Ads 468x60px

Berteologi dalam Perspektif Jürgen Habermas


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
Berteologi dalam Perspektif Jürgen Habermas
Abstrak:
Teori kritis Habermas – dengan etika komunikatifnya - berfokus sebagai sarana pembentukan konsensus atas norma yang berlaku universal di tengah masyarakat pluralistik.
Dalam tulisan ini, penulis menampilkan pelbagai peranan teori kritis Habermas, yang menekankan dimensi komunikatif-partisipatif. Melalui penjelasan ringkas dan sintesis teks-teks pokok teori kritis Habermas, kita akan melihat teori kritis Habermas dan menggali kaitannya dengan teologi.
Dalam studi ini, penulis berdiri dalam posisi menampilkan kelayakan teori kritis Habermas, demi suatu masyarakat komunikatif berhadapan dengan realitas pascamodern.
Tak lupa sedikit dipaparkan tanggapan kritis Peukert, yang menggunakan tradisi Yudeo-Kristiani sebagai momen korektif bagi tindakan komunikatif Habermas.
I. Pengantar
Dalam ranah ilmu-ilmu sosial kontemporer, nama Jürgen Habermas hampir tak bisa dilewatkan. Karya-karyanya sangat determinan, tidak hanya pada bidang ilmu sosial dan filsafat, tapi juga mulai merambah-jelajah bidang ilmu yang lain, termasuk teologi. Dalam konteks inilah, kita bisa melengkapi teologi berdasarkan paradigma Habermas, yaitu Teori Tindakan Komunikatif. Usaha ini perlu dilakukan sebagai dialog antara teologi dan ilmu-ilmu kontemporer sehingga pernyataan-pernyataan teologis dapat diungkapkan secara up to date kepada manusia zamannya. Melalui bantuan teori kritis, institusi agama beserta perangkat teologinya diharapkan tidak terasing dari pengalaman manusia modern. Teologi haruslah suatu komunikasi yang sedemikian rupa hingga ‘masuk akal’ bagi pendengarnya.
II. Teori Kritis Jürgen Habermas
Dalam Teori Tindakan Komunikatif, Habermas menyatakan bahwa tindakan manusia paling dasar adalah tindakan komunikatif. Tujuan komunikasi adalah saling pengertian. Ia membedakan dua tindakan, yaitu: tindakan demi sasaran dan demi pemahaman. Tindakan demi sasaran, dibagi lagi menjadi tindakan strategis (diarahkan pada manusia) dan instrumental (diarahkan pada alam). Tindakan demi pemahaman dapat ditemukan secara khas dalam komunikasi antar manusia. Habermas menyatakan bahwa dalam tindakan komunikatif ini terjadi suatu “ideal role taking”: Setiap partisipan mengambil alih peran partisipan yang lain. Dengan mengambil alih peran orang lain, kita dapat merefleksikan diri kita sendiri dan mengarahkan proses komunikasi.
Menurut Habermas, dalam komunikasi itu para partisipan ingin membuat mitranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai ‘klaim-klaim kesahihan’: supaya komunikasi dapat berhasil, orang harus berbicara dengan jelas, benar, jujur dan tepat. Sehingga hubungan antar manusia yang rasional dan bebas tetap dapat berlangsung.
Masyarakat komunikatif ini bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat kekerasan, melainkan lewat argumentasi demi konsensus. Konsensus mendapatkan konteksnya dalam suatu diskursus rasional. Konsensus harus tetap terbuka untuk kritik dan pembaruan. Jika konsensus diterima sebagai kata akhir, maka komunikasi tidak lagi memainkan peran pertukaran pendapat dan demokrasi.
Habermas menyediakannya dalam prosedur etika diskursus. Norma-norma moral dalam agama yang semula dianggap benar, tentunya harus tetap dipersoalkan legitimasinya. Pelbagai norma itu perlu dipastikan kembali. Hal ini dihasilkan melalui suatu diskursus. Semua anggota menjadi bebas dan sederajat, tanpa merasa terpaksa atau dipaksa terlibat dalam pengambilan keputusan bersama. Etika diskursus bertujuan untuk memastikan kesahihan suatu norma moral sampai tercapai konsensus di antara peserta. Tujuan ini dicapai lewat praksis komunikasi. Dalam praktek komunikasi itu, perhatian peserta diskursus dipusatkan pada kehendak untuk mencapai konsensus secara rasional.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa semua anggota masyarakat bukanlah penonton. Yang dikehendaki dalam diskursus adalah anggota masyarakat secara aktif menyatakan perannya dalam kata dan tindakan demi suatu konsensus bersama. Dengan kata lain, mengacu pada Habermas, kelompok sosial yang mampu bertahan kini hanyalah organisasi sosial yang ada berdasarkan komunikasi timbal balik dengan menghargai kebebasan dan kesamaan derajat anggotanya. Maka, tepatlah kalau institusi agama (yang merasa berkepentingan pada pembelaan masyarakat yang terbuka, bebas dan menghormati martabat manusia), mengikuti gagasan Habermas itu melalui “rasio komunikatif”.
III. Teori Kritis dan Ajaran Sosial-Moral
Ajaran moral dalam setiap agama (Misalnya: Ajaran Sosial Gereja) secara sederhana dapat dipahami sebagai dialog dengan modernitas. Ajaran moral dalam agama kerap mempunyai pengaruh cukup besar, tapi juga mempunyai kelemahan, antara lain: masalah penafsiran, inkonsistensi, kurangnya teori sosial.
Kelemahan lain yang juga nampak adalah para teolog kerap mencari jawaban dalam dan lewat kitab suci. Padahal, tidak semua permasalahan sosial-moral di dunia dapat dijawab lewat dan dalam kitab suci. De facto, agama kontemporer harus berhadapan dengan pelbagai implikasi zaman. Kitab suci tidak lagi menjadi satu-satunya jawaban final.
Dengan kata lain, pelbagai prinsip moral yang diajarkan oleh setiap agama baru menjadi nyata, jika dalam institusi agama sendiri konflik-konflik tidak lagi diselesaikan menurut “garis kuasa suci” dari atas (entah bernama: hirarki, entah dewan syuro, dsbnya), tapi mulai digumuli dengan menghargai orang lain dan pendapatnya. Berangkat dari kesadaran perlunya saling pemahaman dalam setiap institusi agama, teori tindakan komunikatif Habermas dapat melengkapi ajaran moral agama, dengan perhatiannya pada kepentingan emansipatoris masyarakat. Maka, segala pertimbangan, kritik dan pemikiran timbal balik sangat diperlukan untuk mencari kebenaran suatu ajaran moral dalam setiap agama.
Kita juga mencandra bahwa perangkat teologi sebagai ilmu, muncul dalam hubungan antara obyek (teks), konteks (dunia) dan penafsir (teolog). Teologi kerap memiliki problem hermeneutik (berada dalam ancaman perangkap pikiran deduktif dan apriori). Para teolog bersifat aktif dalam hubungannya dengan obyek (teks) yang diketahui. Tapi, di saat yang sama, para teolog dalam arti tertentu merupakan ‘obyek-obyek’ bagi dunia, karena mereka dibentuk oleh konteks kebudayaannya. Maka teologi memerlukan pengujian dengan menggunakan hermeneutik kritis dan tunduk pada rasionalitas.
Hermeneutik kritis dan rasionalitas ini disediakan oleh Habermas, dengan analisis utamanya pada bahasa. Kita sadar akan kerapuhan bahasa manusia untuk menafsir dan mengkomunikasikannya, maka kita perlu membuat re-interpretasi terhadap proses komunikasi yang selama ini dipakai dalam berteologi. Re-interpretasi tersebut dapat dilakukan dengan bantuan Habermas, yang sangat menghargai terjadinya kelancaran bahasa antar perseorangan yang bebas. Inilah sebuah mediasi bagi teologi.
Di lain pihak, kalau pendekatan kritis tidak dilakukan, institusi agama dapat menjadi sedemikian mutlak dan tak lagi menghargai dunia. Sebaliknya, dunia juga dapat menjadi sedemikian mutlak dan menolak makna yang disampaikan agama. Maka, hubungan timbal balik untuk menyoroti dunia dan agama merupakan sesuatu yang mutlak. Karena bila yang ingin kita ketahui adalah hubungan agama dengan konteks masyarakat, kita jangan mengambil pengetahuan sederhana tentang masyarakat sebagai titik tolak kita, karena pengetahuan semacam itu sudah diresapi oleh ideologi dalam masyarakat itu. Kita harus mengambil pemikiran kritis dan analitis yang dapat menjelaskan hubungan sebab akibat, dinamisme dan pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Disinilah, teori kritis Habermas bisa menyingkapkan pelbagai faktor yang menjelaskan fakta sosial dan memberikan pelbagai diagnosis untuk mengatasi pelbagai permasalahan dalam masyarakat dan agama. Perhatian setiap agama terhadap suatu praksis komunikatif, sebagai sebuah perhatian yang sungguh tidak mengada-ada bilamana agama memang mau tetap diperhitungkan dalam kehidupan pascamodernitas ini.
IV.Tradisi, Teologi dan Diskursus
Tradisi adalah kategori penting dalam setiap agama, yang meneruskan pewartaan para nabi-rasuli. Tradisi patut dihargai sebagai mitra refleksi yang berkembang, bukan sebagai kebenaran tunggal-kekal-abadi. Pengalaman aktual-eksistensial agama pada jaman ini menjadi titik pijak berdialog dengan tradisi. Keberagamaan sesungguhnya berangkat dari sebuah relasi pribadi, sebuah komunitas komunikatif dengan bahasa berdasar makna-makna utopis yang berpusat pada tokoh (entah Sidharta Gautama, Muhammad, Yesus orang Nazareth, dsbnya), memerlukan interpretasi, refleksi dan mediasi teori kritis.
Interpretasi dan refleksi ini terjadi dalam diskursus. Diskursus adalah pembicaraan bersama untuk memastikan kesahihan sebuah norma. Teologi sendiri termasuk dalam kategori diskursus teoretis karena para teolog ingin mencapai konsensus atas klaim kebenaran. Hal ini berarti bahwa kebenaran dicapai melalui konsensus rasional lewat subyek-subyek yang berkompeten. Maka argumentasi menjadi penting. Sebab lewat proses argumentasi, pelbagai klaim akan validitas bisa diakui, diterima ataupun ditolak.
Implikasinya: semua teolog dan umat dapat meneliti, mengajar, menyebarkan serta mendiskusikan pelbagai interpretasi doktrin, semuanya dalam atmosfer yang bebas dominasi. Pelbagai pernyataan pemimpin agama yang kerap disebut “karisma kebenaran yang mutlak” perlu mempunyai pendasaran ilmiah. Pelbagai pernyataan mereka menjadi obyek diskursus rasional. Ini tidak mengurangi wibawa pemimpin agama, tapi menandakan bahwa wewenang mereka harus disalurkan melalui tindakan tuturan dalam atmosfer tindakan komunikatif, terutama dalam hal pembuatan keputusan publik. Maka, tepatlah kalau pelbagai pernyataan moral para pemimpin agama harus terbuka pada tanggapan, diskusi, koreksi dan ditampilkan sebagai praksis komunikasi. Disinilah, agama perlu menciptakan lingkup kehidupan yang memudahkan interaksi. Interaksi berdasarkan saling pengertian dan kaya akan kontak sosial. Pengambilan keputusan publik yang melibatkan seluruh anggota - sekurang-kurangnya rancangan keputusan yang terbuka untuk kritik masyarakat - malah menjadikan setiap pernyataan moral itu lebih dapat diterima.
V. Etika Diskursus
Ajaran moral yang ingin dinyatakan secara publik haruslah melewati suatu jalur argumentasi. Argumentasi adalah cara untuk mempertanggungjawabkan dan memastikan rasionalitas pelbagai pernyataan moral tersebut. Praksisnya yaitu dengan etika diskursus. Etika diskursus Habermas merupakan sarana refleksi sistematis untuk memastikan keabsahan ajaran moral. Pertanyaan yang mau dijawab Habermas lewat diskursus ini adalah: “Bagaimana pelbagai norma moral dapat dipertanggungjawabkan secara rasional?” Baginya, hanya norma yang dapat diberlakukan secara universal dapat dianggap bersifat moral. Ini dirumuskan dalam prinsip universalisasi (U). Norma menjadi sahih jika:
“semua pihak yang (mungkin akan) terkena dampak kepatuhan umum atas norma dapat menerima konsekuensi dan efek sampingnya, yang diharapkan dapat memenuhi kepentingan setiap orang.”
Ide dasar di balik prinsip universalisasi (U) yaitu pengandaian suatu kemauan-kemampuan untuk terlibat dalam memahami yang lain. Upaya untuk memahami yang lain ini ditempuh setelah setiap orang menjadi paham mengenai kepentingannya dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan hal itu. Jika dalam proses itu dicapai sebuah konsensus rasional, konsensus tersebut harus diterima sebagai kepentingan umum. Dasar penerimaan sebuah norma sebagai kepentingan umum terletak pada rasionalitas kepentingan itu berhadapan dengan kepentingan lain.
Dan untuk memastikan persetujuan itu, terdapat satu cara, yakni diskursus. Prinsip diskursus (D) berbunyi:
“Norma-norma dapat diklaim sebagai sahih kalau mendapatkan persetujuan dari semua peserta yang kemungkinan terkena dampak dari norma itu dalam suatu diskursus praktis”.
Dari prinsip di atas, dapat dikatakan bahwa kesahihan sebuah norma haruslah dipastikan lewat diskursus oleh semua peserta yang kemungkinan terkena dampak dari norma itu. Norma moral baru menjadi sahih setelah norma itu mendapatkan persetujuan dari semua peserta diskursus. Metodenya adalah praksis komunikasi. Mekanisme ini mengantar peserta diskursus, yang tidak memiliki argumentasi rasional yang memadai untuk mengakui argumentasi rasional lain yang lebih memadai. Maka, dapat dikatakan bahwa kesahihan sebuah norma bersifat intersubyektif. Etika diskursus memberi tempat untuk hubungan sosial, di mana semua golongan saling berbaur, saling memperkaya, saling menerima, dan saling memahami perbedaan dalam suatu semangat solidaritas.
VI. Penutup
a. Posisi Gereja dalam Dunia Pascamodern
Konteks kehidupan sekarang ini ditandai dengan pelbagai gerakan emansipatoris. Dahulu umat manusia menuntut otonomi rasionalitas. Kini, umat manusia menuntut pembebasan: pembebasan kaum miskin-tertindas, pembebasan dari patriarkhi, pembebasan dari diskriminasi ras, kelompok etnis, warna kulit, bahkan juga pembebasan alam dari eksploitasi. Salah satu ciri zaman modern yang bermula dari zaman Pencerahan (Aufklarung, bhs. Jerman; Enlightenment, bhs. Inggris; Eclaircissement, bhs.Prancis) adalah peranan rasionalitas dalam sejarah manusia. Banyak hal mengagumkan telah dihasilkan oleh sumbangan Pencerahan. Namun, roda zaman modern tidak hanya disumbang oleh peran rasionalitas, tapi juga telah didominasi olehnya.
Dalam dunia yang ditandai dengan krisis sosial, ekologis, biotis, maupun religius, maka teologi memang perlu merumuskan kembali tradisi dalam rumusan yang sesuai dengan bahasa orang sezamannya. Teologi juga perlu melakukan interdisiplinaritas dengan pelbagai ilmu lain. Adalah merupakan fakta bahwa dalam masyarakat terdapat banyak nilai yang berbeda, dan sering kali perbedaan itu menjadi sumber disintegrasi sosial jika tidak dicarikan suatu pemecahan yang memuaskan bagi semua pihak. Di tengah pluralitas pandangan, nilai dan kepentingan, mekanisme teori kritis Habermas – dengan etika komunikatifnya - merupakan jawaban telak atas konflik kepentingan yang secara potensial dapat terjadi. Mekanisme ini mengajukan pemecahan yang ideal, membiarkan konflik terjadi dalam dinamika pertukaran ide. Di mana setiap orang merasa bebas dan sederajat dalam berargumentasi untuk posisinya, sampai suatu prinsip umum ditetapkan bersama-sama demi kepentingan bersama pula.
Mekanisme teori kritis Habermas yang menekankan hubungan antar manusia yang terbuka dan rasional sangat berguna bagi perkembangan teologi. Etika komunikasi Habermas itu juga adalah upaya rasional dan manusiawi. Jika teologi masih ingin berperan bagi masyarakat dewasa ini, mereka tidak dapat melampaui apalagi meniadakan upaya yang rasional dan manusiawi itu. Tepatlah apa yang dikatakan Rahner, teologi akan hadir secara nyata kalau membaharui diri terus menerus ( in permanent genesis).
b. Kritik Helmut Peukert atas Teori Tindakan Komunikatif Habermas
Banyak pakar menilai bahwa kemunculan teori tindakan komunikatif Habermas ini membuat peran agama dipertanyakan. Kemunculan teori tindakan komunikatif ini dapat membuat agama menjadi usang (obsolete), karena peran agama diambil alih oleh teori tindakan komunikatif. Fungsi integratif agama bagi kehidupan sosial digantikan oleh tindakan komunikatif yang bertujuan untuk membina kehidupan sosial secara integral. Kekuasaan yang bersifat suci dan dipelihara dalam ritus digantikan dengan otoritas yang diraih lewat konsensus-konsensus yang rasional.
Dalam konteks inilah, karya Helmut Peukert: Science, Action and Fundamental Theology (SAFT) saya tempatkan. Dalam SAFT ini, Peukert ingin memperbarui teologi fundamental berdasarkan paradigma Habermas, yaitu: Teori Tindakan Komunikatif. Baginya, usaha ini perlu dilakukan sehingga pernyataan-pernyataan teologis dapat diungkapkan secara komunikatif dalam zamannya. Namun, Peukert lebih lanjut menggunakan teologi (tradisi Yudeo-Kristiani) sebagai momen korektif bagi tindakan komunikatif Habermas.
Menurut Peukert, teori tindakan komunikatif Habermas mempunyai kekurangan mendasar dalam hal solidaritas universal. Pertanyaan kritis yang kerap muncul dalam tindakan komunikatif, yaitu: Adakah ruang tertentu dalam pengalaman manusia supaya tindakan komunikatif sungguh menjadi mungkin? Ruang macam apakah dalam pengalaman manusia yang memungkinkan pelaksanaan tindakan komunikatif dalam bentuk solidaritas universal? Karena solidaritas merupakan dasar normatif interaksi dalam tindakan komunikatif, bagaimana kita bisa menjadi solider dengan mereka yang dibuat diam atau dengan mereka yang justru karena memperjuangkan kebebasan dan situasi yang lebih komunikatif telah dihancurkan dan dibunuh sebagai korban sejarah atau korban pembangunan?
Menurut Peukert, pertanyaan di atas tidak dijawab oleh Habermas dalam etika komunikatifnya. Bahkan hal ini menunjukkan bahwa etika komunikatif sebetulnya selalu bersifat historis dan menemui jalan buntu dalam usaha mencari dasar universal. Jalan buntu itu hanya dapat diatasi pada suatu tingkat yang lain dari pengalaman manusia. Tindakan komunikatif Habermas harus memasukkan realitas Allah sebagai Penyelamat.
Jelasnya, adalah mustahil untuk melestarikan dimensi solidaritas (keberhutangan kita pada generasi terdahulu, dan keadilan yang merupakan titik sentral dalam tindakan komunikatif), bila kita tidak merujuk pada konteks teologisnya yang terakhir, yaitu Allah. Untuk membuktikannya, Peukert meninjau kembali konsepsi Allah dalam tradisi Yudeo-Kristiani (Ia lebih memusatkan perhatian pada Yesus, terlebih sengsara dan kebangkitan-Nya). Dalam peristiwa kebangkitan, Allah benar-benar menunjukkan diri sebagai Realitas Penyelamat bagi manusia Yesus yang sudah bertindak dalam solidaritas, namun akhirnya terbunuh.
Kiranya ikatan solidaritas universal yang dikemukakan Peukert di atas termasuk dalam lingkup dunia kehidupan (lebenswelt). Ikatan solidaritas ini turut membangun dunia makna yang dihayati oleh masyarakat. Ikatan solidaritas ini justru kelihatan semakin penting di tengah arus penjajahan sistem terhadap dunia kehidupan.
Untuk itu, peran agama beserta nilai-nilainya sangat diharapkan. Salah satu nilai yang diangkat Peukert di sini adalah solidaritas anamnestis (solidaritas yang mencakup juga generasi-generasi terdahulu, di mana kita berhutang, karena kita menikmati kemungkinan-kemungkinan hidup yang mereka usahakan). Nilai solidaritas ini jika dihayati pastilah akan memperkuat dunia kehidupan masyarakat. Kategori solidaritas ini juga dapat mengatasi kekurangan kategori konsensus.
Hal ini dikarenakan para korban atau musuh-musuh yang tak mau diajak berkompromi, pasti sulit diajak berwacana untuk mencapai konsensus. Konsensus bagi mereka, akan tetap dianggap sebagai kelanjutan dari dominasi pihak yang lebih kuat. Menurut Sobrino, akar solidaritas itu real dan efektif dalam sejarah, karena zaman kita ditandai oleh banyak korban yang dilucuti kehidupannya.
Memang cukup sulit membuat wacana yang betul-betul bebas dominasi. Kita bisa melihat sendiri bagaimana sulitnya mendamaikan Israel-Palestina, Irak-Amerika, GAM-NKRI. Meja perundingan diplomatis sebagai arena pencapaian konsensus tak jarang merupakan awal mula dari konflik-konflik baru. Dalam hal ini, solidaritas justru lebih mampu menjawab persoalan. Solidaritas akan lebih berbicara karena solidaritas bisa merangkul “musuh-musuh” itu sebagai mitra yang setara dan semartabat. Maka, di satu pihak tindakan komunikatif menjadi dasar bagi teologi untuk memperbarui diri. Namun di pihak lain, hanya teologi yang dapat mengatasi kekurangan mendasar dalam tindakan komunikatif. Tanpa teologi, tindakan komunikatif mengalami jalan buntu. Sebaliknya tanpa tindakan komunikatif, teologi tidak bisa dikembangkan secara mencukupi. Dkl: terdapat suatu hubungan dialektis antara teologi dan teori tindakan komunikatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar