Ads 468x60px

TUJUH JALAN CINTA PAUS FRANSISKUS.


Jika ada yang meragukan bahwa Paus Fransiskus dipilih oleh Para Kardinal dengan mandat untuk memperbarui Vatikan, maka Paus sendiri bergurau kepada para jurnalist tanggal 16 Maret, 3 hari setelah terpilih, bahwa beberapa Kardinal mengusulkan nama baginya “Adrianus”, mengikuti jejak Paus Adrianus VI, seorang Paus yang secara agresif memperbarui Pusat Administrasi Vatikan pada tahun-tahun permulaan dari Protestantisme.
Namun pembaruan semacam itu hanyalah sebagian kecil saja dari yang Tuhan kehendaki dalam pembaruan Gereja. Ketika St. Fransiskus dari Asisi mendengarkan kata-kata Yesus dari Salib di Gereja San Damiano, “bangunlah kembali Gereja-Ku”, ia menyangka Tuhan menyuruhnya memperbaiki bangunan Gereja Kecil San Damiano itu. Nanun ternyata Tuhan menghendaki suatu proyek pembangunan lain yaitu: mereformasi kehidupan iman umat Gereja secara keseluruhan.
Nampaknya demikianlah, meskipun para Kardinal memilih seorang Paus untuk mengatasi pelbagai issue yang terjadi di dalam Curia Vatikan, dan pelbagai skandal di dalam Gereja, namun sama seperti Santo Pelindungnya itu, Paus Fransiskus kiranya boleh menjadi tangan Tuhan untuk melakukan pembaruan yang lebih besar dan mendasar di dalam Gereja Katolik.
Salah satu pembaruan yang mendesak ialah pemulihan kredibilitas moral hirarki Gereja, khususnya para imamnya. Skandal seks para imam dan cerita tentang korupsi di Vatikan bukan hanya sangat menurunkan kewibawaan moral pemimpin Gereja, melainkan juga memberikan kesan bahwa bentuk-bentuk kehidupan moral para klerus itu lebih menyerupai monster daripada santo.
Selama masa dua pekan sebagai Paus, maupun 14 tahun sebagi Uskup Agung Buenos Aires, Paus Fransiskus telah memiliki peta pembaruan hidup imamat. Kita dapat menggarisbawahi 7 (tujuh) pokok yang saya sebut sebagai "tujuh jalan cinta", berikut ini:
1. Kesederhanaan Para Imam (priestly simplicity)
Imam-imam diosesan tidak mengucapkan kaul kemiskinan, namun menyatakan komitmen mereka untuk hidup sederhana. Di banyak tempat, komitmen itu hanya “di mulut” saja (lip sevice), karena para imam itu (imam religius juga) mengendarai mobil yang baik (bahkan tergolong mewah), sering masuk di restaurant terbaik, dan nginap di hotel mewah (exquisite digs). Teladan Kardinal Bergoglio yang memilih tinggal di apartemen sederhana daripada di istana uskup, naik kendaraan umum daripada mobil pribadi dengan sopir, memasak makanannya sendiri, mau tidak mau akan membuat para imam berefleksi tentang ketulusan dan kesungguhan hati mereka untuk menghayati kemiskinan dan kesederhanaan.
2. Integritas Imamat (Priestly Integrity)
Ketika sebagai Uskup Agung, Paus ini berbicara secara vocal dan lantang melawan para imam yang “ hidup ganda” (spoke out forcefully against priests’ living a “double-life). Tahun 2010 ia menegaskan dalam suatu wawancara yang sudah diterbitkan menjadi buku, El Jesuita, tentang “ungkapan yang sudah umum di Argentina”: “Saya percaya kepada Tuhan, tetapi saya tidak percaya kepada para Imam”. Dan Ia menjawab: “Banyak di antara kita, para imam, yang memang tidak pantas mendapat kepercayaan itu.
Kardinal Bergoglio ingin mengubah keadaan itu dengan mengajak, membantu dan menuntut para imam untuk menghidupi integritas imamat secara tulus dan gembira. Di Buenos Aires, jika ada imam yang berada dalam kesulitan, ia akan membantunya mengatasi kesulitan itu, bahkan jika mencakup kemungkinan untuk meninggalkan imamat sekalipun. Apa yang tidak akan diberikan toleransi ialah: imam-imam yang hidup tidak konsekuen ( priests’ living incoherent lives); karena ia tahu bahwa hal tersebut akan berakibat sangat buruk dan menjadi skandal bagi umat Allah.
3. Akuntabilitas Imamat (priestly accountability)
Dengan membayar sewa penginapan yang ia tempati sebagai Kardinal ketika di Roma sebelum masuk ke Domun Santae Marhtae mengikuti konklav, segera setelah Ia terpilih menjadi Paus, tidak boleh hanya diartikan sebagai tindakan manis yang ingin melepaskan segala bentuk privilegi, melainkan sebagai tanda nyata dari akuntabilitas; Bahkan seorang Paus pun tidak boleh dikecualikan dari tuntutan keadilan standard yang berlaku untuk masyarakat umum.
4. Pelurusan Penggunaan Kekuasaan Klerus.
Seperti ditegaskannya pada homili Misa Inagurasi Paus, bahwa kekuasaan seorang imam harus letakkan atas dasar pelayanan, yaitu diarahkan kepada perlindungan penuh kasih kepada sesama, khususnya yang miskin dan menderita, yang lemah dan yang dianggap tidak berguna, dan mereka yang dilupakan. Seperti seorang Gembala yang baik, seorang imam harus berusaha untuk menjadi pelayan, bukan menjadi tuan besar. Hal-hal itu persis terbalik dengan semangat klerikalisme yang di banyak tempat telah menyakitkan dan melukai Umat Allah atau Gereja.
5. Imam harus menjadi orang yang Penuh Belaskasih. (calling priests to be men of profound mercy)
Dalam buku El Jesuita itu, ketika ada imam-imam yang meminta nasehatnya, Bergoglio akan menjawab: “Milikilah belaskasih”. Mottonya sendiri Miserando Atque Eligendo (“Lowly But Chosen”. Kecil namun dipilih.) mengingatkan pengalaman panggilannya yang lahir dari pengalaman belas kasih Allah. Ketika berusia 17 tahun, ia pergi mengaku dosa pada pesta St. Mateus, seorang pendosa yang bertobat. Paus Fransiskus mengingatkan pada kesempatan Angelus Pertama kepada umat di lapangan St. Petrus bahwa “Tuhan tidak pernah lelah mengampuni kita, namun kitalah yang lelah memohon ampun kepada Tuhan” (Dio no si stanca mai a perdornarci, Ci siamo noi che stanchiamo a chiedere perdono a Dio).
6. Imam perlu menghayati secara nyata semangat liturgi (he is calling all priests to live out the real spirit of the liturgy.)
Paus Fransiskus akan melanjutkan pembaruan-pembaruan liturgi, dengan berfokus pada pembaruan internal dan spiritual dari para pelaku liturgi itu sendiri. Ia sepaham dan sepakat dengan Paus Benedictus XVI bahwa Yesus-lah, bukan imam, adalah Pusat dari Liturgi dan Pelaku sesungguhnya dari Ekaristi. Ia juga sealiran dan sependapat dengan Paus Benedictus tentang cinta yang mendalam dari pemikiran-pemikiran seorang liturgist yang besar Romano Guardini, yang tentangnya Paus Fransiskus telah menulis dissertasi.
7. Imam adalah pelaksana Evangelisasi Baru.
Masih dalam El Jesuita itu, Kardinal Bergoglio pernah menyatakan: “Penggodaan terbesar dan permanen dari pada Klerus atau imam adalah untuk menjadi administrator dari pada menjadi pastor (gembala). Imam-imam itu perlu keluar untuk menjumpai umat, khususnya yang hilang dan tersesat. Seorang Imam yang hanya tinggal-tinggal di pastoran bukanlah imam yang sejati (autentik); ( he is not an “authentic pastor). Ia memuji para pastor paroki yang mengenal dengan baik umatnya bukan hanya nama mereka, tetapi juga nama julukan mereka. Pada zaman di mana para imam, uskup dan kuria sudah dijebak dalam penjara tugas-tugas administrasi ini, Paus Fransiskus mengajak mereka semua untuk memprioritaskan kembali pada tugas penginjilan Gereja ( to reprioritize toward the Church’s evangelical mission)
THINK GLOBALLY, ACT LOCALLY

NB:

1.Doa Seorang Imam.
Ya Yesus-ku, walau aku seorang yang malang dalam begitu banyak hal dan begitu bodoh,
aku telah Engkau pilih sebagai gembala dari kawanan domba-Mu.
Anugerahkanlah kepadaku kasih yang bertambah-tambah
bagi jiwa-jiwa yang telah Engkau tebus dengan Darah-Mu yang Mahasuci, sehingga aku dapat berkarya demi keselamatan mereka dengan kebijaksanaan, kesabaran dan kekudusan.
Janganlah kiranya satu pun dari mereka yang telah Engkau percayakan kepadaku
hilang akibat kesalahanku.
Ya Yesus-ku,
bantulah aku menguduskan mereka yang Engkau serahkan ke dalam pemeliharaanku.
Ya Bunda Allah yang tersuci,
sudi doakanlah aku dan mereka semua yang ada dalam kebun anggurku.
Para malaikat pelindung yang kudus dari jiwa-jiwa terkasih,
ajarilah aku bagaimana bersikap terhadap mereka sehingga aku dapat menanamkan ke dalam hati mereka pokok-pokok iman dan kasih sejati Allah.
Tuhan, ajarilah aku bagaimana hidup dan jika perlu mati,
sehingga semuanya dapat diselamatkan,
sehingga semuanya dapat mengasihi dan memuliakan Engkau sepanjang kekekalan masa;
agar semuanya dapat pula mengasihi dan menghormati BundaMu terkasih.
Amin.

2.Doa Bagi Para Imam
(St. Theresia Lisieux)
Ya Yesus, Imam Agung yang kekal,
peliharalah para imam-Mu dalam naungan Hati-Mu Yang Mahakudus,
di mana tak seorang pun dapat menjamahnya.
Peliharalah agar jangan sampai ternoda tangan-tangan mereka yang terurapi,
yang setiap hari menyentuh Tubuh-Mu yang Kudus.
Peliharalah agar jangan sampai cemar bibir mereka,
yang setiap hari dimerahkan oleh Darah-Mu yang Mahasuci.
Peliharalah agar hati mereka, yang dimeteraikan dengan tanda agung imamat,
murni dan bebas dari segala ikatan duniawi.
Kiranya kasih-Mu yang kudus melingkupi mereka
dan melindungi mereka dari kekejian dunia.
Berkatilah karya mereka dengan buah-buah melimpah;
kiranya jiwa-jiwa yang mereka layani boleh menjadi sukacita dan penghiburan bagi mereka di dunia ini dan menjadi bagi mereka mahkota indah nan abadi di surga. Amin.

3.MISA KRISMA: Selayang Pandang.
Misa Uskup dan Para Imam Menjelang Trihari Suci
Jika di Keuskupan Agung Semarang, setelah berkumpul dan bermenung renung bersama selama dua hari di Bandungan, maka pada Selasa dalam Pekan Suci, uskup KAS bersama ratusan pastor dari aneka tarekat biasanya berkumpul di Gereja Katedral Semarang untuk merayakan Misa Krisma. Sedangkan di Keuskupan Agung Jakarta, Misa Krisma diadakan pada hari Kamis Putih pagi harinya, sekitar jam 08.00 di Gereja Katedral Jakarta. Misa ini sendiri menunjukkan persatuan antara para imam dengan uskup mereka.
Dalam Misa Krisma, uskup memberkati tiga macam minyak kudus, al:
- OC: Minyak katekumen (oleum catechumenorum),
- OI : Minyak orang sakit (oleum infirmorum)
-SC : Minyak krisma (sacrum chrisma)
Adapun ketiga jenis minyak ini nantinya dipergunakan dalam pelayanan sakramen-sakramen di seluruh wilayah keuskupan sepanjang tahun itu. Tradisi ini berasal dari Gereja Perdana seperti dicatat dalam Sakramentarium Gelasius (dinamakan seturut Paus Gelasius I, wafat tahun 496), tetapi kemudian dimasukkan ke dalam Misa sore Kamis Putih; Paus Pius XII menerbitkan suatu Rangkaian Ibadat yang baru untuk Pekan Suci, di mana ditetapkan kembali suatu perayaan Misa Krisma khusus yang membedakannya dari Misa sore.
Sepanjang Kitab Suci, terdapat berbagai referensi yang menyatakan pentingnya minyak zaitun dalam kehidupan sehari-hari. Minyak dipergunakan untuk memasak, teristimewa dalam membuat roti, yakni bahan makanan pokok (mis Bil 11:7-9); sebagai bahan bakar pelita (mis Mat 25:1-9); dan sebagai unsur penyembuh dalam pengobatan (mis Yes 1:6 dan Luk 10:34). Di samping itu, kaum Yahudi mengurapi kepala tamu mereka dengan minyak sebagai ucapan selamat datang (mis Luk 7:46), memperelok penampilan seseorang (mis Rut 3:3) dan memburat jenazah sebelum dimakamkan (mis Mrk 16:1). Dalam praktek keagamaan, bangsa Yahudi juga mempergunakan minyak untuk mempersembahkan kurban (mis Kel 29:40); mempersembahkan suatu tugu peringatan demi menghormati Tuhan (mis Kej 28:18); dan untuk menguduskan kemah pertemuan, tabut perjanjian, meja, kandil, mezbah pembakaran ukupan, mezbah korban bakaran, bejana pembasuhan (mis Kel 30:26-29). Penggunaan minyak jelas merupakan bagian dari hidup masyarakat sehari-hari.
Kitab Suci juga menegaskan simbolisme rohani dari minyak. Misalnya, dalam Mazmur 23:5 kita dapati, “Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak,” menggambarkan kemurahan dan kekuatan dari Tuhan; dan Mazmur 45:8, “Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allahmu, telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu,” menggambarkan perutusan istimewa dari Tuhan dan sukacita menjadi hamba-Nya. Lagipula, “diurapi” oleh Tuhan menyatakan bahwa seorang menerima suatu panggilan khusus dari Tuhan dan kuasa Roh Kudus untuk menunaikan panggilan itu. Yesus, dengan menggemakan kata-kata Yesaya, bersabda, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku” (Luk 4:18). St Paulus menegaskan point ini, “Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita” (2Kor 1:21). Sebab itu, simbolisme minyak adalah berlimpah pengudusan, penyembuhan, pemberian kekuatan, tanda perkenanan, dedikasi, penyerahan diri dan kurban.
Berdasarkan warisan ini, Gereja perdana mengadaptasi penggunaan minyak zaitun dalam ritual sakramentalnya. Minyak Katekumen dipergunakan sehubungan dengan Sakramen Baptis. St Hipolitus dalam Tradisi Apostoliknya (215) menulis mengenai suatu “minyak eksorsisme” yang dipergunakan untuk mengurapi para calon baptis menjelang pembaptisan. Praktek ini masih terus dilakukan.
Dalam liturgi baptis yang sekarang, imam mendaraskan doa pembebasan dan lalu, dengan minyak katekumen mengurapi orang yang akan dibaptis pada dadanya, seraya mengatakan, “Kami mengurapi engkau dengan minyak keselamatan dalam nama Kristus Juruselamat kita; kiranya Ia menguatkan engkau dengan kuasa-Nya, Ia yang hidup dan berkuasa untuk selama-lamanya.” Pengurapan dengan minyak katekumen sesudah doa pembebasan juga dapat dilakukan sepanjang masa katekumenat di salah satu atau beberapa kesempatan. Dalam kedua peristiwa tersebut, pengurapan ini melambangkan kebutuhan manusia akan pertolongan dan kekuatan dari Tuhan untuk mematahkan belenggu masa lampau dan mengatasi perlawanan dari yang jahat agar ia dapat mengaku imannya, datang pada pembaptisan dan hidup sebagai anak Allah.
Minyak orang sakit dipergunakan dalam Sakramen Pengurapan Orang Sakit (dulu dikenal sebagai Sakramen Terakhir). St Yakobus menulis, “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para panatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni” (Yak 5:14-15).
Dalam Tradisi Apostolik oleh St Hipolitus, dicatat satu dari rumusan-rumusan tertua untuk memberkati minyak orang sakit. Juga, pada masa Gereja awali, seorang imam (atau beberapa imam) akan memberkati minyak ini pada saat minyak hendak dipergunakan, suatu tradisi yang masih dilestarikan dalam Gereja-gereja Timur.
Tetapi, dalam Ritus Latin, setidak-tidaknya sejak Abad Pertengahan, para imam menggunakan minyak yang telah diberkati uskup; sebagai contoh, St Bonifasius pada tahun 730 menginstruksikan kepada semua imam di wilayah Jerman untuk hanya menggunakan minyak orang sakit yang telah diberkati uskup. Sekarang, imam mengurapi dahi orang yang sakit seraya mengatakan, “Semoga karena pengurapan suci ini Allah yang Maharahim menolong Saudara dengan rahmat Roh Kudus,” dan lalu imam mengurapi kedua tangan si sakit seraya berkata, “Semoga Tuhan membebaskan saudara dari dosa dan membangunkan Saudara di dalam rahmat-Nya.” Bagian tubuh yang lain dapat juga diurapi jika tidak mungkin mengurapi tangan atau jika terdapat suatu kebutuhan khusus lainnya.
Terakhir, minyak krisma merupakan campuran minyak zaitun dan balsam, suatu damar aromatik. Minyak ini berhubungan dengan pengudusan orang. Pada masa Perjanjian Lama, para imam, para nabi dan para raja bangsa Yahudi diurapi. Minyak ini dipergunakan dalam Sakramen Baptis, Sakramen Penguatan dan Sakramen Tahbisan Suci sebab ketiga sakramen ini menerakan suatu tanda sakramental yang tak terhapuskan. Pemberkatan minyak krisma berbeda dari minyak-minyak lainnya: Uskup menghembus di atas bejana krisma, suatu gerakan yang melambangkan baik Roh Kudus yang turun ke atas minyak yang dikuduskan ini, dan melambangkan kodrat pemberian diri dan pengudusan dari sakramen untuk mana minyak dipergunakan. (Ingat bagaimana Tuhan kita “menghembusi” para rasul pada malam Paskah seraya mengatakan, “Terimalah Roh Kudus” (Yoh 20:22). Para konselebran dalam Misa Krisma juga mengulurkan tangan kanan mereka ke arah minyak krisma sementara uskup mendaraskan doa pengudusan, melambangkan bahwa dalam persatuan dengan uskup, mereka “ikut menyandang kewibawaan Kristus Sendiri, untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya,” yakni Gereja (Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, No 2).
Mengenai pembaptisan, St Hipolitus dalam Tradisi Apostolik berbicara mengenai suatu pengurapan sesudah baptis dengan “minyak syukur”. Serupa itu, segera sesudah pembaptisan dalam ritus yang sekarang, imam mengurapi orang yang dibaptis dengan krisma pada puncak kepalanya, seraya mengatakan, “Saudara terkasih, Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, telah melahirkan Saudara kembali dari air dan Roh Kudus dan mengampuni semua dosa Saudara. Saudara sudah diangkat menjadi anak-Nya dan dipersatukan dengan umat-Nya. Sekarang Saudara diurapi dengan Minyak krisma, seperti Kristus diurapi oleh Roh Kudus menjadi imam, nabi dan raja. Semoga Allah berkenan melindungi Saudara, agar Saudara menjadi anggota umat-Nya yang setia, sampai masuk kehidupan yang kekal. Amin.”
Dalam Sakramen Penguatan, uskup mengurapi dahi calon dengan krisma, seraya berkata, “Semoga dimeterai oleh anugerah Allah Roh Kudus.”
Minyak Krisma juga dipergunakan dalam Sakramen Tahbisan Suci. Dalam ritus tahbisan imamat, uskup mengurapi kedua telapak tangan dari masing-masing imam baru dengan krisma. Dalam ritus tahbisan episkopat, uskup yang menahbiskan mengurapi kepala uskup baru.
Terakhir, Minyak Krisma dipergunakan dalam upacara pemberkatan sebuah gereja. Di sini, uskup mengurapi altar, menuangkan minyak krisma di tengah altar dan di masing-masing dari keempat sudutnya. Disarankan agar uskup mengurapi keseluruhan altar. Setelah mengurapi altar, uskup mengurapi dinding-dinding gereja di duabelas atau empat tempat yang ditandai dengan salib.
Sementara Bapa Uskup memberkati ketiga minyak suci ini pada Misa Krisma, hati kita tertuju kepada Tuhan kita yang murah hati, yang menganugerahkan cinta dan belas kasih-Nya yang tak terhingga kepada kita melalui sakramen-sakramen ini. Marilah kita juga berdoa bagi uskup kita dan bagi para imam yang adalah para pelayan sakramen-sakramen di paroki agar mereka senanitasa menjadi abdi-abdi Allah yang bersahaja dan murah hati, yang setia dalam panggilan dan bergairah dalam pelayanan.
Ora Pro Nobis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar