu, inilah tugas kita bersama untuk memberitakan karya Tuhan di tengah carut marut dunia global.
“Sambel terasi sambel bawang - Mari kita bersaksi bagi setiap orang”

2."Christus surrexit- Kristus telah bangkit!"
Adapun bacaan hari ini merupakan ringkasan dari penampakan-penampakan Kristus yang telah bangkit, ditutup dengan kenaikan-Nya. Penampakan kepada sebelas orang murid terjadi langsung sesudah dua orang dari Emaus melaporkannya. (Luk. 24:36-49: Yoh. 20: 19-25).
Para penginjil tidak memberikan kesan bahwa Yesus memarahi mereka atas ketidakpercayaan dan kedegilan hati mereka, tetapi bahwa Dia mengetahui betapa sulit bagi mereka untuk percaya.Dan Yesus berusaha menghilangkan kesulitan mereka dengan menawarkan bukti-bukti kebangkitan-Nya.
Ya, para murid sangat lamban untuk percaya.Mereka sulit menerima kesaksian dari orang-orang yang sudah melihat Yesus yang bangkit.Mereka tidak langsung menerima pemberitaan Maria Magdalena dan dua murid dalam perjalanan ke Emaus (Luk. 24:13-35), sehingga Yesus sendiri harus menampakkan diri dan menegur kedegilan hati mereka.
Meski demikian, Yesus terus mendorong mereka dengan otoritas-Nya untuk menjalankan misi mereka memberitakan Injil ke seluruh dunia.
Yesus menjanjikan penyertaan-Nya. Itulah yang menjadi kekuatan yang mengubah hidup para murid.Seperti apakah penyertaan Yesus kepada para murid?
Pertama, Yesus turut bekerja di dalam dan melalui para murid sehingga berita Injil dapat disebarkan sehingga banyak orang yang bertobat.
Kedua, firman yang Yesus ajarkan kepada mereka menjadi dasar yang teguh bagi pemberitaan Injil.
Ketiga, tanda-tanda yang menyatakan otoritas Kristus memperteguh para murid bahwa mereka memberitakan Injil bukan dengan kekuatan sendiri melainkan dengan kuasa Allah yang dicurahkan bagi mereka.
Pastinya, kuasa yang sama, yang menyertai para murid generasi pertama, juga menyertai kita, sampai sekarang bukan?
"Ada pepaya ada srikaya - Haleluia Tuhan bercahaya."

3. "A Jesus Way- Jalan Yesus."
Kel. 12:1-8,11-14;Yoh. 13:1-15
"A Jesus Way- Jalan Yesus."
Inilah tiga jalan iman yang diajarkan Yesus pada awal trihari suci al:
A.Kerendahan hati:
Yesus "turun" untuk memenuhi sesuatu yang biasanya hanya pantas dilayankan oleh seorang budak non-Yahudi atau perempuan/anak-anak, bukan lelaki Yahudi dewasa.
Kini Ia yang adalah Guru dan Tuhan merekalah yang melakukan tindakan itu.
Dkl: Dia mengajarkan sikap "turun", rendah hati dan murah hati karena keinginan untuk menjadi yang terbesar senantiasa mengganggu pikiran para muridNya
(Mat 18:1-4; 20:20-27; Mr 9:33-37; Luk 9:46-48).
B.Pelayanan:
Yesus menyatakan bahwa pembasuhan kaki merupakan tanda bahwa mereka ikut mengambil bagian dalam Dia, artinya ikut mengambil bagian dalam jalannya Yesus yakni jalan pelayanan. Dengan jalan inilah Ia memungkinkan kita memperoleh "bagian di dalam Dia" (ayat 8; bdk.Luk. 22:29-30) dan memperoleh "pembersihan" dari dosa (Yoh. 13:10; bdk. 1Yoh. 1:7)
C.Kasih:
Inilah dasar semuanya.
Ia menunjukkan kepada murid-murid-Nya betapa besar kasih-Nya kepada mereka.
Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya atau pada akhirnya.
Ungkapan ini (eis telos) juga bisa berarti "sepenuh-penuhnya" (I Tes. 2:16).
Bagaimana dengan kita?
"Ada Silalahi ada juga Sibarani-
Mari saling mengasihi, melayani dan mengampuni."


4.Kamis Putih – Sebuah Oleh Oleh Refleksi.
Leonardo da Vinci!
Inilah nama pelukis yang termasyur karena lukisan Monalisa-nya. Ternyata, ia juga tersohor karena salah satu karyanya yang lain yakni “The Last Supper”, sampai sampai Dan Brown mengeluarkan bukunya yang berjudul The Da Vinci Code yang berisikan interpretasinya atas lukisan-lukisan Leonardo dalam bentuk novel.
“The Last Supper” atau “Perjamuan Terakhir” adalah khas dalam liturgi Gereja Katolik bernama “Kamis Putih”, yang dalam bahasa Inggris tua kadang disebut Mandatum Thursday dan dalam bahasa Latin juga disebut Mandatum Novum yang berarti perintah baru. Inilah Kamis sebelum Paskah, salah satu hari terpenting dalam kalendarium liturgi Gereja. Di hari itulah, seperti layaknya kita, Yesus mengadakan perpisahan. Namun perpisahan-Nya kali ini, dibayangi dengan maut yang siap menunggu-Nya di Kalvari. Pada malam itu, terjadilah Perjamuan Terakhir, dimana terjadi Perjanjian Agung antara Tuhan dan umat manusia. Tubuh-Nya siap dikorbankan dan darah-Nya siap dicurahkan untuk menebus umat manusia.
Pada malam Kamis Putih itulah, Yesus berkata, “kalian sudah bersih, tapi tidak semuanya”. Oleh sebab itu, kita perlu dicuci. Hidup kita juga penuh dengan pelbagai kegiatan mencuci, bukan? Cuci muka sebelum tidur, cuci tangan sebelum makan, cuci mulut setelah makan, cuci kaki sebelum istirahat, dan sebagainya. Untuk apa dicuci? Jelas, hasilnya supaya kita bersih. Oleh sebab itu, ketika Perjamuan Terakhir, Yesus mencuci kaki para muridnya, bukan? Iya, karena mereka semua belum bersih. Di hari Kamis Putih itulah, Yesus memberikan suatu teladan buat kita dan pastinya Ia menjadi teladan yang hidup buat kita. Kalau begitu, apa itu teladan?
Orang Latin kerap ber-pepatah: verba movent-exempla trahunt, yang kurang lebih bisa diartikan, “kata-kata menguap, tetapi teladan hidup itu menyentuh hati.”
Nah, bagaimana kita bisa menjadi teladan dan menyentuh hati Tuhan dan hati sesama yang lainnya?
Mengacu pada katekese abjad yang coba saya kembangkan, kata “teladan” menyimpan tiga hal baik yang bisa kita kenangkan dan laksanakan, terlebih mengacu pada tradisi dan pelbagai bacaan dalam Hari Kamis Putih. Tiga hal yang bisa kita buat kalau kita ingin menjadi teladan, yakni:
TEguhkan iman
LAyani Tuhan
DAN, ikutlah perjamuan

A.TEguhkan iman:
“Pembasuhan kaki” yang dianggap hina dan rendah dilakukan Yesus untuk menubuatkan bagaimana Ia akan direndahkan dalam kematian. Ia perlu mati demi penyelamatan mereka yang percaya kepada-Nya. Dengan jalan kasih dan pengorbanan inilah, Ia meneguhkan iman kita dan memungkinkan kita memperoleh "bagian di dalam Dia" (bdk.Luk. 22:29-30) serta memperoleh "pembersihan" dari dosa (Yoh. 13:10; bdk. 1Yoh. 1:7). Inilah juga sebuah jalan kasih yang meneguhkan panggilan iman kita: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.“

B.Layani Tuhan:
Yesus “turun” untuk membasuh kaki, untuk memenuhi sesuatu yang biasanya hanya pantas dilayankan oleh seorang budak non-Yahudi atau perempuan/anak-anak, bukan lelaki Yahudi dewasa (1Sa 25:41). Kini Guru dan Tuhan merekalah yang melakukan tindakan “turun” itu.
Hal ini sekaligus merupakan ajakan ilahi supaya para murid-Nya saling melayani dengan kerendahan hati karena keinginan untuk menjadi yang terbesar senantiasa mengganggu pikiran mereka (Mat 18:1-4; 20:20-27; Mr 9:33-37; Luk 9:46-48).
C.Dan ikutlah perjamuan:
Lewat Kamis Putihlah, Ekaristi mendapatkan bentuk awalnya. Seperti yang selalu dikatakan oleh St Yohanes Paulus II: Kamis Putih adalah hari Ekaristi dan Imamat. Bahkan, setiap Kamis Putih sejak 1979, Paus ini selalu membuat ensiklik (yang terakhir, Ecclesia de Eucharistia, Kamis Putih, 17 April 2003), yang disampaikan untuk para uskup, imam dan diakon, para anggota Hidup Bakti, dan segenap umat beriman. Yah, lewat Kamis Putih, kembali dikenangkan bahwa Ekaristi dipercayakan oleh Yesus kepada para rasul, dan telah disampaikan kepada kita oleh para rasul dan para pengganti mereka. “Justru dalam kesinambungan dengan praktek para Rasul, dalam ketaatan kepada perintah Tuhan, Gereja merayakan Ekaristi sepanjang abad” (EE 27).
Di lain matra, pada Hari Kamis Putih, gereja secara khusus mengenangkan lima Misteri Iman. Misteri pertama adalah Yesus membasuh kaki para Rasul-Nya. Dengan tindakan-Nya ini Yesus hendak mengajarkan kepada kita untuk melayani sesama dengan rendah hati. Kedua, Yesus bersabda bahwa kita harus saling mengasihi seperti Ia telah mengasihi kita. Misteri ketiga, yang merupakan rahmat terbesar dari semua rahmat yang telah Yesus berikan kepada kita, ialah Perayaan Misa: menerima Tubuh, Darah, Jiwa serta Ke-Allahan Yesus dalam Komuni Kudus. Pada Perjamuan Malam Terakhir Yesus juga meletakkan dasar Sakramen Imamat, Ordo-ordo Kudus. Yesus memilih para rasul-Nya sebagai imam-imam dan uskup-uskup pertama, serta memberi mereka kuasa untuk mempersembahkan kurban Misa.
Pada Hari Kamis Putih kita juga mengenangkan sengsara maut Yesus di Taman Getsemani, di mana Ia meneteskan butir-butir keringat darah dari Darah-Nya yang Sangat Berharga itu bagi kita sementara Ia berdoa.
Pada Misa Kamis Putih imam mengkonsekrasikan cukup hosti agar dapat dibagikan juga pada umat saat Komuni Kudus keesokan harinya, karena pada hari Jumat Agung tidak dipersembahkan Misa. Setelah Misa berakhir, Sakramen Maha Kudus, yaitu Yesus Sendiri, diarak secara khidmat menuju tempat pentakhtaan-Nya, dimana akan diadakan Jam Suci  malam berjaga, tuguran) di hadapan Sakramen Mahakudus. Mari kita semua ikut serta dalam perayaan Misa Hari Kamis Putih dan menerima banyak rahmat istimewa yang dilimpahkan oleh Allah Bapa bagi kita pada hari yang kudus ini.
Akhirnya, Leo Tolstoy, seorang satrawan besar Rusia mengatakan: “cinta Bapa adalah cinta putih, yang mampu memberikan putihnya pada pakaian kita yang hitam, serta memberikan cahayanya pada jiwa kita yang kelam." Semoga kita juga semakin putih hati dan budinya, kata dan tindakannya, sehingga layak untuk ikut bangkit bersamaNya.
Pange, lingua, gloriosi
Pange, lingua, gloriosi
Corporis mysterium,
Sanguinisque pretiosi,
Quem in mundi pretium
Fructus ventris generosi,
Rex effudit gentium.
Nobis datus, nobis natus
Ex intacta Virgine
Et in mundo conversatus,
Sparso verbi semine,
Sui moras incolatus
Miro clausit ordine.
In supremae nocte cenae
Recumbens cum fratribus,
Observata lege plene
Cibis in legalibus,
Cibum turbae duodenae
Se dat suis manibus
Verbum caro, panem verum
Verbo carnem efficit:
Fitque sanguis Christi merum,
Et si sensus deficit,
Ad firmandum cor sincerum
Sola fides sufficit.
Tantum ergo Sacramentum
Veneremur cernui:
Et antiquum documentum
Novo cedat ritui:
Praestet fides supplementum
Sensuum defectui.
Genitori, Genitoque
Laus et iubilatio,
Salus, honor, virtus quoque
Sit et benedictio:
Procedenti ab utroque
Compar sit laudatio. Amen.
------------------------------------------
Pada hari Kamis malam,
(“Kamis Putih”)
Yesus makan bersama para sahabat-Nya.
Sekarang, kalian harus tahu
bahwa pada malam yang sama,
dulu, di masa silam,
Tuhan membebaskan umat-Nya
dari belenggu Firaun.
Roti dan anggur
Yesus berikan kepada mereka:
“Inilah Tubuh-Ku,
“Dan inilah Darah-Ku.
“Yang akan membebaskan kamu.
“Apabila kalian melakukan ini,” kata-Nya,
“ingatlah akan Aku.”
Mereka pergi ke sebuah taman,
setelah santap malam,
dan Yesus berlutut serta berdoa:
“Bapa, Bapa-ku,
“tolonglah Aku.
“Tolonglah Aku, Aku takut.”
Kemudian datanglah Yudas,
dan prajurit-prajurit juga,
yang mengikat tangan-Nya,
dan membawa-Nya pergi
menghadap Pontius Pilatus
yang duduk di atas singgasana.
“Ia berbahaya!”
“Ia harus mati!” teriak mereka.
Dan Pilatus, tanpa alasan, menjawab:
“Ia harus disalibkan!”
Lalu mereka mendera-Nya,
dan menyeret-Nya
ke suatu tempat bernama Kalvari.
Kadang-kadang Ia terjatuh,
tertimpa salib yang dipanggul-Nya,
salib yang dibuat dari sebuah pohon yang besar.
5.
TENTANG PEMBASUHAN KAKI
Belakangan ini ada banyak orang bertanya, mengapa dalam dua tahun ini, di perayaan Ekaristi hari Kamis Putih, Paus melakukan hal yang di luar kebiasaan: tahun lalu Paus membasuh kaki 12 orang penghuni penjara remaja, di antaranya 2 orang remaja putri, dan salah satunya bahkan non-Katolik. Lalu tahun ini, Paus juga membasuh kaki 12 orang di panti jompo dan cacat, beberapa di antaranya non-Katolik dan seorang wanita.
Lalu orang bertanya, apakah sebenarnya Paus boleh melakukan hal itu, adakah ketentuannya?
Untuk membahas tentang hal ini, pertama- tama perlu kita sadari terlebih dahulu bahwa kunjungan ke penjara dan ke panti jompo merupakan perbuatan yang baik dan diajarkan oleh Tuhan Yesus (lih. Mat 25:36-40). Maka di sini Paus nampaknya ingin menekankan misinya sebagai pelayan dan pembawa Kabar Gembira kepada segala bangsa. Namun tidak bisa dipungkiri, tindakan ini menimbulkan beberapa pertanyaan.
1. Apakah yang dikatakan dalam dokumen Gereja tentang pencucian kaki?
Terdapat dua dokumen kunci yang menyebutkan tentang pencucian kaki, demikian:
a. Dokumen yang menuliskan ketentuan perayaan yang terkait dengan Paskah, yang disebut Paschales Solemnitatis, yang dikeluarkan oleh Congregation of Divine Worship (Kongregasi Penyembahan Ilahi), 1988:
“Pencucian kaki dari para laki-laki dewasa yang terpilih, menurut tradisi, dilakukan pada hari ini [Kamis Putih], untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, yang telah datang “bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.”
Tradisi ini harus dipertahankan, dan pentingnya maknanya dijelaskan secara sepantasnya.”
b. Dokumen Roman Missal/ Missale Romawi:
Setelah Homili, ketika alasan pastoral menyarankan, pencucian kaki dilangsungkan.
Para laki-laki dewasa yang telah dipilih, diarahkan oleh para pelayan untuk duduk di kursi yang telah dipersiapkan di tempat yang layak. Lalu Imam (menanggalkan kasula jika perlu) mendatangi satu persatu, dan dengan bantuan para pelayan, menuangkan air kepada setiap kaki mereka dan mengeringkannya.
Sementara itu sejumlah antifon berikut ini atau lagu-lagu lain yang sesuai dinyanyikan.
Setelah Pencucian Kaki, Imam mencuci dan mengeringkan tangannya, mengenakan kasulanya kembali dan kembali ke kursinya dan ia melanjutkan dengan Doa Umat.
Maka di sini dapat dilihat bahwa:
1. Teks memang mengatakan bahwa yang dibasuh/ dicuci kakinya adalah laki-laki. Istilah Latin yang digunakan adalah “viri“, yang artinya adalah laki-laki dewasa.
2. Ritus ini adalah optional , bukan keharusan melainkan disarankan (ketika alasan pastoral menyarankan).
3. Tidak disebutkan berapa banyak jumlah orang yang dicuci kakinya. Tidak dikatakan harus 12 orang.
4. Antifon yang disertakan di sana tidak menyebutkan “rasul”. Antifon tersebut menggunakan istilah yang lebih umum, yaitu “murid”, atau kalau tidak, tidak menyebutkan istilah apapun, hanya menunjukkan teladan Yesus untuk kita ataupun perintah-Nya untuk mengasihi satu sama lain.
2. Bagaimana keputusan Paus Fransiskus terkait dengan dokumen ini?
Keputusan Paus Fransiskus dalam hal ini memang tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh teks dokumen. Dalam kunjungannya ke penjara remaja, Paus memutuskan untuk tidak membasuh laki-laki dewasa, namun remaja putra dan termasuk dua orang remaja putri. Namun fakta bahwa salah satu dari mereka adalah muslim, tidak bersangkutan dengan teks, sebab teks tidak menyebutkan apakah yang dibasuh kakinya harus Katolik. Adalah wajar jika orang menyimpulkan bahwa yang dibasuh kakinya semestinya Katolik, namun secara eksplisit memang tidak disebutkan.
Juga, dari point 1, kita ketahui bahwa hal pembasuhan kaki bukanlah merupakan bagian yang mutlak harus ada dalam liturgi perayaan Kamis Putih. Dikatakan di sana, adalah bilamana/ ketika alasan pastoral menyarankan (“where a pastoral reason suggest it“). Nampaknya, Paus Fransiskus memutuskan untuk melakukannya dengan cara yang berbeda dari para Paus pendahulunya, demi menyampaikan maksud pastoral untuk menjangkau kaum muda yang tersisih di penjara dan juga kaum manula, tanpa membeda-bedakan agamanya. Pada akhirnya Paus, sebagai wakil Kristus, berhak untuk menginterpretasikan teks dokumen ketentuan Gereja, sesuai dengan maksud utamanya.
3. Apakah Paus melakukan hal itu karena mengembalikan tradisi “Mandatum Pauperam?”
Gereja abad-abad awal telah mempunyai kebiasaan membasuh kaki pada perayaan Kamis Putih. Caremoniale episcoporum (ii, 24) menyerahkan kepada Uskup keputusan untuk membasuh kaki 13 orang miskin -yang kemudian dikenal sebagai tradisi Mandatum Pauperam- atau membasuh 13 orang yang ada di bawah kepemimpinannya, menurut kebiasaan Gereja setempat yang dipimpinnya. Tahun 694 di Sinoda Toledo semua uskup dan imam superior diharuskan melakukan pembasuhan kaki, orang-orang yang ada di bawah kepemimpinan mereka. Di abad ke-12, dimulai kebiasaan membasuh kaki 12 orang sub-diakon (Mandatum Fratrum) oleh Paus dalam perayaan Misa yang dipimpinnya, dan kemudian Paus membasuh kaki 13 orang miskin (Mandatum Frateram) setelah makan malam. Nampaknya di zaman itu terdapat dua jenis pembasuhan kaki pada hari Kamis Putih tersebut, untuk penjabaran selanjutnya, silakan klik di link ini.
Mungkinkah tradisi membasuh kaki kaum miskin/ tersisih ini yang ingin dilakukan oleh Paus? Mungkin saja. Hanya saja karena Paus memasukkan upacara pembasuhan kaki kaum tersisih ini ke dalam liturgi Kamis Putih, maka banyak orang mempertanyakannya. Namun di sini kita melihat secara obyektif, bahwa hal mencuci kaki para kaum tersisih itu bukan ide Paus yang baru ada saat ini. Hal itu sudah dilakukan sejak lama, hanya saja, dulu memang tidak dilakukan di dalam perayaan Ekaristi.
4. Jika Paus melakukan hal yang melampaui apa yang dikatakan oleh Missale Romawi, apakah boleh?
Ya, boleh saja. Paus tidak butuh meminta izin untuk membuat kekecualian tentang bagaimana suatu ketentuan gerejawi itu dipenuhi. Sebab Paus adalah pembuat hukum Gereja, maka ia merangkap sebagai legislator, interpreter dan executor/ pelaksana hukum tersebut, yang dapat memutuskan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pertimbangan kebijaksanaannya sendiri untuk menyampaikan pesan utama Injil, sesuai dengan keadaan Gereja pada saat tertentu.
Juru bicara kepausan, Fr. Thomas Rosica, mengatakan bahwa maksud Paus Fransiskus merayakan Misa Kamis Putih di penjara Roma (tahun 2013) adalah untuk menekankan esensi makna Injil di hari Kamis Putih, dan suatu tanda sederhana dan indah dari seorang bapa yang ingin merangkul semua yang terpinggirkan di masyarakat…. Itu hendaknya dipandang sebagai tanda sederhana dan spontan dari seorang Uskup Roma, untuk maksud menunjukkan kasih, pengampunan dan belas kasih.
Adalah hak Paus untuk memutuskan sesuai dengan keadaan Gereja di Roma, bagaimana ia hendak menyampaikan maksud utama pesan Injil di hari Kamis Putih tersebut.
5. Kalau Paus dapat melakukan hal itu, dapatkah imam yang lain melakukannya?
Secara teknis, tidak. Jika seorang Paus menilai bahwa sesuai dengan keadaan khusus dari perayaan yang dipimpinnya maka sebuah kekecualian dibuat, namun hal itu tidak menciptakan pola hukum yang memperbolehkan semua Uskup dan imam yang lain untuk melakukan hal yang sama.
Sebab tidak semua orang memiliki keadaan seperti Paus. Mereka tidak mempunyai keadaan pastoral dan otoritas hukum yang sama dengan Paus, maka wewenang merekapun berbeda dengan wewenang Paus dalam hal ini.
6. Bagaimana kita memahami ritus ini?
Umumnya orang berpandangan bahwa ritus pembasuhan kaki berhubungan dengan peringatan Yesus membasuh kaki ke-12 murid-Nya, dan karena itu, disebutkan sebagai alasan mengapa yang dibasuh kakinya adalah hanya laki-laki. Namun teks dokumen di atas (lihat no.1) memang tidak menyebutkan angka 12 orang. Kisah pencucian kaki diambil dari Injil Yohanes dan di perikop itu disebutkan istilah “murid-murid” dan bukan “rasul-rasul”, namun kalau Injil tersebut dibaca dalam kesatuan dengan ketiga Injil lainnya, dapat dimengerti bahwa peristiwa pembasuhan kaki pada saat Perjamuan Terakhir itu, memang dilakukan Yesus dengan ke 12 rasul-Nya. Sebab Injil Matius dan Markus menyebut bahwa di Perjamuan Terakhir itu Yesus makan bersama dengan ke-12 murid-Nya (lih. Mat 26:20; Mrk 14:17); dan Injil Lukas menyebutkan bahwa Yesus makan bersama dengan rasul-rasul-Nya (lih. Luk 22:14). Namun adalah fakta bahwa Yohanes memilih kata “murid-murid”, bukan “rasul-rasul” untuk mengisahkan peristiwa pembasuhan kaki dalam Injilnya; dan memang hanya Injil Yohanes yang mengisahkan tentang pembasuhan kaki ini. Maka kemudian Gereja melestarikannya upacara pembasuhan kaki untuk maksud yang lebih luas, dan tidak terbatas kepada para rasul. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, ada pembasuhan kaki juga dilakukan kepada sejumlah kaum miskin. Bahkan upacara ini dilestarikan juga di zaman Abad Pertengahan oleh para raja dan ratu Katolik -seperti yang dilakukan oleh para Raja Inggris dan Ratu Isabella II dari Spanyol[1]- yang mencuci kaki para bawahannya/ para kaum miskin di kerajaan mereka. Namun tentu tidak pada saat perayaan Misa kudus.
Dengan demikian, nampaknya pembasuhan kaki memang memiliki arti yang lebih luas daripada mandat Kristus kepada para Rasul untuk mengenangkan peristiwa kurban Tubuh dan Darah Kristus dengan mengucap syukur/ berkat, memecah-mecah roti dan membagi-bagikan roti tersebut, yang terjadi oleh perkataan konsekrasi dalam perayaan Ekaristi. Sebab untuk hal yang kedua ini, Injil jelas menyebutkan “keduabelas murid” atau “rasul-rasul”, dan dengan demikian, meng-institusikan Ekaristi kepada kedua belas Rasul-Nya, yang kemudian diteruskan oleh mereka kepada para penerus mereka, yaitu para Uskup dan imam melalui tahbisan. Kepada merekalah Tuhan Yesus memberikan kuasa untuk menghadirkan kembali kurban Tubuh dan Darah-Nya (lih. Luk. 22:19).
Sedangkan tentang pembasuhan kaki penekanannya tidak untuk menghadirkan kembali peristiwa itu, tetapi untuk memberikan teladan pelayanan dan kasih Kristus.
Maka tak mengherankan, jika Paschale Solemnitatis kemudian mengatakan:
“51. Pencucian kaki dari para laki-laki dewasa yang terpilih, menurut tradisi, dilakukan pada hari ini [Kamis Putih], untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, yang telah datang “bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.”
Tradisi ini harus dipertahankan, dan pentingnya maknanya dijelaskan secara sepantasnya.”
Karena maksud pencucian kaki ini adalah untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, maka tidak ada kaitan langsung antara upacara pembasuhan kaki ini dengan tahbisan imam. Maka sekalipun dari 12 orang yang dibasuh oleh Paus itu ada wanitanya, tidak dapat dikatakan bahwa Paus setuju untuk menahbiskan wanita. Ketika ditanya perihal tahbisan wanita, Paus Fransiskus menjawab, “Sehubungan dengan tahbisan wanita, Gereja telah memutuskan dan mengatakan tidak. Paus Yohanes Paulus II telah mengatakan demikian, dengan rumusan yang definitif. Pintu itu sudah tertutup.” Paus Fransiskus mengacu kepada dokumen yang dituliskan oleh Paus Yohanes Paulus II, Ordinatio Sacerdotalis. Di sana Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa Gereja tidak berhak menahbiskan wanita, dan pandangan ini harus dipegang oleh semua, sebagai sesuatu yang definitif.
7. Kesimpulan
Pada akhirnya baik diingat bahwa ritus pembasuhan kaki adalah ritus optional, dan baru dimasukkan ke dalam bagian Misa pada tahun 1955 oleh Paus Pius XII. Maka walaupun memiliki sejarah yang panjang, namun detail pelaksanaannya memang mengalami perubahan dari masa ke masa. Namun karena tidak menjadi ritus yang mutlak, maka hal tersebut memungkinkan untuk disesuaikan oleh pihak Tahta Suci, jika kelak memang diputuskan demikian.
Jika hal pencucian kaki ini menimbulkan banyak pertanyaan baik dari kalangan umat maupun imam, tentunya ini akan ditanyakan kepada Kongregasi Penyembahan Ilahi, yang berwewenang untuk menjelaskannya lebih lanjut. Namun sejauh ini, sepanjang pengetahuan kami, belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Kongregasi tersebut, selain dari ketentuan Paschales Solemnitatis, 51, seperti telah disebutkan di atas. Maka sebelum dikeluarkan penjelasan lebih lanjut, sebaiknya kita berpegang kepada ketentuan tersebut, namun tetap menghormati keputusan Paus yang pasti mempunyai pertimbangan tersendiri, jika ia memutuskan untuk melakukan kekecualian ataupun penyesuaian dari ketentuan itu.
6.
ULASAN INJIL “KAMIS PUTIH”
Hanya Injil Yohanes sajalah yang menyampaikan kisah pembasuhan kaki para murid (Yoh 13:1-15) Petikan ini dibacakan pada Pesta Perjamuan Tuhan pada hari Kamis dalam Pekan Suci. Memang dahulu lazim orang membasuh kaki sendiri sebelum masuk ke ruang perjamuan agar masuk dengan kaki bersih. Hanya tamu yang amat dihormati sajalah, misalnya seorang guru atau orang yang dituakan, akan dibasuh kakinya. Tapi ini dilakukan sebelum perjamuan mulai.
Dalam Injil Yohanes peran-peran tadi dibalik. Yesus sang guru kini membasuh kaki para muridnya. Lagi pula pembasuhan ini terjadi selama perjamuan sendiri, bukan sebelumnya seperti biasa dilakukan orang waktu itu. Kiranya hendak disampaikan hal yang tidak biasa. Pembasuhan kaki di sini tidak ditampilkan semata-mata sebagai tanda memasuki perjamuan dengan bersih, tetapi untuk menandai hal lain. Apa itu? Baiklah didekati kekhususan Yohanes dalam menyampaikan kejadian-kejadian terakhir dalam hidup Yesus.
Kaitan dengan Bacaan Pertama Kel 12:1-8; 11-14
Yohanes menyampaikan kejadian pada hari-hari terakhir Yesus dengan cara yang agak berbeda dengan ketiga Injil lainnya. Dalam Injil Markus, Matius dan Lukas, kedatangan Yesus ke Yerusalem mengawali peristiwa-peristiwa yang mengantar masuk ke dalam penderitaan, kematian serta kebangkitannya nanti, termasuk juga perjamuan Paskah. Yohanes lain.
Dalam Injil Yohanes kedatangan Yesus ke Yerusalem dan pembersihan Bait Allah dipisahkan dari peristiwa salib dan kebangkitan. Bagi Yohanes, serangkaian kejadian yang berakhir dengan kebangkitan itu justru berawal pada perjamuan malam terakhir. Berbeda juga dengan ketiga Injil lainnya, perjamuan ini bukan perjamuan Paskah, melainkan perjamuan malam yang diadakannya sebelum Paskah. Bagi Yohanes, Paskah yang sejati terjadi dalam pengorbanan Yesus di salib.
Dengan demikian Injil Yohanes membaca kembali pengorbanan Yesus di salib sebagai perayaan Paskah yang dahulu mulai sebagai ingatan akan saat Tuhan memimpin umatNya keluar dari tanah Mesir dengan kuasa besar sebagaimana dibacakan dari Kel 12:1-8; 11-14. Darah domba kurban Paskah yang dahulu dioleskan pada bingkai pintu rumah (Kel 12:8) menandai darah yang terpoles pada kayu salib. Salib menjadi ambang memasuki hidup baru bersama Yang Ilahi. Bingkai pintu yang terpoles darah domba itu juga menjadi tanda bahwa di rumah itu tinggal umat yang akan dipimpin keluar dari tanah Mesir dan penghuninya tidak kena bencana dan hukuman (Kel 12:12-13). Salib yang menandai darah pengorbanan Yesus menjadi tanda bahwa yang berada di balik salib itu ialah orang-orang yang diselamatkan.
Namun dalam peristiwa perjamuan yang dikisahkan Yohanes, semua ini baru terjadi nanti pada saat Yesus disalibkan, wafat, dan kurbannya menjadi tanda keselamatan siapa saja yang ada bersamanya.
Sekarang, dalam perayaan perjamuan malam sebelum Paskah hendak disampaikan bagaimana semua ini bisa terjadi, bagaimana pengorbanan ini memang menurut kemauan Yang Maha Kuasa dan utusannya, yakni Yesus, kini siap menjalankannya. Pengorbanan ini dijalaninya karena mengasihi “sampai pada kesudahannya” yang diungkapkan Yohanes pada awal perjamuan ini (Yoh 13:1). Marilah kita simak dari dekat peristiwa perjamuan ini
Membasuh Kaki Para Murid
Yohanes juga menekankan, Yesus sadar bahwa dirinya “datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah” (ay. 3). Karena itu mereka yang mengenalnya akan mengenali Yang Ilahi dari dekat. Ini semua diajarkan Yesus kepada para murid terdekat pada perjamuan malam terakhir itu dengan membasuh kaki mereka. Dia yang sadar berasal dari Allah dan sedang kembali menuju kepadaNya ingin menunjukkan bahwa orang-orang terdekat itu sedemikian berharga, sedemikian terhormat.
Lebih dari itu, ia ingin berbagi “sangkan paran” – dari siapa dan menuju ke siapa – dengan mereka. Inilah yang dimaksud dengan mengasihi sepenuhnya (ay. 1, Yunaninya “eis telos”). Tidak setengah-setengah melainkan hingga tujuan kedatangannya terlaksana, yakni membawa manusia ke dekat Allah, asal terang dan kehidupan.
Petrus terheran-heran dan tak bisa menerima gurunya membasuh kakinya. Yesus mengatakan bahwa kelak ia akan mengerti walaupun kini belum menangkapnya (ay. 6-7). Tetapi Petrus belum puas dan bersikeras menolak dibasuh kakinya oleh gurunya itu. Pada saat inilah Yesus menjelaskan, ” Jikalau aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam aku.” (ay. 8). Dia yang “sangkan paran”-nya ialah Allah sendiri mau berbagi kehidupan dengan para murid. Dan berbagi asal dan tujuan kehidupan inilah jalan keselamatan bagi manusia.
Bila asal dan akhir itu Allah sendiri, tentunya yang di maksud ialah Allah sumber terang, sumber kehidupan. Utusannya itu datang ke dunia yang masih berada dalam ancaman kuasa gelap untuk membawa kembali orang-orang yang dekat padanya kembali ke sumber terang, kepada Allah, ke sumber kehidupan sendiri. Itulah “sangkan paran” yang diungkapkan di dalam perjamuan ini.
Berbekal teladan
Pada kesempatan itu Yesus juga mengatakan bahwa pembasuhan kaki itu disampaikan sebagai teladan bagi para murid, agar mereka berbuat seperti itu satu sama lain (ay. 15). Teladan ini kemudian menjadi bekal kehidupan orang-orang yang percaya bahwa Yesus itu datang dari Allah dan pulang kepadaNya setelah berhasil memperkenalkan siapa Allah itu sesungguhnya.
Boleh dikatakan saat itulah lahir kumpulan orang yang hidup berbekal sikap Yesus yang menganggap sesama sedemikian berharga sehingga pantas dilayani dan dihormati. Inilah Gereja dalam ujudnya yang paling rohani, paling spiritual. Dalam arti inilah Gereja berbagi “sangkan paran” dengan Yesus sendiri. Hidup meng-Gereja yang berpusat pada ekaristi baru bisa utuh bila dijalani dengan bekal yang diberikan Yesus tadi. Hanya dengan cara itu Gereja akan tetap memiliki integritas. Memang masih berada di dunia, masih berada dalam kancah pergulatan dengan kekuatan-kekuatan gelap, tetapi arahnya jelas, ke asal dan tujuan tadi: ke Sumber Terang sendiri bersama dengan dia yang diutus olehNya.
Karena itu tak perlu heran bila para murid – dan Gereja – tidak semuanya bersih. Yesus berkata dalam ay. 11 “Tidak semua kamu bersih.” Kata-kata itu bukan mencela melainkan mengakui kenyataan bahwa ada kekuatan-kekuatan gelap. Nanti pada saat ia kembali kepada Allah, kekuatan ilahi akan tampil dengan kebesarannya dan saat itu jelas kekuatan-kekuatan gelap tidak lagi menguasai meskipun tetap dapat menyakitkan. Penderitaan ini tidak akan memporakperandakan kumpulan orang-orang yang percaya kepadanya. Malah menguatkan harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar