Ads 468x60px

De AHOK Numquam Satis


Komentar Pers, Hendardi, Ketua SETARA Institute, 9/5:
1. Vonis 2 tahun penjara untuk Basuki Tjahaja Purnama merupakan kasus penodaan agama ke 97 yang terjadi sepanjang 1965-2017. Sebagai sebuah mekanisme demokrasi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara haruslah dihormati. Akan tetapi harus pula diakui bahwa majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Basuki. Vonis itu mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukkan bagi siapapun dan untuk kepentingan apapun. Bahkan dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus terjadi pasca 1998. Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP.
2. Vonis terhadap Basuki di luar kelaziman, karena hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan JPU. Karena JPU gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156a, maka JPU hanya menuntut Basuki dengan Pasal 156 KUHP. Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam UU. Namun demikian, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan. Kualitas peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang, semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Basuki atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU.
3. Menyimak konsideran putusan atas Basuki, tampak bahwa hakim menerapkan standar ganda dalam mempertimbangkan konteks peristiwa hukum itu. Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan oleh ucapan Basuki; tapi di sisi lain, hakim a historis dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Basuki dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat. Betapa politisasi identitas dan peristiwa hukum itu dijadikan alat penundukkan yang efektif untuk memenangi sebuah kontestasi. Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek non hukum inilah yang membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas adanya trial by mob. Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Basuki.
4. Trial by mob sudah dipastikan bertentangan dengan rule of law dan membahayakan demokrasi dan negara hukum kita, karena sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan UUD menjadi kedaulatan kerumunan meski harus mengingkari prinsip-prinsip negara hukum. Due process of law dalam penegakan Pasal 156a tidak pernah dilakukan, padahal genus Pasal 156a adalah UU No. 1/PNPS/1965 yang menuntut adanya peringatan dan proses-proses non yudisial sebelum seseorang diproses secara hukum.
5. Trial by mob telah mengikis kepercayaan diri hakim untuk menghayati asas “in dubio pro reo” dalam memutuskan kasus Basuki. Asas ini memandu hakim, jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, maka haruslah diputuskan berdasarkan pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa. Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah.
Terima kasih.


===============

Untuk Veronica Tan, Sean, Tania, dan Daud : Jangan Kalian Benci Indonesia,
Stay Strong!'
Saya masih menuliskan ini dengan tangan gemetar. Mengikuti media sosial dan pemberitaan online, hari ini Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis dua tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai oleh Dwiarso Budi Santiarto dan dengan anggota Jupriyadi, Abdul Rosyad, I Wayan Wirjana, dan Didik Wuryanto.
Saya marah, mau nangis, dan tak berhenti mengutuki institusi peradilan dan bedebah-bedebah yang menekan dan mengintervensi kasus ini sejak awal. Shame on you, Guys! You will get your karma soon, i promise!
Baca : Ahok Dinyatakan Bersalah dan Harus Dipenjara 2 Tahun, Maafkan Kami Pak
Untuk Veronica Tan…
Kemudian saya teringat wanita ini. Wanita yang selama ini mendampingi Ahok sejak 6 September 1997. Wanita yang jago bermain cello dan berpenampilan bersahaja, jauh dari kesan Ibu pejabat dengan rambut sasakan dan dandanan glamor. Wanita cerdas yang mendampingi lelaki hebat menapaki naik turunnya kehidupan bersama-sama.
Entah apa yang ada di dalam batinnya saat ini, lah saya saja yang cuma penonton dari jauh sedih. Saya membayangkan sekuat-kuatnya Veronica Tan atau meskipun Ia sudah dijelaskan tentang kemungkinan terburuk yang bisa terjadi tetap saja mana ada istri yang mau suaminya dipenjara selama dua tahun. Apalagi tuduhan yang diberikan jelas tidak berdasar dan sarat dengan tekanan dan muatan politis.
Kabar menyebutkan bahwa pengacara Ahok (saat saya menulis ini) kehilangan kontak karena Ahok bersama jaksa. Ada reporter di media sosial yang menyebutkan Ahok dibawa ke LP Cipinang. Ya Allah, entah apa rasanya jadi Veronica setelah suaminya selalu dituduh ini-itu, semua-semua dibilang salah Ahok, agamanya dikafir-kafirkan, asal usul keturunannya dipersoalkan, difitnah macam-macam, dan sekarang harus menjalani hukuman atas apa yang sebetulnya bukan kesalahannya. Entahlah apa rasanya Veronica melepas Ahok tadi pagi berangkat ke pengadilan dan apa perasaannya siang ini menyadari mungkin nanti malam atau malam-malam berikutnya Ahok tak lagi tidur di sisinya, melainkan dalam sel tahanan.
Ahok memang akan mengajukan banding, namun saya pesimis dengan sistem peradilan kita. Dan perjalanan menuju proses banding sampai di tingkat kasasi itu panjang dan melelahkan. Artinya juga masih sangat lama bagi Veronica untuk bisa bernafas lega dan hidup tenang bersama suami dan keluarganya.
Bu Vero, Anda adalah wanita yang sangat cantik lahir dan batin. Saya percaya itu meski tak mengenal Anda secara personal. Saya meyakini bahwa di balik laki-laki yang hebat seperti Ahok ada perempuan yang tak kalah dahsyatnya sebagaisupport system Beliau. Kalau hari ini Anda ingin menangis karena sedih, kecewa, marah maka lakukanlah. Tidak ada yang melarang dan mencegah Anda melakukan itu. Saya pun ingin memeluk Anda dan anak-anak saat ini.
Namun setelah itu ingatlah peran Anda belum berhenti sampai di sini. Anda harus tetap memperhatikan Pak Ahok meskipun Ia dipenjara. Makanannya, kesehatannya, dan psikologis Beliau. Sekuat-kuatnya Ahok tetaplah Ia manusia biasa. Anda harus bangkit untuk suami, anak-anak, dan keluarga. Entah bombardir apa lagi yang akan mereka munculkan setelah ini. Jadilah selalu sandaran bagi Bapak dan anak-anak, doamu adalah cahaya dan ridho bagi suamimu…
Kami semua di sini juga selalu akan mendoakan dan mendukung setiap langkahmu dan Pak Ahok, Bu. Maafkan kami yang belum sukses mendukung Bapak ini. Kami mungkin terlambat dan kurang maksimal dalam membela sehingga kaum batil itu merajalela.
Untuk Nicholas Sean, Nathania, dan Daud Albeenner…
Nak, maafkan kami ya. Kami gagal mengawal ayah kalian yang hebat dan tiada duanya itu. Kalian tentu marah, sedih, dan ketakutan. Mungkin sebagian akan mengatakan itu resiko jadi anaknya Ahok. Lah kalian kan tidak bisa memilih mau lahir dari orangtua mana.
Kalau ada teman atau orang yang menjelek-jelekkan atau memanfaatkan vonis ini untuk berkata buruk tentang ayah kalian, jangan dimasukkan hati. Mereka hanya orang yang kalau tidak bodoh, jahat, serakah, atau sumbunya memang pendek. Ayahmu bukan penjahat, justru banyak penjahat yang ingin menjatuhkan ayahmu. Ayahmu adalah pejuang di era sekarang yang jelas bekerja dan dicintai banyak orang. Tidak ada alasan untuk tak lagi sayang atau tak lagi bangga dengan ayah kalian, justru harus makin berlipat sayang dan bangganya!
Jangan benci dengan Indonesia ya sayang, kami tahu sistem peradilan kami belum bisa adil dan fair. Kami tahu ayahmu adalah korban carut marutnya sistem politik di negara ini. Kami tahu Indonesia terlambat mengantisipasi bigot yang terus bergerak menggerogoti sumbu-sumbu kehidupan.
Apalagi untuk Sean yang bersekolah di kampus negeri. Tentu ada segelintir teman, senior, bahkan mungkin dosenmu yang memandang sinis ayahmu dan sibuk jadi bagian yang menuduhnya menistakan agama. Jangan surut semangatmu. Tetaplah belajar dengan baik dan berteman sepenuh hati dengan siapapun seperti kerja keras dan sikap kemanusiaan yang ayahmu tunjukkan pada kami. Manusia-manusia patologis selalu ada di mana-mana. Kamu harus tetap sabar dan berjalan tegak!
Jagalah Ibu kalian dan jadilah support system yang baik untuk Ayah dan Ibu. Kami di luar ini banyak yang mendukung dan cinta dengan kalian, ikhlas sepenuh hati. Ayah kalian bukanlah pesakitan tapi justru yang tersakiti. Ayah kalian bukan penjahat tapi justru yang dijahati. Ayah kalian bukan penista tapi yang justru dinistakan.
Doa kami menyertai kalian, selalu…. We love you..
sumber : seword.com

================


Sebuah Ulangan Lagi Soal AHOK:
De AHOK Numquam Satis
Bicara Soal AHOK Seolah Tak Ada Habisnya:
V E R I TA S !
Dia dicemooh oh oh oh..
Dia disergap dan dituduh, tapi tetap berdiri tegap, tanggap dan teduh.
Dikepung, tapi semua kerjaan tetap rampung.
Banyak orang yang seenaknya membenci, tapi dia tidak jadi banci atau malahan jadi sok suci.
Hiruk pikuk yang kikuk dan hingar bingar yang liar kerap terdengar:
Teriakan barbar menyebar dan ancaman vulgar menggelegar:
Gulingkan!
Pecat!
Penjarakan!
Gantung mati !
Bunuh Ahok!
Indahnya:
Bukannya sembunyi dan berlindung,
dia terus maju bernyanyi tanpa sibuk cari tempat berlindung
dia tetap berbunyi tanpa takut disandung
Dia digiring ke sidang pengadilan,
tapi dia tetap nyaring atas nama keadilan
Setiap tuduhan noda dihadapinya dengan dengan lapang dada
Iustitia omnibus
Keadilan untuk semua
Ya.
Entah mengapa mereka begitu ingin menghancur leburkannya,
Entah mengapa juga tak ada kata menyerah kalah malahan makin menyuburkannya
Bisa jadi.
Baginya: Via veritas vita
Ia hadir berjuang
Ia tertakdir bertarung
untuk menemukan :
Via - Jalan, yang tidak asal jalan
Veritas - Kebenaran yang tidak asal benar
Vita - Hidup yang tidak asal hidup
Jalan yang pasti
Kebenaran yang sejati
Hidup yang sepenuh hati
Bahkan matipun merupakan keuntungan baginya .. ..
Anehnya:
Kepungan orang yang membencinya dihadapi satu per satu,
Ia tidak sembunyi dan menggerutu,
Ia tidak berlari dan sibuk mencari sekutu,
Ia laten dan konsisten berucap:
"Saya ada, saya di sini, saya Ahok .."
Dia begitu berani dan meyakini.
Dia begini tegar dan tidak berlindung di balik "pagar".
Dia menjadi "martir" setiap hari, bahkan sampai ke titik akhir nadir kehidupannya yang bestari. Ia menulis dengan tinta kerja keras - keringat dan ketulusan yang liat
Dia percaya bahwa kebenaran selalu berpihak pada yang sungguh benar ..
"Veritas est fons vitae"
Kebenaran adalah pondasi hidup, mungkin itu gumam relung hatinya selama ini.
TJAHAJA YANG PURNAMA.
“Urip Iku Urup - Hidup itu nyala!” Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentulah akan lebih baik. Dalam bahasa pemazmur: "Kami berpegang teguh pada tangan-Nya, dan gelap pun menjadi TJAHAJA!" Biarlah TJAHAJA wajah-Mu menyinari kami, ya TUHAN!” (Mz 4:7)
Itulah filosofi hidup banyak orang baik yang terlibat di ruang publik, seperti Koh Ahok yang bernama asli “Basuki Tjahaja Purnama” yang splendor veritatis – penuh dengan warna warni pelangi kemanusiaan - dan kini masih menjadi gubernur DKI sampai Oktober nanti.
Dari banyak pejabat di seantero nusantara, bisa jadi KOH AHOK adalah salah satu “martir” dalam mendobrak dan meng-antitesa politik pasca-reformasi, yang senantiasa memoles kemasan agar terlihat indah, namun isi-nya sangat busuk dan berbau. Ia tampil apa adanya, “jurdil – jujur dan adil”, berpenampilan spontan dan apa adanya, berbicara apa adanya, tanpa diksi atau gaya bahasa yg indah-indah, tanpa dibuat-buat.
Figur dan tuturnya “down to earth”, jauh dari sosok seorang pejabat kebanyakan dan tidak tersilaukan oleh gilang gemilang harta yang coreng moreng dan kekuasaan yang mentereng. Pendapatannya- pun kerap digunakannya untuk membantu pelbagai karya sosial dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Mungkin ia terkesan "kasar", namun sekaligus ia “besar”, sangat substantif dan hatinya mulia alias integratif.
Koh Ahok ini memang benar-benar low profile. Ia berani “blusukan” karena tidak pernah takut mati. Baginya, hidupnya itu sederhana saja: hadir dan terus mengalir. Mungkin relung hatinya kerap berkata: “Don't worry Be happy God will make a "WAY". I have special security guards. They are the "Father, the Son, and the Holy Spirit.”
SOP
SIMPLE OPTIMIS POSITIF
Di balik kesederhanaan sikap dan karakternya yang ceplas ceplos , hidupnya sendiri penuh keyakinan iman dan harapan yang tanggap zaman. Dari figurnya yang teruji oleh banyaknya gesekan dan tekanan dari “liane”, tertegaskan kesederhanaan salah satu prinsipnya bahwa bermimpi itu perlu dan kita harus terus berusaha untuk mewujudkan mimpi itu dengan sikap optimis, dimana ia menampilkan hati nurani yang diimani sekaligus akal sehat yang diyakini sebagai bagian integral dari perpolitikannya yang berpola trilogi “BTP” – “Bersih Transparan Profesional.” Jelasnya: "When we're dreaming alone, it's only a dream. When we're dreaming with others, its the beginning of reality"
Ya, lewat figur dan tuturnya yang akhir-akhir ini banyak menghiasi media, entah dipuji atau dicaci, politik janganlah menjadi banal/dangkal, tapi haruslah menggunakan hati nurani dan hati nurani sendiri juga haruslah di-“politik”-kan untuk mencapai “bonum commune/kesejahteraan bersama”, karena sejatinya politik akal sehat bukan cuma apa yang mengenyangkan "perut" dan menyamankan "mulut" tapi apa yang "mengenyangkan" nurani: otak watak dan akhlak.
Selain apa adanya dan optimis, berpikir positif juga melekat pada dirinya: "Fluctuat nec mergitur" Terombang-ambing tapi tdk tenggelam. Baginya, politik itu tidak abu-abu, tidak jahat dan tidak busuk. Politik itu adalah cara-cara sportif untuk meraih kebaikan umum secara cerdas: Politik tidak kotor.Yang kotor adalah pelakunya. Politisinya. Karena itu, politik harus “dibaptis” dan tidak menjadi alat untuk korupsi, melainkan penyucian”.
"BIMA" YANG BUKAN DARI PANDAWA LIMA
Ibarat tokoh salah satu pentolan Pandawa Lima yakni "Bima" dalam cerita wayang, bisa jadi ia adalah salah satu tokoh tegas-lugas-jelas-kontras dalam pergerakan Pandawa melawan kesewenang-wenangan Kurawa, walaupun dia memang bukanlah orang Jawa. Terkenang juga sebuah pepatah bestari jawani, “Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara” - Manusia hidup di dunia itu harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak – yang seakan menjadi refrain dalam hidup kesehariannya.
Tercandra, baginya politik itu “tremendum sed fascinosum” (menakutkan tapi menarik). Ya, meski para pelaku politik cenderung membuat politik menjadi sesuatu yang negatif di mata masyarakat, sesungguhnya politik itu (pada dirinya sendiri) bagus, dan lewat “interupsi” yakni kehadiran keterlibatan seorang “double minority” (kristen dan tionghoa), kita sebagai orang Indonesia apapun agama dan suku budayanya diajak untuk bekerjasama secara tuntas - “kerja keras-kerja cerdas-kerja ikhlas” - menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik guna mencapai masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Disinilah, sang "Bima" dari Belitung, negerinya "Laskar Pelangi" ini mengajak kita melihat politik secara positif dan arif, berani sekaligus memaknainya sebagai “sakramen”: tanda dan sarana keselamatan. Mungkin saja, tanpa ia sadari, ia juga mengejawantahkan ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni “manunggaling kawula-Gusti” (kesatuan hamba dan Rajanya yakni Tuhan).
Persis! Keutamaan dasar inilah yang juga ditawar-segarkan oleh kehadirannya yang josss di tengah hingar-bingarnya dunia perpolitikan di kota Jakarta pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Ya, salah satu kriteria sang pemimpin adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya: “ Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadag lan batine pepindhane wadhah lan isine.”
Baginya, jabatan adalah anugerah Tuhan, karena hal yang mulia ini menantangnya untuk selalu “bersih - transparan - profesional”, bersadar diri dan berjuang total dalam memberi kesaksian iman kepada masyarakat umum karena iman baginya adalah tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia, menjadi lebih punya hati nurani, menjadi lebih budiman/berbudi dan beriman, menjadi lebih berbudaya/berbudi dan berdaya. Jelasnya: sebuah kerja nyata dan tidak hanya kata-kata hampa haruslah terus dilakukan seraya Tuhan sudah rapi tersimpan dalam sebuah iman yang dpt digunakan bagaikan sebuah peta perjalanan.
Bisa jadi, pesan Mgr. Soegijapranata mendapatkan aktualitasnya lewat kesaksian dan kehadiran seorang bernama Koh Ahok ini: “Kita memang bukan bagian yang lebih besar (pars major), tetapi kita harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior).”
SEBUAH AJAKAN :
"PAS" - "POLITIK AKAL SEHAT"
Saya bukan tim sukses pilkada, dan tak pernah berminat untuk menjadi tim sukses pilkada. Saya juga bukan simpatisan atau kader salah satu partai politik tertentu. Saya juga bukan konsultan politik yang dibayar untuk memenangkan kandidat tertentu.
Namun...
Sebagai warga negara di republik “kaya raya” – tanah air beta yang gemah ripah loh jinawi, dan sangat kami cintai ini, saya berkentingan: berharap, berdoa dan turut berusaha, agar "orang-orang baik dengan niat baik" mendapatkan kesempatan dan menemukan momentum untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan.
Di lain matra, ada banyak orang yang terlalu lelah, dan nyaris putus asa, karena kerap hidup di “republik bandit”, yang kadang dipimpin oleh orang-orang jahat, rampok, maling, garong, preman yang terpilih karena dikemas dengan berbaju malaikat.
Bisa jadi, dulunya mereka terpilih karena membeli suara rakyat dengan menggunakan uang rampokan, yang mereka peroleh dari merampok uang rakyat: “Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia - Negara yang tidak menyelenggarakan pemerintahannya secara jujur dan adil adalah seperti komplotan bandit atau rampok bagi rakyatnya.” Dalam bahasa Butet Kertaredjasa: “Menjadi politikus busuk itu sulit, .....saya harus pura-pura tuli-meski telinga saya sehat. Kan susah, punya pendengaran bagus, tapi harus terus menerus pura-pura tidak mendengar aspirasi rakyat” (Butet Kertaredjasa, "Monolog Tukang Kritik", Tuan Politikus Sowan Raja Jin, hal.151).
Nah, bukankah, kita harus senantiasa menciptakan setiap momentum agar ada kesempatan bagi "orang-orang baik, dengan niat baik untuk bangsa dan rakyat", dapat terus berjuang di negeri ini ini. Kewajiban kita adalah menaruh "hati yang hangat dan budi yang sehat" dalam kehidupan bersama karena politik tanpa "hati dan budi" adalah malapetaka bagi bangsa besar ini
Janganlah cuma terbang bergoyang seperti seekor ayam kalau kita mampu terbang tinggi melayang seperti seekor rajawali, yang punya jiwa dan punya nyali. “V A M O S” (Bhs Spanyol: “mari kita pergi”). Kita sebagai satu bangsa juga mesti “VAMOS”, “pergi“ dari “will to affair” ke “will to fair” dan dari “will to power” ke “will to truth”
Lenyapkanlah jalan-jalan yang menjadi buruk karena ditaburkan oleh penyebar kebencian. Terangilah jalan-jalan yang akan menjadi baik dengan “TJAHAJA” yang ditabur subur-penuh-utuh, “purnama” dan paripurna dalam hati-budimu
Jangan biarkan hidup kita menjadi sia-sia Jadilah manusia yang berguna, yang nyala, yang “urup”. Tinggalkan jejak tapak tjahaya.
Pancarkan terus teduhnya sinar purnama harapan iman dan kasih
Semoga kita mau menghidup-kembangkan iman sebagai "interupsi" (keterlibatan - keberpihakan)
Semoga kita mencari Tuhan
Semoga kita menemukan Tuhan
Semoga kita mencintai Tuhan
Semoga muncullah orang-orang yang sungguh benar benar mencintai negaranya, dan dari rasa cinta tersebut sungguh benar benar berani bicara sebagai "hati nurani bangsa", bukan yang berpola “isis – ikut sana ikut sini” tapi yang “taktis” - punya otak watak dan sungguh humanis sekaligus kritis:
dalam ruang dan waktu
dalam hidup yang bersekutu
dalam pilihan yang bermutu
Membangun Jiwa Membangun Raga
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
1.
SEEKOR IKAN NEMO KECIL
DI KOLAM JAKARTA.
Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.
(Kis 20:24)
Ketika dalam suatu kesempatan Ahok ditanya oleh anak-anak TK yang berkunjung ke Balai Kota tentang alasannya melawan semua orang dan melawan arus – ia mangajak mereka menonton cuplikan film 'Finding Nemo'. Ceritanya, banyak sekali ikan yang terjebak jaring nelayan. Dan Nemo – sang tokoh dalam film tersebut – mengajak ikan lainnya untuk berenang ke arah bawah. Namun ajakan Nemo itu awalnya tidak dipedulikan oleh ikan-ikan yang terjebak jaring tersebut. Bahkan Ayah Nemo saat itu khawatir anaknya malah ikut terangkat jaring.
Namun Nemo memastikan agar ikan-ikan lain mengikutinya berenang ke bawah, melawan arus agar terbebas dari jaring. Akhirnya semua ikan itu selamat. Namun setelah semuanya selamat, tak satupun ikan yang mengucapkan terima kasih kepada Nemo.
"Jadi inilah yang harus kita lakukan, sekalipun kita melawan arus, berbeda arah dengan semua orang - kita harus tetap teguh. Biarkan semua tidak jujur, nggak apa-apa, asal kita sendiri jujur. Mungkin setelah itu tidak ada yang terima kasih sama kita, kita tidak peduli - karena Tuhan yang menghitung untuk kita, bukan orang," kata Ahok lirih namun tegas.
Lalu Ahok kembali menjelaskan :
"Banyak orang bertanya kepada saya, kamu siapa ? Saya jawab : Saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta. Ini pelajaran untuk kita. “
Dan alkisah – ketika Ahok menjelaskan hal itu pada anak-anak TK di Balai Kota – semuanya bertepuk tangan.
“Sambutan anak-anak TK itu memberikan penghiburan dan kekuatan baru pada saya, untuk teguh melawan arus menyatakan kebenaran," Ahok kembali menjelaskan dalam pledoi sidangnya hari ini.
Sahabat, dalam berbagai perbuatannya yang sering sulit diterima awam – Ahok ternyata dilandasi keyakinan dan keberanian untuk menyatakan kebenaran – meski untuk itu ia harus berhadapan dengan semua orang. Saya jadi teringat pameo yang pernah disampaikan Profesor Sadli : “ Jika tak ada satupun yang happy dengan keputusanmu, itu artinya engkau telah mengambil keputusan yang benar.” Nampaknya prinsip itu jugalah yang dijalankan oleh ikan Nemo kecil atau Ahok.
Uraian di atas semakin menegaskan bahwa Ahok memang seorang pejuang sejati. Dia siap sendirian, bahkan diasingkan – demi sebuah kebenaran yang diperjuangkannya. Sekarang juga kita paham, bahwa Ahok tak pernah menganggap dirinya seorang tokoh yang besar atau hebat. Ia hanya memandang dirinya sebagai ikan Nemo kecil – berenang di kolam besar Jakarta – namun dengan keberanian melawan arus demi sebuah kebenaran.
Hok, jangan pernah goyah – jagalah keberanianmu untuk melawan arus jika itu demi kebenaran dan kebahagiaan rakyat. Sebab ternyata engkau tak pernah sendirian. Engkau tak pernah sendiri, membanjirnya karangan bunga di Balai Kota hari ini – ketika engkau berjuang di pengadilan – adalah bukti demikian banyak “ikan” lain dari berbagai pelosok negeri yang mengirimkan cintanya untukmu.
Hok, tetaplah jadi ikan Nemo kecil yang bukan hanya berani mengarungi kolam Jakarta – tapi bahkan samudra luas bernama Indonesia. Engkau tak pernah sendiri kawan.
BERKAH DALEM
2.
Tulisan Goenawan Mohamad
"STIGMA"
Ahok kalah; pilkada DKI 2017 sudah menentukan itu. Segera, apa yang terjadi dengan hiruk pikuk selama ini, akan jadi sejarah.
Banyak yang lega -- karena Anies menang ataupun karena kita akhirnya melampaui kebencian yang meracuni udara kampanye, suasana yang meretakkan banyak pertemanan.
Tapi saya harap satu hal tak dilupakan.
Ahok maju ke dalam arena dengan belenggu di tubuhnya: belenggu sebagai "penista agama". Ia bisa bergerak dan bisa bicara, tapi ia tak sepenuhnya bebas. Prestasinya sebagai kepala daerah, yang diakui sebagian besar warga -- yang membuat ia sebenarnya tak tertandingi -- nyaris tak tampak dan terdengar lagi.
Dalam sejarah politik Indonesia, mungkin apa yang dicapkan pada Ahok merupakan teknik membuat stigma yang paling berhasil.
Stigma itu bermula dari fitnah. Ia tak menghina agama Islam, tapi tuduhan itu tiap hari diulang-ulang; seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta yang terus menerus diulang akan jadi "kebenaran". Kita mendengarnya di masjid-masjid, di media sosial, di percakapan sehari-hari, sangkaan itu menjadi bukan sangkaan, tapi sudah kepastian.
Ahok pun harus diusut oleh pengadilan, dengan undang-undang "penistaan agama" yang diproduksi rezim Orde Baru -- sebuah undang-undang yang batas pelanggarannya tak jelas, dan tak jelas pula siapa yang sah mewakili agama yang dinista itu.
Walhasil, Ahok diperlakukan tidak adil dalam tiga hal: (1) difitnah, (2) dinyatakan bersalah sebelum pengadilan, (3) diadili dengan hukum yang meragukan.
Mengakui adanya ketidak-adilan di dalam kasus ini tapi bertepuk tangan untuk kekalahan politik Ahok -- yang tak bisa diubah -- adalah sebuah ketidak-jujuran.
Ahok kalah, ia bahkan masih bisa di jatuhi hukuman dalam proses pengadilan yang di bawah tekanan aksi massa itu. Jangan-jangan kebenaran juga kalah -- di masa yang merayakan "pasca-kebenaran" kini.
3.
APA KATA HABIB STING SOAL KEKALAHAN AHOK.....
Ada yg tanya. Kalo Ahok kalah gimana?
Ya gak apa2. Dia dr awal sudah siap kok. Buat gw ini cara Tuhan menyelamatkan orang baik itu dr hukuman dugaan penistaan agama. Dia akan lebih damai hidupnya. Gak ada beban. Gak ada hutang. Merdeka dr himpitan SARA yg memborbardirnya dgn sangat kejam. Bayangkan, kalo sudah menang bebas pula.
Selamat Pak Ahok atas kerja kerasnya selama ini. Warga Jakarta memang butuh gubernur baru. Butuh rumah dgn DP no persen. Butuh duit dr KJP Plus buat anak2 mereka yg gak sekolah. Apa nanti akan terealisasi, bukan urusan Pak Ahok. Yg pasti Pak Ahok telah menerapkan standar tinggi buat kinerja gubernur berikutnya.
Sekali lagi selamat. Khususnya buat ibu Vero, anak2, dan ibu Ahok yg pasti bahagia suami, ayah, dan anaknya kembali hidup normal.
Salam.....
4.
PESAN KEBANGSAAN CAK NUR UNTUK AHOK
Cak Nur pernah menegaskan pentingnya sekularisasi di Indonesia. Maksudnya pembedaan antara tugas agama dan negara. tujuannya agar tidak terjadi politisasi sebagaimana yang saat ini terjadi di Jakarta. Di mana agama telah dimanipulasi demi kepentingan politis.
Sekularisasi yang dimaksudkan agar fungsi keduanya (agama dan negara) bisa berjalan sinergi beriringan. Agama penopang wilayah-wilayah etis moralitas keumatan. Sedangkan negara mengemban amanah mewujudkan hak-hak sipil politik dalam mewujudkan keadilan sosial yang merata.
Pesan Cak Nur ini sangat dipahami oleh Ahok. Ahok tidak pernah menjadikan agama berperan dalam urusan-urusan politiknya. Justru Ahok merangkul semua umat beragama untuk menjunjung tinggi pentingnya toleransi antar umat beragama.
Sebenarnya Cak Nur sudah mengingatkan sejak lama, bahaya jika agama dan negara bercampur dalam urusan konstitusional. Sangat rawan terjadinya politisasi. Kewaspadaan ini terbukti kini kelompok intoleran (radikal) membuat gerakan politik untuk merebut kekuasaan. Membuka pintu politisasi agama kepada kelompok intoleran sama saja menyerahkan kebangsaan kita kepada mereka.
Itulah kenapa Cak Nur menegaskan, “Islam Yes, Partai Islam No!” Islam sebagai agama memiliki tugas penting menata wilayah keumatan membentuk karakter kebangsaan. Bukan sebagai partai politik. Karena jika Islam sebagai partai maka rawan manipulasi, politisasi. Belum lagi akan mencampuri hal-hal konstitusional yang menyangkut kehidupan umat beragama di Indonesia.
Apalagi Indonesia adalah negara pancasila. Pancasila itu final. Cak Nur sering menegaskan bahwa pancasila adalah satu-satunya ideologi bangsa. Tidak ada pertentangan antara keduanya, antara agama (Islam) dan negara. Negara menjamin hak-hak umat beragama, sebagaimana bunyi sila pertama.
Pancasila itu pondasi dasar kebangsaan. Kini semua warga negara bahkan warga agama wajib merawat nilai-nilai pancasila sebagai pandangan hidup. Melalui pemahaman bersama tentang pentingnya nilai-nilai pancasila maka menjaga kebangsaan adalah tugas bersama, merawat kebhinekaan, hidup dalam keberagaman.
Ahok merepresentasikan nilai-nilai yang diajarkan Cak Nur. Ahok tampil sebagai gubernur Jakarta bukan karena agama namun karena demokrasi. Ahok merangkul dalam keberagaman, terbukti Ahok selalu menjaga toleransi antar umat beragama.
Ahok paham betul mengenai pentingnya merawat nilai-nilai pancasila. Melalui keteladanan Ahok kepada tokoh-tokoh bangsa, bahkan ulama keIndonesiaan, Ahok menjunjung tinggi pentingnya saling menghargai. Yang pasti Ahok toleran kepada keragaman dan sama sekali tidak toleran kepada kelompok intoleran.
5.
#NOTA PEMBELAAN
BASUKI TJAHAJA PURNAMA
TERHADAP TUNTUTAN PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA PIDANA
No. 1537/Pid.B/2016/PN.JKT.UTR
*“SAYA BUKAN KAFIR”*
Bapak Ketua Majelis Hakim, dan Anggota Majelis Hakim yang saya muliakan,
Yang saya hormati :
Tim Penuntut Umum
Polisi, TNI dan Petugas Pengadilan
Wartawan, Hadirin dan Penasehat Hukum
Pertama-tama Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Majelis Hakim atas kesempatan, yang diberikan kepada Saya.
Setelah mengikuti jalannya persidangan, memperhatikan realitas yang terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, serta mendengar dan membaca tuntutan Penuntut Umum, yang ternyata mengakui dan membenarkan bahwa saya tidak melakukan penistaan agama seperti yang dituduhkan kepada saya selama ini dan karenanya terbukti saya bukan penista/penoda agama. Saya mau tegaskan, selain saya bukan penista/penoda agama, saya juga tidak menghina suatu golongan apapun.
Kalau kita mau jujur menegakkan hukum diatas semua suku bangsa, agama, ras dan golongan, di dalam sidang semakin jelas sudah terjadi kesalahan fatal dengan memaksakan kasus yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Begitu jelas terungkap bahwa kasus ini, sejak awal adalah rekayasa politik dan merupakan pengadilan massa (trial by the mob) yang didalangi oleh orang-orang yang sejak lama telah membenci saya dan menolak saya dan mencap saya sebagai gubernur kafir. Mereka bahkan sudah melantik gubernur tandingan sejak tanggal 1 Desember 2014.
Orang-orang ini juga yang selalu berdemo menolak saya sebagai gubernur dan meneriaki saya sebagai pemimpin kafir. Bahkan menghalalkan untuk membunuh saya. Faktanya terbukti di dalam persidangan ini, semua Pelapor adalah anggota FPI atau ormas yang terafiliasi dengan FPI atau pihak yang sudah dikenal sebagai pembenci saya menyebut saya kafir dan bahkan ada Pelapor yang menghina *iman kepercayaan saya pada Tuhan Yesus. Padahal jelas saya bukan kafir.
Mengapa saya bukan kafir? Karena saya juga taat kepada Tuhan dan agama saya diakui oleh Negara. Dan iman kepercayaan saya didasarkan pada firman Tuhan yang hidup. Itu sebabnya, pada bulan April ini, semua orang Indonesia, suka tidak suka, baru saja merayakan libur nasional pada hari kematian Tuhan Yesus (Jumat Agung) dan hari kebangkitan Yesus (Paskah) dan perayaan kenaikan Isa Almasih yaitu Tuhan Yesus ke Surga pada tanggal 25 Mei mendatang.
Perlu saya ceritakan, itulah yang saya imani bahwa Tuhan Yesus mati menggantikan saya yang harusnya binasa karena dosa dan sediakan tempat di Surga setelah dia bangkit dan naik ke surga. Firman Tuhan dalam 1 Korintus 15:16-20: _“Sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia. Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal._” *
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Banyak tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah. Bahkan Penuntut Umum pun mengakui adanya peranan Buni Yani dalam perkara ini. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa saat di Kepulauan Seribu, banyak media massa yang meliput sejak awal hingga akhir kunjungan saya dan bahkan disiarkan secara langsung yang menjadi materi pembicaraan di Kepulauan Seribu, tidak ada satupun yang mempersoalkan, keberatan atau merasa terhina atas perkataan saya tersebut. Bahkan termasuk pada saat saya diwawancara setelah dialog dengan masyarakat Kepulauan Seribu.
Namun baru menjadi masalah 9 (sembilan) hari kemudian, tepatnya tanggal 6 Oktober 2016 setelah Buni Yani memposting potongan video sambutan saya dengan menambah kalimat yang sangat provokatif, barulah terjadi pelaporan dari orang-orang yang mengaku merasa terhina, padahal mereka tidak pernah mendengar langsung bahkan tidak pernah menonton video sambutan saya secara utuh.
Adapun salah satu tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah adalah dari Goenawan Mohammad : “Stigma itu bermula dari fitnah. Ahok tidak menghina agama Islam, tapi tuduhan itu tiap hari diulang – ulang; seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta yang terus – menerus diulang akan menjadi “kebenaran”. Kita mendengarnya di masjid – masjid, di media sosial, di percakapan sehari – hari, sangkaan itu menjadi bukan sangkaan, tapi sudah kepastian. Ahok pun harus diusut oleh pengadilan, dengan undang – undang “penistaan agama” yang diproduksi rezim Orde Baru, sebuah undang – undang yang batas pelanggarannya tak jelas, dan tak jelas pula siapa yang sah mewakili agama yang dinista itu. Walhasil, Ahok diperlakukan tidak adil dalam tiga hal (1) difitnah, (2) dinyatakan bersalah sebelum pengadilan, (3) diadili dengan hukum yang meragukan. Mengakui adanya ketidakadilan di dalam kasus ini tapi bertepuk tangan untuk kekalahan politik Ahok, yang tidak bisa diubah, sebuah ketidakjujuran.”
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Sebuah ketidakjujuran memang telah terjadi, tetapi kita bisa mengubahnya kalau kita mau jujur dan melihat dengan mata hati perjalanan hidup saya, apa yang telah almarhum Bapak saya ajarkan dan perbuat, khususnya dalam menjalin kekerabatan dan kemaslahatan dengan saudara-saudara Muslim, serta praktik pemerintahan yang saya jalankan yang telah berusaha sebisa mungkin untuk memberikan pelayanan terhadap harapan dan keperluan umat Islam.
Karenanya, perlu saya tegaskan apabila saya menguraikan segala keyakinan politik saya dan membeberkan semua maksud dari segala perkataan dan tindakan saya yang menjadi proses dalam perkara ini, maka itu bukan untuk mempropagandakan kebenaran atau menyatakan diri saya yang paling benar dan paling baik, tetapi semata-mata untuk menyatakan apa yang terjadi sesungguhnya seperti tulisan Goenawan Muhammad mengakui adanya ketidakadilan dalam kasus ini, supaya tidak ada lagi orang atas nama apapun mengoyakkan Bhinneka Tunggal Ika yang sudah diletakkan sebagai fondasi oleh para pendiri bangsa (founding fathers).
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Ketika saya memilih untuk mengabdi melayani bangsa tercinta ini, saya masuk ke pemerintahan dengan kesadaran penuh untuk mensejahterakan rakyat – otak, perut dan dompet penuh. Untuk itu, ketika saya memberikan sambutan di Pulau Pramuka, saya memulai dengan kalimat bahwa saya mau cerita ini, biar Bapak Ibu semangat.
Dari sambutan saya, jelas sekali bahwa saya hanya punya satu niat saja agar warga tebal kantongnya, mau ambil program yang sangat menguntungkan ini. Terbukti Penuntut Umum mengakui bahwa saya tidak punya niat sedikitpun untuk menghina, menista/menodai agama. Dan saya tegaskan, saya pun tidak punya niat sedikitpun untuk menghina golongan tertentu.
Tetapi niat baik dan pengabdian saya ternyata tidak cukup !
Judy Latif menulis, “Nasionalisme bukan soal dari mana kita bermula, melainkan apa yang kita perbuat. Bahwa kita menjadi makan dari daratan dan lautan kepulauan ini, minum dari air yang terpancar dari perut bumi dan sungai yang mengalir di sini, serta menghirup oksigen dari atmosfir alam raya nusantara ini. Maka, kita punya hutang budi kehormatan terhadap Tanah Air ini. Dimana Bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Kecintaan kepada Nusa Bangsa tanpa mengenal asal – usul itu ditunjukkan oleh Pahlawan Nasional Keturunan Tionghoa, Laksamana Muda John Lie (Jahja Daniel Dharma). Lahir di Manado, 9 Maret 1911, jalan hidupnya mengambil jalur “menyimpang” dengan meninggalkan zona nyaman demi mengabdi kepada Ibu Pertiwi lewat jalur ketentaraan. Ketulusan pengabdian dan kecintaannya pada Nusa Bangsa Indonesia, membuat John Lie memiliki pandangan tersendiri tentang apa yang disebut sebagai “pribumi” dan “non Pribumi”. Menurutnya orang pribumi adalah orang – orang yang pancasilais, sapta margais, yang jelas – jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan non-pribumi adalah mereka yang suka korupsi dan merugikan kepentingan Nasional. “Mereka itu sama juga menusuk bangsa kita dari belakang. Maka patutlah mereka digolongkan orang non-pribumi”.
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Apakah kita bisa memilih untuk lahir sebagai suku atau agama apa? Tidak ! Semua KedaulatanNYA. Tetapi kita bisa memilih untuk menjadi pribumi dan mengabdi kepada nusa dan bangsa. Sayapun memilih jalur politik untuk melayani masyarakat, walaupun sebenarnya pilihan hidup saya tersebut membuat saya mengambil jalur “menyimpang” melawan arus dengan meninggalkan zona nyaman demi mengabdi kepada Ibu Pertiwi.
Bicara mengenai melawan arus, mengingatkan saya ketika saya mengajak anak-anak yang mengunjungi saya di Balaikota untuk bersama menonton cuplikan film Finding Nemo melawan arus. Setelah itu saya menjelaskan apa pesan moral dari film Finding Nemo, sebagaimana dapat dilihat dalam video youtube yang saya kutip kembali sebagai berikut:
“Bapak mau kasih tahu melalui pelajaran ikan ini, kalian bisa lihat ngga tadi? Papanya tidak ijinkan Nemo masuk ke jaring. Ya…jadi jaring tadi, Nemo bisa keluar masuk kan? Ikan besar kan tertangkap? Kalau Nemo ga mau masuk boleh ga? boleh juga, buat apa dia membahayakan nyawanya. Dia masuk… padahal papanya khawatir, kalau masuk, ikan gitu banyak, bisa kejepit, bisa keangkat.
Nah kita hidup dijaman orang-orang itu kadang-kadang berenangnya salah arah… jadi persis seperti ikan. Yang benar harus berenang ke bawah, tapi semua ikan ikut jaring ke atas. Kalau dibiarkan ikut ke atas ikan-ikan ini ketangkap akan mati ga? (jawaban anak-anak) mati! Nah bagaimana mereka bisa tau apa yang bener? Nemo yang tahu! Waktu Nemo minta berenang berlawanan arah, kira-kira orang nurut ga? Ga nurut pertama. Jadi sama, kita hidup di dunia ini…kadang kita melawan arus, melawan orang yang ke arah berbeda sama kita. Tapi kita tetap lakukan demi menyelamatkan dia, dia bilang kalau ngga si Dori bisa mati nih, ikan yang biru tadi. Jadi papanya pun mengikhlaskan…merelakan anaknya untuk masuk.
Lalu ketika dia mulai teriak minta turun..Nemo..papanya tau ngga resiko Nemo? Tahu bisa kejepit mati ikan kecil. Lalu begitu terlepas, ada ngga ikan yang berterima kasih kepada Nemo yang terkapar pingsan? Tidak ada! Jadi inilah yang harus kita lakukan, sekalipun kita melawan arus semua, melawan semua orang berbeda arah, kita harus tetap teguh. Semua tidak jujur, ngga papa, asal kita sendiri jujur. Mungkin setelah itu tidak ada yang terima kasih sama kita, kita juga tidak peduli karena Tuhan yang menghitung untuk kita, bukan orang.
Nah, ini pelajaran dari film ikan Nemo, jadi bukan soal ketangkap ikannya itu tadi. Jadi orang tanya sama saya, kamu siapa? Saya bilang saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta…seperti itu. Nah ini pelajaran untuk kita….(disambut tepuk tangan anak-anak)”.
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Sambutan tepuk tangan anak-anak kecil diakhir cerita saya tersebut, memberikan saya penghiburan dan kekuatan baru untuk terus berani melawan arus menyatakan kebenaran dan melakukan kebaikan sekalipun seperti ikan kecil Nemo dilupakan, karena saya percaya di dalam Tuhan segala jerih payah kita tidak ada yang sia-sia. Tuhan yang melihat hati, mengetahui isi hati saya.
Saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta, yang akan terus menolong yang miskin dan membutuhkan (Poor dan Needy) walaupun saya difitnah dan dicaci maki, dihujat sebagai kafir serta darah kafir dianggap halal untuk dibunuh. Ironis memang, *tetapi seperti Tuhan Yesus Kristus, ketika Dia diadili karena difitnah, Pilatus ingin menyelesaikan kasus fitnah ini dengan menawarkan untuk membebaskan Tuhan Yesus di depan orang banyak karena Pilatus tahu Tuhan Yesus tidak bersalah.
Tetapi walaupun mengetahui kebenaran bahwa Yesus tidak bersalah, Pilatus tidak berani membebaskan Yesus karena khawatir akan terjadi pemberontakan besar dan takut kepada orang banyak. Maka dia bertanya, akankah orang-orang tersebut menerima pembebasan dan pengampunan bagi Yesus Kristus? Mereka menolak dan memilih membebaskan Barabas, seorang pembunuh, pemberontak dan penjahat keji. Orang-orang lebih memilih pembunuh keji daripada Yesus, Sang Penyembuh! Pembunuh lebih mereka sukai daripada Pemberi Hidup!* Betapa butanya orang-orang tersebut karena berita bohong yang disebarkan para imam. Betapa rusaknya para imam, yang dengan bakat yang sangat hebat dan ketekunan yang sangat besar memengaruhi opini orang-orang dan mengubah mereka menjadi ganas dan penuh niat membunuh.
*Walaupun Yesus disalib (Jumat Agung), Yesus tidak membenci dan memusuhi tetapi justru mengampuni mereka yang menyalibkannya dan bahkan tetap menyelamatkan mereka ketika dia bangkit (Paskah). Sebagai seorang Kristen, saya diajarkan hal yang sama untuk mengampuni orang yang memfitnah, membenci dan mencaci maki saya dan memaksa saya diadili di pengadilan ini. Saya akan tetap berbuat baik karena saya tahu kasih menutupi banyak kesalahan dan kita hanya bisa mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.*
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Seperti John Lie yang walaupun keturunan Tionghoa dan beragama Kristen, memilih untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa dan sadar dirinya adalah pribumi, demikian juga saya yang selalu sadar diri saya adalah pribumi karena seperti pesan bapak saya, bahwa saya adalah orang Indonesia, punya hak dan kewajiban yang sama di negeri ini dan pekerjaan yang paling mulia adalah menjadi pejabat yang melayani masyarakat, karena orang miskin jangan lawan orang kaya, orang kaya jangan nantang pejabat. Kalau mau lawan pejabat yang kotor dan korupsi harus jadi pejabat”.
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Apakah saya yang “double minoritas” di bangsa ini, keturunan Tionghoa dan Kristen, ketika saya mau melayani dan mengabdi kepada bangsa ini, yang hak dan kewajibannya dijamin oleh konstitusi selalu harus berhadapan dengan oknum politisi yang demi mencapai kekuasaan rela mengoyakkan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar hidup kita berbangsa dan bernegara?
Pengadilan ini adalah bukti sejarah bahwa realita politik demokrasi bangsa ini masih jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa (founding fathers), yang telah meletakkan fondasi Pancasila dan UUD 1945 yang memberikan jaminan kepada setiap anak bangsa, apapun latar belakang suku, agama dan rasnya boleh menjadi apa saja di negeri ini termasuk menjadi seorang gubernur. Sayangnya, sebagian dari kita tidak berani melawan arus dan masih takut untuk membela kebenaran, keadilan dan taat pada konstitusi, sehingga secara sadar membiarkan terjadinya peradilan ini karena ketakutan pada tekanan massa.
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Saya bersyukur, karena dalam persidangan ini saya bisa menyampaikan kebenaran yang hakiki dan saya percaya bahwa Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini tentu akan mempertimbangkan semua fakta dan bukti yang muncul dalam persidangan ini di mana Penuntut Umum mengakui dan membenarkan bahwa saya tidak melakukan penistaan/penodaan agama seperti yang dituduhkan kepada saya selama ini dan karenanya terbukti saya bukan penista/penoda agama.
Berdasarkan hal tersebut di atas, haruskah masih dipaksakan bahwa saya menghina suatu golongan? padahal tidak ada niat untuk memusuhi atau menghina siapapun dan tidak ada bukti bahwa saya telah mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penghinaan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama Islam dan Ulama atau penghinaan terhadap suatu golongan.
Saat ini, apakah pengadilan massa (trial by the mob) yang menang atau Pengadilan demi keTuhanan Yang Maha Esa yang menang? Saya menyerahkan kepada Majelis Hakim Yang Mulia, apakah saya dianggap bersalah atau saya harus dibebaskan dari tuntutan Penuntut Umum.
Mengutip adagium yang sangat terkenal dalam hukum pidana yaitu, “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar.”
Saya berkeyakinan bahwa Majelis Hakim akan memberikan keputusan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan karena mengambil keputusan demi keadilan berdasarkan keTuhanan yang Maha Esa.
Keputusan Majelis Hakim akan menentukan bhinneka tunggal ika akan terkoyak atau apa yang sudah coba dikoyakkan orang akan yang akan ditenun kembali. Sebab seperti kata Gus Dur, “kita tidak boleh takut-takut. Kalau kita kehilangan keberanian, itulah yang salah, karena hidup kita hanya sekali saja demi kebenaran.”
Mungkin orang – orang yang membenci, menyerang, memaki dan menghujat saya berpikir mereka sudah berhasil mengalahkan dan menjatuhkan saya, tetapi saya percaya orang mereka-reka yang jahat, Tuhan pasti mengubahnya menjadi kebaikan. Ingat saja pepatah Tiongkok, ‘Sebelum bunyi empat paku di atas peti mati kamu, kamu tidak bisa nilai orang lain itu baik atau buruk.” Nanti kamu baru tahu apa yang saya kerjakan.
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Biarlah sejarah akan mencatat bahwa kebhinekaan hanya dapat dipertahankan dengan menerima perbedaan dan selalu berlandaskan pada konstitusi.
Kepada semua rakyat Indonesia yang mencintai kejujuran dan menghargai kebhinnekaan semua orang-orang yang ingin hidupnya bersih, transparan dan profesional dan mau melayani bangsa ini, jangan pernah menyerah seperti si ikan kecil Nemo, berani melawan arus sekalipun nyawa taruhannya, walaupun engkau tidak dihargai, dan tidak ada orang yang berterima kasih.
Seperti kata Bung Karno, “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.
Percayalah Tuhan tahu yang terbaik. Bangkit dan jadilah terang di tengah kegelapan korupsi, pencurian uang rakyat, ketidakjujuran dan kemunafikan juga upaya mengingkari konstitusi dan kebhinekaan yang sudah dibangun dengan keringat darah dan nyawa founding fathers kita.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Demikian Nota Pembelaan ini saya buat untuk mematahkan semua tuduhan dan fitnah atas sambutan saya selaku Gubernur DKI Jakarta yang sedang menjalankan tugas di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016 dengan maksud mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program budidaya ikan kerapu, berdasarkan Pasal 31 UU Pemerintah Daerah.
Saya percaya Allah itu adalah setia dan adil, sejak awal telah mengetahui akhir cerita hidup kita. Apapun yang telah kita kerjakan dan katakan dan apapun yang telah terjadi pada kita semua adalah atas seijin Tuhan. Percayalah bahwa kekuasaan itu Tuhan yang kasih, Tuhan yang ambil. Tidak ada seorangpun bisa menjabat tanpa seijin Tuhan. Akan hal ini aku yakin sepenuhnya yaitu Allah yang memulai pekerjaan yang baik diantara kita akan menyempurnakannya sampai pada akhirnya.
Jakarta, 25 April 2017
Hormat saya,Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar