HARAPAN IMAN KASIH
SERI DOMINIKAN 8
Audiensi Umum Paus (Emeritus) Benediktus XVI tentang St. Thomas Aquinas
BAGIAN 1
Saudara-saudari terkasih,
Setelah beberapa Katekese mengenai imamat dan tentang Perjalanan terakhir saya, kini kita kembali pada tema utama kita: meditasi mengenai beberapa pemikir besar Abad Pertengahan. Belakangan ini kita melihat sosok agung St. Bonaventura, seorang Fransiskan, dan hari ini saya ingin berbicara tentang seseorang yang disebut Gereja sebagai Doctor Communis,St. Thomas Aquinas. Dalam ensiklik Fides et Ratio, Pendahulu saya yang terhormat, Paus Yohanes Paulus II, mengingat bahwa “Gereja telah dibenarkan secara konsisten dalam mengajukan St. Thomas sebagai guru filosofi dan teladan tentang cara yang benar dalam berteologi” (no. 43). Tidaklah mengejutkan bahwa, setelah St. Agustinus, di antara para penulis gerejawi yang disebutkan dalam Katekismus Gereja Katolik, St. Thomas dikutip lebih banyak dari yang lain, setidaknya sebanyak 61 kali! Ia juga disebut sebagai Doctor Angelicus, barangkali karena kebajikan-kebajikannya, dan secara khusus, karena kedalaman pemikirannya dan kemurnian hidupnya.
Thomas lahir antara tahun 1224 dan 1225 di sebuah kastil yang dimiliki keluarga bangsawan kaya di Roccasecca dekat Aquino, tidak jauh dari Biara Montecassino yang terkenal, tempat orangtuanya mengirim dia untuk menerima unsur pertama pendidikannya. Beberapa tahun kemudian ia pindah ke Naples, ibu kota Kerajaan Sisilia, tempat Frederick mendirikan universitas terkenal. Di sini pemikiran filsuf Yunani, Aristoteles, diajarkan tanpa batasan yang diterapkan di manapun. Thomas muda diperkenalkan padanya dan segera memahami nilainya yang besar. Namun, terutama dalam tahun-tahun yang dihabiskan di Naples lah panggilannya sebagai Dominikan lahir. Sesungguhnya Thomas tertarik dengan cita-cita Ordo yang baru saja dibentuk St. Dominikus. Meskipun demikian, ketika ia menenerimakan jubah Dominikan, keluarganya menentang keputusan ini dan ia diwajibkan untuk meninggalkan biara serta menghabiskan banyak waktu di rumah.
Tahun 1245, ketika ia beranjak dewasa, ia mampu melanjutkan jalan hidupnya untuk menanggapi panggilan Allah. Ia dikirim ke Paris untuk belajar teologi di bawah bimbingan Santo lainnya, Albertus Agung, yang tentangnya saya sudah membahasnya beberapa waktu yang lalu. Persahabatan sejati dan mendalam berkembang di antara Albert dan Thomas. Mereka belajar untuk saling menghormati dan mengasihi satu sama lain sampai pada titik ketika Albert bahkan ingin muridnya ini mengikuti dia ke Cologne, tempat ia diutus oleh Superior Ordo untuk mendirikan studium teologi. Lalu Thomas sekali lagi bersentuhan dengan karya Aristoteles dan para komentator Aristoteles dari Arab yang digambarkan dan dijelaskan Albert.
Selama periode ini budaya dunia Latin secara mendalam distimulasi oleh perjumpaan antara karya Aristoteles yang telah lama tak dikenal. Karyanya merupakan tulisan mengenai kodrat pengetahuan, mengenai ilmu pengetahuan alam, mengenai metafisika, mengenai jiwa dan mengenai etika serta penuh dengan informasi dan intuisi yang tampak sah dan meyakinkan. Semua ini membentuk visi menyeluruh tentang dunia yang telah dikembangkan tanpa dan sebelum kedatangan Kristus, dan dengan akal budi yang murni, yang tampaknya menerapkan dirinya pada akal budi sebagai “sang” visi itu sendiri; melihat dan mengenal filosofi ini menimbulkan kekaguman luar biasa bagi orang muda. Banyak yang menerimanya dengan antusias, dengan antusiasme yang tidak kritis, sekumpulan pengetahuan lampau yang besar ini tampak mampu membaharui budaya secara menguntungkan dan membuka cakrawala baru secara total. Sebagian lain, bagaimanapun, merasa takut bahwa pemikiran pagan Aristoteles bertentangan dengan iman Kristen dan menolak untuk mempelajarinya. Dua budaya pun bertemu: budaya pra-Kristen Aristoteles dengan rasionalitasnya yang radikal dan budaya Kristen klasik. Kelompok tertentu, terlebih, diarahkan utnuk menolak Aristoteles melalui presentasi mengenai filsuf ini yang dibuat oleh komentator Arab, Avicenna dan Averroes. Merekalah yang meneruskan filosofi Aristoteles kepada dunia Latin. Misalnya, para komentator ini mengajarkan bahwa manusia tidak memiliki kecerdasan personal tetapi bahwa terdapat satu kecerdasan tunggal, substansi rohani yang menjadi milik semua, yang bekerja di dalam semuanya sebagai yang “satu”: maka, terjadilah depersonalisasi manusia. Topik perdebatan lain yang diteruskan oleh komentator Arab adalah bahwa dunia itu kekal sama seperti Allah. Perdebatan yang tiada akhirnya namun dapat dimengerti ini terjadi di universitas dan di dunia klerus. Filosofi Aristoteles terus menyebar bahkan di antara masyarakat.
Thomas Aquinas, dalam mazhab Albertus Agung, melakukan sesuatu yang sangat penting bagi sejarah filosofi dan teologi. Saya akan berkata juga bagi sejarah budaya: ia melakukan studi mendalam akan Aristoteles dan para penafsirnya, dengan memperoleh bagi dirinya terjemahan Latin dari teks Yunani asli. Konsekuensinya, ia tidak lagi bergantung pada komentator Arab tetapi mampu membaca teks asli bagi dirinya sendiri. Ia mengomentari sebagian besar karya Aristoteles, membedakan antara apa yang sah dan yang meragukan atau yang ditolak secara utuh, menunjukkan keselarasannya bahkan dengan kejadian-kejadian Wahyu Kristen dan menarik secara berlimpah dari pemikiran Aristoteles dalam menjelaskan teks teologis yang ia padukan. Singkatnya, Thomas Aquinas menunjukkan bahwa ada keselarasan alami antara iman Kristen dan akal budi. Dan ini adalah pencapaian Thomas yang besar, yang pada waktu itu, pertentangan antara dua budaya tampak membuat iman harus menyerah kepada akal budi, namun Thomas menunjukan bahwa iman dan akal budi berjalan berdampingan, bahwa sejauh akal budi tampak tidak cocok dengan iman, ia bukanlah akal budi, dan iman yang berlawanan dengan akal budi sejati bukanlah iman, dengan demikian ia menciptakan sintesis baru yang membentuk budaya yang akan datang ratusan tahun kemudian.
Karena memiliki karunia intelektual yang unggul, Thomas dipanggil ke Paris untuk menjadi profesor Dominikan di bidang teologi. Di sini ia memulai karya tulis yang tetap berlanjut sampai ia wafat, dan memiliki sesuatu yang bersifat mukjizat tentangnya: ia mengomentari Kitab Suci karena profesor teologi, terutama adalah seorang penafsir Kitab Suci; dan ia mengomentari karya Aristoteles, di antaranya yang menonjol adalahSumma Theologiae, risalah dan diskursus mengenai berbagai topik. Ia dibantu beberapa sekretarisnya dalam menyusun tulisan-tulisannya, termasuk konfrerianya, Reginald dari Piperno, yang mengikuti dia dengan setia dan yang kepadanya ia terikat oleh persahabatan dalam suasana persaudaraan yang ditandai oleh keyakinan dan kepercayaan yang besar. Ini adalah karakteristik orang kudus: mereka menanamkan persahabatan karena ia adalah perwujudan paling mulia dari hati manusia dan memiliki sesuatu yang ilahi tentangnya, seperti yang dijelaskan Thomas sendiri dalam Quastiones dari Summa Theologiae nya. Ia menulis di dalamnya: “Jelas sekali bahwa kasih adalah persahabatan manusia demi Allah” dan karena “semua adalah milik-Nya” (Vol. II, q. 23, a. 1).
Ia tidak menetap lama atau tinggal secara tetap di Paris. Tahun 1259 ia ambil bagian dalam Kapitel Umum Dominikan di Valenciennes ketika ia adalah anggota komisi yang mendirikan program studi Ordo. Selanjutnya dari 1261 hingga 1265, Thomas berada di Orvieto. Paus Urban IV, yang sangat menghormatinya, memerintahkan dia untuk mengarang teks liturgis bagi Pesta Corpus Christi, yang kita rayakan besok, yang menetapkan mukjizat Ekaristis Bolsena. Thomas memiliki jiwa Ekaristis yang indah. Himne paling indah yang Liturgi Gereja nyanyikan untuk merayakan Kehadiran Nyata Tubuh dan Darah Tuhan dalam Ekaristi diatributkan kepada iman dan hikmat teologisnya. Dari 1265 hingga 1268 Thomas tinggal di Roma, tempat ia mengarahkan Studium, yaitu, rumah studi ordonya, dan tempat ia mulai menulis Summa Theologiae (cf. Jean-Pierre Torrell, Tommaso d’Aquino. L’uomo e il teologo, Casale Monf., 1994, pp. 118-184).
Tahun 1269 Thomas dipanggil ke Paris untuk melakukan siklus kedua khotbahnya. Para muridnya sangat antusias untuk mendengar pelajarannya. Satu dari bekas muridnya menyatakan bahwa kerumunan para murid dalam jumlah besar bergabung dalam kuliah Thomas, begitu banyak hingga aula pertemuan tidak mampu mengakomodasi mereka; dan murid ini menambahkan, dengan memberikan komentar personal bahwa “mendengarkan Thomas memberikan kebahagiaan mendalam bagi dirinya.” Penafsiran Thomas mengenai Aristoteles tidak diterima oleh semua orang, tetapi bahkah musuhnya dalam lingkup akademik, seperti Godrey dari Fontaines, misalnya, mengakui bahwa pengajaran Saudara Thomas lebih superior daripada yang lain dalam hal kegunaannya dan nilainya serta berperan dalam mengoreksi semua master yang lain. Barangkali juga untuk menjaga jarak dari diskusi yang sedang terjadi, Superiornya sekali lagi mengirimnya ke Naples, kepada Raja Charles I yang berencana untuk mengadakan studi-studi universitas.
Selain studi dan mengajar, Thomas juga membaktikan dirinya bagi pewartaan kepada banyak orang. Dan orang-orang juga datang dengan niat untuk mendengarkannya. Saya hendak berkata bahwa sungguh merupakan rahmat yang besar ketika para teolog mampu berbicara kepada umat beriman dengan penuh kesederhanaan dan semangat. Pelayanan pewartaan, membantu cendekiawan teologi memiliki realisme pastoral yang sehat dan memperkaya penelitian mereka dengan rangsangan yang hidup.
Beberapa bulan terakhir menjelang berakhirnya kehidupan Thomas di dunia, saya hendak berkata bahwa terdapat atmosfir misterius yang mengelilinginya. Pada Desember 1273, ia memanggil sahabat dan sekretarisnya Reginald untuk memberitahu dia tentang keputusannya untuk menghentikan penulisan karyanya karena ia menyadari, selama perayaan Misa ia menerima sebuah wahyu adikodrati, bahwa semua yang ia tulis “tak berharga”. Ini adalah peristiwa misterius yang membantu kita memahami kerendahan pribadi Thomas, dan juga bahwa betapapun mulia dan murni apa yang dapat kita pikirkan dan katakan tentang iman, hal ini secara tak terhingga dilampaui oleh keagungan dan keindahan Allah yang akan secara penuh dinyatakan pada kita di Surga. Beberapa bulan setelahnya, selagi Thomas kian khusuk dalam meditasi, ia meninggal di tengah perjalanan menuju Lyon untuk ambil bagian dalam Konsili Ekumenis yang diadakan Paus Gregorius X. Ia meninggal di Biara Cistersian Fossanova, setelah menerima Viatikum dengan sentimen yang saleh secara mendalam.
Hidup dan pengajaran St. Thomas Aquinas dapat dirangkum dalam peristiwa yang diwariskan biografernya. Selagi sang santo sedang berdoa di hadapan Salib Yesus di pagi hari di kapel St. Nikolas di Naples, Domenico da Caserta, sakristan gereja, tak sengaja mendengar sebuah percakapan. Thomas bertanya dengan gelisah apakah yang ia tulis mengenai misteri-misteri iman Kristen sudah benar. Dan Yang Tersalib menjawabnya: “Engkau telah berbicara tentang aku dengan baik, Thomas. Apa yang kau kehendaki sebagai upahmu?” Dan jawaban yang Thomas berikan kepada-Nya, juga merupakan apa yang selalu ingin kita katakan sebagai sahabat dan murid Yesus: “Hanya Diri-Mu, Tuhan!” (ibid., p. 320).
—2 Juni 2010
BAGIAN 2
Saudara-saudari terkasih,
Hari ini saya ingin melanjutkan ulasan mengenai St. Thomas Aquinas, seorang teolog yang demikian berharga sehingga studi tentang pemikirannya secara eksplisit direkomendasikan oleh Konsili Vatikan II dalam dua dokumen, Dekrit, Optatam Totius mengenai Pelatihan Para Imam, dan Deklrarasi Gravissimum Educationis, tentang Edukasi Kristen. Memang, sudah sejak 1880 Paus Leo XIII, yang sangat menjunjung Thomas sebagai pembimbing dan mendorong studi thomistik, menyatakan ia sebagai pelindung sekolah dan universitas Katolik.
Alasan utama untuk penghargaan ini tidak hanya dijelaskan melalui isi pengajarannya tetapi juga metode yang ia gunakan, khususnya sintesis baru dan distingsi antara filosofi dan teologi. Bapa-Bapa Gereja dihadapkan oleh filosofi yang berbeda, semacam filosofi Platonis yang menguraikan sebuah visi yang lengkap tentang dunia dan kehidupan, termasuk subjek mengenai Allah dan agama. Sebagai perbandingan dengan filosofi ini, mereka sendiri telah mengerjakan sebuah visi akan realita yang utuh, yang bermula dari iman dan menggunakan unsur-unsur Platonisme untuk menanggapi pertanyaan hakiki seputar pria dan wanita. Mereka menyebut visi ini, berdasarkan wahyu biblis dan dirumuskan dengan Platonisme yang benar dalam terang iman, sebagai “filosofi kami.” Kata “filosofi” bukanlah ungkapan sistem yang murni rasional, dan dengan demikian terpisah dari iman, melainkan ia menandakan visi akan realita yang komprehensif, yang dibangun dalam terang iman tetapi digunakan dan dipahami oleh akal budi; sebuah visi yang secara kodrati melampaui kapasitas yang layak bagi akal budi tetapi juga memenuhinya. Bagi St. Thomas, perjumpaan dengan filosofi pra-Kristen Aristoteles (yang wafat sekitar tahun 322 BC) membuka sebuah perspektif baru. Filosofi aristotelian jelas merupakan filosofi yang dilakukan tanpa pengetahuan akan Perjanjian Lama dan Baru, sebuah penjelasan tentang dunia tanpa wahyu dan hanya melalui akal budi semata. Dan rasionalitas yang konsekuen ini terlihat meyakinkan. Maka bentuk lama dari “filosofi kami” para Bapa Gereja tak lagi berperan. Relasi antara filosofi dan teologi, antara iman dan akal budi, perlu dipikirkan ulang. Sebuah “filosofi” eksis, yaitu filosofi yang utuh dan meyakinkan dalam dirinya, sebuah rasionalitas yang mendahului iman, diikuti oleh “teologi”, suatu bentuk pemikiran bersama iman dan dalam iman. Pertanyaan yang mendesak adalah ini: apakah alam rasionalitas, filosofi yang dipahami tanpa Kristus, dan dunia iman, keduanya selaras? Atau apakah keduanya saling bertentangan atau tak dapat ada secara bersamaan? Unsur-unsur yang menegaskan ketidakcocokan dari dua dunia ini tidaklah kurang, tetapi St. Thomas dengan teguh meyakini keselarasan mereka, dan memang, filosofi yang dilakukan tanpa pengetahuan akan Kristus sedang menanti, seolah-olah, menanti terang Yesus agar ia disempurnakan. Inilah “kejutan” besar St. Thomas yang menentukan jalan yang ia ambil sebagai seorang pemikir. Menunjukkan independensi filosofi dan teologi, dan pada saat yang sama, menampilkan relasionalitas filosofi dan teologi yang timbal balik, inilah misi historis sang guru besar. Dan dengan demikian dapat dipahami bahwa pada abad 19, ketika ketidakcocokan akal budi modern dan iman dinyatakan dengan kuat, Paus Leo XIII menunjuk St. Thomas sebagai pemandu dalam dialog di antara mereka. Dalam karya teologisnya, St. Thomas mengandaikan dan mengkonkretkan relasionalitas ini. Iman menguatkan, menyatukan dan menerangi warisan kebenaran yang diperoleh akal budi. Kepercayaan yang diberikan St. Thomas pada dua instrumen pengetahuan iman dan akal budi dapat ditelusuri sampai pada keyakinan bahwa keduanya berasal dari satu sumber segala kebenaran: Logos ilahi, yang aktif dalam kedua konteks, yaitu konteks Penciptaan dan Penebusan.
Bersamaan dengan persetujuan antar akal budi dan iman, kita harus menyadari di satu sisi, bahwa mereka membantu dengan prosedur kognitif yang berbeda. Akal budi menerima kebenaran melalui bukti intrinsiknya, diperantarai atau tidak; iman, sebaliknya, menerima kebenaran atas dasar otoritas Sabda Allah yang diwahyukan. St. Thomas menulis di permulaan Summa Theologiae: “Kita harus mengingat bahwa ada dua jenis ilmu pengetahuan. Ada beberapa yang berasal dari prinsip yang diketahui oleh terang kodrati akal budi, seperti aritmatika dan geometri dan sejenisnya. Ada beberapa yang berasal dari prinsip yang diketahui oleh terang ilmu pengetahuan yang lebih tinggi: jadi ilmu pengetahuan perspektif berasal dari prinsip-prinsip yang dtetapkan geometri, dan musik berasal dari prinsip-prinsip yang ditetapkan aritmatika. Jadi ajaran suci adalah ilmu pengetahuan, karena ia berasal dari prinsip yang ditetapkan oleh terang ilmu pengetahuan yang lebih tinggi, yaitu, ilmu pengetahuan tentang Allah dan yang berbahagia” (ia, q. 1, a.2).
Distingsi ini menjamin otonomi ilmu pengetahuan manusia dan teologi. Namun, keduanya tidak setara dengan pemisahan, tetapi mengimplikasikan kolaborasi yang timbal balik dan saling menguntungkan. Iman, kenyataannya, melindungi akal budi dari tiap godaan untuk tidak mempercayai kemampuannya sendiri, dan merangsangnya untuk terbuka pada cakrawala yang lebih luas, menjadikannya hidup dalam pencarian akan fondasi, dan ketika akal budi itu diterapkan dalam alam adikodrati dari relasi Allah dan manusia, iman memperkaya pekerjaannya. Menurut St. Thomas, misalnya, akal budi manusia dapat tiba pada penegasan eksistensi Allah dengan pasti, tetapi hanya iman, yang menerima Wahyu Ilahi, yang mampu memperoleh misteri Kasih Allah Tritunggal.
Terlebih, bukan hanya iman yang membantu akal budi. Akal budi juga, dengan sarananya sendiri, dapat melakukan hal penting bagi iman, memberikan tiga pelayanannya kepada iman, seperti yang dirangkum Thomas pada pengantarnya dalam Komentar mengenai De TrinitateBoethius: “menggambarkan kebenaran-kebenaran yang adalah preambula iman; memberikan gagasan yang lebih jelas, melaui perumpamaan tertentu, tentang kebenaran-kebenaran iman; melawan mereka yang berbicara menentang iman, entah dengan menunjukkan bahwa pernyataan mereka keliru, atau dengan menunjukkan bahwa mereka tidak selalu benar” (q. 2, a.3). Seluruh sejarah teologi pada dasarnya merupakan pelaksanaan tugas pikiran ini yang menampilkan keterpahaman iman, artikulasinya dan harmoni batinnya, rasionalitas dan kemampuannya untuk memajukan kebaikan manusia. Ketepatan penalaran teologis dan makna kognitifnya yang nyata didasarkan pada nilai bahasa teologis yang, menurut opini St. Thomas, terutama adalah bahasa analogis. Jarak antara Allah, Sang Pencipta, dan makhluk ciptaan-Nya itu tak terhingga; ketidaksamaan jauh lebih besar daripada kesamaan (bdk. DS 806). Meskipun demikian dalam seluruh perbedaan antara Pencipta dan ciptaan, terdapat analogi antara makhluk ciptaan dan Pencipta, yang memampukan kita berbicara tentang Allah dengan kata-kata manusia.
St. Thomas tidak hanya mendasarkan ajaran analogi ini pada argumentasi filosofis yang indah tetapi juga pada kenyataan bahwa dengan Wahyu, Allah sendiri berbicara kepada kita dan karenanya memberikan kita ijin untuk berbicara tentang Dia. Penting sekali, menurut saya, untuk mengingat ajaran ini. Sesungguhnya, ia membantu kita menanggapi keberatan ateisme kontemporer yang menyangkal bahwa bahasa religius memberikan makna objektif, dan malah mempertahankan bahwa bahasa religius hanya memiliki makna subjektif atau nilai emosional semata. Keberatan ini berasal dari kenyataan bahwa pemikiran positivis yakin bahwa manusia tidak mengenal yang ada (being) tetapi hanya mengenal fungsi realita yang dapat dialami. Bersama St. Thomas dan tradisi filosofi besar kita yakin bahwa, kenyataannya, manusia tidak hanya mengenal fungsi, tetapi juga mengetahui sesuatu tentang yang ada (being) itu sendiri, misalnya, ia mengenal pribadi, Engkau yang lain, dan tidak hanya aspek fisik dan biologis dari keberadaannya.
Dalam terang penngajaran St. Thomas, teologi berkata bahwa betapapun terbatasnya bahasa religius, namun bahasa tersebut dikaruniai makna karena kita menyentuh yang ada (being) seperti sebuah panah yang diarahkan kepada realita yang ditandakan. Persetujuan hakiki antara akal budi manusia dan iman Kristen diakui dalam prinsip dasar pemikiran Aquinas yang lain. Rahmat ilahi tidak melenyapkan kodrat tetapi mengandaikannya dan menyempurnakan kodrat manusia. Kodrat manusia, sesungguhnya, bahkan setelah dosa, tidaklah rusak secara utuh tetapi terluka dan terlemahkan. Rahmat, yang dicurahkan atas diri kita oleh Allah, dan diberikan melalui Misteri Inkarnasi Sabda, adalah karunia bebas secara absolut, yang mana kodrat disembuhkan, dikuatkan, dan dibantu dalam mengejar kerinduan batin bagi kebahagiaan dalam hati setiap pria dan wanita. Semua fakultas manusia dimurnikan, diubah, dan diangkat oleh rahmat ilahi.
Penerapan penting dari relasi kodrat dan rahmat dapat kita ketahui dalam teologi moral St. Thomas Aquinas, yang terbukti tak lekang oleh waktu. Pada inti pengajarannya di bidang ini, ia menempatkan hukum baru yang adalah hukum Roh Kudus. Dengan pandangan evangelis yang mendalam, ia bersikukuh pada fakta bahwa hukum ini adalah rahmat Roh Kudus yang diberikan kepada semua yang percaya dalam Kristus. Pengajaran kebenaran doktrin dan moral secara lisan dan tertulis diteruskan oleh Gereja, dan disatukan kepada rahmat ini. St. Thomas menekankan peran hakiki tindakan Roh Kudus, tindakan rahmat, dalam kehidupan moral, yang darinya mengalir keutamaan moral dan teologis, yang membuat kita memahami bahwa semua orang Kristen dapat menggapai sudut pandang “Khotbah di Bukit” yang mulia, bila mereka menghidupi relasi iman yang otentik dalam Kristus, bila mereka tebuka pada tindakan Roh Kudus-Nya. Namun, Aquinas menambahkan, “sekalipun rahmat lebih berdayaguna daripada kodrat, namun kodrat labih hakiki bagi manusia, dan karenanya lebih bertahan” (Summa Theologiae, Ia-IIae, q. 94, a. 6, ad 2), dan inilah alasannya, dalam sudut pandang moral Kristen, mengapa ada tempat bagi akal budi yang mampu memilah hukum moral kodrati. Akal budi dapat mengenali hal ini dengan merenungkan apa yang baik untuk dilakukan dan apa yang baik untuk dihindari guna mencapai kebahagiaan yang dimiliki dalam hati setiap orang, yang juga mengimplikasikan adanya tanggung jawab terhadap sesama, dan dengan demikian, adanya pencarian bagi kebaikan bersama. Dengan kata lain, keutamaan teologis dan moral berurat-akar dalam kodrat manusia. Rahmat ilahi menemani, menopang, dan mendorong komitmen etis, tetapi, menurut St. Thomas, semua manusia, umat beriman dan yang tak beriman, dipanggil untuk mengakui kebutuhan kodrat manusia yang diungkapkan dalam hukum kodrati dan untuk menimba inspirasi darinya dalam rumusan hukum-hukum positif, yaitu hukum yang dikeluarkan oleh otoritas politik dan sipil, guna mengatur ko-eksistensi manusia.
Ketika hukum kodrati dan tanggung jawab yang mengikutinya disangkal, hal ini secara dramatis membuka jalan bagi relativisme etis pada tingkat individu, dan totalitarianisme negara pada tingkat politis. Pembelaan hak manusia yang universal dan penegasan nilai absolut dari martabat manusia mengandaikan sebuah fondasi. Bukankah hukum kodrati membentuk fondasi ini, dengan nilai-nilainya yang tak dapat ditawar seperti yang diisyaratkannya? Yohanes Paulus II yang terhormat menulis dalam ensiklik Evangelium Vitae, perkataan yang masih relevan hingga kini: “Maka sangatlah mendesak dan perlu, bagi masa depan masyarakat dan perkembangan demokrasi yang sehat, untuk menemukan kembali nilai-nilai moral dan manusia yang hakiki dan ada dalam dirinya, yang mengalir dari kebenaran akan manusia dan yang mengungkapkan serta melindungi martabat pribadinya: nilai-nilai yang tak dapat diciptakan, diubah atau dihancurkan oleh individu, mayoritas dan negara, tetapi hanya bisa diakui, dihormati, dan didukung” (no. 71).
Kesimpulannya, Thomas memeberikan kita konsep akal budi manusia yang luas dan penuh keyakinan: luas karena tidak dibatasi pada ruang akal budi “ilmu pengetahuan empiris”, tetapi terbuka pada seluruh yang ada (being) dan dengan demikian juga terbuka bagi pertanyaan yang hakiki dan multak akan kehidupan manusia; dan penuh keyakinan karena akal budi manusia, khususnya bila ia menerima inspirasi iman Kristen, merupakan pendukung peradaban yang mengakui martabat pribadi manusia, hak-haknya yang kekal, dan keabsahan dari kewajibannya. Tidaklah mengejutkan bahwa doktrin mengenai martabat pribadi, merupakan hal yang hakiki bagi pengakuan akan hak manusia yang tak dapat diganggu gugat, doktrin ini berkembang dalam mazhab yang menerima warisan St. Thomas Aquinas, yang memiliki pemahaman yang sangat mulia akan manusia sebagai ciptaan. Ia mendefinisikannya, dengan bahasa yang sangat filosofis, sebagai “apa yang paling sempurna yang ditemukan dalam semua ciptaan—yaitu, individu yang subsistentdengan kodrat rasional” (Summa Theologiae, 1a, q. 29, a. 3).
Kedalaman pemikiran St. Thomas Aquinas hendaknya tidak membuat kita lupa bahwa ia mengalir dari imannya yang hidup dan kesalehannya yang membara, yang ia ungkapkan dalam doa seperti ini, yang di dalamnya ia memohon kepada Allah: “Berikanlah kepadaku, Ya Tuhan Allahku, pikiran untuk mengenal Engkau, hati untuk mencari Engkau, hikmat untuk menemukan Engkau, tingkah laku yang berkenan bagi Engkau, ketekunan yang setia dalam menantikan Engkau, dan harapan yang pada akhirnya akan memeluk Engkau.”
BAGIAN 3
Saudara-saudari terkasih,
Hari ini saya ingin menyelesaikan katekese tentang St. Thomas Aquinas. Bahkan lebih dari 700 tahun setelah kematiannya kita dapat belajar banyak darinya. Pendahulu saya, Paus Paulus VI, juga mengatakan hal ini, dalam Diskursus yang ia berikan di Fossanova pada 14 September 1974 dalam rangka memperingati 700 tahun kematian St. Thomas. Ia bertanya pada dirinya: “Thomas, Guru kami, pelajaran apa yang dapat kau berikan pada kami?” Dan ia menjawab dengan perkataan: “Percayalah dalam kebenaran pemikiran religius Katolik, sebagaimana yang dibela, dijelaskan, dan dipersembahkan olehnya bagi kapasitas pikiran manusia” (Address in honour of St Thomas Aquinas in the Basilica, 14 September 1974; L’Osservatore Romano English edition, [ore], 26 September 1974, p. 4). Pada hari yang sama, dengan mengacu pada St. Thomas, Paulus VI berkata “kita semua putra dan putri Gereja yang setia, dapat dan harus menjadi muridnya, setidaknya sampai tahap tertentu” (Address to people in the Square at Aquino, 14 September 1974; ORE, p. 5).
Marilah kita juga belajar dari pengajaran St. Thomas, dan dari karya agungnya, Summa Theologiae. Karya ini tidak selesai, namun ini adalah karya yang luar biasa: di dalamnya terdapat 512 pertanyaan dan 2.669 artikel. Ia terdiri dari penalaran terpusat yang mana pikiran manusia diterapkan bagi misteri iman, dengan kejernihan dan kedalaman bagi misteri iman, pertanyaan dan jawaban saling berganti yang mana St. Thomas mendalami pengajaran yang berasal dari Kitab Suci dan Bapa Gereja, secara khusus St. Agustinus. Dalam refleksi ini, dalam menjumpai pertanyaan sejati di masanya, St. Thomas, juga dengan menggunakan metode dan pemikiran filsuf kuno, dan Aristoteles secara khusus, ia tiba pada rumusan kebenaran iman yang tepat, jelas dan relevan, yang mana kebenaran adalah karunia iman yang bersinar dan terjangkau bagi kita, bagi permenungan kita. Namun, Aquinas sendiri mengingatkan kita denganhidupnya bahwa upaya pikiran manusia ini selalu diterangi oleh doa, oleh terang yang datang dari tempat tinggi. Hanya mereka yang hidup bersama Allah dan dengan misteri-misteri-Nya dapat memahami apa yang mereka katakan pada kita.
Dalam Summa Theologiae, St. Thomas memulai dari kenyataan bahwa Allah memiliki tiga cara untuk ada (being) dan mengada (existing): Allah ada dalam diri-Nya, ia adalah awal dan akhir segala sesuatu, dan inilah alasan mengapa semua ciptaan berasal dari-Nya dan bergantung pada-Nya: selanjutnya Allah hadir melaui rahmat-Nya dalam hidup dan aktivitas orang Kristen, orang Kudus; terakhir, Allah hadir dalam cara yang khusus dalam pribadi Kristus, Ia sungguh disatukan dengan Yesus-Manusia, dan aktif dalam sakramen-sakramen yang bersumber dari karya penebusan-Nya. Jadi, struktur karya monumental ini (cf. Jean-Pierre Torrell, La “Summa” di San Tommaso, Milan 2003, pp. 29-75), sebuah pencarian dengan “visi teologis” bagi kepenuhan Allah (cf. Summa Theologiae, Ia q. 1, a. 7), terbagi ke dalam tiga bagian, dan digambarkan oleh Doctor Communis itu sendiri. St. Thomas mengawali dengan perkataan ini: “Karena tujuan utama ajaran suci adalah untuk mengajarkan pengetahuan akan Allah, tidak hanya sebagaimana Ia ada dalam diri-Nya, tetapi jgua sebagaimana Ia adalah awal segala sesuatu dan tujuan akhir mereka, dan secara khusus mengenai ciptaan rasional, jelas sekali dari apa yang telah dikatakan, maka, kita akan membahas: (1) mengenai Allah; (2) mengenai pergerakan ciptaan rasional menuju Allah; (3) mengenai Kristus, yang sebagai manusia, adalah jala kita menuju Allah” (ibid.,I, q. 2). Ini adalah lingkaran: Allah dalam diri-Nya, yang keluar dari diri-Nya dan menggenggam kita dengan tangan-Nya, dalam cara yang sedemikian bersama Kristus, kita kembali kepada Allah, kita disatukan kepada Allah, dan Allah akan menjadi segala hal bagi semua orang.
Bagian pertama Summa Theologiae menelusuri Allah dalam diri-Nya, misteri Allah Tritunggal dan aktivitas kreatif Allah. Dalam bagian ini kita juga menemukan renungan mendalam mengenai realita otentik manusia, sejauh ia berasal dari tangan Allah yang kreatif sebagai buah kasih-Nya. Di satu sisi kita adalah ciptaan yang bergantung, kita tidak berasal dari diri kita; namun di sisi lain, kita memiliki otonomi sejati sehingga kita tidak hanya sesuatu yang nampak, seperti yang dikatakan filsuf Platonis tertentu, melainkan adalah realita yang dikehendaki Allah sedemikian rupa dan memiliki nilainya yang hakiki.
Dalam bagian kedua St. Thomas merenungkan manusia, yang didorong oleh rahmat, dalam aspirasinya untuk mengenal dan mengasihi Allah guna menjadi bahagia dalam waktu dan keabadian. Pertama, Thomas menghadirkan prinsip-prinsip teologis dari tindakan moral, mempelajarinya, dalam pilihan bebas manusia untuk melakukan perbuatan baik, bagaimana akal budi, kehendak dan hasrat (passions) disatukan, yang kepadanya ditambahkan kuasa yang diberikan oleh rahmat Allah melalui keutamaan-keutamaan dan karunia-karunia Roh Kudus, juga pertolongan yang diberikan oleh hukum moral. Maka manusia adalah makhluk yang dinamis yang mencari dirinya, berusaha menjadi dirinya, dan berkenaan dengan ini, ia berupaya melakukan perbuatan yang membangun dirinya, yang sungguh menjadikannya manusia sejati; dan di sini hukum moral berperan. Rahmat dan akal budi itu sendiri, kehendak dan hasrat juga terlibat. Atas dasar ini St. Thomas menggambarkan profil manusia yang hidup seturut Roh dan dengan demikian menjadi citra Allah. Di sini Aquinas berhenti sejenak untuk mempelajari tiga keutamaan teologis, iman, harapan dan kasih, yang diikuti oleh pemeriksaan kritis terhadap lebih dari 50 keutamaan moral, yang terbagi dalam empat keutamaan pokok kebijaksanaan, keadilan, pengendalian diri dan keberanian. Lalu ia mengakhiri refleksi ini mengenai berbagai panggilan di dalam Gereja.
Dalam bagian ketiga Summa, St. Thomas mempelajari Misteri Kristus, jalan dan kebenaran yang melaluinya kita dapat menggapai Allah Bapa. Dalam bagian ini, hampir dalam halaman-halaman yang hampir tak tertandingi, dituliskannya tentang Misteri Inkarnasi dan Sengsara Yesus, sembari menambahkan risalah yang luas mengenai tujuh sakramen, karena di dalam mereka Sabda Ilahi yang Berinkarnasi membentangkan keuntungan Inkarnasi demi keselamatan kita, bagi perjalanan iman kita menuju Allah dan kehidupan kekal. Ia, seolah-olah, secara material hadir dengan realita ciptaan, dan dengan demikian menyentuh kita pada tubirnya yang terdalam.
Ketika membahas sakramen-sakramen, St. Thomas merenungkan Misteri Ekaristi dalam cara yang khusus, yang mana ia sendiri memiliki devosi yang besar kepada Ekaristi. Penulis biografisnya menyatakan bahwa, ia akan mencondongkan kepalanya ke Tabernakel, seakan hendak merasakan debaran hati ilahi dan manusiawi Yesus. Dalam salah satu karyanya, yang mengomentari Kitab Suci, St. Thomas membantu kita memahami keunggulan sakramen Ekaristi, ketika ia menulis demikian: “Karena Ekaristi adalah sakramen Sengsara Tuhan kita, di dalamnya terkandung Yesus sendiri yang menderita bagi kita. Jadi, apapun yang merupakan efek Sengsara Tuhan kita, juga merupakan efek dari sakramen ini. Karena sakramen ini tidak lain daripada penerapan Sengsara Tuhan kita atas diri kita” (cf. Commentary on John, chapter 6, lecture 6, n. 963). Kita dengan jelas memahami mengapa St. Thomas dan orang kudus lainnya, ketika merayakan Misa Kudus, mencurahkan air mata bela rasa bagi Tuhan kita yang memberikan diri-Nya sebagai kurban bagi kita, air mata sukacita dan rasa syukur.
Saudara-saudari terkasih, dalam sekolah para kudus, hendaklah kita jatuh cinta dengan sakramen ini! Marilah kita berpartisipasi dalam Misa Kudus dengan rekoleksi, untuk memperoleh buah-buah rohaninya, marilah kita memperkaya diri kita dengan Tubuh dan Darah Tuhan kita, tiada henti diberi makan oleh rahmat ilahi! Hendaklah kita dengan rela dan lebih sering berdiam bersama Sakramen Mahakudus, dalam percakapan dari hati ke hati!
Semua yang digambarkan St. Thomas dengan presisi ilmiah dalam karya teologisnya yang besar, seperti, persisnya, Summa Theologiae dan Summa contra gentiles, juga dijelaskan dalam pewartaannya, baik kepada para muridnya dan umat beriman. Tahun 1273, setahun sebelum wafatnya, ia berkhotbah selama masa Prapaskah di Gereja San Domenico Maggiore di Naples. Isi khotbah ini dikumpulkan dan dirawat: isinya ialah Opusculiyang mana ia menjelaskan Syahadat Para Rasul, menafsirkan doa Bapa Kami, menjelaskan Sepuluh Perintah Allah dan memberikan komentar mengenai doa Salam Maria. Isi pewartaan Doktor Angelicus ini pada hakikatnya berhubungan dengan seluruh struktur Katekismus Gereja Katolik. Sesungguhnya, dalam katekese dan pewartaan, di jaman seperti jaman kita dengan komitmen bagi evangelisasi yang telah diperbarui, topik-topik fundamental ini tak boleh berkekurangan: apa yang kita percaya, dan itulah Syahadat iman; apa yang kita doakan, itulah Bapa Kami dan Salam Maria; dan apa yang kita hidupi, seperti yang diajarkan Wahyu biblis, itulah hukum kasih kepada Allah dan sesama serta Sepuluh Perintah Allah, yang merupakan penjelasan tentang mandat untuk mengasihi.
Saya ingin mengajukan contoh isi pengajaran St. Thomas yang sederhana, namun hakiki dan meyakinkan kita. Dalam booklet mengenai Syahadat Para Rasul, ia menjelaskan nilai iman. Melalui iman, ia berkata, jiwa disatukan dengan Allah dan menghasilkan, seakan-akan, pandangan akan kehidupan kekal; hidup menerima orientasi yang terpercaya dan kita mengatasi godaan dengan mudah. Bagi mereka yang keberatan bahwa iman adalah kebodohan karena mengarahkan kita untuk percaya pada sesuatu yang tidak berasal dari pengalaman indrawi, St. Thomas memberikan jawaban yang fasih dan mengingat bahwa ini adalah keraguan yang tidak konsisten, karena akal budi manusia itu terbatas dan tak dapat mengetahui segalanya. Hanya bila kita mampu mengetahui segala hal yang kelihatan dan tak kelihatan secara sempurna, barulah akan menjadi bodoh untuk menerima kebenaran hanya murni karena iman. Terlebih, tidaklah mungkin untuk hidup—seperti yang diamati St. Thomas—tanpa percaya pada pengalaman orang lain, kapanpun pengetahuan kita tidak cukup. Maka menjadi masuk akal untuk percaya pada Allah, yang menyatakan diri-Nya, dan percaya pada kesaksian Para Rasul: mereka berjumlah kecil, sederhana, dan miskin, tertimpa dukacita karena Penyaliban Guru mereka. Namun banyak orang bijak, bangsawan dan orang kaya yang bertobat segera setelah mendengarkan pewartaan mereka. Sesungguhnya ini adalah fenomena sejarah yang ajaib, yang mana sulitlah memberikan jawaban yang meyakinkan selain daripada perjumpaan Para Rasul dengan Tuhan yang bangkit.
Ketika mengomentari artikel Syahadat mengenai Inkarnasi Sabda Ilahi, St. Thomas membuat beberapa renungan. Ia berkata bahwa iman Kristen dikuatkan dengan merenungkan misteri Inkarnasi; harapan dikuatkan ketika memikirkan bahwa Putra Allah datang di tengah kita, sebagai salah seorang dari kita, untuk menyampaikan keilahian-Nya kepada manusia; kasih dibangkitkan karena tak ada tanda kasih Allah yang paling jelas selain daripada bahwa Pencipta alam semesta menjadikan dirinya ciptaan, salah satu dari kita. Terakhir, saat mengkontemplasikan misteri Inkarnasi Allah, hasrat kita bernyala-nyala untuk menggapai Kristus dalam kemuliaan. Dengan menggunakan perbandingan yang sederhana namun efektif, St. Thomas berkomentar: “Bila saudara seorang raja tinggal di tempat yang jauh, tentu ia akan rindu untuk tinggal di sebelahnya. Nah, Kristus adalah saudara bagi ktia; maka kita harus merindukan persekutuan dengannya dan menjadi sehati dengan-Nya” (Opuscoli teologico-spirituali, Rome 1976, p. 64).
Ketika mengulas tentang doa Bapa Kami, St. Thomas menunjukkan bahwa doa ini sempurna dalam dirinya, karena ia memiliki lima karakteristik yang harus dimiliki doa yang disusun dengan baik: kepercayaan, penyerahan diri penuh ketenangan, konten yang layak karena, seperti yang diamati St. Thomas, “agak sulit mengetahui dengan pasti apa yang pantas dan tidak pantas untuk diminta, karena memilih di antara keinginan kita menempatkan kita dalam kesulitan” (ibid., p. 120); dan selanjutnya tatanan permohonan yang pantas, gairah kasih dan ketulusan kerendahan hati.
Seperti semua orang kudus, St. Thomas memiliki devosi yang besar kepada Bunda Maria. Ia menggambarkannya dengan gelar yang luar biasa: Triclinium totius Trinitatis; triclinium, yaitu, tempat Trinitas menemukan istirahatnya, karena Inkarnasi, tidak dalam ciptaan apapun selain dalam Maria, tiga Pribadi ilahi berdiam dan bersukacita serta bergembira karena tinggal dalam jiwanya yang penuh rahmat. Melalui perantaraaan Maria kita dapat memperoleh setiap pertolongan.
Dalam doa yang secara tradisional diatributkan kepada St. Thomas, doa ini memantulkan unsur-unsur devosi kepada Maria secara mendalam, dan melalui doa ini kita juga berkata: “Ya Perawan Maria yang Berbahagia dan manis, Bunda Allah… Aku mempercayakan seluruh hidupku kepada hatimu yang berbelas kasih… Perolehkan juga bagiku, Ya Bunda yang paling manis, kasih sejati yang berasal dari kedalaman hatiku sehingga aku dapat mengasihi Putra Kudusmu, Tuhan kita Yesus Kristus, dan setelah Dia, mengasihimu di atas segalanya… dan mengasihi sesamaku, di dalam Allah dan bagi Allah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar