HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
MEMOAR 100TH FATIMA.
7 Pesan Fatima dan Penjelasannya:
Penjelasan Kardinal Ratzinger / Paus Benediktus XVI
1. Penampakan Maria di Fatima adalah Wahyu Pribadi. Wahyu pribadi adalah pertolongan bagi iman ini, dan menunjukkan kredibilitasnya persis dengan menuntun saya kembali kepada Wahyu publik yang definitif. Berkenaan hal ini, Kardinal Prospero Lambertini, yakni Paus Benediktus XIV, berkata dalam risalah klasiknya yang kemudian menjadi standar untuk beatifikasi dan kanonisasi: “Sebuah persetujuan iman katolik tidak diberikan kepada wahyu-wahyu yang disetujui dalam cara ini; bahkan ini mustahil. Wahyu-wahyu ini mencari persetujuan iman insani dalam menaati persyaratan kearifan, yang menempatkan dirinya di hadapan kita sebagai hal yang mungkin dan kredibel bagi kesalehan.” Teolog Denmark E. Dhanis, cendekiawan unggul dalam bidang ini, berkata dengan ringkas bahwa persetujuan gerejawi atas wahyu pribadi memiliki tiga unsur: pesannya tidak mengandung hal yang bertentangan dengan iman dan moral; sah untuk membuka pesannya kepada publik; dan umat beriman diberi kewenangan untuk menerimanya dengan kearifan (prudence) E. Dhanis, Sguardo su Fatima e bilancio di una discussione, in La Civiltà Cattolica104 [1953], II, 392-406, in particular 397). Pesan yang demikian dapat menjadi bantuan otentik dalam memahami Injil dan menghidupinya dengan lebih baik dalam kurun waktu tertentu; jadi ia tidak boleh diabaikan. Ini adalah pertolongan yang ditawarkan, tetapi tidak wajib digunakan.
2. Neraka itu Nyata
Bagian pertama dan kedua dari “rahasia” Fatima sudah didiskusikan dengan luas dalam literatur terkait sehingga kita tidak perlu menafsirkannya lagi. Saya hanya ingin mengingat pokok terpenting secara singkat. Dalam satu momen mengerikan, anak-anak diberikan penglihatan akan neraka. Mereka memandang kejatuhan “jiwa-jiwa pendosa malang”. Dan kini mereka diberitahu mengapa mereka dipaparkan dengan momen ini: “untuk menyelamatkan jiwa-jiwa” – untuk menunjukkan jalan keselamatan.
3. Pentingnya Pertobatan dan Keselamatan Jiwa
“Untuk menyelamatkan jiwa-jiwa” muncul sebagai kata kunci bagian pertama dan kedua “rahasia” Fatima dan kata kunci untuk bagian ketiga ialah tiga seruan: “Pertobatan, Pertobatan, Pertobatan!”. Permulaan Injil muncul dalam benak kita: “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mark 1:15). Untuk memahami tanda-tanda zaman berarti menerima urgensi silih – pertobatan – dan iman. Inilah tanggapan yang tepat terhadap momen sejarah ini, yang ditandai oleh kesulitan besar yang diuraikan dalam gambaran-gambaran selanjutnya. Perkenankan saya menambahkan rekoleksi personal di sini: dalam percakapan dengan saya, Suster Lucia berkata bahwa tampak kian jelas baginya bahwa tujuan dari semua penampakan ini adalah untuk membantu orang-orang kian bertumbuh dalam iman, harapan dan kasih – segalanya dimaksudkan untuk mengarah ke sini.
4. Devosi kepada Hati Maria Tak Bernoda sebagai Sarana Menyelamatkan Jiwa
Untuk mencapai tujuan ini – jalan yang diperlihatkan – secara mengejutkan bagi orang-orang dari Anglo-Saxon dan dunia budaya Jerman – adalah devosi kepada Hati Maria yang Tak Bernoda. Komentar singkat cukup untuk menjelaskan ini. Dalam bahasa biblis, “hati” menandakan pusat kehidupan manusia, sebuah titik ketika akal budi, kehendak, tempramen dan sensitivitas bertemu, ketika seseorang menemukan kesatuannya dan orientasi batinnya. Menurut Matius 5:8, “hati yang tak bernoda” adalah hati yang, dengan rahmat Allah, telah tiba pada kesatuan batin sempurna dan karenanya “melihat Allah’. “Berdevosi” kepada Hati Maria yang Tak Bernoda artinya menganut sikap hati ini, yang menjadikan fiat – “terjadilah kehendak-Mu” – sebagai pusat yang menentukan seluruh hidup seseorang. Seseorang dapat melontarkan keberatan bahwa kita tidak seharusnya menempatkan manusia di antara diri kita dan Kristus. Tetapi, kita mengingat bahwa Paulus tidak ragu untuk berkata demikian kepada komunitasnya: “turutilah teladanku” (1 Cor 4:16; Phil 3:17; 1 Th 1:6; 2 Th 3:7, 9). Dalam Sang Rasul mereka dapat melihat secara konkret apa artinya mengikuti Kristus. Tetapi, di setiap zaman, dari siapa lagi kita dapat belajar dengan lebih baik selain dari Bunda Tuhan?
5. Gereja yang Menderita
Sampai di sini pribadi manusia muncul: Uskup berjubah putih (“kesan kami dia adalah Bapa Suci”), Uskup-uskup lainnya, para imam, pria dan wanita anggota hidup bakti, dan pria dan wanita dari posisi dan tingkat sosial yang berbeda. Paus tampak mendahului yang lain, gemetaran dan menderita lantaran semua kengerian yang mengelilinginya. Tak hanya rumah-rumah di kota yang menjadi reruntuhan, tetapi ia berjalan di tengah jenazah orang mati. Jalan Gereja, dengan demikian digambarkan sebagai Via Crucis, sebagai perjalanan melintasi waktu kekerasan, kehancuran, dan penganiayaan. Sejarah seluruh abad dapat diwakili dalam citra ini. Sama seperti tempat-tempat di bumi secara sintetis digambarkan dalam dua citra, bukit dan kota, dan diarahkan menuju salib, demikian pula waktu dihadirkan dalam cara yang telah dipadatkan. Dalam penglihatan tersebut kita dapat mengakui abad lalu sebagai abad para martir, abad penderitaan dan penganiayaan Gereja, abad Perang Dunia dan banyak perang lokal yang memenuhi lima puluh tahun terakhir dan mengakibatkan bentuk-bentuk kekejaman yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam “cermin” penglihatan ini kita melihat di hadapan kita para saksi iman yang melintas dari dekade demi dekade. Di sini tampaknya pantas untuk menyebut frase dari surat yang ditulis Suster Lucia kepada Bapa Suci tanggal 12 Mei 1982: “Bagian ketiga dari ‘rahasia’ tersebut mengacu kepada perkatan Bunda Maria: ‘bila tidak, [Rusia] akan menyebarkan kekeliruannya di seluruh dunia, menimbulkan perang dan penganiayaan Gereja. Mereka yang berkehendak baik akan dimartir; Bapa Suci akan menanggung banyak derita; berbagai bangsa akan dilenyapkan’”.
6. “… iman dan doa adalah daya-daya yang dapat mempengaruhi sejarah.”
Dalam Via Crucis seluruh abad, sosok Paus memiliki peran khusus. Dalam pendakian bukit penuh kesukaran, tak diragukan lagi, kita dapat melihat pertemuan Paus-paus yang berbeda. Bermula dari Pius X sampai Paus yang sekarang, mereka semua berbagi penderitaan abad ini dan berupaya melangkah maju melintasi semua derita di jalan yang mengarah menuju Salib. Dalam penglihatan tersebut, Paus juga dibunuh bersama dengan para martir. Setelah upaya pembunuhan 13 Mei 1981, ketika Bapa Suci menerima teks “rahasia” ketiga yang dibawa padanya, bukankah sudah pasti ia akan melihat takdirnya sendiri? Ia sangat dekat dengan ajal, dan ia sendiri menjelaskan kelangsungan hidupnya dalam perkataan berikut: “… tangan seorang ibu lah yang mengarahkan lintasan peluru dan dalam pergolakannya Paus berhenti di ambang kematian” (13 Mei 1994). Bahwa di sini “tangan seorang ibu” telah membelokkan peluru hanya memperlihatkan, sekali lagi, bahwa tidak ada takdir yang kekal, bahwa iman dan doa adalah daya-daya yang dapat mempengaruhi sejarah, dan pada akhirnya doa jauh lebih berkuasa daripada peluru dan iman lebih berkuasa daripada balatentara.
7. “Hatiku yang Tak Bernoda akan Menang.”
Terakhir, saya juga ingin menyebutkan ungkapan kunci lainnya dari “rahasia” Fatima yang menjadi terkenal: “Hatiku yang tak bernoda akan menang”. Apa artinya? Hati yang terbuka kepada Allah, yang dimurnikan kontemplasi akan Allah, jauh lebih kuat daripada bedil dan beragam jenis senjata. Fiat Maria, sabda hatinya, telah mengubah sejarah dunia, lantaran ia membawa Sang Penyelamat ke dunia – karena, berkat Ya Maria, Allah dapat menjadi manusia di dunia kita dan tetap demikian selamanya. Yang Jahat memiliki kuasa di dunia ini, seperti yang kita lihat dan saksikan terus meneru; ia memiliki kuasa karena kebebasan kita terus membiarkan dirinya menjauh dari Allah. Tetapi karena Allah sendiri mengambil hati manusia, dan mengarahkan kebebasannya menuju yang baik, maka kebebasan untuk memilih yang jahat tidak lagi menjadi penentu segalanya. Dari saat itu, inilah perkataan yang jaya: “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia”. Pesan Fatima mengundang kita untuk percaya dalam janji ini.
NB:
Komentar Teologis atas Rahasia Ketiga Fatima
KOMENTAR TEOLOGIS
Pembacaan yang cermat atas teks yang disebut sebagai “rahasia” ketiga Fatima, yang diterbitkan di sini secara utuh lama sesudah fakta dan keputusan Bapa Suci, tampaknya akan mengecewakan atau mengejutkan orang-orang sesudah segala spekulasi yang ditimbulkannya. Tiada misteri agung yang disingkapkan; tidak juga masa depan terkuak. Kita melihat Gereja para martir abad ini yang baru saja berlalu, diwakili dalam adegan yang digambarkan dalam bahasa yang simbolis dan tidak mudah diterka. Apakah ini yang hendak disampaikan Bunda Tuhan kepada Kekristenan dan umat manusia di masa penuh kesulitan dan kesusahan besar? Apakah ini membantu kita di permulaan milenium baru? Ataukah ini hanyalah proyeksi dunia batin anak-anak, yang dimunculkan dalam suasana kesalehan mendalam namun tergoncang oleh badai yang mengancam kurun waktu mereka? Bagaimana kita harus memahami penglihatan ini? Apa yang kita dapatkan darinya?
Wahyu Publik dan wahyu pribadi – status teologis keduanya
Sebelum mencoba menafsirkan pokok utama yang dapat ditemukan dalam pernyataan yang dibaca Kardinal Sodano, pada 13 Mei tahun ini di akhir Misa yang dirayakan Bapa Suci di Fatima, diperlukan suatu klarifikasi mendasar tentang cara memahami fenomena seperti Fatima dalam kehidupan beriman seturut ajaran Gereja. Ajaran Gereja membedakan antara “Wahyu publik” dan “wahyu pribadi”. Dua realita ini berbeda tidak hanya dalam tingkatannya namun juga dalam hakikatnya. Istilah “Wahyu publik” mengacu kepada tindakan pewahyuan Allah yang diarahkan kepada manusia sebagai sebuah keseluruhan dan yang menemukan ungkapan susastranya dalam dua bagian Kitab Suci: Perjanjian Lama dan Baru. Disebut “Wahyu” karena di dalamnya Allah secara bertahap membuat diri-Nya dikenal manusia, hingga pada titik menjadi manusia itu sendiri, guna menarik seluruh dunia dan menyatukannya kepada diri-Nya melalui Putra-Nya yang berinkarnasi, Yesus Kristus. Oleh sebab itu, ini bukan perkara komunikasi intelektual, melainkan proses yang memberi hidup, yang mana Allah datang untuk berjumpa dengan manusia. Pada saat yang sama, proses ini secara alami menghasilkan data yang berhubungan dengan pikiran dan pemahaman akan misteri Allah. Ini adalah proses yang melibatkan manusia dalam keseluruhannya dan karenanya melibatkan akal budi juga, walau bukan itu saja. Karena Allah itu esa, maka sejarah yang Ia bagi bersama manusia juga ada satu. Ia sah untuk segala waktu, dan mencapai pemenuhannya dalam hidup, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Di dalam Kristus, Allah telah mengutarakan semuanya, yaitu, Ia telah mewahyukan dirinya secara utuh, dan dengan demikian Wahyu telah berakhir dengan pemenuhan misteri Kristus sebagaimana diwartakan Perjanjian Baru. Guna menjelaskan finalitas dan keutuhan Wahyu, Katekismus Gereja Katolik mengutip sebuah teks St. Yohanes dari Salib: “Dalam memberikan kita Putra-Nya, Sabda-Nya yang tunggal (karena Ia tidak memiliki yang lain), Ia mengucapkan segalanya kepada kita sekaligus dalam Sabda tunggal-Nya ini – dan tiada lagi yang perlu dikatakan-Nya… karena apa yang Ia katakan secara sebagian kepada para nabi, kini telah dikatakan-Nya semuanya sekaligus dengan memberikan kita Sang Segala yang adalah Putra-Nya. Siapapun yang mempertanyakan Allah atau menghendaki suatu penglihatan atau wahyu, akan berdosa tidak hanya karena perilaku yang dungu tetapi juga karena menghina Dia, karena tidak memantapkan matanya secara utuh kepada Kristus dan dengan hidup bersama keinginan akan suatu kebaruan yang lain” (No. 65; Saint John of the Cross, The Ascent of Mount Carmel, II, 22).
Karena Wahyu Allah yang tunggal ditujukan kepada semua orang tiba pada penyempurnaannya bersama Kristus dan saksi-Nya dalam kitab Perjanjian Baru, Gereja terikat kepada peristiwa sejarah suci yang unik ini dan juga kepada sabda Kitab Suci, yang menjamin dan menafsirkannya. Tetapi ini tidak berarti bahwa Gereja kini hanya dapat memandang ke masa lalu dan hanya bisa melakukan pengulangan belaka. Katekismus Gereja Katolik berbicara tentang hal ini: “… Walaupun wahyu itu sudah selesai, namun isinya sama sekali belum digali seluruhnya; masih merupakan tugas kepercayaan umat Kristen, supaya dalam peredaran zaman lama kelamaan dapat mengerti seluruh artinya” (no. 66). Cara yang mana Gereja terikat kepada keunikan peristiwa dan perkembangan dalam pemahamannya dijelaskan dengan sangat baik dalam percakapan perihal perpisahan Tuhan ketika hendak meninggalkan para murid-Nya, Ia berkata: “Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya… tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri… Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” (Yoh 16:12-14). Di satu sisi, Roh bertindak sebagai pembimbing yang menyingkapkan pengetahuan yang sebelumnya tak terjangkau karena dasar pemikirannya tidak ada—betapa dalam dan luas tak terhingga iman Kristen itu. Di sisi lain, dibimbing oleh Roh juga berarti “menimba dari” kekayaan Yesus Kristus sendiri, kedalaman yang tiada habisnya yang tampak dalam tuntuntan Roh. Dalam hal ini, Katekismus mengutip perkataan Paus Gregorius Agung: “Kitab Suci bertumbuh bersama dia yang membacanya” (No. 94; Gregory the Great, Homilia in Ezechielem I, 7, 8). Konsili Vatikan II mencatat tiga cara hakiki ketika Roh membimbing di dalam Gereja, dan oleh sebab itu terdapat tiga cara “sabda bertumbuh”: melalui meditasi dan studi yang dilakukan umat beriman, melalui pemahaman mendalam yang berasal dari pengalaman rohani, dan melalui pewartaan “mereka yang, dalam suksesi episkopal, telah menerima karisma kebenaran yang pasti” (Dei Verbum, 8).
Dalam konteks ini, kini konsep “wahyu pribadi” menjadi mungkin dipahami, yang mengacu kepada semua penglihatan dan wahyu yang terjadi setelah pemenuhan Perjanjian baru. Inilah kategori untuk menempatkan pesan Fatima. Dalam hal ini, mari kita sekali lagi mendengarkan Katekismus Gereja Katolik: Dalam peredaran waktu terdapatlah apa yang dinamakan “wahyu pribadi”, yang beberapa di antaranya diakui oleh pimpinan Gereja… Bukanlah tugas mereka untuk “menyempurnakan” Wahyu Kristus yang definitif atau untuk “melengkapinya”, melainkan untuk membantu supaya orang dapat menghayatinya lebih dalam lagi dalam rentang waktu tertentu” (No. 67). Hal ini mengklarifikasi dua hal:
1.Otoritas wahyu pribadi secara hakiki berbeda dari Wahyu publik yang definitif. Wahyu publik menuntut iman; di dalamnya Allah sendiri berbicara kepada kita melalui perkataan manusia dan perantaraan komunitas Gereja yang hidup. Iman kepada Allah dan sabda-Nya berbeda dari iman insani, kepercayaan atau opini. Kepastian bahwa Allah berbicara memberi saya jaminan bahwa saya bersentuhan dengan kebenaran itu sendiri. Ia memberikan saya kepastian yang melampaui verifikasi apapun guna mengetahui secara insani. Inilah kepastian yang di atasnya saya membangun hidup saya dan yang kepadanya saya mempercayakan diri dalam sakratul maut.
2.Wahyu pribadi adalah pertolongan bagi iman ini, dan menunjukkan kredibilitasnya persis dengan menuntun saya kembali kepada Wahyu publik yang definitif. Berkenaan hal ini, Kardinal Prospero Lambertini, yakni Paus Benediktus XIV, berkata dalam risalah klasiknya yang kemudian menjadi standar untuk beatifikasi dan kanonisasi: “Sebuah persetujuan iman katolik tidak diberikan kepada wahyu-wahyu yang disetujui dalam cara ini; bahkan ini mustahil. Wahyu-wahyu ini mencari persetujuan iman insani dalam menaati persyaratan kearifan, yang menempatkan dirinya di hadapan kita sebagai hal yang mungkin dan kredibel bagi kesalehan.” Teolog Denmark E. Dhanis, cendekiawan unggul dalam bidang ini, berkata dengan ringkas bahwa persetujuan gerejawi atas wahyu pribadi memiliki tiga unsur: pesannya tidak mengandung hal yang bertentangan dengan iman dan moral; sah untuk membuka pesannya kepada publik; dan umat beriman diberi kewenangan untuk menerimanya dengan kearifan (prudence) E. Dhanis, Sguardo su Fatima e bilancio di una discussione, in La Civiltà Cattolica104 [1953], II, 392-406, in particular 397). Pesan yang demikian dapat menjadi bantuan otentik dalam memahami Injil dan menghidupinya dengan lebih baik dalam kurun waktu tertentu; jadi ia tidak boleh diabaikan. Ini adalah pertolongan yang ditawarkan, tetapi tidak wajib digunakan.
Kriteria untuk kebenaran dan nilai wahyu pribadi, oleh sebab itu, ialah orientasinya kepada Kristus sendiri. Ketika ia menjauhkan kita dari-Nya, ketika ia tidak tergantung kepada-Nya atau bahkan menghadirkan dirinya sebagai rencana keselamatan yang lain dan lebih baik, lebih penting daripada Injil, maka pastinya ia tidak berasal dari Roh Kudus, yang membimbing kita kian mendalam kepada Injil dan tidak menjauh darinya. Ini tidak berarti bahwa wahyu pribadi tidak akan memberikan penekanan baru atau memunculkan bentuk-bentuk devosi yang baru, atau memperdalam dan menyebarkan bentuk devosi yang lama. Tetapi dalam semua ini, harus ada pemeliharaan iman, harapan dan kasih, yang merupakan jalan keselamatan yang tiada berubah bagi semua orang. Kita dapat menambahkan bahwa wahyu pribadi kerap kali berasal dari kesalehan populer dan meninggalkan jejaknya, memberikannya dorongan baru dan membuka jalan bagi bentuk yang baru. Pengaruh terhadap liturgi juga tidak dikecualikan, seperti yang kita lihat pada pesta Corpus Christi dan Hati Kudus Yesus. Dari satu sudut pandang, relasi antara Wahyu publik dan wahyu-wahyu pribadi tampak dalam relasi antara liturgi dan kesalehan populer: liturgi adalah kriteria, ia adalah bentuk Gereja yang hidup sebagai sebuah keutuhan, dirawat secara langsung oleh Injil. Kesalehan populer adalah tanda bahwa iman menyebarkan akarnya ke dalam hati orang-orang dalam cara sedemikian rupa sehingga ia menyentuh kehidupan sehari-hari. Religiusitas poupler adalah cara “inkulturasi” iman yang pertama dan hakiki. Kendati ia harus selalu berpedoman dan mengambil arahan dari liturgi, selanjutnya ia memperkaya iman dengan melibatkan hati.
Jadi, kita telah berpindah dari klarifikasi negatif, yang diperlukan di permulaan, menuju definisi positif akan wahyu-wahyu pribadi. Bagaimana mereka harus dikelompokkan dengan tepat dalam kaitannya dengan Kitab Suci? Mereka masuk kategori teologis yang mana? Surat tertua Santo Paulus yang telah dijaga, barangkali teks tertua dari Perjanjian Baru, yakni Surat Pertama kepada Tesalonika, bagi saya tampak menunjukkan jalan. Sang Rasul berkata: “Janganlah padamkan Roh, dan janganlah anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (5:19-21). Di setiap zaman Gereja telah menerima karisma nubuat, yang harus dicermati tetapi tidak untuk dicemooh. Dalam hal ini, harus diingat bahwa nubuat dalam arti biblis tidak berarti meramalkan masa depan melainkan menjelaskan kehendak Allah bagi masa kini, dan dengan demikian menunjukkan jalan yang benar yang harus ditempuh bagi masa depan. Seseorang yang meramalkan apa yang akan terjadi berarti menanggapi rasa ingin tahu yang berasal dari pikiran, yang ingin menyingkapkan selubung masa depan. Nabi berbicara kepada kebutaan kehendak dan akal budi dan menyatakan kehendak Allah sebagai petunjuk dan tuntutan bagi masa kini. Dalam hal ini, ramalan akan masa depan lebih bersifat sekunder. Apa yang hakiki ialah aktualisasi Wahyu definitif, yang berhubungan dengan saya pada tingkatan yang terdalam. Sabda profetis adalah peringatan atau penghiburan, atau keduanya. Dalam pengertian ini terdapat kaitan antara karisma bernubuat dan kategori “tanda-tanda zaman”, yang dipahami secara baru oleh Vatikan II: “Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai zaman ini?” (Luk 12:56). Dalam perkataan Yesus ini, “tanda-tanda zaman” harus dipahami sebagai jalan yang ditempuh-Nya, dan memang harus dipahami sebagai Yesus itu sendiri. Menafsirkan tanda-tanda zaman dalam terang iman berarti mengakui kehadiran Kristus di setiap zaman. Dalam wahyu-wahyu ilahi yang disetujui Gereja – termasuk Fatima – inilah maksudnya: mereka membantu kita memahami tanda-tanda zaman dan menanggapinya secara tepat dalam iman.
Struktur antropologis wahyu-wahyu pribadi
Dalam permenungan ini, sejauh ini kita telah berupaya mengidentifikasi status teologis wahyu-wahyu pribadi. Sebelum berupaya menafsirkan pesan Fatima, kita masih harus berupaya secara singkat untuk memberikan klarifikasi tentang karakter antropologis (psikologis) mereka. Dalam area ini, antropologi teologis membedakan tiga bentuk persepsi atau “penglihatan”: penglihatan dengan indra, dan karenanya merupakan persepsi jasmani lahiriah, persepsi batiniah dan penglihatan rohani (visio sensibilis – imaginativa – intellectualis). Jelaslah bahwa dalam penglihatan Lourdes, Fatima dan tempat lainnya, ini bukan soal persepsi indrawi lahiriah yang normal: gambaran dan bentuk yang dilihat tidak terletak secara spasial, seperti misalnya pohon atau rumah. Ini jelas sekali, misalnya dalam hal penglihatan akan neraka (yang digambarkan dalam “rahasia” pertama Fatima) atau bahkan penglihatan yang digambarkan dalam “rahasia” ketiga Fatima. Tetapi hal yang sama dapat dengan mudah diperlihatkan terkait dengan penglihatan lainnya, khususnya karena tidak semua orang melihatnya, tetapi hanya sang “penglihat”. Juga jelas bahwa ini bukan soal “penglihatan” di dalam pikiran, tanpa gambaran, sebagaimana terjadi pada tingkatan mistisisme yang lebih tinggi. Jadi, kita berhadapan dengan kategori kedua, persepsi batiniah. Bagi sang penglihat, persepsi ini tentu memiliki daya kehadiran, yang setara untuk orang itu sama seperti perwujudan eksternal yang dapat dilihat indra.
Penglihatan batiniah tidak berarti fantasi, yang tak lebih daripada ungkapan subjektif imajinasi. Ini berarti bahwa jiwa disentuh oleh sesuatu yang nyata, bahkan melampui indra. Ia jadi mampu melihat hal yang melampaui indra, yang tidak dapat dilihat—ia melihat melalui sarana “indra batiniah”. Ia melibatkan “objek-objek” sejati yang menyentuh jiwa, bahkan bila “objek-objek” ini bukan bagian dari dunia indrawi habitual kita. Itulah sebabnya ada kebutuhan akan hati yang berjaga, yang biasanya mencakup tekanan intens akan realitas eksternal dan gambaran serta pikiran yang memenuhi jiwa. Orang ini dituntun melampaui eksterioritas murni dan disentuh oleh dimensi realitas yang lebih dalam, yang kasatmata baginya. Barangkali ini menjelaskan mengapa anak-anak cenderung menjadi orang yang menerima penampakan-penampakan ini: jiwa mereka hanya sedikit terganggu, daya perspsi batiniah mereka masih belum terganggu. “Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu Engkau telah menyediakan puji-pujian”, jawab Yesus dengan ungkapan Mazmur 8 (ay. 3) terhadap kritik imam kepala dan ahli taurat, yang menghakimi seruan “hosanna” anak-anak sebagai hal yang tidak pantas (bdk. Mat 21:16).
“Penglihatan batin” bukanlah fantasi, tetapi, sebagaimana telah kita katakan, merupakan sarana verifikasi yang sah dan benar. Tetapi ia juga punya keterbatasan. Bahkan dalam penglihatan eksterior, unsur subjektif selalu ada. Kita tidak melihat objek yang murni, tetapi ia datang kepada kita melalui saringan indra kita, yang melakukan karya penerjemahan. Ini tampak lebih jelas dalam hal penglihatan batin, khususnya yang melibatkan realita-realita yang melampaui cakrawala kita. Sang subjek, si penglihat, terlibat dengan lebih berkuasa. Ia melihat sejauh yang ia mampu, dalam cara-cara representasi dan kesadaran yang tersedia baginya. Dalam hal penglihatan batin, proses penerjemahan jauh lebih ekstensif daripada penglihatan eksterior, karena sang subjek berbagi dalam cara hakiki dalam pembentukan gambaran hanya dalam batasan kapasitas dan kemungkinannya. Penglihatan yang demikian tidak pernah sekedar “foto” dari dunia lain, tetapi dipengaruhi oleh potensialitas dan keterbatasan subjek yang melihat.
Hal ini dapat dibuktikan dalam penglihatan agung para kudus, dan secara alami hal ini berlaku juga dalam penglihatan anak-anak di Fatima. Gambaran-gambaran yang mereka ungkapkan sama sekali bukanlah ungkapan sederhana akan fantasi mereka, tetapi akibat dari persepsi nyata atas asal-usul batiniah yang lebih tinggi sifatnya. Tetapi tidak boleh hal ini dipikirkan, seakan-akan sebagai penyingkapan selubung dunia lain, yang menampilkan surga dalam esensinya yang mruni, sebagaimana yang suatu hari nanti kita harapkan untuk melihatnya dalam persatuan definitif dengan Allah. Melainkan gambaran-gambaran itu adalah sebuah sintesis dari dorongan-dorongan yang berasal dari atas dan kapasitas menerima dorongan ini dalam sang penglihat, yakni anak-anak. Oleh karena itulah, bahasa figuratif penglihatan tersebut bersifat simbolis. Perihal ini, Kardinal Sodano menyatakan: “mereka tidak menggambarkan secara fotografis detil-detil peristiwa masa depan, tetapi melakukan sintesa dan memadatkan fakta-fakta dari latar belakang tunggal yang membentang melalui waktu dalam durasi dan suksesi yang tidak spesifik”. Pemadatan waktu dan ruang dalam satu gambaran adalah ciri penglihatan tersebut, yang sebagian besar dapat diuraikan dengan meninjau masa lalu. Tidak semua unsur penglihatan tersebut harus memiliki makna historis spesifik. Penglihatan secara utuh yang penting, dan detil-detil harus dipahami atas dasar gambaran yang dilihat dalam keseluruhannya. Unsur pusat gambaran ini disingkapkan ketika ia berhimpit dengan titik fokus “nubuat” Kristen itu sendiri: pusatnya ditemukan ketika penglihatan menjadi panggilan dan tuntunan bagi kehendak Allah.
Upaya menafsirkan “rahasia” Fatima
Bagian pertama dan kedua dari “rahasia” Fatima sudah didiskusikan dengan luas dalam literatur terkait sehingga kita tidak perlu menafsirkannya lagi. Saya hanya ingin mengingat pokok terpenting secara singkat. Dalam satu momen mengerikan, anak-anak diberikan penglihatan akan neraka. Mereka memandang kejatuhan “jiwa-jiwa pendosa malang”. Dan kini mereka diberitahu mengapa mereka dipaparkan dengan momen ini: “untuk menyelamatkan jiwa-jiwa” – untuk menunjukkan jalan keselamatan. Perkataan dari Surat Pertama Rasul Petrus muncul dalam benak saya: “Karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1:9). Untuk mencapai tujuan ini – jalan yang diperlihatkan – secara mengejutkan bagi orang-orang dari Anglo-Saxon dan dunia budaya Jerman – adalah devosi kepada Hati Maria yang Tak Bernoda. Komentar singkat cukup untuk menjelaskan ini. Dalam bahasa biblis, “hati” menandakan pusat kehidupan manusia, sebuah titik ketika akal budi, kehendak, tempramen dan sensitivitas bertemu, ketika seseorang menemukan kesatuannya dan orientasi batinnya. Menurut Matius 5:8, “hati yang tak bernoda” adalah hati yang, dengan rahmat Allah, telah tiba pada kesatuan batin sempurna dan karenanya “melihat Allah’. “Berdevosi” kepada Hati Maria yang Tak Bernoda artinya menganut sikap hati ini, yang menjadikan fiat – “terjadilah kehendak-Mu” – sebagai pusat yang menentukan seluruh hidup seseorang. Seseorang dapat melontarkan keberatan bahwa kita tidak seharusnya menempatkan manusia di antara diri kita dan Kristus. Tetapi, kita mengingat bahwa Paulus tidak ragu untuk berkata demikian kepada komunitasnya: “turutilah teladanku” (1 Cor 4:16; Phil 3:17; 1 Th 1:6; 2 Th 3:7, 9). Dalam Sang Rasul mereka dapat melihat secara konkret apa artinya mengikuti Kristus. Tetapi, di setiap zaman, dari siapa lagi kita dapat belajar dengan lebih baik selain dari Bunda Tuhan?
Jadi kita tiba akhirnya pada “rahasia” ketiga Fatima yang diterbitkan secara utuh untuk pertama kalinya. Sebagaimana sudah jelas dari dokumentasi yang dihadirkan di sini, penafsiran Kardinal Sodano dalam pernyataannya tertanggal 13 Mei ditempatkan pertama kali secara pribadi kepada Suster Lucia. Suster Lucia menanggapi dengan menunjukkan bahwa ia telah menerima penglihatan tetapi tidak menerima penafsirannya. Penafsiran merupakan bagian Gereja dan bukan sang penglihat, katanya. Setelah membaca teks, ia berkata bahwa penafsiran ini berhubungan dengan apa yang telah ia alami dan menurutnya ia berpikir bahwa penafsirannya benar. Selanjutnya, dengan demikian, kita hanya berupaya memberikan fondasi yang lebih dalam atas penafsiran ini, yang berlandaskan kriteria yang sudah dipertimbangkan.
“Untuk menyelamatkan jiwa-jiwa” muncul sebagai kata kunci bagian pertama dan kedua “rahasia” Fatima dan kata kunci untuk bagian ketiga ialah tiga seruan: “Pertobatan, Pertobatan, Pertobatan!”. Permulaan Injil muncul dalam benak kita: “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mark 1:15). Untuk memahami tanda-tanda zaman berarti menerima urgensi silih – pertobatan – dan iman. Inilah tanggapan yang tepat terhadap momen sejarah ini, yang ditandai oleh kesulitan besar yang diuraikan dalam gambaran-gambaran selanjutnya. Perkenankan saya menambahkan rekoleksi personal di sini: dalam percakapan dengan saya, Suster Lucia berkata bahwa tampak kian jelas baginya bahwa tujuan dari semua penampakan ini adalah untuk membantu orang-orang kian bertumbuh dalam iman, harapan dan kasih – segalanya dimaksudkan untuk mengarah ke sini.
Mari kita meninjau lebih cermat tentang gambaran tunggalnya. Malaikat dengan pedang api di sebelah kiri Bunda Allah mengingatkan kita akan gambaran serupa dalam kitab Wahyu. Hal ini mewakili ancaman penghakiman yang menaungi dunia. Kini prospek bahwa dunia dapat direduksi menjadi abu oleh lautan api tampaknya bukan lagi sekedar fantasi: manusia sendiri, dengan temuannya, telah membentuk pedang api. Penglihatan tersebut menunjukkan kuasa yang berlawanan dengan daya penghancuran – kecemerlangan Bunda Allah, dan berasal dari sini dalam cara tertentu, panggilan menuju pertobatan. Dengan cara ini, makna kebebasan manusia ditekankan: masa depan bukanlah serangkaian yang kekal, dan gambaran yang dilihat anak-anak bukanlah cuplikan film masa depan yang tak bisa diubah. Sungguh, seluruh inti penglihatan tersebut ialah untuk membawa kebebasan tampil di panggung dan untuk mengarahkan kebebasan dalam arah yang positif. Tujan penglihatan tersebut bukanlah memperlihatkan film akan masa depan yang pasti dan tak berubah. Maknanya persis berlawanan dengan itu: penglihatan itu dimaksudkan untuk menggerakkan daya-daya perubahan ke arah yang benar. Jadi kita harus mengecualikan penjelasan akan “rahasia” yang bersifat fatalistik, seperti misalnya, klaim bahwa upaya pembunuhan 13 Mei 1981 hanyalah alat rencana ilahi yang dituntun oleh Penyelenggaraan Ilahi dan karenanya tidak dapat bertindak dengan bebas, atau gagasan serupa yang beredar. Melainkan, penglihatant ersebut berbicara tentang bahaya-bahaya dan bagaimana kita dapat diselamatkan darinya.
Frase selanjutnya dari teks tersebut menunjukan secara jelas karakter simbolis penglihatan tersebut: Allah tetap tiada tara, dan merupakan terang yang melampaui setiap penglihatan kita. Pribadi manusia tampil seperti di dalam cermin. Kita harus mengingat batasan penglihatan itu sendiri, yang ditunjukkan secara visual. Masa depan hanya tampil seperti “gambaran samar-samar dalam cermin” (1 Kor 13:12). Mari kita menimbang gambaran individual selanjutnya dalam teks tersebut. Tempat terjadinya perbuatan digambarkan dalam tiga simbol: bukit yang terjal, kota besar yang dipenuhi reruntuhan dan salib kayu yang kasar. Bukit dan kota menyimbolkan arena sejarah manusia: sejarah sebagai pendakian sukar menuju puncak, sejarah sebagai arena kreativitas insani dan harmoni sosial, tetapi pada saat yang sama merupakan tempat kehancuran, ketika manusia sungguh menghancurkan buah hasil kerjanya. Kota dapat menjadi tempat persekutuan dan perkembangan, tetapi juga tempat penuh bahaya dan ancaman. Di bukit berdirilah salib – tujuan dan penuntun sejarah. Salib mengubah kehancuran menjadi keselamatan; ia berdiri sebagai tanda kesengsaraan sejarah tapi juga sebagai janji untuk sejarah.
Sampai di sini pribadi manusia muncul: Uskup berjubah putih (“kesan kami dia adalah Bapa Suci”), Uskup-uskup lainnya, para imam, pria dan wanita anggota hidup bakti, dan pria dan wanita dari posisi dan tingkat sosial yang berbeda. Paus tampak mendahului yang lain, gemetaran dan menderita lantaran semua kengerian yang mengelilinginya. Tak hanya rumah-rumah di kota yang menjadi reruntuhan, tetapi ia berjalan di tengah jenazah orang mati. Jalan Gereja, dengan demikian digambarkan sebagai Via Crucis, sebagai perjalanan melintasi waktu kekerasan, kehancuran, dan penganiayaan. Sejarah seluruh abad dapat diwakili dalam citra ini. Sama seperti tempat-tempat di bumi secara sintetis digambarkan dalam dua citra, bukit dan kota, dan diarahkan menuju salib, demikian pula waktu dihadirkan dalam cara yang telah dipadatkan. Dalam penglihatan tersebut kita dapat mengakui abad lalu sebagai abad para martir, abad penderitaan dan penganiayaan Gereja, abad Perang Dunia dan banyak perang lokal yang memenuhi lima puluh tahun terakhir dan mengakibatkan bentuk-bentuk kekejaman yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam “cermin” penglihatan ini kita melihat di hadapan kita para saksi iman yang melintas dari dekade demi dekade. Di sini tampaknya pantas untuk menyebut frase dari surat yang ditulis Suster Lucia kepada Bapa Suci tanggal 12 Mei 1982: “Bagian ketiga dari ‘rahasia’ tersebut mengacu kepada perkatan Bunda Maria: ‘bila tidak, [Rusia] akan menyebarkan kekeliruannya di seluruh dunia, menimbulkan perang dan penganiayaan Gereja. Mereka yang berkehendak baik akan dimartir; Bapa Suci akan menanggung banyak derita; berbagai bangsa akan dilenyapkan’”.
Dalam Via Crucis seluruh abad, sosok Paus memiliki peran khusus. Dalam pendakian bukit penuh kesukaran, tak diragukan lagi, kita dapat melihat pertemuan Paus-paus yang berbeda. Bermula dari Pius X sampai Paus yang sekarang, mereka semua berbagi penderitaan abad ini dan berupaya melangkah maju melintasi semua derita di jalan yang mengarah menuju Salib. Dalam penglihatan tersebut, Paus juga dibunuh bersama dengan para martir. Setelah upaya pembunuhan 13 Mei 1981, ketika Bapa Suci menerima teks “rahasia” ketiga yang dibawa padanya, bukankah sudah pasti ia akan melihat takdirnya sendiri? Ia sangat dekat dengan ajal, dan ia sendiri menjelaskan kelangsungan hidupnya dalam perkataan berikut: “… tangan seorang ibu lah yang mengarahkan lintasan peluru dan dalam pergolakannya Paus berhenti di ambang kematian” (13 Mei 1994). Bahwa di sini “tangan seorang ibu” telah membelokkan peluru hanya memperlihatkan, sekali lagi, bahwa tidak ada takdir yang kekal, bahwa iman dan doa adalah daya-daya yang dapat mempengaruhi sejarah, dan pada akhirnya doa jauh lebih berkuasa daripada peluru dan iman lebih berkuasa daripada balatentara.
Bagian penutup “rahasia” tersebut menggunakan gambaran yang mungkin dilihat Suster Lucia dalam buku-buku devosi dan ditimba inspirasinya dari intuisi iman yang sudah ada sejak lama. Ini adalah penglihatan yang menghibur, yang membuka sejarah darah dan air mata kepada kuasa penyembuhan Allah. Di bawah lengan salib para malaikat berkumpul, mengumpulkan darah para martir, dan dengan itu mereka memberikan kehidupan kepada jiwa-jiwa yang sedang berjalan menuju Allah. Di sini, darah Kristus dan para martir dianggap sebagai satu hal: darah para martir mengalir dari lengan salib. Para martir meninggal dalam persekutuan dengan Sengsara Kristus, dan kematian mereka menjadi satu dengan-Nya. Demi tubuh Kristus, mereka melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan-Nya (bdk Kol 1:24). Hidup mereka telah menjadi Ekaristi, bagian dari misteri benih yang mati dan menghasilkan buah. Darah para martir adalah benih umat Kristen, kata Tertullian. Sebagaimana dari wafat Kristus, dari lambung-Nya yang ditikam lahirlah Gereja, maka kematian para saksi sungguh menghasilkan buah bagi kehidupan masa depan Gereja. Jadi, penglihatan “rahasia” ketiga, awalnya menggelisahkan memang, namun berakhir dengan gambaran pengharapan: tiada penderitaan yang sia-sia, dan Gereja yang menderita, Gereja para martir lah yang menjadi penunjuk jalan bagi manusia dalam pencariannya akan Allah. Tangan Allah yang penuh kasih tidak hanya menyambut mereka yang menderita seperti Lazarus, yang menemukan pelipur lara di sana dan mewakili Kristus secara misterius, yang ingin menjadi Lazarus yang malang untuk kita. Namun masih ada lagi: dari penderitaan para saksi muncullah kuasa yang memurnikan dan membarui, karena penderitaan mereka adalah perwujudan penderitaan Kristus sendiri dan penyampaian dampaknya yang menyelamatkan di sini dan kini.
Dan kita tiba pada pertanyaan terakhir: Apa makna “rahasia” Fatima secara utuh (dalam tiga bagiannya)? Apa yang dikatakannya kepada kita? Pertama, kita harus menegaskan bersama Kardinal Sodano: “… peristiwa yang diacu dalam ‘rahasia’ Fatima tampak merupakan bagian masa lampau”. Sejauh peristiwa individual digambarkan, mereka merupakan bagian masa lalu. Mereka yang mengharapkan penyingkapan apokaliptis yang menarik akan akhir zaman atau lintasan sejarah masa depan pasti akan kecewa. Fatima tidak memuaskan rasa ingin tahu dalam cara ini, sama seperti iman Kristen secara umum tak dapat direduksi menjadi objek rasa ingin tahu belaka. Apa yang tersisa terlihat jelas ketika kita mengawali perenungan kita akan teks “rahasia” Fatima: anjuran untuk berdoa sebagai jalan “keselamatan bagi jiwa-jiwa”, dan juga panggilan untuk melakukan silih dan bertobat.
Terakhir, saya juga ingin menyebutkan ungkapan kunci lainnya dari “rahasia” Fatima yang menjadi terkenal: “Hatiku yang tak bernoda akan menang”. Apa artinya? Hati yang terbuka kepada Allah, yang dimurnikan kontemplasi akan Allah, jauh lebih kuat daripada bedil dan beragam jenis senjata. Fiat Maria, sabda hatinya, telah mengubah sejarah dunia, lantaran ia membawa Sang Penyelamat ke dunia – karena, berkat Ya Maria, Allah dapat menjadi manusia di dunia kita dan tetap demikian selamanya. Yang Jahat memiliki kuasa di dunia ini, seperti yang kita lihat dan saksikan terus meneru; ia memiliki kuasa karena kebebasan kita terus membiarkan dirinya menjauh dari Allah. Tetapi karena Allah sendiri mengambil hati manusia, dan mengarahkan kebebasannya menuju yang baik, maka kebebasan untuk memilih yang jahat tidak lagi menjadi penentu segalanya. Dari saat itu, inilah perkataan yang jaya: “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia”. Pesan Fatima mengundang kita untuk percaya dalam janji ini.
Joseph Kardinal Ratzinger
Prefek Kongregasi Ajaran Iman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar