Ads 468x60px

Ibu Magdalena Daemen- Ibu Pendiri Tarekat OSF


FOUNDING MOTHER:
Ibu Magdalena Daemen
Ibu Pendiri Tarekat OSF – Para Suster Fransiskanes
PROLOG
Ada pelbagai macam pengikut sekaligus pecinta St Fransiskus Asisi bukan? Ada banyak kongregasi suster yang juga menggunakan kekayaan spiritualitas St Fransiskus dalam gerak langkahnya bukan?
Nah, kalau kita bicara soal karya para pengikut dan pecinta spiritualitas St.Fransiskus di Pulau Jawa, terlebih di Jawa Tengah, maka nama dan aneka karya para suster Fransiskanes dari Heythuysen (OSF) tidak boleh dilupakan pun diluputkan bukan?
Pastinya, salah satu kehadiran suster OSF terkait erat-lekat dengan karya Romo Van Lith yang membuka pendidikan guru pada awal tahun 1900-an. Ya, para suster OSF merintis dan mendirikan Sekolah Mendoet yang melegenda dan tumbuh-mekar bersama dengan Sekolah Moentilan di “Betlehem van Java” pada zaman Van Lith tersebut.
Selain itu,ada banyak karya nyata lain, seperti Sekolah SMA Santa Maria dan ASMI Santa Maria di Yogyakarta, Yayasan Marsudirini di Jakarta dan Bekasi, Sekolah Sedes Sapientiae serta pastinya RS Elisabeth dengan pelbagai poliklinik, rumah bersalin juga sejumlah panti asuhan yang tersebar-pencar di seantero nusantara.
Konon, Kardinal Julius Darmaatmadja SJ yang kini berusia 83 tahun (Bapaknya bernama Joachim Djasman Darmaatmadja dan ibunya, Maria Siti Sarpinah) juga mengaku lahir di rumah sakit yang dikelola para suster OSF Muntilan pada tanggal 20 Desember 1934. Kakaknya Romo Kardinal, yakni Ibu Matutina (94 tahun) juga merupakan alumna Sekolah Mendoet dan ikut merasakan gemblengan para suster OSF. Lebih daripada itu, saya merasakan ikatan batin juga dengan kongregasi ini, karena ada satu saudara saya yang masuk biara OSF, yakni (bude) Sr. Maria Clarissa yang meninggal 11 November 2011 lalu pada usia 86 tahun di Ambarawa.
Yah, semangat dan spiritualitas Ibu Magdalena Daemen sebagai pendiri pasti banyak mewarnai derap langkah warta dan karya kongregasi ini, bukan?
A.SKETSA PROFIL MASA KECIL DAN KELUARGA IBU PENDIRI
Semuanya berawal dari sebuah nama: Maria Catharina Daemen. Yah, nama yang sederhana ini mempunyai banyak makna bagi tarekat OSF. Dialah seorang perempuan yang dilahirkan pada tanggal 19 November 1787, sebagai anak sulung dari Bapak Cornelius Daemen dan Ibu Gertruida Van Bree yang tinggal di desa Heythuysen di Ohe-en-Laak, Provinsi Limburg Tenggara, dekat dengan Stevenaweert, Negeri Belanda.
Maria Catharina Daemen sendiri akrab dipanggil Trieneke. Sebagai anak sulung dari keluarga petani yang harus membanting tulang dan memeras keringat untuk mendapatkan nafkah, ia rajin ke ladang membantu orang tuanya. Ia tidak banyak bicara, tapi tekun bekerja dan suka berdoa. Sejak kecil, ia pintar membawakan dirinya.
Ia sendiri mempunyai seorang adik perempuan bernama Johanna Daemen yang dipanggil akrab Jenneke. Trieneke dan Jenneke ini bersama-sama tumbuh-berkembang dalam curahan kasih sayang kedua orangtuanya. Dalam kesederhanaan keluarganya, mereka berakar dalam IMAN yang hangat, bertumbuh dalam pengHARAPAN akan persaudaraan yang akrab, dan sekaligus berbuah dalam karya cinta KASIH yang bersahabat.
Jelasnya, mereka saling mengasihi, walaupun memiliki watak kepribadian yang sangat berbeda. Trieneke alias Catharina senang berdoa, dengan pembawaannya yang lebih tenang, pendiam,dan suka merenung-menung. Sedangkan, adiknya, Jenneke alias Johanna adalah seorang pribadi yang gemar tertawa, bercanda ria dan menyenangi kehidupan ramai di dunia. Ya, Trieneke ini sangat menyukai keheningan, karena disadarinya di dalam keheningan-lah, ia semakin menyadari betapa besar cinta Tuhan kepada diri dan keluarganya.
Masa usia sekolah dasar dilalui Trieneke alias Maria Catharina Daemen di desa Echt. Dalam keadaan sarana dan prasarana yang serba berkekurangan, ia terus berusaha untuk tekun belajar agar memiliki pengetahuan yang memadai bagi kehidupan masa depannya.
Akhirnya, Maria Catharina Daemen mampu membaca, menulis dengan tulisan yang bagus dan mampu membuat pembukuan sendiri secara sederhana. Ya, sebagai seorang gadis yang sederhana dan percaya kepada Tuhan yang selalu menyelenggarakan segala sesuatu yang dibutuhkannya, ia terus bertekun dalam kerja dan doa.
Walaupun ia adalah gadis yang sederhana dan miskin, namun ia aktif dan kreatif mengembangkan dirinya, karena ia tetap percaya kepada penyelenggaraan Tuhan. Waktu itu, ia memang hidup dalam masa sulit di pelbagai bidang, terlebih pada bidang pendidikan, sosial dan ekonomi.
Yah, Revolusi Perancis pecah saat Maria Catharina Daemen berusia 2 tahun. Kekacauan situasi politik sungguh menggoncangkan hidup keagamaan, karena maraknya pelanggaran UU Kebebasan Beragama.
Sebuah contohnya: tiga hari sebelum Natal tahun1894, pasukan Prancis memasuki kota kecil dan ingin menemui pastor. Sang pastor tersebut, Rm. Dean Ghysen dipaksa untuk menyerahkan semua peralatan gereja yang terbuat dari emas dan perak milik kapel Schilberg.
Selain itu, pelbagai biara dan gereja, milik ordo-ordo aktif maupun kontemplatif, baik pria dan wanita juga banyak yang dibubarkan karena dinilai tidak melayani tujuan sosial, ekonomi dan politik kerja. Hanya beberapa ordo yang mengelola bidang kesehatan dan pendidikan yang diperbolehkan meneruskan karya mereka.
Maria Catharina Daemen sendiri belajar banyak dari pengalaman dunia sekitarnya. Ia menyaksikan keberanian para umatyang penuh resiko: Ia melihat para penduduk menyembunyikan para pastor di rumah mereka untuk mengadakan pelayanan rohani, misalnya membaptis, dan mempersembahkan ekaristi serta memberi hiburan orang-orang kepada orang-orang yang akan meninggal dunia.
Pengalaman tersebut membantu Maria Catharina Daemen yang pada waktu itu berumur 10 tahun untuk mulai memikirkan apa artinya menjadi seorang biarawati, seorang pelayan Tuhan.
B. KISAH PANGGILAN IBU PENDIRI
Penderitaan masa kecil, kelaparan, banjir, perang, kenaikan harga dan sebagainya yang terjadi waktu itu memacu dirinya untuk berbuat sesuatu yang lebih berguna bagi dirinya dan sesamanya. Semboyan “Deus Providebit – Tuhan akan menyelenggarakan”, yang merupakan semangat orang-orang di desanya mengantar Maria Catharina Daemen ke Maeseyck, yang terletak di tepi barat sungai Maas, dua jam perjalanan jauhnya dari Ohe-en-Laak.
Di Maeseyck, ia sering pergi ke gereja yang dekat dengan letak tempat kerjanya itu, dan disinilah pula, pada usia 23 tahun, Maria Catharina Daemen membaktikan dirinya untuk kepentingan gereja.Ia bekerja sebagai karyawan rumah tangga paroki. Disinilah juga, Maria Catharina Daemen semakin mengenal kehidupan para imam Fransiskan Kapusin yang sungguh baik. Mereka “admiranda et amanda": dikagumi sekaligus dicintai oleh masyarakatnya.
“Verba movent, exempla trahunt - kata-kata itu menguap, tapi teladan hidup menyentuh hati." Perkenalannya dengan imam-imam Kapusin antara lain dengan Pater Eleutherius dari Sussen dan Pater Leonardus de Poel mempunyai pengaruh sangat besar bagi penentuan jalan hidup dan panggilannya.
Ia menyaksikan sendiri pelayanan dan hidup para pastor: sebuah hidup dan iman yang ditekankan pada pengingkaran diri secara radikal terhadap barang-barang duniawi dan cinta yang sungguh mendalam kepada sesama.
Buah-buah doa mereka tertuang dalam aneka kegiatan pastoral yang nyata: berkotbah, mendengarkan pengakuan, memimpin novena, mengadakan tuguran, mengujungi para tawanan, merawat orang sakit, memelihara orang-orang yang cacat mental, mengajar anak-anak, mengadakan prosesi dan bekerja sebagai sukarelawan.
Maria Catharina Daemen secara sederhana, melihat tiga semangat pokok, “P3” para Kapusin itu: Pengabdian yang tulus;Penyerahan diri yang total; Pengorbanan dengan silih dan tapa denda yang mendalam.
Sikap dan semangat hidup “P3” inilah yang disebar-lebarkan para imam kepada banyak umat dengan mendirikan Ordo Ketiga Sekulir St.Fransiskus, dimana salah satu diantara para pengikutnya adalah Maria Catharina Daemen.
Ia menjalankan cara hidup seperti yang dijalankan oleh para imam: Ia mengenakan pakaian yang sederhana, hidup dengan sopan, ugahari dalam hal makan dan minum, berdoa brevir setiap hari (ibadat gerejani) serta banyak berpantang dan berpuasa.
Ya, dalam ordo ketiga inilah, ia belajar berserah setia dan mendapat gemblengan untuk mengatasi tantangan jaman. Ia juga belajar berkarya, berdoa, bermatiraga dan melaksanakan tugasnya dalam keheningan.
Maria Catharina Daemen sendiri mengucapkan kaulnya pada tanggal 12 Oktober 1817, disaksikan oleh Pastor Eleutherius, pendamping Ordo Ketiga Sekulir St.Fransiskus waktu itu. Kaul ini semakin menjadi dasar baginya untuk memulai hidup dalam semangat tapa denda dan cinta kasih Kristiani sesuai dengan semangat Santo Fransiskus Assisi.
C. NIAT MENJADI BIARAWATI – CIKAL BAKAL OSF
Seiring waktu yang terus berjalan, cita-cita Maria Catharina Daemen menjadi biarawati masih terus membara. Ia tidak mau berhenti menjadi ordo ketiga sekulir. Ia juga menggabungkan diri dengan “Masoeurkesop de Trepkes”, sebuah perkumpulan para perempuan muda yang hidup bersama, berdoa bersama, makan bersama dan mempunyai peraturan tertentu serta pembagian tugas kerja diantara mereka sendiri.
Banyak orang menganggap cara hidup mereka sebagai hidup membiara, dimana karya pelayanan mereka adalah memperbaiki dan membuat pakaian resmi gereja, mengajar katekese, serta menjahit dan merajut pakaian.
Indahnya, pelayanan nyata kelompok Masoeurkes ”Op de Trepkes” ini sangat membantu masyarakat terutama para orangtua yang karena kekacauan jaman waktu itu kurang memperhatikan pendidikan iman untukanak anak mereka.
Keberhasilan kelompok Masoeurkes ”Op de Trepkes” menarik perhatian Pastor van der Zandt, kepala paroki Heythuysen. Ia meminta kesediaan dua orang diantara mereka, untuk berkarya di parokinya. Sebenarnya, pastor van der Zandt tidak keberatan siapa kedua wanita yang akan dikirim, asal bukan Maria Catharina Daemen.
Diakuinya, bahwa Maria Catharina Daemen adalah wanita yang penuh kasih, sabar, tabah dan lembut hati. Tetapi dia bukanlah wanita yang mampu menangani apa yang diinginkan harus terjadi diparokinya. Penampilan Maria Catharina Daemen yang tidak menarik pasti tidak akan membawa hasil maksimaldalam warta dan karyanya. P.van der Zandt menginginkan seorang wanita yang jauh lebih muda, menarik, terampil dan cekatan.
Namun jalan Tuhan memang bukan jalan manusia. Yang dikirim bukan dua orang melainkan hanya satu, dan orang itu justru Maria Catharina Daemen. Dia siap meninggalkan teman-temannya, pastor, gereja dan lingkungan tempat ia pernah mengabdikan dirinya.
Diusianya yang ke-38, Catharina Daemen siap berangkat ke Heuthuysen tanpa gentar.Catharina Daemen tiba di Heuthuysen pada tanggal 21 Juni 1825, setelah menempuh jarak 25 kilometer.
Melihat kedatangannya, P.van der Zandt sangat kecewa dan sedih. Kecewa karena yang datang hanya satu orang dan sedih karena yang datang itu justru wanita yang kehadirannya sama sekali tidak diperhitungkan apalagi diinginkannya.
Catharina Daemen disambut dengan hambar, dingin dan tidak ramah. Kata P.van der Zandt: “sebaiknya orang ini tinggal di Maeseyeck saja, anak-anak tak mungkin dipercayakan kepadanya.”
Sikap-sikap penolakan dan “tidak manis”ini tidak sedikitpun mengendorkan tekad Catharina Daemen untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. Anggapan remeh terhadapnya, ketidakpercayaan orang lain atas kemampuannya dan tampilan luarnya yang tidak menarik itu justru dipakai Catharina Daemen untuk menarik sebanyak mungkin orang keluar dari kemiskinan akan pengetahuan agama, kemiskinan akan pendidikan keilmuan serta kemiskinan akan hubungan antara sesama manusia. Seperti sebuah motto ibukota Perancis, Paris: Fluctuat nec mergitur – ia terombang-ambing tapi tak tenggelam, begitulah Catharina Daemen menjalani karya awalnya di Heuthuysen.
Perlahan tapi pasti, Catharina Daemen berhasil mengumpulkan anak-anak dengan sikapnya yang lembut, sabar dan saleh: “Ia mengajar anak-anak. Membaca, menulis, menjahit dan merajut.Semua anak senang kepadanya karena dia.Rajin dan tak kenal lelah bekerja sepenuh hati: "Dengan sepenuh hati dia mengajar anak-anak dan memperhatikan mereka. Sekolah menjadi penuh sehingga dia tidakbekerja sendirian" (Bk. Taman Bunga St. Fransiskus.Hal. 12).
Akhirnya, Catharina Daemen juga diijinkan untuk membuka sekolah baru. Orang-orang mulai mengagumi dan menghargai hasil jerih payahnya yang samasekali tidak meminta imbalan.
Catharina Daemen tidak puas dengan keberhasilan ini, dia masih menginginkan sesuatu yang lebih. Mimpinya untuk menjadi biarawati tetap membara dihatinya. Datanglah kemudian beberapa wanita lain untuk bergabung dengannya, yaitu Johanna Anne Marie Verkolen, Getruida Kirkelas dan Mary Catherine Dekers. Kepada mereka, Catharina Daemen mengatakan, ”Tuhan telah mengirim engkau kepadaku. Tinggallah bersama aku”.
Kelompok Heuthuysen ini mulai terbentuk pada tahun 1827. Berbagai ketrampilan dan kemampuan yang mereka miliki, dipakai untuk membantu karya Catharina Daemen: Ada yang menjahit, merajut, menambal pakaiansobek, dan yang pasti mengajar anak-anak. Mereka mulai menjalani hidup bersama: Mereka berdoa, merawat orang sakit, mengajar di sekolah paroki, dan mengunjungi pelbagai keluarga.
Tanggal 9 November 1828, dihadapan Pastor Leonardus, ketiga temannya (Johanna Anne Marie Verkolen, Getruida Kirkelas dan Mary Catherine Dekers) mengucapkan prasetya mereka dalam Ordo Ketiga Santo Fransiskus.
Bersamaan dengan itu, sekolah serta pelbagai karya pelayanan mereka semakin berkembang pesat sehingga rumah mereka menjadi sempit karena kelas-kelas penuh sesakdengan murid. Muncullah gagasan untuk membangun rumah baru. Maka Catharina Daemen membeli sebuah rumah tua ditengah desa. Rumah tua itu dirombak dan dijadikan rumah karya. Mereka bekerja keras siang malam. Catharina Daemen dan teman-teman merasa bahwa mereka sungguh menempati sebuah biara yang kecil dan sederhana seperti Bapa Fransiskus,“ Si miskin dari Asisi”. Katanya, “alangkah besar kebaikan Tuhan kepada kita, justru karena dalam kemiskinan ini kita tetap merasa puas, dan lebih bahagia dengan perjamuan Fransiskan ini daripada orang-orang kaya.”
D.KELAHIRAN TAREKAT OSF
Tahun 1835, keadaan politik mulai stabil, dimana pelbagai biara dan pertapaan mulai dibuka kembali.Di tahun itu pula, Catharina Daemen mendapatkan inspirasi untuk mendirikan sebuah tarekat baru dan berkat bantuan Mayor Raetsen, Catharina Daemen membeli “de KREPPEL”, milik Baron Michiels van Verduynen.
Adapun beberapa persyaratan untuk mendirikan tarekat baru waktu itu, yakni: anggota harus memakai pakaian religius, harus hidup menurut peraturan tertentu dan harus mengucapkan tri prasetya injil. Dan yang terpenting dari itu semua adalah adanya pesetujuan dari uskup.
Maka, Catharina Daemen dengan rendah hati meminta bantuan kepada P. van der Zandt untuk menulis surat kepada uskup Bommel di Luik. Walaupun lama tidak mendapat jawaban uskup, Catharina Daemen dengan bersabar dalam doa, terus mempercayakan segalanya kepada penyelenggaraan ilahi,Deus providebit!
Beberapa waktu kemudian, karena tidak ada juga surat balasan dari uskup, maka Catharina Daemen memohon ijin kepada P. van der Zandt untuk pergi menemui uskup Bommeldan menanyakan masalah tersebut. Tetapi sangpastor malahan berkata, ”lupakanlah rencanamu itu, Catharina. Mungkin uskup tidak mengabulkan permohonanmu. Penampilanmu saja sudah tidak mendorong berhasilnya usahamu”.
Seperti biasa, Catharina Daemen menjawab: “Tuhan akan menyelenggarakan”. Deus providebit!Ia berjalan kaki selama 12 jam di tengah udara musim dingin, menuju Liege. O sancta simplicitas!O sebuahkesederhanaan nan kudus sekaligus kekudusan yang sungguh sederhana.
Di depan uskup, Catharina Daemen sekali lagi menerangkan keinginan untuk memohon ijinmendirikan sebuah biara, dengan karisma Santo Fransiskus dan hidup sesuai dengan peraturan Ordo Ketiga Santo Fransiskus. Uskup pada awalnya, menolak permohonan Catharina Daemen karena dia dianggap tidak mempunyai pendidikan dan kemampuan yang cukup untuk mendirikan sebuah tarekat baru. Tetapi dengan lembut Catharina Daemen menjawab,“Bapak Uskup, ini bukan pekerjaan saya. Saya memang tidak mampu menyelenggarakan hal semacam ini, bahkan tidak juga untuk memikirkannya. Itu pekerjaan Tuhan dan Tuhan sendiri yang akan menyelenggarakannya.”
Meski permohonan mereka belum juga dikabulkan, kehidupan doa yang penuh sukacita dan karya yang sederhana itu terus bersemi. Penolakan Uskup tidak mengubah apa-apa dalam hidup mereka. Catharina Daemen sangat yakin bahwa Tuhan pasti menyelenggarakan segala sesuatu: Doa, karya dan kurban silih ditingkatkannya. Dan, rupanya dalam surat rekomendasinya kepada Uskup Bommel waktu itu, Pastor van der Zandt mengatakan:“Tampaknya memang wanita yang pendiam dan sederhana ini tidak mungkin mampu mendirikan biara diparokinya. Namun, kegigihan, kesungguhan niat dan kepribadiannya yang mantap menjadi modal utamanya. Dia mencari selalu dari dalam segala sesuatu hal-hal yang menyenangkan Tuhan, dan Tuhan terlalu sering menjawab doa-doanya dengan hal-hal yang banyak orang mengira itu tidak mungkin.”
Sekali lagi, CatharinaDaemen menghadap Uskup Bommel. Kali ini, ia berangkat di musim semi. Suatu firasat bahwa hatinya akan bersemijuga. Dan, inilah komentar Uskup Bommel: “Saya tidak tahu apa yang mempengaruhi saya. Saya menerima dia dengan keputusan untuk menolak permohonannya. Saya tidak melihat kemajuan-kemajuan yang dicapainya, atau ada sedikit harapan untuk masa depan. Tetapi saya tidak mampu menolaknya. Biarlah dia mulai melaksanakan apa yang diinspirasikan Tuhan kepadanya.”Yah, uskup Bommelakhirnya memberikan ijin dan restu hirarkikepada Catharina Daemen, dengan kata-kata: “Semoga Tuhan memberkati kepercayaaanmu kepadaNya. Pergi dan dirikanlah tarekatmu.”
Ijin uskup yang sangat berarti itu, mempermudah Catharina Daemen dan teman-teman untuk mengurus pembangunan gedung baru di Kreppel. Enam bulan setelah penandatanganan pembelian, para suster berpindah ke Kreppel. Pada 10 Mei 1835,mereka memintapastor van der Zandt untukmemberkati Kreppel dan tempat itu diberi nama “Biara Hati Kudus Yesus dan Maria”. Tanggal 10 Mei ini juga ditetapkan sebagai “Hari Tarekat OSF”: Hari berdirinya Tarekat (Kongregasi) Suster-suster Santo Fransiskus dari Tapa Denda (Tobat dan Cinta Kasih Kristiani).
Cita-cita Catharina Daemen dan teman-teman selanjutnya adalah mengenakan pakaian Fransiskan.Ia ingin memakai salib; memilih pakaian yang melambangkan “PKK-Pertobatan, Kemiskinan dan Kesederhanaan”.
Ia juga ingin menyelimuti dirinya dan para pengikutnya dengan salib Kristus. Pada waktu itu, mereka memakai habyth coklat, ikat pinggang putih, kerudung hitam dan pada skapulirnya, terlukis salib dengan alat-alat penyiksaan. Mereka melambungkan lagu “Te Deum” sebagai ungkapan syukur pada Tuhan atas rahmat panggilan dan penyertaanNya.
Pada tanggal 11 Februari 1836, dalam suatu misa kudus meriah untuk menghormati Roh Kudus, Pastor van der Zandt menyerahkan habyth suci dari Ordo III Fransiskus yang disebut “Tapa Denda” kepada Catharina Daemen dkk.
Beberapa tahun kemudian, mereka yang saya sebut sebagai “Pandawa Lima”karena semangat dan teladan hidupnya, akhirnya mendapat ijin dari Tahta Suci untuk mengucapkan kaul kekal. Mereka masing-masing memakai nama:
Catharina Daemen : Sr. Magdalena
Joanna M. Vercoulen : Sr. Clara
M. Getrudis Kirkels : Sr. Antonia
M. Catharina Deckers : Sr. Fransisca
M. Elisabeth Steenkens : Sr. Angelina
Karena hidup membiara telah di sah-kan oleh Gereja, maka Catharina Daemen alias Sr.Magdalena Daemen bersama Pastor van der Zandt mulai menulis-rintis statuta baru. Statuta yang terdiri atas 14 bab ini menekankan empat pilar pokok, yakni: kemiskinan, ketaatan, doa dan tapa denda. Dalam perkembangan waktunya, pada tahun 1843, nama de KREPPEL alias“Biara Hati Kudus Yesus dan Maria” diubah menjadi “Biara St Elisabeth” sebagai penyesuaian terhadap tradisi Fransiskus.
E. OSF di Indonesia: Hikayat dan Riwayat
Atas undangan Pastor Josef Lijnen (atas pengabdian-nya yang cukup lama di tanah misi, sejak tahun 1865 beliau mendapat gelar kehormatan Monseigneur J. Lijnen), yang melihat kebutuhan penanganan anak anak yatim piatu di Semarang, maka beliau mengundang para suster OSF datang ke Semarang. Dengan kapal “Jacoba Cornelia”, ke-sebelas suster OSF berangkat dari Belanda ke Jakarta(Dulu: Batavia) dan menempuh perjalanan sekitar 3 bulanan.
Setelah beristirahat beberapa hari di Biara Susteran Ursulin (OSU) Jl. Pos 2 Jakarta, mereka melanjutkan perjalanan ke Semarang dan tiba pada tanggal 5 Februari 1870 di bangunan yang bergaya aksitektur dinding batu bata merah, tepatnya di Gedangan, yang digunakan sebagai Panti Asuhan Pengurus Gereja Papa Miskin (PGPM) sejak 1809. Di Gedangan inilah, para suster OSF diperkenalkan kepada 221 anak yatim piatu yang membutuhkan bimbingan dan pendidikan, karena saat itu masalah pendidikan, kehidupan moral dan kerohanian kurang sekali mendapat perhatian.
Jelaslah, Gedangan menjadi saksi kedatangan para suster OSF yang mengemban misinya dan sekaligus menjadi pintu masuk tarekat OSF berkarya di Indonesia, secara khusus di wilayah KAS – Keuskupan Agung Semarang. Indahnya, Gereja Katolik ikut “menggerakkan” suasana hidup di Semarang di akhir abad XIX, ketika para susterOSF) ini mulai memiliki karya pendidikan dengan jumlah yang siswa yang tidak sedikit yang tadinya diawali dari perhatian yang bersahaja untuk anak-anak miskin di Panti Asuhan Gedangan.
Ya, sejak 1870 itulah para suster OSF mulai merintis karya dengan Gedangan Semarang sebagai pintu masuknya. Sejarah Yayasan Marsudirini-pun berawal dari karya para suster OSF yang sejak tahun 1870 mengadakan karya pendidikan di Gedangan, yang akhirnya menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.
Adapun di Gedangan pada awalnya mulai dibangun dan dirintis adanya beberapa sekolah, al: T K F a t i m a ; 3 SD : St.Theresia, St.Clara, Christus R e x , SKP/SMP St.Anna, SGKP/SKKA dan SD Marsudirini.
Tahun 1902: Yogyakarta
SD Marsudirini
S M P I m m a c u l a t a
SMA St Maria
Tahun 1908: Bangkong Semarang
TK Martinus dan TK Cor Yesu
SD Antonius I dan SD Cor Yesu
SMP Maria Med i a t ri x
SMA Sedes Sapientiae
SMIK Santo Fransiskus (Perubahan SPG St. Fransiskus, Poncol tahun 1989)
Tahun 1924: Ambarawa
TK Virgo Maria I
SD Virgo Maria I
SMP Mater Alma
SPG Mendut (lebur menjadi SMA Virgo Fedelis, Bawen)
Tahun 1925: Solo
TK Marsudirini
SD Marsudirini
SMP Theresia
SMK Marganingsih
Tahun 1926: Muntilan
TK Theresia
SD Mater Dei
SMP Marganingsih
SMA Pendowo (pengalihan dari Yayasan Kanisisus ke Yayasan Marsudirini)
Tahun 1930: Boro – Kulon Progo
TK dan SD Theresia
SMP Adimurni (sudah tidak ada)
Tahun 1931: Poncol, Semarang
TK Kanak-Kanak Yesus
SD Marsudirini
SMP Maria Goretti
ASM / LPK, Bangkong Gedangan
Tahun 1933: Salatiga
TK Xaverius dan TK Sang Timur
SD Theresia dan SD Xaverius
SMP Stella Matutina
Selain KAS dan beberapa keuskupan lain, tarekat OSF juga berkarya di KAJ – Keuskupan Agung Jakarta dan melayani karya pendidikan, pastoral dan sosial kesehatan atas permintaan Mgr. A. Djajasepoetra selaku Uskup KAJ saat itu. Adapun pada tanggal 22 Juli 1955, tepat pada hari pesta nama Ibu Magdalena Daemen, secara resmi para suster Ursulin (OSU) menyerahkan biara dengan karyanya kepada OSF.
Mgr.A.Djajasepoetra SJ juga meminta provincial OSF yakni Sr. Theophile Bozeman supaya menyelenggarakan karya baru, yaitu pengadaan asrama mahasiswi, bagi para mahasiswi yang datang dari luar Jakarta atau luar Jawa, dan pada tanggal 3 Agustus 1955 dimulailah asrama tersebut.Sampai saat ini Suster-Suster OSF hadir dan berkarya di Keuskupan Agung Jakarta, dengan tiga komunitas yaitu : di Matraman -Jakarta Timur (per-1955), Tanjung Priok - Jakarta Utara (per-1961) dan di Kemang Pratama – Bekasi (per-1994), dengan fokus pada karya pendidikan dan kesehatan (sosial – pastoral).
Para suster OSF di Indonesia sendiri memiliki visi bersama:
"kami para suster dari Santo Fransiskus dari Tobat dan Cinta Kasih Kristiani,
Provinsi Tritunggal Mahakudus Indonesia,
menghayati injil Yesus Kristus dalam semangat Bapa Fransiskus dan Ibu Magdalena Damen, percaya akan kebaikan Tuhan dan penyelenggaraanNya
untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah di jaman ini
dengan kelembutan hati bagi semua ciptaan".
Berdasarkan visi itu, mereka menjalani misi:
Meningkatkan keheningan batin dengan mengakui, menyembah, dan mengabdi Tuhan agar iman akan penyelenggaraan Ilahi semakin tumbuh dan berkembang dalam menghadapi realita hidup;
Bertobat terus-menerus dan bersikap berani menjadi saksi masa kini yang memperjuangkan kejujuran, kebenaran, dan keadilan dengan kelembutan batin;
Menghadirkan Kristus datang melaksanakan karya perutusan Gereja dan tarekat dengan kerendahan hati dan siap sedia kemana pun kita diutus;
Membuka diri dan bekerja sama dengan siapa saja yang berkehendak baik dalam memperjuangkan nilai-nilai politik, ekonomi, sosial, dan budaya untuk mengangkat martabat manusia dan keutuhan lingkungan semesta.
F.REFLEKSI TEOLOGIS
1.Katarina
KAbarkan cinTA dengan RIang dan sederhaNA.
“Anak-anak hendaklah kamu salingmencintai
karena dengan demikian orang akan mengetahui
bahwa kamu murid-muridKu.
Demikianlah sabda Mempelai Ilahi kita,
sesaat sebelum Ia wafat penuh kesengsaraan
demi cintaNya kepada kita”
(Magdalena Daemen).
Katarina ialah nama asli dari Magdalena Daemen. Katarina juga adalah nama yang kerap kita dengar. Entahitu nama seorang sahabat, kerabat atau kenalan dekat kita, Bagi saya, nama Katarina memiliki arti yang indah, yakni: “KAbarkan cinTA dengan RIang dan sederhaNA”.
Katarina alias Magdalena Daemen memang kerap mengabarkan cinta(pelajaran rohani) kepada para susternya, terlebih dalam usaha menghayati kesederhanaan dengan hati yang gembira. Dia kerap menyapa para pengikutnya dengan:“Anak-anakku yang terkasih”.
Bersama teladan St. Fransiskus Asisi yang menyebut sang kemiskinan sebagai “permaisuri yang tercinta”, dia mengajak semua pengikutnyauntuk belajar mengosongkan dirinya dari segala keduniawian: “Hendaklah jangan segan –segan kita berusaha agar menjadi orang miskin yang gembira dan tidak menuntut apa-apa.”
Pola hidup sederhana ini memang pertama-tama mesti ditopang oleh semangat hidup yang ringan. Riang dan gembira bersama Allah merupakan pintu gerbang mengalirnya rahmat Allah bagi kita. Namun pada dasarnya orang bisa riang kalau bisa menerima diri apa adanya, bukan?
Lebih lanjut tentang bagaimana kita bisa mengabarkan cinta dengan riang dan sederhana, Magdalena menegaskan perlunya penanaman motivasi luhur(“intentio pura” dan bukan “intentio pura-pura”):“Segala-galanya demi keluhuran Tuhan dan demi cinta kasih kepada Yesus Kristus”. Baginya, motivasi luhur yang dilakukandengan tulus hati cukuplah untuk mengubah pekerjaan yang paling kecil dan paling rendah menjadi besar dan berjasa dimata Tuhan.
2.Yoseta
aYO SEtia dalam cinTA
Tahun 2009-2011, saya berkarya di sebuah paroki karya arsitek Rm Mangunwidjaya di bilangan Jakarta Utara bersama para pastor dari Lazaris (tarekat CM). Di Paroki Salib Suci Cilincing inilah, kami setiap pagi, jam 05.30 mempersembahkan misa harian di Biara OSF Kramat Jaya yang menyelenggarakan karya sosial kesehatan(klinik dan rumah bersalin) serta karya pendidikan (TK,SD, SMP dan SMU).
Melihat sejarahnya, pada tanggal 12 Januari 1960 dalam pembicaraan antara Bapak Uskup KAJ (Mgr. Djajasepoetra SJ) dan provincial OSF (Sr. Theophile Bozeman OSF), Bapak Uskup meminta kesediaan para suster untuk mengelola sebuah klinik bersalin yang telah ada di dekat kawasan Tanjung Priok, yang kemudian diikuti dengan berdirinya biara OSF dan sekolah Fons Vitae.
Priok sendiri adalah daerah pelabuhan yang dihuni oleh para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Penduduknya pada waktu itu masih sangat sedikit dan miskin dimana Priok sebenarnya adalah daerah rawa-rawa yang dibudidayakan untuk menjadi daerah pemukiman. Adapun poliklinik yang dikelola oleh para Suster OSF lebih dikenal dengan sebutan “Rumah Sakit Diesel”. Adapun kompleks biara OSF ini berdekatan dengan kompleks prostitusi “Kramat Tunggak”) sejak jaman Gubernur Ali Sadikin. Nah, sejak ditutupnya kompleks“Kramat Tunggak”ini pada tahun 1999, maka para suster OSF bersama para suster PK (Puteri Kasih) ikut menangani karya sosial di daerah Tanah Merah, yang letaknya di belakang kompleks “Kramat Tunggak” ini dengan mendampingi sebuah kelompok binaan bernama “Magdalena Group”.
Ketika saya menjadi pastor paroki disana, nama suster pimpinan komunitas biara OSF waktu itu, adalah: Sr Yoseta dan yang pernah juga meminta saya untuk memberikan retret octiduum (delapan hari) di Griya Asissi Bandungan, terkhusus bagi para suster OSF yang berpesta emas dan perak dalam hidup membiaranya waktu itu.
Bagi saya, nama “Yoseta” juga memiliki arti yang begitu indah, yakni: “aYO SEtia dalam cinTA.”Nah, bagaimana kita bisa belajar “setia dalam cinta?” Magdalena memberikan beberapa tips praktisnya, yakni:“dokat”: DOa, KArya dan Taat.
a.Doa
Seorang beriman harus hidup dalam semangat doa, bukan? “Orare labora est”. Berdoa adalah sebuah kerja atau usaha juga.Disinilah, Magdalena mengajak supaya kita selalu dapat berdoa juga pada waktu bekerja. Baginya, doa merupakan kunci untuk membuka pintu rahmat Allah di tengah karya.Semakin jost dan kokoh kunci tersebut, makasemakin berlimpah dan meruah rahmat yang akan diterimanya.
Doa juga seperti sebuah “akar” dalam karya, bukankah tepat sebuah ungkapan sederhana, “roots creates the fruit, akar menciptakan buah. Bukankah jelas, jika akarnya baik (bertanah subur, mendapat sinar matahari yang pas, diberi pupuk dan air yang cukup), maka buah-buahnya pun juga akan baik? Bukankah sebuah karya yang baik, selalu didasarkan pada alas doa yang baik juga?
Disinilah, mengacu pada teladan iman Magdalena Daemen, ada pelbagai buah doa yang nyata-nyata bisa kita dapatkan, yakni:
- Kedewasaaan rohani:
Tanpa doa tidak ada kedewasaan rohani yang gembur. Tanpa doa, tidak ada kehidupan rohani yang subur. Doa merupakan santapan harian bagi jiwa.Terlebih, ditekankannya, bahwa setiap orang yang hidup didunia ini mempunyai salib. Tetapi salib tidak sama, cara memanggul pun berbeda. Seorang beriman yang sejati memikul salibnya dengan cinta kasih dan gembira karena dia selalu ingat akan Tuhan. Dan, bukankah dengan hidup doa yang teratur, kita semakin bisa untuk senantiasa mengingat Tuhan?
- Kemurnian:
Di lain matra, doa membuat kita lebih mengusahakan kemurniansebagaimana layaknya “Mempelai Kristus”. Doa membuat kita lebih peka dalam memperhatikan rasa-perasaan dalam diri dan hidup harian, termasuk pelbagai indera kita. Katanya:“Janganlah mengijinkan mata melihat sesuatu, telinga mendengar sesuatu, tangan dan kaki melakukan sesuatu, budi memikirkan sesuatu, hati merasakan sesuatu yang sia-sia, lebih-lebih yang terlarang”.
- Ketenangan:
Doa membuat kita terbiasa untuk memperhatikan ketenangan batin. Satu keyakinannya, kita akan dilimpahi rahmat karena Tuhan berkenan mewahyukan diri kepada orang yang sungguh menyadari batinnya. Dan hal ini bisa dimulai dengan ketekunan untuk mengusahakan ketenangan lahiriah,dengan terbiasa menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan di tengah rutinitas harian,bukan?
b.Karya
“Dalam tarekat kita,
Martha dan Maria harus disatukan
seperti dalam sabda Kitab Suci:
Keduanya sangat dicintai Yesus.
Hendaklah kita mempersatukan doa Maria
dengan karya Martha,
dengan demikian keduanya saling menyucikan.”
(Magdalena Daemen)
Magdalena Daemen mengajak semua pengikutnya untuk selalu “Ora et Labora – Berdoa dan bekerja”,menganggap diri sebagai karyawati harian Tuhan sepenuh hati.
Pengalaman hidup Magdalena Daemen dengan keyakinannya akan “Deus Providebit”, penyelenggaraan Tuhan dalam hidup dan karyanya menumbuhkan semangat yang pantang menyerah dan selalu berjuangtegar dalam setiap gulat-geliat karyanya. Baginya, satu hal yang dibutuhkan dalam setiap karya adalah kesetiaan dan ketekunan di tengah setiap persoalan dalam bingkai rencana Allah. Dia meyakini bahwa Tuhan selalu campur tangan, selalu melihat dan memperhitungkan setiap usaha dalam karya-karya baik kita.
Aneka karya yang ditangani oleh Magdalena Daemen dan para pengikutnya, biasanya mencakup tiga matra pokok, yakni: “SPP- Sosial, Pendidikan dan Pastoral”. Dan, mengacu pada sejarah hidup Magdalena Daemen, tercandralah bahwa setiap karya mestinya berakar, bertumbuh dan berbuah dalam persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati sendiri hanya akan terwujud dengan adanya penghargaan terhadap sesama serta kerendahan hati dalam pola relasi di dunia karya, bukan?
c.Taat
“Damai dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri
dan dengan sesama
hanya dinikmati oleh orang
yang dengan tekun menunaikan setiap kewajiban
yang dipercayakan kepadanya oleh “ketaatan”.
Dalam pandangan dunia, Magdalena memang tampak kurang terhormat karena kemiskinan, kesederhanaan dan parasnya yang kurang menarik. Tetapi ternyata dia lebih dihormati dandicintai Tuhan karena paras iman kepercayaannya yang besar kepada penyelenggaraan Tuhan; kerendahan hatinya yang mendalam dan cinta kasihnya yang berkobar. Kepercayaan yang penuh ketaatan terhadap Yang Ilahi juga membuatnya mampu menghasilkan pekerjaan yang besar.
Yah, ketaatan pada kehendak Tuhan! Itulah kunci iman seorang wanita sederhana yang menjadi pendiri tarekat OSF ini. Ibarat sebuah tunas yang muncul dan kemudian berkembang menjadi pohon yang besar, kokoh kuat dan bercabang-ranting dan berdaun rimbun karena ketaatannya pada Tuhan semata. Buah dari ketaatan tidak lain adalah kegembiraan sejati. Pujian dan syukur menjadi ungkapan iman hidupnya sehari-hari. Bukankah, di mana ada ketaatan, di situ tidak ada amarah dan kegelisahan?
EPILOG
Kawasan Kota Lama Semarang menyimpan banyak bangunan tua bersejarah. Salah satunya Kompleks Susteran OSF - Gedangan di Jalan Ronggowarsito. Meski sudah berusia seratus tahun lebih, bangunannya masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu heritage di kawasan Kota Lama yang cukup menonjol selain Gereja Blenduk.
Bangunan biara berarsitektur khas Eropa di Gedangan yang kadang digunakan sebagai lokasi syuting film ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda M Nestman, dimana peletakan batu pertamanya dilakukan pada 16 Februari 1906, seperti tertulis pada prasasti di kompleks itu.Gerbang utamanya diisi dengan dua pintu dorong bercat putih, dimana tampak papan persegi panjang bertuliskan “Suster-Suster St. Fransiskus” terpasang di pintu bagian atasnya, dengan “HEbat, LEmah lembut dan sederhaNA”, seperti nama seorang suster OSF yang saya kenal ketika mengisi acara di Loji Gandrung Solo, yakni Sr Helena, OSF.
Dkl: Inilah salah satu saksi sejarah Ordo Suster-suster St. Fransiskus (OSF) yang berpusat di Roma Italia dengan Jenderalnya Sr Patricia OSF dan provinsial Indonesia yang sekarang, Sr Susana OSF.
Ya, para suster OSFmemang sudah lama berkarya di Indonesia di bidang pendidikan dan kesehatan, dengan anggota kurang lebih 350-an suster yang tersebar awalnya di Gedangan lalu menyebar-pencar ke pelbagai pelosok Jawa, Jakarta, Bekasi, Bogor, Bali, Papua, Sumatera, Kalimantan dan sekitarnya.
Selain itu, OSF juga ada di Timor, Sumba, dan Flores, dimana biaranya ada di Detusoko, Ende dengan berkarya di bidang pendidikan, panti asuhan, dan rumah retret-nya. Di Kupang, dengan karya poliklinik-nya. Di Kefa, menangani pendampingan anak cacat. Di Maumare, mereka membantu di Seminari Ritapiret dan Keuskupan.Yang pasti, biji yang telah jatuh ke tanah dan mati tentu menghasilkan buahharum dan makin ranum di pebagai bidang kehidupan, terlebih di pendidikan, kesehatan, pastoral, dan sosial tentunya dengan pola dasar ala “susana”, Sukacita – Sabar dan senantiasa bijaksaNA.
Akhirullalam, semangat Deus Providebit (Penyelenggaraan illahi) dalam semangat persaudaraan dan kegembiraan selalu baik jika dinyatakan dan diwartakan sebagai refren sejati dalam berbagai reksa pastoral setiap harinya, dimanapun berada dan berkarya dengan dijiwai spiritualitas khas Fransiskan dan teladan hidup Ibu Magdalena Daemen. Abraham dan para kudus berani menjalani peziarahan karena hidupnya menaruh pengharapan kepada Tuhan. Dkl: Zaman boleh berubah tetapi semangat mewartakan Kerajaan Allah tidak pernah berubah.
Baiklah, kita kenang-endapkan harapan Paus Fransiskus kepada kaum hidup bakti:
“Anda tidak hanya bikin sejarah gemilang untuk dikenang dan diceritakan, tetapi memiliki sejarah besar yang baru dan masih akan dipentaskan pada masa mendatang. Tataplah masa depan, dimana Roh Kudus mengutus Anda berbuat hal-hal besar.” Kalau Tuhan sudah buka pintunya, siapa yang bisa menutup kembali selain Dia. Deus providebit!!
ASPIRASI
“Bersyukur adalah persembahan yang paling jitu yang dapat kita hunjukkan kepada-Nya karena dengan demikian kita mengakui bahwa hidup kita tergantung kepada kebaikan serta kerahiman-Nya.”(Magdalena Daemen)
Tak ada sesuatupun yang mustahil bagi orang yang percaya pada Tuhan, Reff
Ya Tuhan menyelenggarakan semua itu semboyan Ibu Magdalena Damen, Reff
Janganlah kau kuwatir akan hidupmu Bapa di surga melimpahkan segalanya, Reff
Reff. Deus providebit, Deus providebit, Deus providebit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar