Ads 468x60px

Teror dan Horor: Dialektika Maaf dan Keadilan


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
Ada sesuatu yang destruktif dalam diri manusia
Dan itu bermula dari sini:
hasrat menaklukkan, hasrat untuk menguasai yg beda.
Kekerasan bersumber dari naluri yg mau menghancurkan "the others:,
menghidupkan kematian ("thanatos") tapi mematikan kehidupan ("eros")
Bagian kebudayaan sebagai sublimasi dengan daya hidup dan daya benci menuju kematian dikenal dalam mitos (narasi yang berbahasa kisah mitis untuk menjelaskan secara common sense mengapa ada dendam kesumat, di satu pihak dan ada cinta kehidupan di lain pihak).
Dalam konteks lokal kita, bisa jadi mitos ini terungkap dalam penjelasan Siwa sebagai penghancur dan Wisnu sebagai perawat alam. Lebih simbolik lagi dikisahkan dalam Durga sebagai naluri yang ada dalam manusia yang sama yang mau dan bernafsu menghancurkan; sekaligus dalam manusia yang sama terdapat Umayi : sisi naluriah diri manusia yang mau merawat kehidupan dan mencintainya.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!
NB:
A.
Teror dan Horor:
Dialektika Maaf dan Keadilan
Abad ke-20 yang baru saja lewat dan abad ke-21 yang sedang kita alami menjadi saksi bisu bagi “yang destruktif” itu. Di masa ketika konon peradaban manusia mencapai puncaknya itu, kita—sendiri atau berbondong-bondong—melihat dengan telanjang betapa yang destruktif itu begitu mudah muncul di mana-mana dan menyisakan luka, yang terakhir tragedi berdarah di Nice Prancis.
Tentu saja selain rentetan teror terakhir yang melanda beberapa kawasan di Eropa dan Timur Tengah, yang katanya didalangi oleh ISIS, pertama-tama banyak dari kita yang pasti menyebut Auschwitz, salah satu tempat yang memperagakan dengan sempurna horor dari abad modern.
Di titik-titik ghetto itu, kita tahu, ribuan orang Yahudi disekap dan dipekerjakan tanpa belas, sebelum akhirnya diburu dan dibariskan rapi seperti sekawanan biri-biri ke dalam kamar gas. Auschwitz, kata orang, adalah drama. Jelas, ia bukan drama biasa. Ia adalah kejahatan dalam bentuknya yang absolut, yang tak tertampik karena kekejiannya yang amat sangat.
Tapi Auschwitz bukan cuma cerita yang sesak dengan pilu dan rintihan. Di sana kita juga mendengar harapan, yang tumbuh sering kali dengan cara yang amat menakjubkan. Anne Frank, seorang gadis kecil Yahudi, dalam sebuah catatan hariannya menulis betapa “manusia pada dasarnya baik”. Anne tahu betapa kejinya Hitler, tapi ia percaya bahwa manusia diciptakan dengan nurani. Tak terkecuali sang Fuehrer.
Anne yang hidup di bawah bayang-bayang ketakutan, hanyalah gadis lugu yang cuma tahu bahwa ia tak punya siapa-siapa yang dapat menemaninya selain beberapa carik kertas yang ditulisnya setiap hari. Tapi ia yang mati di usia 16 itu tak henti-hentinya percaya bahwa ada yang tak mudah lapuk dalam diri manusia.
Sesuatu yang berharga justru karena dengannya kita bisa terus berharap, dan itulah yang ditunjukkannya: walaupun ia tahu bahwa ada yang keji dalam hidup, ia yakin ada sisi terang yang terselubung dalam hati manusia, betapapun kita ingin menutupnya dengan senjata dan kuasa.
Anne mungkin benar. Manusia itu baik dan menghasrati kebaikan. Hidupnya yang pendek tapi menyentuh memberi bukti akan hal itu. Tapi “baik” yang ia bayangkan bukanlah sesuatu yang hakiki, karena meskipun konon tercipta sebagai makhluk yang tak bernoda dan fitri, ada sisi gelap dalam diri manusia yang dihuni oleh semacam ketakaburan. Dan dari sanalah kekerasan itu muncul.
Auschwitz berkembang dari ketakaburan bahwa ada yang “murni” dalam hidup, masyarakat, dan negara, yang harus dijaga agar tak terkontaminasi oleh yang-beda. Dan Hitler menemukan virus pengganggu itu pada kaum Yahudi. Dengan ratusan peleton tentaranya, ia bergerak ke seluruh Eropa dan membasmi siapa saja yang dalam tubuhnya menitis darah Yahudi. Ia melakukannya, sekali lagi, demi “kemurnian”.
Tak jelas benar apa alasan Hitler melakukan semua itu. Kebencian, jelas. Tapi mengapa Yahudi?
Beberapa tahun sesudah rezim fasis tumbuh, di Eropa tumbuh gerakan Zionis. Awalnya motif mereka adalah melawan anti-Semitisme Hitler. Tapi perlahan, gerakan ini juga menjadi semacam “fasisme” baru. Sasarannya adalah kaum muslim yang anti-Israel. Terhadap yang terakhir ini, mereka tak segan-segan membunuh atau menghabisi, karena buat mereka yang ada hanyalah “kemurnian”, dan hanya dengan itu negara Israel dapat dibangun. Tapi mengapa kaum muslim?
Kekerasan selalu punya alibi. Dan itu tak semata lahir dari kebencian. Ia juga berbiak dari ambisi untuk menertibkan, dari otoritas untuk mengatur dan menundukkan yang-beda. Karena itu, kekerasan tak akan pernah berhenti di kamp Auschwitz. Dalam kehidupan yang terus berputar, kita akan menemukan kekerasan itu terulang di tempat lain, di “Auschwitz-Auschwitz” baru: Dari Aceh, Kalimantan, Papua, Bali, sampai Belgia dan Prancis.
Betul, kekerasan itu seperti sebuah spiral. Ia seperti bergerak tak putus-putus dari satu garis ke garis lain. Menyalakan api di sini, membubuhkan bara di sana. Seperti bakteri, ia merambah ke mana-mana dan, dengan atau tanpa sadar, membentuk cara pandang “kita” terhadap “mereka”. Kekerasan, kata Emmanuel Levinas, bahkan bermula ketika kita memberanikan diri menyentuh Wajah sang lain, ketika terbersit kehendak untuk mengurai dan membiarkan kemisteriusannya tersingkap.
Di sinilah problemnya: jika setiap waktu terjadi kekerasan di mana-mana, mungkinkah ia berakhir? Mungkinkah kita memutus mata rantai kekerasan? Pertanyaan ini penting diajukan mengingat setiap kekerasan membawa tumbalnya masing-masing. Di sana pasti ada korban yang terluka dan nahas. Dan luka korban itu bukan tak mungkin suatu waktu akan mengeras menjadi kebencian.
Agaknya karena itulah Derrida dalam sebuah dialognya dengan Giovanna Borradori (dalam sebuah buku memukau, Philosophy in a Time of Terror) menyebut teror dan kekerasan sebagai “auto-imunitas”: kekerasan itu, seperti tubuh, memiliki mekanisme yang membuatnya kebal. Tak lain lewat kebencian baru, yang lahir sering kali justru dari luka dan trauma para korban. Kekerasan, lanjut Derrida, juga sebuah upaya “bunuh diri”: dengan kekerasan, para pelaku menularkan infeksi baru kepada korban, yang akan membalas balik kekerasan itu kepada pelaku.
Maka kemudian tak jelas lagi siapa pelaku dan korban. Kita tak dapat mendefinisikan secara pasti siapa “pelaku” dan “korban” dalam pengertian sesungguhnya. Pelaku juga menjadi korban, tapi di saat yang sama korban juga menjadi pelaku. Kedua pihak digerakkan oleh kebencian yang sama dan, tentu saja, semangat untuk memusnahkan yang lain.
Kita dapat menangkap api kebencian itu di raut wajah Janis Karpinski, jenderal AS yang memperlakukan ratusan tahanan Abu Ghuraib (Irak) dengan keji. Atau wajah Imam Samudra dan para pelaku teror pun horor, yang dengan nada bersemangat mengutuk AS sebagai biang keladi kehancuran dunia.
Tentu ada beda di sini. Imam Samudra awalnya bersuara sebagai “korban”: ia seperti hendak mewakili perasaan sebagian umat Islam yang terdesak oleh kebijakan AS. Sementara, Karpinski yang lahir dan besar di Amerika, mungkin adalah “pelaku” sebagaimana serdadu-serdadu AS yang lain. Ia menjadi organ kekerasan yang dilakukan secara telanjang oleh Negara. Tapi perbedaan itu menjadi tak berarti ketika keduanya sama-sama mengutuk dan meledakkan amarah: Imam Samudra di Bali, Karpinski di Irak.
Kebencian bisa beranak-pinak menjadi kebencian baru, dan seterusnya dan seterusnya. Di sini, kejahatan menjadi amat mengerikan justru karena ia bisa dilakukan oleh siapa saja. “Korban” dan “pelaku” jelas bukan dua identitas yang tetap. Saya, Anda, dan mereka bukanlah manusia yang bebas dari infeksi kekerasan. Hari ini, saya menyiksa Anda, tapi besok atau lusa, siapa tahu, Anda akan datang membunuh saya. Kekerasan melumpuhkan imajinasi karena ia membuat kita tak mampu berpikir siapa yang salah, sebab siapa pun ternyata bisa bersalah, pernah bersalah.
Maka yang diperlukan kemudian adalah kerendahan hati untuk mengakui betapa masing-masing kita bisa berbuat jahat, justru karena kita tak menginginkannya. Dan cermin dari kerendahan hati itu adalah kesediaan untuk memberi maaf kepada siapa pun yang salah.
Memberi maaf? Ya, memberi maaf. Bukan hal yang mudah, memang, terutama karena orang lebih percaya bahwa kekerasan harus dibalas dengan yang setimpal, dan “kesetimpalan” itu identik dengan “keadilan”. Jika misalnya saya mencucuk hidung Anda hingga kesakitan, maka Anda harus membalasnya hingga saya kesakitan. Itu baru “adil”.
Tapi, akan selalu ada yang bertanya, dengan apa kita mengukur “kesakitan” itu? Mungkinkah kita menakar penderitaan kita dan orang lain, dengan cara dan hitungan yang persis sama? Itulah persoalan yang kita hadapi setiap kali kita gigih bicara tentang keadilan. Apakah “keadilan” itu, tetap tak akan terjawab. Keadilan adalah sebuah aporia: kita tak dapat menentukan dengan pasti batas-batasnya, terutama apabila kita berpikir bahwa keadilan adalah sebuah simetri kekerasan: satu nyawa untuk satu nyawa, sebiji mata untuk sebiji mata, sepotong gigi untuk sepotong gigi.
Karena itu, ada sesuatu yang mendesak kita lakukan hari ini—dan inilah yang berulang kali ditekankan oleh Derrida—yakni bagaimana “melampaui” keadilan sekaligus bergerak “menuju” keadilan. Dengan kata lain, keluar dari konsep keadilan sebagai “simetri” dan menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang tak-mungkin (l’impossible) atau yang belum mungkin: keadilan sebagai agenda yang tak pernah selesai, justru karena orang tak tahu cara terbaik menerapkan keadilan oleh sebab yang adil saat ini atau di sini belum tentu adil besok atau di sana.
Keadilan bukan konsep. Kita tak dapat membayangkan ia berdiri utuh sebagai sesuatu yang “koheren”. Ia tak dapat diukur dan karenanya selalu bersifat anekonomis dan asimetris: keadilan, berbeda dengan pembalasan, tak dapat ditebus.
Barangkali menyadari hal itu, Derrida menyatakan bahwa keadilan hampir selalu berupa “keadilan-yang-akan datang” (la justice à venir). Kita tak sekali-kali dapat menangkap keadilan atau mengklaim bahwa “tindakan saya adil”. Keadilan selalu mrucut dari jangkauan kita.
Oleh sebab itu, kata Derrida, keadilan harus dibedakan dari hukum. Hukum menghendaki simetri dan batas-batas yang jelas, sementara keadilan melampaui itu semua. Keadilan tak tertampung oleh sistem apa pun; ia tak seperti hukum yang menuntut penyelesaian karena ia tak terputuskan justru di saat kita mengatakan bahwa ia telah “ditegakkan”.
Dalam kaitan inilah, memberi maaf lebih dari sekadar momen yang berharga. Kesediaan memberi maaf dari sang korban menunjukkan bahwa ada yang terwakilkan oleh bahasa hukum. Kekerasan akan terus terjadi dan memakan korban. Tapi setiap kali kekerasan itu terpatahkan secara radikal ketika kita mendengar korban berkata: “Aku memaafkanmu”.
Maaf, seperti keadilan, tak menuntut balas. Sang pemberi maaf tidak memegang kendali apa pun untuk memaksa pelaku kekerasan untuk bertobat atau mengubah perilakunya. Pemaafan niscaya muncul dari keadaan “tak bersyarat”, ketika korban memberikan segalanya tanpa mengharapkan apa-apa.
Dengan begitu kita bisa memahami arti kerendahan hati. Seperti dikatakan Gandhi, hanya orang yang berhati baja yang bisa meminta dan memberikan maaf. “Memaafkan yang tak termaafkan”: jelas ini bukan hal yang mudah. Terutama karena di dalam diri kita masing-masing kadang masih ada sisa-sisa dengki, yang mau agar kekerasan itu terus berlanjut untuk menuntaskan dendam yang tak henti terbalas.
B.
Dehumanisasi: Never Again!!!
Tidak jauh dari Munich di negara bagian Bavaria Jerman terletak kota kecil Dachau. Di kota itu terdapat kamp konsentrasi pertama Hitler. Pada monumen utama yang didirikan setelah Perang Dunia II tertulis “Never again”. Apa yang jangan terulang lagi? Holocaust – pembunuhan manusia oleh manusia.
“Never Again” memang ditulis dalam situasi normal, yaitu setelah tragedi kemanusiaan itu. Namun kata-kata itu bukanlah sebuah deskripsi atas normalitas faktual, melainkan sebuah ekspektasi masa depan.
Jelasnya, “Never again” mengacu pada kenyataan bahwa orang `hidup bersama dengan ancaman. Wajar kita berharap malapetaka itu tak terjadi lagi. Tapi bagaimana sebuah peristiwa negatif tak terulang lagi? Bukankah peristiwa sebagai peristiwa adalah unik dan singular?
Di sinilah diskursus tentang trauma dalam diri kita menjadi relevan. Di lain matra, trauma adalah bekas, semacam torehan dari suatu peristiwa negatif. Mereka terseret ke dalamnya dan menjadi bagian darinya tanpa mampu mengendalikan dirinya. Dalam hal ini, trauma terjadi ketika nilai-nilai kemanusiaan (peradaban) mengalami suatu degradasi makna menjadi dehumanisasi (kebiadaban). Ketika manusia tidak lagi menjadi tuan atas kemanusiaannya.

Konteks Dunia Sekular, suatu Benang Kusut?
Orang Latin berpetuah, “tempus mutatur et nos mutamur in illud” yang kurang lebih dapat diartikan “waktu berputar dan kita diubah olehnya”. Berkenaan dengan ini, Harvey Cox (The Secular City) pernah menggambarkan adanya pergeseran dalam tata kehidupan masyarakat modern karena praksis urbanisasi. Urbanisasi meninggalkan kultur agraris dan menggerakkan roda perubahan hingga tercipta karakter masyarakat urban yaitu anonimitas (orang tidak lagi saling kenal) dan mobilitas (begitu cepatnya orang berpindah tempat).
Selanjutnya, sebuah laporan studi dari David Harvey (The Condition of Postmodernity ), seorang pemikir Geografi Marxis, menggambarkan kondisi global yang banyak dialami manusia modern, antara lain: lahirnya pelbagai manipulasi atas realitas; kegamangan akan masa depan; hilangnya kedalaman hidup; maraknya sikap hidup instan; individualitas yang mencuat, susahnya memegang komitmen sebagai akibat dari mudahnya orang untuk membuang segala sesuatu termasuk nilai-nilai (cermin masyarakat pembuang – throwaway society: easy come-easy go), dan pastinya anarkis hedonisme dan radikalisme yang makin merajalela
Fenomena ini berjalan seiring dengan semakin canggih dan berkembangnya teknologi telekomunikasi dan transportasi yang lahir dari rahim kapitalisme.
Mengartikan konteks
“Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga” adalah salah satu pemeo khas dan kerap menjadi simbol-simbol eksistensi kita yang terangkum dalam kata “wasiat” ala Descartesian: “aku senang maka aku ada”. Rasa senang mengambil oper segala prioritas dan menciptakan suatu ‘just fun mentality’.
Dalam perumusan yang sedikit lain, kondisi semacam itu adalah cuatan dari diunggulkannya rasa perasaan estetis dan lahiriah di atas rasa perasaan etis dan batiniah. Wajar, jika kemudian nilai-nilai keluhuran manusiapun mudah ditinggalkan, karena mentalitas junk food dengan handphone di tangan dan walkman di telinga, membuat kita berasyik masyuk dengan dunianya sendiri.
Cerminan masyarakat pembuang, seperti yang dikemukakan David Harvey semakin nampak ketika membunuh dimuliakan sebagai keutamaan konflik. Ketika pemahaman Homo Hominis Socius (manusia adalah sahabat bagi yang lainnya) begitu saja dibuang dan diganti menjadi Homo Homini Lupus ala Hobbes (manusia adalah serigala bagi yang lainnya).
Pelbagai fenomen ini adalah fakta, sebuah realitas sosial sejati! Seperti ramalan Celestine, pelbagai kejadian hidup dan fakta realitas sosial di atas bukanlah sekedar kebetulan belaka. Bila pelbagai kejadian itu dipertemukan, dirangkai menjadi sebuah untaian, maka akan lahirlah makna, pesan serta kenangan yang berguna.
Ini adalah zaman dimana segala nilai dan otoritas telah di-demistifikasi-kan. Tak ada lagi nilai dan otoritas yang sungguh dianggap sakral. Modernitas dengan roh sekular, konsumerisme dan liberalismenya adalah sesuatu yang amat sulit dielakkan. Bukan karena ia merupakan roda raksasa yang otoriter menggilas segala pola kultural, tapi karena ia tampil justru sebagai ideal yang memikat, menggoda dan menjanjikan ekstase kenikmatan di tengah arus kontemporer.
Maka, ketika dunia berlari kencang tanpa kendali pasti inilah, kita mengalami situasi trauma: tercerabut dari akar tradisi, serba terpencar, lepas dari ikatan yang tetap dan aman, berada di antara pelbagai konstelasi nilai dalam realitas serba heterogen amburadul.. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa pengalaman ketraumaan ini membuat kita linglung mencari potret wajahnya sendiri dan mudah menjadi anarkis (an: tak, arche: beraturan).
Martin Heidegger memiliki istilah yang tepat, yaitu Gedankenlosigkeit, ketidakberpikiran [Discourse on Thinking]. Kita tidak pelupa, melainkan tidak berpikir dalam kebiadaban kita.
Sebuah ajakan
Kita hidup dalam dan bersama trauma, maka pendidikan dan pengasuhan dalam diri harus mendorong proses pendewasaan, yakni kemampuan untuk mendengarkan suara hati kemanusiaannya. Kita perlu diam, tetapi bukan membisu, karena orang yang membisu cenderung bicara, hingga tak mampu bungkam. Agar dapat diam orang harus memiliki sesuatu untuk dikatakan. Berdiam mengandaikan pemahaman [Heidegger, Sein und Zeit, paragraf 34]. Latihan untuk diam bagi kita ini adalah: belajar memahami masa, yakni melawan kelupaan dan penglupaan sejarah kebiadaban.
Berangkat dari hal inilah, menyitir Helder Camara, selain pendidikan dan pengasuhan mendengarkan suara hati, maka sebuah proses maaf dan pengampunan dari keluarga para korban juga merupakan unsur tak terduga yang dapat memutus spiral kekerasan dan pelbagai bentuk dehumanisasi.

Kita bisa melihat, bahwa memaafkan (baca: rekonsiliasi) adalah bertindak yang menurut seorang filsuf Yahudi, Hannah Arendt adalah “memulai sesuatu yang baru”, “lahir lagi”, yakni merelakan yang lewat. Di lain segi, dendam dalam diri para korban dan keluarga korban trauma adalah bagian dari ketidakmampuan untuk memulai sesuatu yang baru (Vita activa). Kekhilafan (tresspassing) menurut Arendt merupakan kejadian harian. Disinilah maaf dan rekonsiliasi selalu dibutuhkan agar dengan membebaskan manusia dari perbuatan ketidakberpikirannya, hidup bisa dilanjutkan. Semoga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar