Ads 468x60px

Ibu: Riwayatmu Dulu, Kini dan Nanti...


HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Ibu: Riwayatmu Dulu, Kini dan Nanti...
“Ibuku sayang,
Masih terus berjalan,
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah
Tak mampu ku membalas, ibu...”
(Iwan Fals, “Ibu”)
Santa Gianna Beretta Molla (lahir 4 Oktober 1922 – meninggal 28 April 1962 pada umur 39 tahun) adalah seorang dokter anak, istri dan ibu dari Italia yang dikenal karena menolak aborsi dan histerektomi ketika dia mengandung anak ke-4nya, walaupun dia mengetahui melanjutkan kehamilan dapat mengakibatkan kematiannya. Dia dikanonisasi sebagai santa oleh Gereja Katolik pada 16 Mei 2004.
Gianna Francesca Beretta sendiri dilahirkan di Magenta di Italia. Dia adalah anak ke-10 dari 13 anak di keluarganya, hanya sembilan yang mencapai dewasa. Ketika dia berumur tiga, keluarganya pindah ke Bergamo, dan dia tumbuh di wilayah Lombardi.
Pada 1942, Gianna mulai belajar kedokteran di Milan. Di luar sekolah dia aktif di Azione Cattolica. Dia menerima diploma dalam media pada 1949, dan membuka praktik di Mesero, dekat daerah asalnya di Magenta, dia menspesialisasikan dalam bidang pediatrik.
Gianna berharap bergabung dengan saudaranya, seorang pastor misionaris di Brasil, di mana dia ingin menawarkan keahlian medisnya dalam ginekologi untuk wanita miskin. Namun penyakit kronisnya membuat keinginannya tak bisa terkabulkan dan dia melanjutkan praktiknya di Italia.
Pada Desember 1954, Gianna bertemu dengan Pietro Molla, seorang insinyur yang bekerja di kantornya, sepuluh tahun lebih tua darinya. Mereka bertunangan pada April tahun berikutnya, dan mereka menikah pada September 1955.
Pasangan ini melahirkan Pierluigi pada 1956, Maria Zita pada 1957, dan Laura pada 1959. Gianna menderita dua keguguran setelah kelahiran anak ke-3nya.
Pada 1961, Gianna kembali mengandung. Pada masa mengandung bulan ke-2, Gianna mendapati fibroma pada rahimnya.
Setelah pemeriksaan, dokter memberinya tiga pilihan:
aborsi, yang dapat menyelamatkan nyawanya dan mengizinkannya untuk memilik anak lagi;
histerektomi penuh, yang dapat menyelamatkan nyawanya, namun memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan berupa kehilangan nyawa anaknya dan menghambat kehamilan berikutnya;
atau mengambil fibroma, namun memiliki potensi komplikasi lebih lanjut.
Ajaran Katolik Roma mengizinkan dia untuk memilih histerektomi, namun melarang aborsi. Menginginkan menyelamatkan anaknya, dia memilih pembuangan fibroma.
Setelah operasi, komplikas berlanjut selama masa kehamilannya. Gianna mengetahui jelas keinginannya, menyatakannya pada keluarganya, "Kali ini merupakan kelahiran yang sulit, dan mereka harus menyelamatkan aku atau anakku -- aku mau mereka menyelamatkan anakku."
Pada 21 April 1962, Jumat Agung pada tahun itu, Gianna pergi ke rumah sakit, di mana dia melahirkan anak ke-4nya, Gianna Emanuela, melalui bedah caesar. Namun, Gianna terus mengalami sakit yang serius, dan meninggal karena peritonitis septik tujuh hari setelah kelahiran.
Gianna dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada 24 April 1994 dan dikanonisasi sebagai santa pada 16 Mei 2004. Suami Gianna, Pietro, dan anak terakhir mereka, Gianna, hadir dalam perayaan kanonisasi.
Keajaiban yang diakui oleh Gereja Katolik Roma untuk mengkanonisasi Gianna Molla melibatkan seorang ibu, Elizabeth Comparini, yang pada masa kehamilan minggu ke-16 pada 2003 mengalami kerobekan plasenta yang menyebabkan cairan amniotik pada rahimnya terkuras habis. Karena masa kehamilan normal adalah 40 minggu, Comparini diberi tahu oleh dokter bahwa kemungkinan keselamatan bayinya adalah nol.
Melalui doa kepada Gianna Molla dan meminta intersesinya, Comparini melahirkan seorang bayi sehat melalui sesar, meskipun ketiadaan cairan amniotik di sisa masa kehamilannya.
Pada Misa kanonisasinya, Paus Yohanes
Paulus II menyebut Gianna "seorang yang sederhana, tapi lebih dari itu, merupakan kurir cinta Tuhan yang signifikan" dan St. Gianna adalah santa pelindung bagi ibu, dokter, dan anak yang belum lahir: "Kalau kamu harus memilih antara aku dan bayiku, jangan ragu; pilih - dan aku memintanya - bayiku. Selamatkan dia!"
Di lain matra, pernahkah kita berdoa memohon sesuatu dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, tetapi tampaknya Tuhan belum mengabulkan doa kita.
Kemudian kita berdoa lagi dengan sungguh-sungguh dan berdoa lagi dan berdoa lagi, tetapi tampaknya belum juga ada tanda-tanda bahwa Tuhan mengabulkan doa kita.
Jika kita pernah mengalami hal seperti itu, janganlah berputus asa, bersandarlah tetap kepada Tuhan Allah-mu seperti yang dilakukan oleh Santa Monika. Dua puluh tahun lamanya ia berdoa, barulah ia melihat bahwa Tuhan menjawab doanya. Jadi janganlah berputus asa, karena Ia punya suatu rencana yang indah untuk kita.
Monika dilahirkan pada tahun 331 di Tagaste, Algeria, Afrika Utara dari keluarga Kristen yang taat. Leluhurnya bukan penduduk asli Afrika, melainkan perantauan dari Fenisia.
Monika dinikahkan dengan Patrisius, seorang pegawai tinggi pemerintahan kota. Mereka dikaruniai tiga orang anak: Agustinus, Navigius dan Perpetua (yang kelak memimpin biara).
Patrisius seorang kafir yang berperangai buruk. Dia biasa pulang dalam keadaan mabuk setiap malam, suka naik pitam dan sering mentertawakan usaha keras Monika untuk mendidik Agustinus menjadi pemuda Kristiani.
Meskipun demikian, Monika tidak pernah membantah ataupun bertengkar dengan suaminya.Tak henti-hentinya ia berdoa agar suami dan puteranya segera bertobat dan menerima Kristus.
Monika menanggung segala pencobaan hidupnya dengan sabar, lemah lembut dan berbelas-kasih. Imannya yang kuat beroleh ganjaran tatkala Patrisius pada akhirnya menerima iman Kristiani dan dibaptis setahun sebelum meninggal dunia pada tahun 371. Bahkan ibu Patrisius pun juga dibaptis.
Agustinus, yang kala ayahnya meninggal dunia adalah seorang pemuda berumur tujuhbelas tahun, tidak mau ikut dibaptis.
Meski cemerlang dalam studi, perilaku Agustinus yang hidup bersama perempuan, alkohol dan berbagai macam kecanduan, pula terjerumus ke dalam aliran bidaah Manikisme yang menolak Allah dan mengutamakan rasionalisme, sungguh tak dapat diterima oleh Monika.
Meski tak ada tanda-tanda bahwa doanya dikabulkan Tuhan, Monika dengan setia tetap berdoa untuk Agustinus dengan setiapkali airmata bercucuran dari matanya.
Tuhan mendengarkan keluh kesah Monika dan menguatkannya dengan suatu mimpi. Dalam mimpi itu, Monika melihat dirinya sendiri berada di atas sebuah mistar dari kayu, kemudian datanglah seorang pemuda yang berseri-seri dan bercahaya wajahnya. Pemuda itu bertanya, “Mengapakah ibu bersedih? Apakah yang menyebabkan ibu menangis setiap hari?” Monika menjawab bahwa ia sedih karena tidak tahan melihat kebinasaan Agustinus, puteranya. Maka pemuda itu mengajak Monika untuk melihat dengan seksama. Segeralah terlihat oleh Monika bahwa Agustinus ada bersamanya di atas mistar. Kata pemuda itu, “Di mana engkau berada, ia pun berada.”
Telah lama waktu berlalu sejak mimpinya itu, namun Agustinus masih juga hidup dalam dosa. Oleh karenanya, Monika terus-menerus datang kepada Bapa Uskup memohon-mohon dan mendesak-desak dengan air mata berlinang agar Uskup mau menengok dan menasehati Agustinus.
Lama-kelamaan Uskup menjadi jengkel dan kehilangan kesabarannya, sehingga ia berkata, “Pergilah, jangan menggangguku lagi; demi hidupmu tak mungkinlah binasa anak sekian banyak airmata itu!”
Monika amat gembira sebab ia percaya pada apa yang dikatakan Bapa Uskup bahwa Agustinus tidak mungkin binasa.
Pada tahun 383 Agustinus bersama Alypius, sahabatnya, hendak berangkat ke Roma dan Milan untuk mengajar. Monika tidak setuju karena waktu itu Roma buruk peradabannya.
Di pantai menjelang keberangkatan, Monika menawarkan hanya dua pilihan kepada Agustinus: pulang bersamanya atau Monika ikut dengan Agustinus ke Italia. Dengan tipu daya, Agustinus meninggalkan ibunya seorang diri di kapel Beato Cyprianus yang terletak di tepi pantai, sementara ia dan Alypius berlayar ke Italia.
Monika amat sedih; seorang diri ia menyusul Agustinus ke Italia. Penderitaan berat ditanggungnya terutama karena kapal yang ditumpanginya hampir karam akibat badai. Tuhan menguatkan Monika dengan janji-Nya bahwa ia akan bertemu dengan puteranya sesampainya di Italia.
Monika bersahabat baik dengan St. Ambrosius, Uskup kota Milan. Ia memohon bimbingan dan bantuan Uskup Ambrosius agar putranya, yang pada waktu itu telah meninggalkan aliran Manikisme, mau meninggalkan juga jalan hidupnya yang sesat.
Agustinus mulai tertarik dengan khotbah dan ajaran-ajaran Uskup Ambrosius dan akhirnya dibaptis pada Hari Raya Paskah pada tahun 387.
Dan bukan itu saja, Agustinus juga memutuskan untuk hidup selibat dan membaktikan diri pada pelayanan kepada Allah.
Kelak di kemudian hari, St Agustinus dikenal tidak hanya sebagai seorang uskup yang mengagumkan, melainkan juga sebagai salah seorang dari para kudus dan para pujangga Gereja Katolik. Inilah puncak jawaban doa Monika.
Dua bulan setelah Agustinus dibaptis, yakni pada bulan Juni tahun 387, Agustinus, Alypius & Monika berencana pulang kembali ke Tagaste, Afrika.
Dalam perjalanan pulang mereka singgah di Ostia, dekat muara sungai Tiber. Monika dan Agustinus berdua saja berdiri bersandar pada jendela rumah persinggahan mereka.
Mereka terlibat dalam pembicaraan yang sangat menarik mengenai seperti apa kiranya kehidupan para kudus di surga.
Diliputi rasa bahagia yang amat sangat Monika berkata kepada Agustinus, “Anakku, bagiku tidak ada lagi yang dapat memukauku dalam kehidupan ini. Apa lagi yang dapat kuperbuat di dunia ini? Untuk apa aku di sini? Entahlah, tak ada lagi yang kuharapkan dari dunia ini.
Ada satu hal saja yang tadinya masih membuat aku ingin tinggal cukup lama dalam kehidupan ini, yaitu melihat engkau menjadi seorang Katolik sebelum aku mati. Keinginanku sudah dikabulkan secara berlimpah dalam apa yang telah diberikan Allah kepadaku: kulihat kau sudah sampai meremehkan kebahagiaan dunia ini dan menjadi hamba-Nya. Apa yang kuperbuat lagi di sini?”
Lima hari kemudian Monika jatuh sakit. Kepada kedua puteranya, Agustinus dan Navigius, Monika berpesan, “Yang kuminta kepada kalian hanyalah supaya kalian memperingati aku di altar Tuhan di mana saja kalian berada.”
Hanya supaya ia diingat di altar-Mu, itulah keinginannya. Sebab ia telah melayani altar itu tanpa melewatkan satu hari pun. Pada hari yang kesembilan Monika wafat dalam usia 56 tahun.
Santa Monika dihormati sebagai pelindung ibu rumah tangga. Pestanya dirayakan setiap tanggal 27 Agustus.
"Allah Yang Maharahim, hiburlah mereka yang menderita. Airmata Santa Monika menggerakkan belas kasih-Mu untuk mempertobatkan puteranya, Santo Agustinus, kepada iman akan Kristus. Dengan perantaraan doa mereka, tolonglah kami berbalik dari dosa-dosa kami dan memperoleh pengampunan-Mu yang penuh belas-kasihan. Amin."
Marilah Berdoa:
St Monica terkasih,
istri dan ibu yang berduka,
banyak penderitaan menembusi hatimu sepanjang masa hidupmu.
Kendati demikian, engkau tiada pernah berputus-asa ataupun kehilangan iman.
Dengan penuh percaya, tekun dan iman yang teguh, engkau berdoa setiap hari demi pertobatan suamimu terkasih, Patricius,
dan puteramu terkasih, Agustinus;
dan doamu dikabulkan.
Berilah aku ketabahan, kesabaran,
dan kepercayaan yang sama dalam Tuhan.
Jadilah perantaraku, St Monika terkasih,
agar supaya Allah berkenan mendengarkan permohonanku
…………………… [sebutkan permohonanmu]
dan perolehkanlah bagiku rahmat untuk menerima Kehendak-Nya dalam segala hal,
dengan pengantaraan Yesus Kristus, Tuhan kita,
dalam persatuan dengan Roh Kudus,
Allah Yang Kuasa, sekarang dan selamanya.
Amin.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
"Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir – bibir manusia. Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah. Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa."
(Kahlil Gibran)
Seperti yang pernah saya tulis dalam buku “XXX-Family Way” (RJK, KANISIUS), secara historis-kultural, kita semestinya mengetahui betapa menentukannya peranan seorang ibu.
Beberapa guliran sketsa:
Mengapa bintang rock n roll sekaliber Elvis Presley menjadi ‘kacau’ kehidupannya setelah ditinggal oleh ibu tercintanya?
Mengapa penyanyi pop legendaris, Michael Jackson menjadi ‘aneh’ dan gagal menemukan makna hidup sejak ibunya tidak bertegur sapa lagi dengan dia atas larangan ayahnya yang kecewa?
Mengapa musikus klasik kelas dunia, Ludwig Van Beethoven menjadi setengah gila selepas ditinggal mati oleh ibunya?
Mengapa pentolan The Beatles, John Lennon masih selamat meski ditinggal ibu tercintanya setelah menemukan sosok ibu pengganti pada diri Yoko Ono?
Mengapa Kaisar Calligulla menjadi sangat bengis dan membantai siapa saja setelah membantai ibu dan saudara perempuannya sendiri?
Ada juga sebuah pengamatan yang menyatakan bahwa dari 200 orang paling berpengaruh dalam sejarah, diketahui bahwa peran seorang ibu ternyata sungguh memberi pengaruh dominan.
Sebuah contoh, tak banyak orang tahu bahwa Stalin, seorang pemimpin kejam dalam rezim komunis di Rusia mempunyai ibu yang bengis dan tak berperasaan, bukan?
Ibu sendiri adalah akar kehidupan. Ia adalah jantung cinta abadi. Surga ada di telapak kaki ibu, bukan? Ia tak mengharapkan balas-jasa, kecuali senyum, kenangan indah, dan sedikit perhatian dan doa kita. Ketika kita berkata ‘Ma, aku sayang padamu’ – biasanya itu sudah lebih dari cukup.
Ada sebuah buku dari penerbit KOMPAS (Daoed Joesoef, “Hebatnya sang Emak”, 2010) yang juga dapat memberikan panutan bagi para ibu dalam mendidik dan membesarkan generasi muda bangsa ini agar dapat meraih kesuksesan:
“Alangkah bahagianya mempunyai Emak. Dia yang membesarkan aku dengan cinta keibuan yang lembut. Setiap langkah, tahap dan jenjang selalu membisikkan harapan”, begitulah tukas Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1978-1983).
Walaupun “emak” tidak pernah mengenyam pendidikan formal, dia mendorong anak-anaknya agar tidak berhenti belajar, dan menjadikan Daoed Joesoef menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar doktor ekonomi di Universitas Sorbonne, Paris.
Impiannya sendiri bermula dari figur ‘emak’. ‘Emak’ yang terus menerus tanpa pernah bosan menggugah dan mendorong ke tingkat yang lebih tinggi.
Satu satunya duka yang ia rasakan adalah berita duka kabar meninggalnya emak’, saat dia sedang bersiap-siap untuk menempuh rangkaian ujian “Doktorat d’Etat”, sebuah gelar yang amat bergengsi: “Emak pasti bangga melihat aku bisa menyelesaikan tantangan ini. Kepergian emak bukan merupakan akhir perjalanan, tapi menjadi bagian dari hidup ini.”
A.
Penggalan Puisi Doa
Ibu….
Ada layar putih kemilau
Menuju ke pulau bernyiur hijau
Ada debar kasih menghimbau
Ke hari lampau di sebuah danau
Ibu....
Ada pantai di ujung pasaman
Ada bukit melingkar hutan
Banyak pergulatan dalam kehidupan
Walau sakit tetap jadi panutan
Ibu......
Kadang mendung tergantung tebal
Di ujung selatan di batas tapal
Walau untung susah diramal
Kau tetap beriman dan rajin beramal
Ibu...
Ada bunga menatap di ladang
Tertinggal jauh nun di seberang
Cinta kami menatap berlinang
Cinta dan doamu selalu kami kenang
Ibu...
Semoga hatimu tetap riang,
Terus berjalan dengan tenang
Selalu setia berdendang senang
Dalam cinta TUHAN sang pemenang.
S elamat kami ucap padamu
E ngkaulah ibu juga sahabat
L ukisan kata sederhana kami
A kan indahnya hari jadimu yang penuh rahmat
M elihat puluhan tahun telah berjalan
A nggaplah ini suatu kenangan
T uk masa depan abadi yang penuh harapan sejati
U siamu kini bertambah satu tahunan
L ewatlah sudah angka lama
A rahkan langkah ke angka baru
N iatkan hati dan budi pada Tuhan
G una kebahagiaan dan kedamaian
T iada keberhasilan tanpa pengorbanan
A tau kebahagiaan tanpa penderitaan
H adapi semua rintangan dan cobaan
U ntukmu selalu kami doakan
N yaman, sehat, bahagia dan penuh kedamaian
B. Penggalan Cerita
Namaku Dewantara Alexandria. Orang-orang di sekitarku memanggilku dengan nama Tara. Aku sebenarnya lebih suka di panggil Alex ketimbang Tara. Alasannya karena Tara itu kesannya nama cewek. Aku 22 tahun dan saat ini aku menjadi seorang penulis lepas di beberapa majalah dan sekaligus aktivis sosial.
Aku kos di salah satu sudut pinggiran kota Jakarta. Bukan kos mewah. Hanya sebuah kamar ukuran 2x3 meter tanpa perabot sama sekali. Kata orang ada harga ada mutu.
Aku sudah terbiasa tidur dengan keadaan berkeringat saking panasnya. Atau di tatap sinis sama ibu kos gara-gara telat bayar uang bulanan.
Menahan lapar bahkan tidak makan berhari-hari adalah hal yang biasa bagiku. Yang penting bisa minum. Minum air sumur atau kran di toilet umum jika dalam keadaan terpaksa. Itulah penyebab kenapa aku jadi kurus. Kata teman-temanku kurus kering seperti ikang kering yang dijemur. Apa lagi kalau lagi dikejar deadline sementara ide di kepala lagi macet total seperti pemdandangan sehari-hari di kota Jakarta. Tapi aku menikmati semuanya itu. Wajahku pas-pasan. Hanya kata orang aku memiliki sorot mata yang tajam dan kulit sawo matang yang aku warisi dari ibuku.
Satu hal yang aku pelajari dari hidup ini adalah "hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya bukan hanya untuk menerima sebanyak-banyaknya." Itu alasan kenapa aku mau memutuskan untuk menjadi seorang aktivis sosial. Aku tidak terlahir dari keluarga yang mewah. Aku hanya dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang sederhana dan penghasilan orang tuaku cukup hanya untuk makan sehari-hari. Aku memutuskan meninggalkan rumah ketika kedua orang tuaku tidak setuju dengan keinginanku untuk menjadi aktivis sosial.
"Kita ini bukan orang kaya, nak! Tapi kalau itu keinginannmu, lakukanlah." ucap ibuku.
"Makan saja susah. Bagaimana mau menolong orang lain?" imbuh ayahku dengan tampang ketidak setujuannya.
"Tapi ini jalan yang Tara pilih, pa."
"Tara, kamu itu pintar! Kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah."
"Tara bisa menuntut ilmu dimana saja, pa. Tanpa harus kuliah. Percayalah, Tara ngga akan menyusahkan papa dan mama," aku mencoba memberikan penjelasan.
Ruang tamu malam itu mendadak hening. Di luar sana rembulan tampak malu-malu memancarkan pesonanya.
"Kamu tinggal pilih. Kamu tetap mau menjadi aktivis sosial atau kerja sambil kuliah?"
Aku kaget dengan ucapan ayahaku. Aku tahu aku bisa kuliah sambil kerja dan sekaligus menjadi seorang aktivis sosial tapi aku belum tertarik untuk kuliah. Kerja? Sarjana aja banyak yang menganggur apa lagi aku yang hanya lulusan SMA? Hatiku sudah bulat untuk menjadi aktivis sosial.
"Jawab?" bentak ayahku dengan nyaring dan penuh ketegasan.
"Tara tetap dengan keputusan Tara untuk menjadi aktivis sosial," ucapku sambil melihat ibuku yang tertunduk menahan air matanya.
"Kalau begitu, kamu bisa tinggalkan rumah ini. Malam ini juga!"
Bagaikan petir di siang bolong menyambar hatiku mendengar ucapan ayahku. Aku tahu ayahku tidak akan mengubah keputusannya. Aku tahu jika beliau sudah mengatakan A maka yang terjadi harus A. Hanya Tuhan yang sanggup mengubah keputusan itu. Mungkin satu-satunya kesamaan yang aku punya dengan ayahku adalah kami sama-sama keras kepala. Sepertinya hanya itu yang aku warisi dari ayahku. Selebihnya dari ibuku apa lagi bentuk fisik seperti warna kulit dan rambut lurus.
Aku beranjak meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamar untuk mengemasi bajuku. Ibuku menyusul masuk ke kamar.
Dengan spontan aku memeluknya. Dari radio tua di kamarku terdengar sebuah lagu "doa untuk ibu" dari Ungu Band:
kau memberikanku hidup
kau memberikanku kasih sayang
tulusnya cintamu, putihnya kasihmu
takkan pernah terbalaskan
hangat dalam dekapanmu
memberikan aku kedamaian
eratnya pelukmu,
nikmatnya belaimu
takkan pernah terlupakan
Reff:
oh ibu terima kasih
untuk kasih sayang yang tak pernah usai
tulus cintamu takkan mampu
untuk terbalaskan
oh ibu semoga Tuhan
memberikan kedamaian dalam hidupmu
putih kasihmu kan abadi
dalam hidupku
Back to Reff
ooohh putih kasihmu kan abadi
dalam hidupku
=========
"Kamu mau tinggal dimana?"
"Ma, ngga usah kuatir, aku akan baik-baik saja. Aku hanya butuh doa mama. Hanya itu."
"Besok, mama akan bilang apa kalau adik-adikmu mencari kamu?"
Aku melepaskan diri dari pelukan ibuku. Aku mengusap air matanya. Aku tidak ingin dia menangis meski aku sendiri berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.
"Katakan saja aku pergi untuk memenuhi panggilan hidupku."
"Kamu dan papamu sama-sama keras. Mama tidak bisa meluluhkan hati kalian berdua."
Mother and Son
Aku kembali memeluk ibuku. Setelah puas aku mengemasi pakaianku seadanya. Aku membuka lemari pakaian yang sudah tua dimakan rayap. Disana hanya tergantun seragam SMA-ku yang penuh coretan dan 2 kaos oblong serta satu celana jeans. Di sisi lainnya hanya ada pakaian sehari-hariku yang bisa dihitung jari. Aku memasukan semuanya itu ke dalam ranselku yang warnanya sudah luntur.
Ibu hanya duduk lesu di ranjangku. Aku menghampirinya.
"Mama jangan sedih ya! Tara janji akan membuat mama bahagia. Mama akan tersenyum dengan pilihan hidup Tara. Sayapku sudah tumbuh, aku ingin terbang. Merebut kemenangan di mana pun adanya. Aku akan pergi untuk kembali, ma. Janganlah menangis. Biar kucari jalanku sendiri."
"Mama percaya dengan kamu Tara," ucap ibu lalu menanggalkan satu-satunya perhiasan yang dia punya. Cincin yang selalu dikenakannya. Cincin yang aku sendiri tidak tahu sejak kapan dia memakainya.
"Mama hanya punya ini. Ambillah. Kamu bisa menjualnya untuk kebutuhanmu. Mama tidak punya uang. Hari ini untuk makan saja, mama harus pinjam sekaleng beras dengan tetangga. Pesan mama, bukan seberapa besar yang bisa kita beri kepada orang lain tapi seberapa besar hati kita pada waktu memberi dan melakukan sesuatu."
Aku memeluk erat ibuku kembali. Pelukan yang sampai hari ini masih terasa. Pelukan seorang ibu yang penuh dengan kasih sayang. Pelukan seorang anak kepada ibunya. Ibu yang pernah berjuang mati-matian untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.
Gery Chocolatos Cake
Ibu yang selalu dan selalu berusaha membelikan aku dan adik-adikku Gery Chocolatos di setiap momentum penting. Ibu tidak pernah kekurangan akalnya, bagaimana di setiap ulang tahun kami ada Gery Chocolatos sebagai pengganti kue ulang tahun.
Ibuku menyusun beberapa Gery Chocolatos menjadi kue ulang tahun yang indah dan ada lilin yang sering kami pakai saat listrik padam, menghiasi tengah-tengah susunan Gery Chocolatos tersebut.
Ibu berusaha menghemat sekuat tenaga uang dapur yang ada. Ah... Ibuku memang kreatif. Apa lagi kalau merangkai kata-kata indah. Kata-kata yang menjadi cambuk bagiku untuk terus maju meski dalam keadaan terpuruk sekali pun.
Aku masih ingat bagaimana ibuku menyiapkan ulang tahunku yang ke tujuh belas. Aku sangat terkejut ketika ibuku menyediakan kue ulang tahun yang beliau namakan Gery Chocolatos cake. Sampai hari ini aku sendiri tidak tahu bagaimana beliau bisa mendapatkannya. Setiap kali aku tanyakan beliau hanya tersenyum.
Aku masih ingat ketika pulang sambil mennagis karena nilau ujianku merah. Ibu hanya berkata, "Tidak ada orang yang bodoh di dunia ini,yang ada hanya orang yang pintar dan belum pintar. Nilai bukan segalanya tapi bagaimana kamu berusaha sebisa kamu. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda.Ada yang pintar dan ada yang belum pintar.Dan penddikan bertugas mengubah yang pintar menjadi lebih pintarSerta yang belum pintar menjadi pintar."
"Malam ini Tara akan nginap di rumah Alain. Besok Tara akan cari kos."
"Sudahlah. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin mama. Burung pipit pun tahu kalau dia harus tetap bisa hidup sekalipun harus mematuki sisa padi di lumbung sang petani. Mau atau tidak mau ,hidup ini ada untuk dihidupkan. Oleh karena itu kamu hidup dengan bernafas, maka hidupkanlah nafasmu."
Hati kecilku terasa perih. Aku tidak punya handphone lagi. Aku menjualnya dua hari yang lalu untuk biaya sekolah adikku. Handphone yang aku dapatkan sewaktu menang menulis cerpen di salah satu majalah remaja terkenal. Bagaimana aku bisa mengabarinya kalau ada apa-apa? Dan bagaimana dia akan menghubungiku kalau ada apa-apa di rumah?
Beliau diam. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan namun penuh semangat dan kekuatan.
"Buktikan pada dunia termasuk papamu. Kamu adalah sang pemimpi sejati. Ayunkan kakimu untuk mencoba meraih khayalanmu yang tertinggi. Kamu adalah pejuang hidupmu yang suka resiko.
Kamu harus tahu, hidup ini penuh resiko dan tantangan. Ibu ingin melihat kamu merubah mimpi dan hayalmu menjadi realita yang menjadi karya abadi. Bukan imajinasi juga gambaranmu semata. Ibu percaya kamu bisa, Tara.
Jika hatimu terasa gundah maka berbaringlah dalam kesunyianmu. Jika hatimu tak lekas cerah maka pejamkan matamu dan tidurlah. Bawa dirimu terbang dan melayang dalam indah dunia mimpi. Pejamkan dan bawa dirimu ke alam mimpi. Ketika kau telah sampai di alam mimpi, melayang dan bergembiralah di sana.Bermainlah dengan peri-peri kecilmu. Jika kamu telah lelah bermain. Jika hatimu telah riang, buka mata dan bangkitlah dari mimpimu karena ada orang-orang yang menantimu untuk merasakan belai kasihmu. Jangan pernah sia-siakan dunia ini kosong tanpa sentuhan hangat darimu, Tara."
Aku sangat suka sewaktu aku kecil ibu selalu memotivasiku dengan cerita dongengnya. Ketika aku beranjak dewasa, ibu selalu menguntai kalimat indah dari bibirnya sebagai pengganti dongeng sebelum tidur.
Selesai mengemasi semua pakaian, aku beranjak ke ruang tamu di temani ibu. Aku ingin pamit dengan papaku. Tapi belum sempat aku menghampirinya, beliau langsung beranjak pergi meninggalkan rumah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku berusaha untuk tegar. Aku memasuki sebuah kamar di mana adik-adikku tidur dengan berdesak-desakan. Ada Sastra, Agnes dan si kecil Moses. Aku menatap wajah mereka satu persatu. Wajah polos yang tak berdosa.
"Aku selalu merindukan, mama," ucapku lirih ketika mencium dahinya yang penuh kerutan untuk pamit.
"Kalau kamu merasa lelah dan tak berdaya dan saat segala usaha sepertinya sia-sia. Tuhan tahu, kamu sudah berusaha.
Ketika kamu lelah menangis sekian lama dan hatimu masih terasa pedih. Tuhan telah menghitung air matamu.
Jika kamu tahu bahwa kamu sedang menunggu sesuatu namun waktu serasa berlalu begitu saja. Tuhan juga sedang menunggu bersama denganmu, bersama berjalannya waktu.
Ketika kamu merasa sepi dan sendiri sementara orang-orang terlalu sibuk dengan diri masing-masing. Tuhan selalu berada di sampingmu, menemanimu.
Ketika kamu pikir bahwa kamu telah mencoba segalanya dan tidak tahu hendak berbuat apa lagi, bersabarlah. Tuhan pasti punya jawabannya.
Saat hatimu terasa tertekan, akal dan pikiranmu tak dapat menerima segalanya. Tuhan akan menenangkanmu.
Saat kau dapat melihat secercah harapan yakinlah, saat itu Tuhan sedang berbisik kepadamu.
Saat kamu ingin bersyukur,sebelum kata syukur itu terucap, Tuhan telah menerima syukurmu.
Ketika sesuatu yang indah terjadi dan kamu tersenyum dengan apa yang terjadi. Tuhan sedang tersenyum padamu.
Ketika kamu memiliki tujuan dan mimpi untuk dipenuhi. Tuhan sudah membuka matamu dan dengan memanggil namamu.
Ketika kamu terlupa dan berpaling, Tuhan tetap mengingatmu.
Ketika kamu sadar dan ingin kembali, Tuhan akan selalu menerimamu. Seperti itulah juga ibu kepadamu, Tara."
Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan kalau aku terlahir di keluarga yang pas-pasan. Aku justru bersyukur. Meski keluargaku tidak memiliki harta yang mewah tapi setiap hari kami masih bisa bersyukur dan tetap bersukacita. Untuk apa memiliki harta kalau itu ternyata didapatkan dari cara yang tidak benar?
Dari ibuku aku belajar tentang arti memberi dan berkorban.
"Yang membedakan antara memberi dengan berkorban adalah rasa sakit. Ketika kamu memberi dan itu terasa sakit maka itulah yang namanya pengorbanan. Orang yang memberi belum tentu berkorban tapi mereka yang berani berkorban adalah mereka yang memberi dengan cara yang terbaik." Itulah jawabannya dulu, ketika ku menanyakan tentang perbedaan antara memberi dan berkorban.
Dengan langkah yang pasti aku melangkah meninggalkan rumahku. Dari jalan setapak, aku memalingkan wajahku. Di rumah tua itu aku melihat lambaian dan senyuman ibuku. Lambaian tangan dan senyuman yang tak akan pernah aku lupakan sampai hari ini.
Aku memantapkan langkahku dengan sebuah itikad di hatiku, "Sudah saatnya aku berani berdiri tegak pada kehidupanku dan bukan saatnya lagi aku merengek pada susah kehidupanku. Sudah saatnya aku pilih jalan berjuang bukan bertahan. Itulah artinya HIDUP."
Ibuku adalah penopang dikala aku rapuh, rujukan dikala semuanya suram. Hanya tangisku sebagai saksi atas rasa cintaku padanya.
Dalam setiap malam ada doa yang kupanjatkan pada Sang Maha Kuasa untuk ibu:
"Berilah ibu balasan yang sebaik-baiknya atas didikan dan kasih sayang yang ibu limpahkan untukku. Lindungi dan peliharalah ibu sebagaimana ibu melindungi dan memeliharaku.
Ya Tuhan, setiap penderitaan yang telah ibu rasakan akan Engkau perhitungkan untuk memberkatinya.
Dalam tangan-Mu yang agung. Aku menyerahkan ibuku ke pada-Mu yang telah menciptakanku dan Ibu dari debu tanah. Amin."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar