Ads 468x60px

Voyes comme’est simple, il suffit d’aimer!

"Voyes comme’est simple, il suffit d’aimer!
Yes 49:8-15; Mzm 145:8-9.13c-14.17-18; Yoh 5:17-30.
"Voyes comme’est simple, il suffit d’aimer - Lihatlah bagaimana sederhananya, semua yang kau lakukan untuk mencintai".
Inilah kalimat terakhir Bernadeth Soubirus di kamarnya sebelum dia meninggal di Paris, tepat pada hari Paskah, 1879. Seperti Bernadeth, Yesus juga mengajak kita untuk selalu bekerja dengan nada dasar C, cinta lewat tiga indikasinya, antara lain:
1."Bersyukur": “Dulu saya sedih karena tidak memiliki sepatu sampai saat saya berjumpa dengan seorang lelaki yang tidak mempunyai kaki.” Dari nukilan ini, ajakannya jelas: jika kita tak mempunyai apa-apa yang kita cintai, maka cintailah apa-apa yang kita punyai. Dengan kata lain: Kita diajak untuk selalu membuka hari dan kerja dengan doa syukur: akan setiap pagi yang baru, akan istirahat dan perlindungan tadi malam, akan kesehatan dan makanan, akan kasih dan sahabat, akan segala yang kita lihat dan alami. Nah, bukankah hidup dan semua kerja kita sebenarnya merupakan undangan untuk bersyukur?
2."Bergiat": Yesus berkata, “BapaKu bekerja sampai sekarang maka Aku pun bekerja juga" mengajak kita untuk menjadi orang yang giat dalam segala pekerjaan baik, yang tidak mudah menunda-nunda kerja harian. Itu sebabnya Kardinal Carlo Martini pernah menyatakan bahwa hidup banyak orang kudus sama saja dengan kebanyakan orang, yang terdiri dari peristiwa-peristiwa kecil harian yang tak melulu tercatat dalam buku sejarah dunia. Kesucian diraih dalam giat dan kesungguhannya pada kehidupannya sehari-hari yang biasa-biasa saja.
3."Berpasrah": Keyakinan iman bahwa Tuhan pasti turut menyelenggarakannya membuat kita meyakini premis iman bahwa "aku mengerjakan apa yang dapat kulakukan dan biarlah Tuhan yang melakukan apa yang tidak dapat kulakukan". Dalam bahasa novelis Rusia, Fyodor Dostoevsky:“cintailah semua ciptaan, cintailah setiap bagiannya, setiap helai dedaunan, setiap berkas sinar, binatang, tanaman juga benda yang tak ber-roh sekalipun dan akhirnya engkau akan mencintai Tuhan".
"Dari Koja ke Yogyakarta - Mari bekerja dengan penuh cinta dan sukacita."

NB:

DOA PENYERAHAN KEPADA SANTO YUSUF
Pengantin tersuci Bunda Allah. Pemelihara setia Yesus Kristus, lihatlah, aku datang kepadamu untuk menyatakan cinta dan syukurku kepadamu.Aku mempersatukannya dengan cinta murni Yesus dan Maria kepadamu, bersama dengan segala cinta yang mereka buktikan kepadamu.
Yusuf yang baik hati, jadilah senantiasa pelindung dan pengantara bagiku kepada Allah, demi pahala-pahala Yesus dan Maria dan pahalamu sendiri, perolehlah bagiku pengampunan dosa dan segala siksanya. Perolehlah pula bagiku kemurnian hati seperti yang telah kudapat sesudah aku dipermandikan. Mintalah bagiku kebajikan-kebajikan yang perlu: iman yang hidup, pengharapan yang teguh serta kasih yang mesra.Bantulah aku dalam segala bahaya jiwa dan badan, terutama pada saat kematianku. Datanglah bersama Yesus dan Maria untuk menolongku. Biarkanlah aku meninggalkan kehidupan ini di dalam tangan mereka dan di bawah perlindunganmu.
Santo Yusuf, pelindung Gereja kudus yang penuh kuasa, kepadamu aku serahkan segenap Gereja, teristimewa Bapa Suci, para uskup, imam dan biarawan-biarawati, para pemimpin negara serta penasehat-penasehatnya, orang sakit dan mereka yang berada di dalam bahaya maut, orang-orang yang menderita sengsara, orang-orang miskin yang berduka dan sendirian, orang-orang yang berdosa dan malang serta kaum kafir dan mereka semua yang tersesat agamanya.Pandanglah juga dengan penuh belas kasihan jiwa-jiwa di tempat pensucian, terutama mereka yang berasal dari kaum keluarga kami. Perolehlah bagi mereka penghapusan yang segera dari siksa dosanya, agar bersama engkau dan sekalian orang kudus serta para malaikat, mereka boleh memuji dan memuliakan Allah Yang Mahakudus di dalam surga, sepanjang segala abad. Amin
.
2.Seminari Tinggi St Paulus - Kentungan Yogyakarta
Dulu, Kini dan nanti....
“Mbah Darmo dan Gereja yang Hidup”
Salah seorang staf Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta yang paling lama mendampingi para frater dalam meniti panggilan menuju imamat adalah Rm. Stanislaus Darmawijaya, Pr (almarhum). Secara resmi, Romo Darma (panggilan akrab beliau) mulai mendapat tugas sebagai staf Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan pada tanggal 25 Oktober 1969. Itu terjadi setelah Seminari Tinggi pindah dari Jl. Code 2, Yogyakarta ke Kentungan, Jl. Kaliurang Km.7. Ketika mengingat kembali pengalaman mendampingi para calon imam di Seminari Tinggi Kentungan yang mulai menginjak tahun ke-35 ini, Romo Darma merasa bahwa apa yang beliau jalani itu merupakan perutusan dari Gereja.
“Apa yang saya jalani ini merupakan perutusan dari Gereja, baik dalam pengertian Gereja sebagai umat Allah maupun Gereja setempat di Keuskupan Agung Semarang. Tugas perutusan itu tentu saja harus ditempatkan dalam kerangka membangun Gereja yang hidup, sakramen keselamatan bagi manusia. Tugas perutusan itu juga berarti menjadikan Gereja signifikan dan relevan, yakni menjadi tanda nyata karya Allah bagi manusia dan punya makna bagi kehidupan sekarang. Dalam kerangka tersebut, saya sebagai anggota staf Seminari Tinggi memang berusaha tetap setia pada perutusannya yaitu mempersiapkan para calon imam agar bisa melayani Gereja dengan sepenuh hati, dari masa ke masa” tutur Romo yang kini berusia 69 tahun ini.
Dalam menjalani perutusan tersebut, Romo yang murah senyum dan punya hobi renang dan ngonthel sepeda ini menemui berbagai kesulitan dan kemudahan. Kesulitan yang beliau alami adalah ketika mendampingi para frater yang berasal dari berbagai keuskupan. Pada awal tugas beliau sebagai staf, ternyata Seminari Tinggi dihuni oleh para calon imam dari berbagai keuskupan diantaranya: Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Makassar, Keuskupan Bandung, Denpasar, Ende, Larantuka, Malang, Purwokerto, Sintang, Surabaya, dan juga calon imam dari konggregasi CSsR. Setelah konggregasi CSsR dan Keuskupan Agung Makassar mulai membangun Seminari Tinggi sendiri, saat ini Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan hanya dihuni oleh calon imam Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Purwokerto, Bandung dan Surabaya.
Menjelang wafatnya, di usianya yang sudah tidak muda lagi, Romo Darma tetap aktif dan energik dalam mendampingi para frater maupun menjadi dosen di Fakultas Teologi Wedabhakti, Kentungan. Hal ini tampak dalam penghayatan imamat beliau dalam hidup sehari-hari. Bangun pagi sebelum pukul 05.00, lalu memimpin perayaan Ekaristi pukul 05.30, sarapan pukul 06.30 dan mengajar pukul 07.30 hingga pukul 11.00. Hal ini masih ditambah dengan memberi renungan bagi para frater setiap hari Senin, Selasa, dan Kamis pada pukul 21.30. Sebagai seorang pengajar, beliau harus menjadi seorang cendekiawan yang berarti harus terus menerus belajar dan banyak membaca. Untuk itu dibutuhkan disiplin diri dalam mengatur waktu.
Menurut beliau tantangan pendidikan calon imam sekarang yang besar adalah sekularisme dan hidup rohani. Sekularisme adalah kecenderungan untuk ikut arus yang terlalu santai, malas, konsumtif, dan egois, sedangkan dalam hal hidup rohani, seorang calon imam harus memupuk semangat kasih, sukacita, damai, sabar, murah hati, baik, setia, seperti dirumuskan oleh St. Paulus dalam Galatia 5:22. Dengan demikian, seorang imam nantinya akan menjadi pribadi yang mempunyai ciri: man of the sacred, man of dialog, dan man of the humble service, sebagaimana dirumuskan oleh Federasi Para Uskup Asia (FABC) di Bangkok pada tahun 2000. Imam-imam inilah yang akan meneruskan perjuangan dalam mengembangkan Gereja yang hidup seperti perjuangan Romo Darma. Dan di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta, para calon imam itu tengah di-‘olah’.
Seminari Tinggi dari Masa Ke Masa
Pulang ke kotamu,
Ada setangkup haru dalam rindu,
Masih seperti dulu,
Tiap sudut menyapaku bersahabat,
Penuh selaksa makna……..
(Yogyakarta, Kla Project)
Yogyakarta, siapa tidak mengenalnya? Keindahan dan kemegahan keraton Hadiningrat begitu terkenal di seluruh nusantara bahkan sampai negeri manca. Kebudayaannya yang adi luhung menjadi magnet bagi wisatawan untuk sekedar manikmati maupun mempelajarinya. Sekitar 1,5 km. utara keraton berdiri megah tugu Yogya. Di situlah terletak stasiun kereta api. Dalam jarak 1,5 km itu terbentang Jl. Malioboro dengan aneka macam pertokoan, rumah lesehan dan stan souvenir khas Yogya di kanan-kirinya.
Agak jauh lagi ke utara keraton, terbentang kawasan wisata alam Kaliurang yang terletak di dekat lereng Merapi. Di antara kawasan wisata itu berdirilah bangunan tau dan megah sebagai tempat pendidikan calon imam praja (diosesan). Itulah Seminari Tinggi (ST) St. Paulus Kentungan dan Fakultas Teologi Wedabhakti, yang berada di Jl. Kaliurang Km. 7. Bangunan itu berdiri sejak 36 tahun lalu. Namun itu bukan usia ST, sebab tahun 2006 nanti, ST akan genap berusia 70 tahun. Lalu, di mana ST selama 34 tahun sebelumnya?
Perjalanan itu dimulai dari sebuah kota kecil, ‘Betlehem Van Java’: Muntilan. Didorong oleh kebutuhan akan imam-imam pribumi yang sungguh mengenal seluk-beluk jemaat, dipikirkanlah usaha untuk mendirikan Seminari. Realisasinya, pada tahun 1911, di Muntilan, didirikan Seminari Menengah (SM). Inilah, tempat pendidikan calon imam tingkat pertama. Berhubung pendidikan lanjut belum ada, mereka harus melanjutkan pendidikannya di Belanda. 25 tahun kemudian (1936), SM pindah ke Mertoyudan, Magelang. Bersamaan dengan itu, Mgr. PJ. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, mengukuhkan berdirinya ST dengan menempati gedung bekas SM. Hal itu terjadi pada tanggal 15 Agustus 1936.
ST pertama di Indonesia itu berlindung pada St. Paulus. Maksudnya adalah agar “produk” imam-imamnya mengikuti jejak St. Paulus dalam tugas kerasulannya. Pada tahun pertama, 5 pemuda pribumi bertekun dalam jalan imamat. Setahun kemudian, 4 alumni SM bergabung. Pada tahun 1938, ST berpenghuni 16 orang sehingga terasa sempit. Maka berkemaslah mereka untuk menetap di Mertoyudan yang semestinya untuk SM. Di tempat inilah tuaian pertama di panen dengan ditabhiskannya 5 imam oleh Mgr. Willekens.
Pada tahun 1940, ST hijrah kembali. Kali ini mulai memasuki kota Yogyakarta. Mereka menempati sebuah gedung berlantai dua di Jl. Code 2 (sekarang STKat Pradnyawidya). Belum lama tinggal di rumah sendiri, mereka harus berpindah-pindah lagi sebagai akibat dari kekacauan perang. ST, antara lain, pernah menumpang di susteran CB di Jl. Colombo 19, asrama Boedi Oetomo Sindurejan (1944), Kolsani (1945-1952), kembali ke Code (1952-1968). Meskipun berada dalam situasi memprihatinkan, ST tetap bertahan dan berpengharapan. Gereja pun semakin mantap dengan didirikannya Vikariat Apostolik Semarang pada tanggal 15 Juni 1940 oleh Paus Pius XII. Mgr. A. Soegijapranata diangkat sebagai vikaris sejak 4 Agustus 1940. Dua tahun kemudian, beliau menahbiskan 4 imam alumnus ST, disusul 4 lagi pada tahun berikutnya. Salah satu dari mereka adalah Rm. Sanjaya, Pr yang kemudian dikenal sebagai martir karena wafat membela iman. Ia dibunuh oleh laskar Hisbullah pada akhir tahun 1948.
Pendidikan di Jl. Code berlangsung sampai tahun 1968. Karena suasana sekitar
yang terlalu dekat dengan pusat keramaian, sejak tanggal 6 Juli 1968, ST pindah dan menetap di Kayen, dekat Kentungan sampai sekarang (Jl. Kaliurang Km.7). Babak baru perjalanan ST dimulai hingga kini. Langkah untuk mendidik para calon imam semakin mantap. Tidak hanya imam KAS tetapi juga dari Keuskupan Agung Jakarta, Purwokerto, Surabaya, dan Bandung. Sejak berdirinya tahun 1936 hingga 2004, terhitung sudah lebih dari 370 alumnus ST ditahbiskan sebagai imam projo, 7 di antaranya telah menjabat uskup, termasuk kardinal pertama Indonesia, Yustinus Kardinal Darmoyuwono, Pr.
Wawancara dengan Mantan Rektor: “Ngemong ” Anak
Salah satu kesibukan Mgr. Kartosiswoyo ketika menjadi rektor seminari tinggi, selain mengikuti perkembangan Gereja juga mengikuti perkembangan tiap-tiap frater. “Tujuannya agar para frater tetap up to date dengan perkembangan Gereja Universal” jelas romo yang kini berusia 70 tahun. Bagi beliau kekompakan para rekan staf dalam berkarya, merupakan kebahagiaan khusus bagi Romo Karto (panggilan akrab dikalangan para frater) dalam menjalankan Tugas sebagai Rektor.
Menyimpulkan rekomendasi untuk setiap frater merupakan salah satu tugas yang tidak ringan bagi seorang staff. “ini kan masalah hati, sebenarnya ya makan ati, lagipula hal ini tidak dapat dibuat serampangan”. Beliau menjelaskan. Menyikapi masalah komunitas khususnya terkait semangat para frater (anak ) yang kadang bertolak belakang dengan visi seminari, juga menjadi perhatiannya. Membentuk hati manusia ini membutuhkan kesabaran serta proses yang tidak singkat. “Kalau berkaitan dengan angka, mengukur dengan pengetahuan, itu tidak terlalu sulit, yang sulit kan soal menilai hati, kepribadian, mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi ketika telah ditahbiskan, maka para staf sebagai rekan kerja Rektor memiliki peranan besar dalam hal ini”. Jelas Romo Rektor yang setiap pagi selalu setia mengikuti ibadat pagi dan misa harian bersama para fraternya.
Di lain segi, beliau berupaya untuk tidak menelantarkan para frater sekaligus tidak memanjakannya. Upaya ini terlihat dari penyediaan fasilitas studi yang memadai, sarana olahraga serta memperhatikan gizi makanan, sehingga mereka dapat mengoptimalkan studinya, “kalau para frater sakit kan jadi repot”, kelakar romo.
“Inilah kesempatan para frater untuk memilih hidup miskin tanpa harus hidup berkekurangan.“ Hal ini kan juga demi masa depan mereka, agar andaikata menjadi romo di paroki “miskin” tidak terlalu kaget, pun jika berkarya di paroki yang “kaya” tidak bersikap angkuh. Maka kesempatan di seminari adalah kesempatan untuk berlatih hidup sederhana tanpa harus menjadi miskin, atau hidup berkecukupan tanpa harus kaya, kan begitu”. Tutur romo yang disela kesibukannya masih sempat menyirami taman makam para romo projo, yang terletak di belakang seminari ini.
Tepatnya per 1 Desember 2004, Romo Karto menghabiskan masa jabatannya sebagai Rektor. Beliau berharap agar para frater memperhatikan kebijakan staf, bertekun dalam formatio, dan mengikuti gerak Gereja. Dalam hal ini para staf berpikir sungguh-sungguh menyoal masa depan para frater. “Sekali lagi ikuti kebijakan staf karena mereka kompeten dalam hal ini.” Tegas Romo Kartosiswoyo di akhir pembicaraan. Selamat Romo, semoga apa yang telah Romo persembahkan untuk seminari menghasilkan imam-imam yang tangguh dan bertanggung jawab, selamat mengemban tugas mulia yang baru. Semoga di dalam mengemban tugas baru nanti Tuhan selalu hadir dalam hari-hari Romo Kartosiswoyo. Selamat berkarya di kebun anggur Tuhan, Romo. Doa kami selalu menyertai.
Apa Kata Tetangga …….
“Kalau lagi berada di Seminari Tinggi St. Paulus (ST) itu rasanya senang dan gembira. Kami saling terbuka tidak sekadar dalam perkataan tetapi lebih secara lahir misalnya dengan diskusi bareng, buat mie di unit, saling mengunjungi ke kamar teman. Pokoknya para frater ST itu akrab dan mudah bergaul dengan frater konvik lain”, Tutur Rm Dr. Mateus Mali, CssR, dosen Teologi Moral Fakultas Teologi Wedabhakti (FTW). Ketika beliau masih menjadi frater, beliau sangat dekat dengan frater Seminari Tinggi. Citra calon imam projo nampaknya seperti yang dikatakan oleh Romo Mali ini. Semangat untuk proaktif dan ramah kepada siapa saja yang ditemui, menjadikan setiap orang yang datang merasa senang dan bahagia.
“Saya berharap agar para frater ST, sebagai tuan rumah di Jogja ini semakin akrab, proaktif, senang bergaul dengan siapa saja. Kita semua yang belajar di FTW adalah sama-sama melayani, maka sebaiknya tidak pandang bulu kepada siapa saya harus melayani”, lanjut Romo Mali sambil berharap banyak kepada para Frater ST.
“Sejak tahun 1997, saya selalu meminjam lapangan tenis seminari tinggi”. Tutur ibu Caecilia Siti fatimah, alias Bu Nono, ibu ketua wilayah St. Paulus kentungan. “ Saya juga senang karena dengan adanya para frater, anak saya menjadi kenal dengan para frater dan sering diajak dalam kegiatan-kegiatan mereka.”. Lanjut Bu Nono, yang sering datang kalau ada acara doa Taize di ST.
Para frater juga sering diundang untuk doa lingkungan setiap hari kamis. “Sekarang ini saya tidak bisa hafal dengan frater ST, kalau pas doa itu yang datang selalu ganti orang…” tutur Bu Nono, yang sejak 1998 menjadi ibu ketua lingkungan. Hal ini bisa dimaklumi karena frater ST, sekarang berjumlah sangat banyak, bukan hanya calon imam untuk keuskupan Semarang tetapi juga dari keuskupan Surabaya, Jakarta, Purwokerto dan sekarang tambah lagi frater dari Keuskupan Bandung.
Ibu Sujatmiko Tyas adalah ibu yang rajin untuk misa harian di ST. “…Saya mengikuti misa harian di Seminari Tinggi baru tahun 2002 kemarin. Dulunya saya misa harian di paroki Keluarga Kudus Nazaret Banteng”. Ternyata bukan ibu Sujatmiko saja yang ikut misa harian di Kapel Pius. Memang banyak umat yang belum tahu kalau ada kapel di ST yang terbuka bagi siapa saja yang berkehendak misa harian. Ibu ini merasa bahwa seminari itu tempat pendidikan calon imam yang tertutup. Beliau membayangkan sewaktu ia sekolah di komunitas susteran yang disiplin dan tertutup.
Ada keinginan dari banyak umat untuk mengenal lebih dekat seminari dan penghuninya. Seminari Tinggi Santo Paulus adalah tempat pendidikan bagi para calon imam Projo. Semangat penghuni seminari untuk terbuka , proaktif dan mau bergaul kepada siapa saja, diharapkan oleh banyak umat. Ketika para frater sudah menjadi romo yang bekerja untuk melayani umat, umat akan merasa nyaman, senang dan bahagia.
Wawancara dengan para Penghuni Seminari
Setiap orang pasti mengalami suka dan duka. Demikian pula halnya dengan mereka yang berkecimpung dalam pendidikan di Seminari Tinggi Yogyakarta
“Memang awalnya saya aweng-awangen ditugaskan di seminari. Saya sempat memberontak pada pimpinan. Saya sangsi apakah saya bisa berkarya nantinya? Lama-kelamaan di tempat ini saya dapat bergaul dengan banyak orang. Kegembiraan saya muncul jika para frater dapat menikmati makanan dengan enak dan senang. Sebaliknya, saya menjadi susah apabila makanan sisa banyak”, ungkap seorang suster AK yang berkarya di seminari Kentungan ini.
Rasa syukur berkarya di seminari rupanya juga diungkapkan oleh Bapak Antonius Witono. Beliau bekerja di seminari sejak Agustus 1980 dan mengalami lima kali pergantian rektor seminari: “Saya merasa bahwa saya menjadi bagian seminari. Saya merasa bahwa saya bekerja tidak sekedar sebagai karyawan, yang hanya mencari upah saja. Saya turut merasakan perjuangan para frater yang tengah menjalani panggilan imamat. Saya bangga karena merasa dihidupi dan diperkenankan ikut merasul di seminari”, ungkap Pak Witono.
Seperti yang dirasakan Pak Witono, Fr. Wahyu juga merasakan bahwa seminari sebagai sebuah keluarga yang di dalamnya menawarkan kasih persaudaraan.
“Saya merasakan ‘rumah kasih’ di seminari ini. Misalnya, saat saya sakit, banyak teman yang merawat, menjaga, menjenguk, dan mendoakan saya. Selain itu, saya merasakan perkembangan suasana relasi di antara para frater. Jika dulu saya merasakan adanya senioritas, sekarang tidak lagi. Semuanya saling mengenal, tidak takut, dan berani terbuka”, kata frater yang tengah studi licensiat.
Lebih lanjut, Romo Mulyatno, salah satu romo yang pernah lama tinggal di seminari Kentungan dan menjadi dosen filsafat ini mengatakan: “Para calon imam dan imam yang tekun dan serius menghayati nilai-nilai Injil akan terbantu untuk melihat dengan jelas keprihatinan yang ada di masyarakat. Sebaliknya, mereka yang kurang tekun dan serius menempa diri akan tenggelam dalam arus , tidak peka dan tergerak akan keprihatinan masyarakat, serta mudah kehilangan kekuatan dan identitas diri sebagai murid Kristus”, tegasnya.
Beranjak dari pengalaman hidup itu, tumbuh harapan terhadap seminari.
“Saya berharap suasana persaudaraan yang sudah tercipta dapat tumbuh semakin erat dan para frater kelak mampu menjadi imam yang dapat menjadi tuntunan umat dan melayani umat dengan sepenuh hati tanpa pandang bulu,” harap Sr. Emerentiana dan Pak Witono
“Semoga pengalaman kasih di seminari dapat membuahkan kasih pada umat. Semoga semakin hari seminari semakin kenal dengan umat dan semakin dikenal oleh umat”, ungkap Frater. Wahyu.
“Kekuatan untuk menghidupi panggilan bersumber pada kesadaran dan keyakinan yang mendalam akan rahmat panggilan itu. Kesadaran dan keyakinan yang mendalam itu tidak datang secara tiba-tiba, melainkan buah dari ketekunan dan kerelaan untuk belajar dengan disiplin serta dihidupi dengan rendah hati dan melayani dengan gembira sebagai saksi Kristus di tengah ini”, tegas Romo Mulyatno.`
Apa kata Alumni……
Masa pembinaan di Seminari adalah masa persiapan para calon imam dengan pembinaan yang integral dalam aneka segi kehidupan. Pengalaman inilah yang disharingkan oleh Mgr. Riana Prabdi, salah satu mantan frater yang pernah mengalami masa pembinaan di Seminari Tinggi dan kini berkarya sebagai Uskup di Ketapang:“Masing-masing bidang pembinaan memiliki pendamping yang bisa diajak untuk merefleksikan semua kegiatan dalam perspektif panggilan…..namun demikian, waktu saya menjalani pembinaan di Seminari Tinggi, saya mempunyai keprihatinan: kendati sudah diusahakan untuk integral, toh masih memiliki kecenderungan berat sebelah. Misalnya, faktor intelektual yang sering terasa dominan sehingga menjadi semacam tolok ukur panggilan. Kadang kala suasana komunitas yang “asal nilai akademisku tinggi, semua pasti beres.” Dari keprihatinan inilah, aspek humaniora mulai dikembangkan di Seminari Tinggi. Yang ditekankan adalah mengasah kepekaan terhadap kehadiran orang lain sebagai sesama yang bersama-sama mengembangkan diri dalam menanggapi panggilan Tuhan,” ungkap beliau.
Salah satu hal yang menarik dalam pembinaan para frater Seminari Tinggi adalah bagaimana gaya hidup kesederhanaan berkembang dalam komunitas yang terasa mulai dari kamar tidur sampai dengan sarana transportasi yang berupa sepeda onthel. Mgr. Riana juga mensharingkan, ”Para frater memang dibina untuk mengembangkan kesederhanaan. Namun kadang ada juga ketegangan antara kesederhanaan dan keinginan untuk “menyesuaikan diri” dengan zaman modern. Inilah yang kadang kala menimbulkan suasana tidak nyaman karena sering menjadi bahan kecemburuan, misalnya soal diperbolehkannya frater membawa sepeda motor sendiri dari rumah.”
Proses pembinaan yang dahulu pernah diterima tentu saja membawa pengaruh tertentu dalam karya kerasulan yang saat ini diemban. Bagi Mgr. Riana, pembinaan di Seminari Tinggi membantu beliau untuk memberi dasar menempatkan prioritas hidup dan juga keterbukaan untuk tidak pilih-pilih: yang menyenangkan saja. “Ketika menjadi imam, aneka persoalan dihadapi. Keheningan batin yang terbangun dalam pembinaan di Seminari Tinggi memberi dasar yang cukup kuat untuk tidak larut dalam berbagai persoalan tanpa tahu arah dan tujuannya. Saya ingat Rm. Bakker pernah berkata demikian: Janganlah terlalu sibuk dengan macam-macam hal sampai dirimu “terbakar habis”. Begitu pula di dalam paroki. Ada aneka pelayanan, mulai dari anak-anak sampai dengan pelayanan bagi orang dewasa, bahkan bagi yang sudah meninggal. Kadang kala ada godaan untuk memilih-milih dalam pelayanan. Namun, tidak jarang pembinaan di Seminari Tinggi cukup membantu dalam menempa diri dalam menerima aneka bentuk pelayanan bagi umat.”
Di akhir sharing, beliau berharap bahwa pembinaan di Seminari Tinggi mampu menghantar orang-orang sampai pada kemampuan untuk bisa mengambil keputusan yang bijak atas hidupnya di dunia dan atas panggilannya mengikuti Yesus.
Wawancara dengan Mgr. I Suharyo
“Menjadi Rendah Hati di Hadapan Allah
dan Murah Hati dalam Pelayanan”
Berapa tahun Bapak Uskup tinggal di Seminari baik sebagai frater maupun sebagai staf?
Saya masuk seminari bulan Januari tahun 1969 dan lulus tahun 1976. Sebagai staf, saya masuk tahun 1981 dan selesai bulan Agustus 1997. Dulu, saya sebagai wali tingkat, dan terakhir sebagai perfek umum menggantikan Mgr. Kartosiswoyo. Jadi, saya sudah tinggal di seminari ini selama 23 tahun.
Apa yang menarik selama di seminari, baik sebagai staf maupun sebagai frater?
Hidup saya itu biasa-biasa saja. Saya tidak pernah mengalami sesuatu yang istimewa. Karena saya sudah memilih menjadi imam, maka ya.. saya menjalani tugas-tugas yang diberikan pada saya dari hari ke hari.
Sebagai frater, pernah suatu ketika saya ditipu Rektor. Waktu itu, rektornya adalah Rm. Wignyapranata (alm). Ketika saya mengambil uang saku,-waktu itu uang sakunya Rp.1000,00- setelah saya keluar, Romo Rektor tertawa. Beliau mengatakan kalau saya kena tipu karena ternyata uangnya palsu.
Sebagai staf, dulu saya sangat gembira ketika bertugas mengurus Wisma Petrus-tempat para romo purnakarya-. Saya begitu gembira ketika setiap malam datang untuk menanyakan kebutuhan dan mendengarkan mereka. Bagi saya, ini adalah salah satu bentuk rasa kagum dan hormat saya pada mereka yang sudah terlebih dahulu berkarya di keuskupan ini. Begitu berat medan tugas mereka. Bayangkan saja! Misalnya Rm. Kiswono (alm) yang berkarya sekitar tahun 1946-1957. Beliau harus melayani umat dari Jatim sampai Lampung.
Sebagai Uskup, bagaimana Bapak Uskup memandang keberadaan seminari sekarang ini menyangkut:
(a) Pembinaannya?
Staf seminari itu sudah memberikan yang sebaik-baiknya. Hal ini tampak dalam kesediaan mereka untuk tetap mendampingi frater-frater, meskipun mereka punya kewajiban untuk mengajar sebagai dosen dan tugas kategorial yang lain.
Kepada para staf, saya merasa perlunya ditekankan lagi pendidikan kepribadian, kepemimpinan, dan administrasi. Karena saya melihat hal ini tidak bisa optimal diberikan oleh para staf yang nota bene mereka ini adalah ahli teologi dan filsafat. Padahal, hal ini penting karena akhir-akhir ini kerap muncul keluhan dari umat berkaitan dengan hal-hal tersebut.
(b) Pelbagai problema dan tantangan saat ini?
Pengaruh globalisasi sekarang ini begitu kuat. Salah satunya menggoncangkan tradisi-tradisi Gereja. Misalnya berkaitan dengan tiga nasihat Injili: ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan. Hal-hal ini perlu terus dikaji dan direfleksikan sesuai arus . Tantangan lain adalah banyaknya informasi yang membuat imam harus memilih. Juga, kecenderungan psikologis untuk pemenuhan diri (self fulfilment) atau realisasi diri. Ini membuat semangat pengingkaran diri, lalu diabaikan. Dari situasi ini semua, dituntut imam yang sungguh komit.
Citra imam masa depan yang seperti apa yang diharapkan Bapak Uskup dapat lahir dari Seminari Tinggi St. Paulus ini?
Saya meminjam kerangka pikir dari dekrit Perfectae Caritatis Art.2 (pembaharuan hidup religius). Konstitusi ini memuat tiga hal: (1) Kembali ke KS. Satu-satunya, tulisan dalam Perjanjian Baru yang memuat soal imamat adalah dalam Surat kepada Orang Ibrani. Inti surat ini adalah setia kepada Allah dan bersetiakawan pada sesama. Paling tidak, para frater harus pernah baca ini. (2) Kembali ke semangat pendiri. Karena imam diosesan tidak punya pendiri, maka ya bagaimana para frater itu mau belajar tentang sejarah keuskupan, termasuk wilayah-wilayahnya. Selain itu, juga harus tahu apa yang sedang menjadi keprihatinan keuskupan. Yang hidup di keuskupan ini harus menjadi perspektif frater juga. (3) Peka terhadap tanda-tanda . Dengan yang semakin cepat berubah, imam perlu mendinamisir diri. Imam itu bukanlah sesuatu yang sudah ‘jadi’, statis. Maka, imam perlu terus-menerus belajar. Pada intinya saya berharap agar para calon imam seminari tinggi kelak bisa menjadi imam yang rendah hati di hadapan Allah dan murah hati dalam pelayanan.
Mengembangkan Cipta, Rasa dan Karya
“Aku wis kanda ciu marakke cilaka…..”. Syair lagu campursari berjudul Mister Mendem itu terdengar begitu indah. Gesekan biola, dentingan gitar, bass betot dan piano, sampai tabuhan gendang mengalun rancak dalam sebuah harmoni musik yang indah. Kesegarannya menjadi awal yang menarik bagi pementasan teater Jaran Iman, teaternya Seminari Tinggi Kentungan akhir November yang lalu. Lagu campursari sebagai seni budaya rakyat menengah ke bawah memang selalu menjadi elemen penting dari pementasan teater ini. Paling tidak, ini menunjukkan bahwa minat para frater juga dikembangkan dalam konteks kecintaan pada budaya lokal dan mengangkat kritik-kritik sosial. Lebih dari itu kegiatan itu sungguh-sungguh dicintai oleh para frater. Mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk berlatih. “garing banget kalau teater ngga pakai musik...,” demikian diungkapkan RmBondan yang sekarang berkarya di Paroki St Pius X Karang Anyar dan bergiat dalam teater dan misa kaum muda.
Selain teater, ada banyak kegiatan yang dapat diikuti oleh para frater berdasarkan minat mereka masing-masing. Mulai dari musik, kelompok doa taize, gamelan/karawitan, koor, sampai komunitas pecinta film dan media jurnalistik (Majalah Salus, Mediator dan jurnal Fenomena). Menariknya, kegiatan ini tidak berjalan sendiri-sendiri, tapi kerap bekerja sama dalam sebuah kolaborasi.
Kegiatan-kegiatan ini juga menunjukkan kepedulian para frater pada situasi juga. Mereka menunjukkan bahwa mereka tidak berada dalam suatu kungkungan tembok besar yang membuat mereka tidak tahu apa-apa. Contohnya, pementasan teater Jaran Iman selalu memuat unsur-unsur kepedulian sosial. Gamelan, dan musik campursari juga menunjukkan bahwa para frater mempunyai kepedulian pada perkembangan budaya Jawa, budaya yang hampir-hampir mulai tergusur di buminya sendiri. Komunitas pecinta film dan tim majalah seminari ‘SALUS’ juga tidak ingin ketinggalan. Dengan selalu meluncurkan majalah dan pelbagai film reflektif untuk dinikmati bersama mereka membawa para frater pada suatu realita sosial dan menyentil kepedulian para frater sendiri, terlebih untuk berpihak dan membebaskan rakyat yang tertindas.
Kegiatan pastoral
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB. Beberapa pemuda menyantap santap pagi dengan cepat. Selanjutnya, mereka bergegas menuju garasi dan mengeluarkan sepedanya. Dengan pakaian rapi dan tas di punggung, mereka mengayuh sepedanya keluar dari gerbang asrama.
Itulah potret rutin hari Sabtu pagi di Seminari Tinggi St. Paulus, Yogyakarta. Para pemuda itu tak lain adalah para frater yang berpastoral. Berpastoral? Apa itu? Pastoral adalah tugas-tugas penggembalaan. Kegiatan pastoral diwujudkan salah satunya dalam bentuk mengajar di beberapa sekolah. Tak heran jika setiap hari Sabtu, wajah-wajah lelah setelah menjalani kuliah akan terganti oleh wajah-wajah cerah yang berharap untuk segera bertemu dengan para muridnya.” demikian tutur Rm. Singgih yang dulu pernah mendapat tugas mengajar di STM Pakem.
Selain mengajar, kegiatan pastoral juga diwujudkan dalam bentuk pendampingan pasien di rumah sakit (pastoral care). Bagi fr. Alfons, mengunjungi orang sakit adalah karya yang meski terlihat sepele namun sangat diharapkan oleh para pasien. Sapaan tulus terhadap mereka yang sedang terbaring tak berdaya adalah penghiburan yang sangat dirindukan pasien terutama mereka yang tidak didampingi oleh saudaranya.
Masih ada beberapa kegiatan pastoral lain seperti pendampingan pelajar dan mahasiswa, pendampingan anak, pendampingan terhadap para tukang becak, buruh dan sebagainya. Bukankah para frater praja ini adalah milik umat? Dan, bukankah sudah sewajarnya, mereka mengenal dan terlibat dalam hidup umat? Bayangkan bagaimana jadinya jika para frater hanya tinggal dalam tembok seminari dan tidak pernah terlibat dalam kehidupan masyarakat? Kegiatan pastoral ini selaras dengan semboyan bahwa para frater itu dari umat, milik umat, dan berjalan bersama umat pula, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar