Requiescat in pace:
"Golden Jubilee"
11 Juli 2017.
50 Tahun Meninggalnya
Rm FX Satiman SJ / Rm Antonius Satiman
Imam pribumi pertama di Indonesia
Ditahbiskan sebagai Jesuit
Dimakamkan sebagai "Trappist"
Ditahbiskan dengan nama FX, Fransiskus Xaverius, seorang jesuit misionaris.
Disemayamkan dengan nama ANTONIUS, seorang kontemplatif.
Rm Satiman, "SAtu haTI dalam
iMAN" sendiri yang adalah asli Pakualaman Jogja dan kakak kelas dari Mgr
Soegija adalah lulusan Kweekschool di Muntilan, yakni Sekolah Pendidikan Guru
yang didirikan oleh Rm Van Lith SJ pada tahun 1904 (sedangkan Normaalschool
didirikan pada tahun 1900). Beberapa alumni yang lain al: Soegijapranata,
Djajaseputra, IJ Kasimo, Frans Seda, Cornel Simanjuntak, dan beberapa tokoh
Katolik lainnya, termasuk Yos Sudarso walaupun tidak sampai selesai).
Pada tahun 1911, Satiman bersama
dengan Petrus Darmaseputro menyatakan niatnya menjadi imam kepada Pastor Van
Lith SJ dan mereka pun diutus belajar di Belanda. Ya, indahnya bahwa para imam
dan uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan rintisan Rm Van Lith
dan tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan
menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A.
Djajasepoetra, SJ (Uskup KAJ), dan Alb. Soegijapranata, SJ (Uskup KAS).
Adapun figur Rm. Satiman SJ-lah
bersama dengan Rm. J.B. Prenthaler SJ yang mulai mewartakan bahwa pada dasarnya
keberadaan paroki merupakan kumpulan pribadi-pribadi dalam keluarga yang berada
dalam teritorial lingkungan.
Istilah "lingkungan"
inilah yang pertama kali dipakai pada tahun 1931, saat Romo J.B. Prenthaler SJ
dan Romo Satiman SJ (yang konon juga kerabat dekat pendiri Partai Katolik, IJ
Kasimo, dimana adiknya Satiman yakni Moedjirah menjadi istri IJ.Kasimo), berkarya
di Boro, Kulon progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya, istilah ini secara
eksplisit digunakan oleh Romo Albertus Soegijapranata SJ saat berkarya di
Bintaran Yogyakarta, tahun 1934 dan menjadi Uskup Agung Semarang sekaligus
Uskup Agung Pribumi pertama di Indonesia.
Adapun makam Rm Satiman berada di
kompleks Cisterciensis Santa Maria atau yang dikenal dengan pertapaan Ordo
Trappist di Rawaseneng, Temanggung, Jawa Tengah. Satiman sendiri ditahbiskan
tahun 1926 sebagai imam Jesuit dan di kemudian hari menjadi Oblat (mengikuti
cara hidup biara tapi bukan anggota penuh biara) Rahib Trappist di Rawaseneng
dan mengganti nama biara dari Fransiskus Xaverius menjadi Antonius.
Para petapa yang biasa disebut rahib
trappist ini mengenangkan setiap arwah dengan mendoakannya ketika ibadat
vesperae, sebelum meditasi sore.
Aktivitas keseharian para rahib ini
adalah pencapaian kehidupan akhirat di dunia. Kegiatan ibadah, menurut
keyakinan mereka, dilakukan sejak bangun tidur hingga menutup mata. Sepanjang
hidup, keseharian mereka hanya doa dan kerja hingga kematian menjemput di
kompleks pertapaan seluas 178 hektare ini.
Jejak kerahiban di Rawaseneng adalah
bagian gerakan kerahiban manusia yang dimulai pada abad IV di padang gurun
Mesir. Pertapaan Rawaseneng adalah lokasi pertama di Indonesia yang berdiri
1936, sekitar 14 kilometer dari Temanggung.
Adalah Pater Bavo van Der Ham, rahib
dari biara Koningshoeven-Tilburg, Belanda, yang pertama mengembangkannya
pertapaan khusus pria ini dari ordo berkembang dari Prancis. Di tempat inilah
imam pertama Indonesia, Antonius Satiman dimakamkan bersama para pater atau
pastor lain.
NB:
A.
Awal berdirinya Seminari Menengah Mertoyudan tidak dapat dilepaskan dari 2 pemuda lulusan Kweekschool Muntilan yang berkeinginan menjadi imam, yakni Petrus Darmaseputra dan F.X. Satiman.
A.
Awal berdirinya Seminari Menengah Mertoyudan tidak dapat dilepaskan dari 2 pemuda lulusan Kweekschool Muntilan yang berkeinginan menjadi imam, yakni Petrus Darmaseputra dan F.X. Satiman.
November 1911 mereka menghadap Romo
Van Lith SJ dan Romo Mertens SJ dan mohon agar diperkenankan belajar menyiapkan
diri menjadi imam.
Niatan kedua pemuda ini, yang juga
dengan mempertimbangkan kebutuhan imam di Indonesia, ternyata mampu mendorong
munculnya gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi para calon imam.
Proses perijinan dari Roma pun diurus, dan 30 Mei 1912 izin resmi dari Roma
keluar untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Kursus pendidikan
tersebut diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan.
Antara tahun 1916-1920 sudah ada 10
siswa Muntilan yang dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan para pastor
Ordo Salib Suci di Uden, Belanda. Dua siswa meninggal dan seorang lagi terganggu
kesehatannya, kemudian diambil kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan di
Indonesia. Kursus di Muntilan pun disempurnakan.
Tanggal 7 September 1922, dua
seminaris menjadi novis pertama pada Novisiat Serikat Yesus yang baru dibuka di
Yogyakarta dengan rektor dan pimpinan novisiatnya Romo Strater SJ.
Mei 1925 dimulai Seminari Kecil
(Klein Seminarie), yang gedungnya dibangun di sebelah barat kolese St. Ignatius
Yogyakarta tanggal 19 Desember 1927 dan diberkati Mgr APF van Velsen SJ. Kursus
diadakan bagi mereka yang baru tamat Sekolah Dasar Hollands Inlandse School
(HIS) dan Europese Lagere School (ELS). Bersamaan dengan itu kursus di
Muntilan, bagi mereka yang sudah memiliki ijasah guru tetap, juga tetap
berlangsung.
Sekitar tahun 1927 kursus ini digabung
dengan Seminari Kecil di Yogyakarta. Karena jumlah siswnya meningkat hingga 100
siswa lebih, seminari dipindah ke Mertoyudan Magelang. Pelajaran pertama
dimulai 13 Januari 1941.
8 Maret 1942 tentara Belanda
menyerah kepada Jepang. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang dan
digunakan untuk sekolah Pertanian Nogako. Tanggal 5 April 1942 para seminaris
terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Meski demikian pendidikan calon imam
tetap dilangsungkan di berbagai pastoran, diantaranya di Boro, Yogyakarta,
Ganjuran, Muntilan, Girisonta, Ungaran, Semarang dan Solo. Pelajaran diberikan
dengan sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, seminari lazim disebut
Seminari in diaspora. Situasi ini berlangsung hingga 1945.
Dalam masa Revolusi Fisik, gedung
Seminari Mertoyudan sempat dibumihanguskan. Sisa-sisa bangunan menjadi jarahan.
Setelah situasi tenang, Seminari dibangun kembali oleh Vikariat Semarang dan
berakhir Agustus 1952. Bangunan tersebut sekarang merupakan bagian dari gedung
Domus Patrum dan Medan Madya. Setelah pembangunan selesai, selama liburan para
seminaris pindah ke Mertoyudan.
Tanggal 3 Desember 1952 gedung
Seminari Mertoyudan diberkati Mgr Albertus Soegijapranata SJ. Lima tahun
kemudian dibangun gedung tambahan yang dipergunakan untuk seminari, yaitu Medan
Utama dan Medan Pratama. Sejak saat itu semakin banyak murid tamatan SD yang
diterima di Seminari Mertoyudan. Namun berdasar pertimbangan lain, tamatan SD
tidak diterima lagi sejak tahun 1968. Yang diterima hanya tamatan SLTP dan
SLTA.
Tahun 1971 siswa seminari lulusan
SLTA tinggal di Yogyakarta dan mengikuti kuliah di IKIP Sanata Dharma hingga
menyelesaikan pendidikan sarjana muda. Tahun 1972 siswa tamatan SLTA juga
ditampung di Seminari Mertoyudan. Karena berbagai alasan, tahun 1974 di Wisma Realino
Yogyakarta dibangun cabang Seminari untuk menampung siswa tamatan SLTA.
Di Mertoyudan dilakukan penambahan
gedung. Tahun 1976 dilakukan penambahan gedung, yang diresmikan dan mulai
dihuni oleh Seminaris Medan Utama. Tahun itu juga Seminari Cabang Yogyakarta
digabung lagi dengan Seminari Mertoyudan hingga sekarang.
B.
Sejarah mini KAS.
Sejarah mini KAS.
Pada tanggal 7 Agustus 1806 Raja
Lodewijk Napoleon mengumumkan undang-undang kebebasan beragama. Akibatnya,
Gereja Katolik di Indonesia, yang dilarang sejak tahun 1621, dapat berkembang
lagi. Pada tahun 1807 mulailah lembaran baru dalam sejarah Gereja, ketika
wilayah Hindia Belanda menjadi satu kesatuan dalam Gereja Katolik, yaitu
Prefektur Apostolik Batavia. Dua imam sekulir dari Negeri Belanda tiba di
Jakarta pada tanggal 4 April 1808 sebagai misionaris pertama. Pastor Jacobus
Nelissen menjadi pemimpin pertama misi, yang meliputi seluruh Nusantara, dan
beliau berkediaman di Jakarta.
Selama 50 tahun berikutnya, 31 imam
sekulir mengikuti jejak langkah kelompok kecil misionaris pertama itu. Di
antara mereka adalah Pastor C.J.H. Franssen yang ditugaskan di Ambarawa. Pada
tahun 1859 dua imam Yesuit tiba di Jakarta untuk membantu para imam sekulir
itu. Selama masa jabatan Mgr.A.C. Classens (1874-1893), hanya dua imam sekulir
saja bertahan. Akan tetapi, sementara itu 57 imam Yesuit berdatangan. Dengan
demikian, praktis seluruh karya pastoral Gereja ditangani oleh imam Yesuit.
Pada tahun 1893, ketika pastor W.J. Staal, SJ ditugaskan menjadi Vikaris
Apostolik, tanggungjawab evangelisasi di Indonesia secara kanonik dialihkan
dari imam sekulir kepada Serikat Yesus.
Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik
Batavia ditingkatkan menjadi Vikariat. Pada tahun 1866 Vikariat Apostolik
Batavia dibagi menjadi 8 stasi: Batavia, Semarang, Ambarawa, Yogyakarta,
Surabaya, Larantuka, Maumere dan Padang.
Pada tahun 1903, seorang guru
Kerasulan dan 4 orang kepala desa dari pegunungan wilayah Kalibawang berkunjung
pada Rama van Lith. Empat orang ini dibaptis pada tanggal 20 Mei 1904. Dan
kemudian, 171 orang menyusul dibaptis oleh Rama van Lith pada tanggal 14
Desember 1904 di Sendangsono. Peristiwa tersebut di luar harapan Rama van Lith.
Mgr. Luypen dan pembesar SJ menafsirkan bahwa peristiwa pembaptisan tersebut
sebagai tanda yang jelas bahwa metode Rama van Lith menghasilkan buah.
Sementara itu pada tanggal 27 Mei 1899, Rama Hoevenaars SJ, teman seperjalanan
Rama van Lith dari Eropa ditugaskan di Mendut. Ia berpendapat bahwa misi harus
langsung mengarahkan kegiatan-kegiatannya pada rakyat kelas bawah. Ia berhasil
juga. Dalam jangka waktu setengah tahun setibanya di Indonesia, telah dibaptis
62 orang Jawa. Pada akhir tahun 1903 jumlah orang Katolik di stasi Mendut lebih
kurang 300 orang.
Kedua metode tersebut dipraktikkan
dan dipertahankan oleh kedua misionaris pertama itu. Pada tanggal 27 Juni 1905
Rama Hovenaars dipindahkan ke Cirebon. Beberapa tahun sesudahnya, ketika ia
ditugaskan di Surakarta, ia mengakui keunggulan kebijakan Rama van Lith dan
mengikuti jejaknya.
Terutama wilayah sekitar Surakarta
dan Yogyakarta terbukti menjadi tanah subur bagi benih-benih firman Allah.
Sampai sekarang mayoritas umat Katolik Keuskupan Agung Semarang tinggal di
wilayah tersebut. Di situlah terdapat pengaruh kuat dari keraton Surakarta dan
Yogyakarta, bersamaan dengan nilai budaya tradisional yang telah berakar sangat
dalam di hati dan sikap hidup masyarakat.
Nilai-nilai budaya tersebut tidak
menjadi ancaman atau diganti dengan agama Katolik. Karena alasan itulah, proses
inkulturasi, yang telah dirintis oleh Rama van Lith, mengutamakan perlunya
bahasa Jawa. Bahasa tidaklah sekedar sarana komunikasi, tetapi juga
kristalisasi jiwa masyarakat dalam memandang dunia dan manusia secara khas
Jawa. Di Muntilan Rama van Lith adalah pastor pertama yang dapat berkomunikasi
dengan masyarakat Jawa dalam bahasa Jawa. Ia menterjemahkan doa Bapa kami dalam
bahasa Jawa.
Rama van Lith berhasrat memberi kaum
muda Jawa, pria dan wanita, suatu pendidikan yang bermutu tinggi, yang membuat
mereka mampu memiliki posisi penting dalam masyarakat. Maka diselenggarakan
pendidikan Kristiani, agar mereka menjadi benih-benih kerasulan yang dapat
tumbuh dan berbuah di kemudian hari. Pada tanggal 14 Januari 1908 Tarekat
Suster Fransiskan mendirikan sekolah ketrampilan khusus untuk gadis-gadis Jawa
di Mendut.
Peristiwa sangat penting di
Keuskupan Agung Semarang adalah didirikannya Seminari Menengah. Tiga dari enam
calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun
1926 dan 1928, yaitu Rama F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Alb.
Soegijapranta, SJ.
Pada tahun 1915 Rama van Driessche,
SJ (1875-1934) merintis karyanya di antara orang-orang Jawa di Yogyakarta
dengan bantuan seorang katekis.
Karya misi sungguh didukung dan
dikembangkan oleh Tarekat Bruder FIC. Lima Bruder pertama datang dari Negeri
Belanda di Yogyakarta pada bulan September 1920. Langsung saja mereka
ditugaskan untuk mengajar di HIS. Kedatangan Bruder-Bruder berikutnya mampu
memekarkan karya mereka di kota-kota lain seperti Muntilan (1921), Surakarta
(1926), Ambarawa (1928) dan Semarang (1934). Pada bulan Januari 1922,
Percetakan Kanisius mulai beroperasi dan dipercayakan kepada Tarekat Bruder
FIC.
Rama Strater, SJ mendirikan
Perhimpunan Wanita Katolik pada tanggal 9 September 1923. Berdirinya Organisasi
Partai Politik Katolik pada bulan Agustus 1923 menjadi bukti perkembangan
Gereja dan keberanian orang-orang Katolik dengan pusatnya di Yogyakarta.
Disebabkan oleh perbedaan situasi
antara Jawa Barat/Batavia dan Jawa Tengah, dan demi berkembangnya Gereja, pada
tanggal 1 Agustus 1940 didirikanlah Vikariat Apostolik Semarang. Paus Pius XII
menetapkan Rama Albertus Soegijapranata SJ menjadi Vikaris Apostolik. Ia
menjadi uskup pribumi Indonesia pertama.
Peristiwa tragis menimpa dua orang
hamba Tuhan, Rama Richardus Kardis Sandjaja, Pr. dan Frater Hermanus Bouwens,
SJ. Pada tanggal 20 Desember 1948 mereka dibunuh di dusun Kembaran dekat
Muntilan. Peristiwa itu berkaitan dengan penyerangan pasukan Belanda di
Semarang yang berlanjut ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, yang biasa
disebut dengan clash kedua.
Mgr. Albertus Soegijapranata SJ
wafat pada tahun 1963, dan dimakamkan di makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang,
sebagai Pahlawan Nasional. Mgr. Justinus Darmojuwono, Uskup kedua (1964-1981),
diangkat menjadi Kardinal pertama di Indonesia (26 Juni 1967). Agar karya
pastoral semakin berbuah, pada tahun 1967 Kardinal Justinus Darmajuwono
mendirikan 4 Vikariat Episkopalis di Keuskupan Agung Semarang, yaitu Semarang,
Kedu, Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bapak Kardinal Justinus
Darmojuwono wafat pada tanggal 3 Februari 1994, dan dimakamkan di Makam
Muntilan.
Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ,
penggantinya memimpin Keuskupan Agung Semarang (29 Juni 1983-1996). Mgr Julius
mengembangkan karya pastoral berdasarkan Arah Dasar Keuskupan untuk periode
lima tahunan (1984-1990; 1990-1995; 1996-2000). Beliau kemudian juga diangkat
menjadi Kardinal, dan kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta menjadi Uskup Agung
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar