HARAPAN IMAN KASIH
SERI DOMINIKAN 6
Audiensi Umum Paus (Emeritus) Benediktus XVI tentang St. Albertus Agung
Saudara-saudari terkasih,
Salah satu guru besar teologi abad pertengahan adalah St. Albertus Agung. Gelar “Agung” (Magnus), yang telah dimasukkan ke dalam sejarah, menunjukkan betapa luas dan dalam pengajarannya, yang dipadukan dengan kekudusan hidup. Sekalipun demikian, rekan sezamannya tidak ragu untuk mengatributkan kepadanya gelar-gelar yang menampilkan keunggulan lainnya. Salah satu muridnya, Ulric dari Strasbourg, memanggil dia “kekaguman dan keajaiban zaman kita”.
Ia lahir di Jerman pada permulaan abad 13. Ketika ia masih muda, ia pergi ke Italia, ke Padua, tempat salah satu universitas abad pertengahan paling terkenal. Ia membaktikan dirinya bagi studi yang disebut “liberal arts”: grammar, retorika, dialektik, aritmatika, geometri, astronomi, dan musik, yaitu studi budaya secara umum, yang menunjukkan minat karakteristik dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences) yang segera menjadi bidang spesialisasi favoritnya.
Selama menetap di Padua, ia menghadiri Gerejanya kaum Dominikan, selanjutnya ia bergabung dengan Ordo Dominikan melalui pengucapan kaul religius (profession of the religious vows). Sumber-sumber hagiografis menunjukkan bahwa Albertus tiba pada keputusan ini secara bertahap. Relasinya yang intens dengan Allah, teladan kekudusan dari pada saudara Dominikan, khotbah Beato Yordan dari Saxony yang didengarnya, yakni penerus Master Jendral Ordo Pewarta, merupakan faktor-faktor penentu yang membantunya mengatasi setiap keraguan dan bahkan mengatasi perlawanan dari keluarganya.
Allah sering kali berbicara pada kita dalam masa muda kita dan menunjukkan pada kita rencana kehidupan kita. Demikian pula bagi Albertus dan bagi kita semua, sarana yang diperlukan untuk menemukan dan mengikuti suara Allah adalah doa pribadi, yang diperkaya dengan Sabda Tuhan, penerimaan Sakramen dengan lebih sering, serta bimbingan rohani dari orang-orang yang diterangi Allah. Ia menerima jubah religius dari Beato Yordan dari Saxony.
Setelah tahbisan imamatnya, superiornya mengutusnya untuk mengajar di berbagai pusat studi teologis yang disatukan dengan biara para Imam Dominikan. Kualitas intelektualnya yang cemerlang memampukan ia menyempurnakan studi teologisnya di universitas paling terkenal pada masa itu, yakni Universitas Paris. Sejak saat itu, St. Albertus memulai aktivitas luar biasanya sebagai penulis, yang tetap dilakukannya sepanjang hidupnya.
Tugas yang bergengsi diserahkan kepadanya. Pada tahun 1248, ia bertugas membuka studium teologis di Cologne, salah satu ibukota regional Jerman yang terpenting, tempat ia hidup pada waktu yang berbeda dan yang kemudian menjadi kota angkatnya. Dari Paris ia membawa muridnya yang istimewa, yakni Thomas Aquinas.
Pahala tunggalnya dengan menjadi guru St. Thomas cukup untuk membangkitkan kekaguman mendalam terhadap St. Albertus. Relasi yang dipenuhi dengan persahabatan dan sikap saling menghormati berkembang di antara dua teolog besar ini, sikap manusiawi yang sangat membantu perkembangan cabang ilmu pengetahuan ini. Tahun 1254, Albertus dipilih sebagai Provinsial Imam Dominikan “Provincia Teutoniae”, Provinsi Teutonik, yang mencakup seluruh komunitas yang tersebar di wilayah luas di Eropa Tengah dan Utara. Ia membedakan dirinya dengan semangat yang ia perlihatkan selama pelayanannya, dengan mengunjungi berbagai komunitas dan terus-menerus mengingatkan saudara-saudaranya akan kesetiaan dan pengajaran serta teladan St. Dominikus.
Karunia-karunianya mendapat perhatian Paus pada masa itu, Aleksander IV, yang menginginkan agar Albertus bersamanya selama kurun waktu tertentu di Anagni, tempat yang sering didatangi Paus di Roma sendiri dan di Viterbo, untuk memperoleh bagi dirinya keuntungan dari nasihat teologis Albertus. Paus yang sama menunjuk Albertus sebagai Uskup Regensburg, keuskupan yang besar dan ternama, namun sedang menjalani masa-masa sulit. Dari tahun 1260-1262, Albertus melaksanakan pelayanannya dengan dedikasi yang tak kenal lelah, ia berhasil memulihkan kedamaian dan harmoni kota tersebut, dan berhasil pula dalam menata ulang paroki dan biara dan dalam memberikan semangat baru bagi aktivitas amal kasih.
Tahun 1263-1264, Albertus berkhotbah di Jerman dan Bohemia atas permintaan Paus Urbanus IV. Ia kemudian kembali ke Cologne dan mengambil peran sebagai dosen, cendekiawan, dan penulis. Sebagai seorang pendoa, akademisi dan sosok yang penuh kasih, intervensi otoritatifnya dalam berbagai peristiwa Gereja dan masyarakat mendapatkan pujian: terutama, ia adalah abdi rekonsiliasi dan perdamaian di Cologne, ketika Uskup Agung mencemarkan institusi kota; upaya terbesarnya dilakukan selama Konsili Lyons tahun 1274, yang diadakan oleh Paus Gregorius X, untuk mendorong persatuan antara Gereja Latin dan Yunani setelah pemisahan skisma besar dengan Timur pada tahun 1054. Ia juga menjelaskan pemikiran Thomas Aquinas yang menjadi pokok keberatan dan bahkan celaan yang agak tak masuk akal.
Ia wafat di kamarnya di biara Salib Suci, Cologne, tahun 1280, dan segera dihormati oleh para saudaranya. Gereja memasukan dirinya ke dalam ibadah umat beriman dengan membeatifikasinya pada tahun 1622 dan dengan kanonisasinya tahun 1931, ketika Paus Pius XI menyatakan dirinya sebagai Doktor Gereja.
Tentu ini merupakan penghormatan yang pantas akan orang besar Allah dan cendekiawan yang istimewa, bukan hanya karena kebenaran-kebenaran iman tetapi juga banyak cabang ilmu pengetahuan lainnya; sungguh, hanya dengan melihat sekilas berbagai judul karyanya yang demikian banyak, kita menyadari bahwa ada sesuatu yang tampak ajaib tentang budayanya dan minat ensiklopediknya, yang menuntunnya untuk tidak menyibukkan diri dengan filsafat dan teologi saja, seperti rekan sezamannya, tetapi juga dengan cabang ilmu lainnya, dari fisika hingga kimia, dari astronomi hingga minerologi, dari botani hingga zoologi. Untuk alasan inilah Paus Pius XII menamai dia sebagai Pelindung para penggemar ilmu pengetahuan alam dan juga menyebutnya “Doktor Universalis” persis karena luasnya minat dan pengetahuannya.
Tentu, metode ilmiah yang digunakan St. Albertus Agung bukanlah metode yang ditetapkan di abad-abad sesudahnya. Metodenya terdiri dari observasi, deskripsi, dan klasifikasi fenomena yang dipelajarinya, tetapi dalam cara inilah ia membuka pinti bagi penelitian masa depan.
Ia memiliki banyak hal untuk diajarkan pada kita.
Terutama, St. Albertus memperlihatkan bahwa tidak ada pertentangan antara iman dan ilmu pengetahuan, sekalipun terdapat peristiwa kesalahpahaman tertentu yang telah dicatat dalam sejarah. Seseorang penuh iman sekaligus pendoa seperti St. Albertus Agung, dapat dengan tenang mendukung studi ilmu pengetahuan alam dan perkembangan dalam pengetahuan mikrokosmik dan makrokosmik, menemukan hukum yang pantas bagi pokok persoalan, karena semuanya ini berkontribusi dalam memelihara rasa haus dan kasih akan Allah.
Kitab Suci berbicara pada kita tentang ciptaan sebagai bahasa pertama, yang melaluinya Allah, yang adalah inteligensi tertinggi, yang adalah Logos, menyatakan dirinya kepada kita. Kitab Kebijaksanaan, misalnya, berbicara tentang fenomena alam, yang diberkati dengan keagungan dan keindahan, seperti karya seorang seniman yang melaluinya—dengan analogi—kita dapat mengenal Pencipta ciptaan (bdk. Keb 13:5). Melalui kesamaan klasik dalam Abad Pertengahan dan dalam Renaisans, seseorang dapat membandingkan alam dunia sebagai sebuah buku yang ditulis Allah, yang kita baca seturut pendekatan ilmu pengetahuan yang berbeda. (bdk. cf. Address to the participants in the Plenary Meeting of the Pontifical Academy of Sciences, 31 October 2008; L’Osservatore Romano English edition, 5 November 2008, p.).
Sesungguhnya, betapa banyak ilmuan sesudah St. Albertus Agung, yang telah menjalankan penelitian mereka yang diilhami oleh kekaguman dan rasa syukur terhadap dunia, yang menurut mata mereka sebagai cendekiawan dan umat beriman, dahulu dan kini tampak sebagai karya yang baik dari Pencipta yang bijaksana dan penuh kasih! Studi ilmu pengetahuan lalu diubah menjadi himne pujian.
Enrico Medi, seorang pakar astrofisika besar di masa kita, yang pengajuan beatifikasinya telah dimulai, menulis: “Ya engkau galaksi yang misterius… aku memandang engkau, aku menghitung engkau, aku memahami engkau, aku mempelajari engkau dan aku menemukan engkau, aku menembus engkau dan aku mengumpulkan engkau. Dari dikau aku mengambil terang dan menjadikannya hikmat, aku mengambil warna berkilauan dan menjadikannya puisi, aku mengambil engkau para bintang di tanganku, dan gemetar dalam kesatuan keberadaanku. Aku mengangkat engkau di atas diirku dan mempersembahkan engkau dalam doa kepada Sang Pencipta, agar melalui aku saja engkau para bindang dapat menyembah” (Le Opere. Inno alla creazione).
St. Albertus Agung mengingatkan kita bahwa ada persahabatan antara ilmu pengetahuan dan iman dan melalui panggilan mereka untuk mempelajari alam, ilmuan dapat mengambil jalan kekudusan yang otentik dan mempesona.
Keterbukaan pikirannya yang luar biasa juga dinyatakan dalam prestasi kultural yang berhasil ia laksanakan, yaitu, penerimaan dan apresiasi terhadap pemikiran Aristoteles.
Dalam zaman St. Albertus, sesungguhnya, pengetahuan menyebarkan sejumlah karya filsuf Yunani agung ini, yang hidup ratusan tahun sebelum Kristus, khususnya di bidang etika dan metafisika. Mereka memperlihatkan kuasa akal budi, menjelaskan makna dan struktur realitas dengan gamblang dan jernih, inteligibilitas (keterpahaman) dan nilai serta tujuan tindakan manusia. St. Albertus Agung membuka pintu bagi penerimaan penuh filsafat Aristoteles dalam filsafat dan teologi abad pertengahan, yang selanjutnya diberi bentuk yang definitif oleh St. Thomas. Penerimaan filosofi pra-Pagan ini, merupakan revolusi kultural otentik pada masa itu.
Namun banyak pemikir Kristen yang takut akan filosofi Aristoteles, filosofi non-Kristen, khususnya karena, filosofi tersebut dihadirkan oleh komentator Arab, ia ditafsirkan sedemikian rupa, setidaknya dalam beberapa hal tertentu, yang tampaknya sama sekali tak dapat diperdamaikan dengan iman Kristen. Maka muncullah suatu dilema: apakah iman dan akal budi saling bertentangan atau tidak?
Ini merupakan salah satu jasa besar St. Albertus: dengan keketatan ilmiah ia mempelajari karya Aristoteles, yakin bahwa semua yang sungguh rasional selaras dnegan iman yang diwahyukan dalam Kitab Suci. Dengan kata lain, St. Albertus Agung berkonribusi dalam pembentukan filosofi yang otonom, yang dibedakan dari teologi dan disatukan dengannya hanya oleh kesatuan kebenaran. Jadi demikianlah pada abad 13, distingsi yang jelas pun muncul antara dua cabang pengetahuan, yakni filosofi dan teologi, yang mana, dalam percakapan satu dengan yang lain, keduanya bekerja sama secara harmonis dalam menemukan panggilan manusia yang otentik, dalam menemukan dahaga akan kebenaran dan kebahagiaan: dan terutama teologi, yang didefinisikan St. Albertus sebagai “pengetahuan emosional”, yang menunjukkan kepada manusia panggilan mereka menuju sukacita abadi, sukacita yang mengalir dari ketaatan penuh terhadap kebenaran.
St. Albertus Agung mampu menyampaikan konsep-konsep tersebut dalam cara yang sederhana dan mudah dimengerti. Sebagai seorang putra St. Dominikus yang otentik, ia dengan rela berkhotbah kepada Umat Allah, yang mana mereka dimenangkan oleh perkataan dan teladan hidupnya.
Saudara-saudari terkasih, marilah kita berdoa kepada Tuhan, agar Gereja tidak pernah kekurangan teolog-teolog yang terpelajar, bijaksanan dan saleh seperti St. Albertus Agung, dan semoga ia membantu kita satu sama lain dalam menciptakan “rumus kekudusan” kita sendiri yang ia ikuti dalam hidupnya: “menginginkan semua yang saya inginkan bagi kemuliaan Allah, sebagaimana Allah menginginkan segala yang Dia inginkan bagi kemuliaan-Nya”, dengan kata lain, selalu menyelaraskan diri dengan kehendak Allah, untuk menginginkan dan melakukan segala sesuatu hanya dan selalu untuk kemuliaan-Nya.
Sumber:
General Audience of Pope Benedict XVI on St. Albert the Great
NB:
Albertus lahir di Lauingen, Swabia, Jerman pada sekitar tahun 1205-1206. Ia adalah putera dari bangsawan dari Bollstadt. Albertus belajar di Universitas Padua, Italia.
Di sana ia memutuskan untuk menjadi seorang Dominikan karena terarik kotbah B. Yordanus dari Saxony. Keluarganya sangat menentang keputusan Albertus, dan diperkirakan Albertus pergi belajar teologi di Bologna.
Albertus kemudian mengajar di Hildesheim, Freiburg, Ratisbon, Strasburg, dan Cologne. Pada tahun 1245, ia diperintahkan untuk mengajar di Paris, dimana ia memperoleh gelar Doktor.
Pada saat ini juga, Albertus bertemu dengan St. Thomas Aquinas yang menjadi muridnya. Pada tahun 1248, Albertus kembali ke Cologne bersama St. Thomas Aquinas.
Pada tahun 1254, Albertus terpilih sebagai Provinsial Ordo Dominikan di Jerman. Pada tahun 1256, Albertus pergi ke Roma membela Ordo Mendicant terhadap serangan William dari St. Amour.
Pada tahun 1257, Albertus mengundurkan diri dari jabatan provinsial untuk dapat belajar dan mengajar. Pada tahun 1260, Albertus ditunjuk sebagai Uskup Regensburg, tetapi dua tahun kemudian ia mengajukan pengunduran diri dan kembali mengajar di Cologne.
Pada tahun 1274, Paus Gregorius X memintanya untuk menghadiri Konsili Lyon, tetapi kemudian muncul kabar kematian St. Thomas Aquinas yang membuat Albertus sangat terpukul. Semangatnya kembali pada tahun 1277, ketika beberapa orang hendak mengutuk tulisan-tulisan St. Thomas Aquinas. Albertus pergi ke Paris untuk melakukan pembelaan.
Pada tahun 1278, Albertus mulai kehilangan ingatannya sedikit demi sedikit. Albertus Agung, O.P., meninggal pada 15 November 1280 di Cologne, Prusia, Jerman.
Karya-karyanya tidak hanya dalam teologi, tetapi juga ilmu pengetahuan, seperti biologi, kimia, astronomi, geografi, metafisika, dan matematika dan mendapatkan pujian dari banyak orang.
Albertus dibeatifikasi oleh Paus Gregorius XV pada tahun 1622 dan dikanonisasi dan juga dinyatakan sebagai Pujangga Gereja oleh Paus Pius XI pada tahun 1931 dengan gelar Doctor Universalis.
telegram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar