Ads 468x60px

MENYAMAKAN KHILAFAH HTI DENGAN VATIKAN, APA KATA DUNIA?


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
MENYAMAKAN KHILAFAH HTI DENGAN VATIKAN, APA KATA DUNIA?
Sebuah Tanggapan terhadap Din Syamsudin
Sdr Din Syamsudin..
Kami percaya bahwa anda adalah orang pinter. Tapi menyamakan Vatikan dengan khilafah adalah suatu statemen yang sangat bodoh! Mungkin baik kalau setiap dari kita punya kerendahan hati untuk bertanya lebih dahulu secara komprehensif sebelum memunculkan suatu pernyataan di ruang publik.
MENYAMAKAN KHILAFAH HTI DENGAN VATIKAN, APA KATA DUNIA?
(Sergie Sutanto)
Saya pernah terkejang-kejang saat JK menyitir bahwasannya orang orang kaya di Indonesia didominasi kalangan tionghoa kristen dan kong hu cu. Padahal secara jumlah, prosentase dua agama itu cuma seujung kuku di negeri mayor muslim ini. Kong hu cu saja Cuma 0,13 persen dan Kristen tidak sampai 10 persen.
Dan hari ini ini kembali saya terkejut-kejut tapi kali ini lebih ingin ngakak yang bikin perut mules. Din Syamsuddin menilai cita-cita pendirian negara khilafah oleh HTI, menurutnya seperti eksistensi Vatikan yang menjadi kiblat umat Katolik sedunia. Oalaa….....
Kota Vatikan.
Orang Italia menyebutnya Citta del Vaticano, dalam bahasa Latin ditulis dengan Civitas Vaticana, merupakan sebuah enklaf yang dikelilingi tembok di dalam kota Roma di Italia. Dengan luas sekitar 44 hektar dan populasi 842 jiwa, Vatikan adalah negara independen terkencil di dunia yang diakui secara international sejak 11 Februari 1929 setelah Pemerintah Italia dan Tahta Suci menanda-tangani Perjanjian Lateran.
Selain sebagai negara, Vatikan juga dianggap sebagai tahta suci umat Katolik yang keberlangsungannya sudah terjadi sejak berabad-abad. Di pelataran Basilika St. Petrus Vatikan Roma, tempat Paus melangsungkan audiensi dan missa dengan seluruh umat katolik dunia tiap minggunya, ada dua patung besar: Santo Petrus dan Paulus. Dua santo yang sangat diagungkan dalam tradisi katolik.
Santo Petrus sendiri mewarisi mandat penuh dari Sang Kristus sebelum pergi meninggalkan dunia. Pesannya kepada Santo Petrus sebagai paus pertama: "di atas batu karangmu, gereja-Ku akan berdiri." Itulah cikal bakal sejarah Katolik, permulaan berdirinya tahta suci Vatikan di kota Roma..
Meski tergolong sangat kecil untuk ukuran negara, Vatikan itu sepedas cabe rawit, diklaim punya pengaruh besar dalam hukum international, dan suaranya cukup berpengaruh di percaturan politik dunia.
Tapi Vatikan tidak pernah mendorong perubahan ideologi suatu negara. Paus sendiri pun tak pernah bermimpi umat katolik bergerak ke arah demikian.
Hampir di tiap perayaan misa, Paus menerbitkan statement untuk diteruskan kepada para pimpinan gereja manapun di seluruh dunia, termasuk Indonesia untuk menjunjung tinggi konstitusi yang berlaku, menegakkan dasar negara sebagai pengayom dan pengayem kearifan lokal setempat.
Dan selalu dengan sangat tegas, Vatikan berusaha memisahkan institusi keagamaan dengan negara. Ini satu kebenaran, fakta!!! Historis dan sosiologis. Kalau saja gereja mulai grasak-grasuk mengurusi soal negara apalagi memaksakan dogmanya ke dalam tatanan hidup bernegara, saya sudah sejak lama meninggalkan nama baptis saya. Dan saya akan tinggalkan Katolik. Karena itu artinya menyalahi syarat dan ketentuan yang telah diwariskan oleh Sang Kristus.
Sementara HTI?
Setahu saya, konsep ini tidak mewakili umat Islam seluruhnya. Buktinya banyak penolakan yang dilakukan oleh kalangan muslim sendiri di tanah air ini.
Lebih dari itu, entahlah, saya tidak mampu menguliti karena saya memang tidak memahami persoalan ini lebih jauh. Karena itu menarik garis kesamaan antara negara khilafah ala HTI dengan Vatikan, menurut saya, sangat konyol. Sebuah logika yang dipaksakan dan mengada-ada!!
Sama saat saya terganggu dengan pernyataan JK dulu, kali ini pun saya berharap sekali pernyataan tokoh Muhammadiyah itu, tidak benar alias media yang mengutipnya keliru. Tapi jika benar, ingin sekali saya mengajak si Deddy Mizwar, Naga Bonar untuk mengepalkan tinju ke langit sambil berseru: "ketika kita buta hati dan sejarah, lihat apa kata dunia?"
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

NB:
A.
Din Syamsuddin:
Khilafah Itu Mirip Eksistensi Vatikan
Pemerintah tidak perlu merespon berlebihan wacana pendirian khilafah yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Apalagi menuding HTI sebagai kelompok yang anti Pancasila. Begitu kata Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menanggapi penerbitan Perppu Ormas yang diasumsikan bertujuan untuk membubarkan HTI.
Dijelaskan Din bahwa khilafah yang dimaksud HTI mirip dengan eksistensi Tahta Suci Vatikan yang menghilangkan sekat negara dan menjadi kiblat bagi umat Katolik di seluruh dunia.
"Khilafah itu tak lebih pada eksistensi Vatikan," jelasnya usai acara Halal Bihalal di Kantor DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Jalan Senopati Raya, Jakarta Selatan, Rabu (12/7) malam.
Sama seperti Tahta Suci Vatikan, khilafah gagasan HTI juga bercita-cita untuk memiliki pemimpin tertinggi umat Islam layaknya Paus. Pemimpin ini yang nantinya menjadi pemimpin universal umat Islam sedunia.
Meski demikian, sambung Din, bukan berarti dengan keberadaan khilafah umat Islam menjadi anti Indonesia dan anti Pancasila.
"Tak berarti umat Katolik di Indonesia yang patuh ke Vatikan (juga) anti-Pancasila. Saya memahami posisi pemikiran HTI itu," tutup mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
B.
"Pro Ecclesia et Patria"
Prinsip Dasar Ajaran Gereja Katolik mengenai relasi antara Negara dan Gereja
Hubungan antara Negara dan Gereja/Agama (Katolik) dirumuskan dalam salah satu dokumen hasil sidang akbar (konsili) para uskup sedunia yang dipimpin paus di Vatikan tahun 1962-1965. Konsili ini disebut Konsili Vatikan ke-II yang dimulai oleh Paus Yohanes XXIII dan dilanjutkan oleh Paus Paulus VI.
Adapun dokumen yang di dalamnya dirumuskan hubungan Negara dan Gereja itu berjudul “Gaudium et Spes” (“Kegembiraan dan Harapan”).
Dokumen ini sering disingkat dengan "GS". Dokumen ini merupakan konstitusi (ajaran resmi) yang bersifat pastoral mengenai Gereja dalam dunia dewasa ini. Dokumen ini disahkan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 7 Desember 1965. Secara khusus, hubungan antara Negara dan Gereja dirumuskan dalam "GS" artikel nomor 76 (judul “Negara dan Gereja”).
Isi lengkapnya sbb:
“Terutama dalam masyarakat yang bersifat majemuk, sangat pentinglah bahwa orang-orang mempunyai pandangan yang tepat tentang hubungan antara negara dan Gereja, dan bahwa ada pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat Kristen, entah sebagai perorangan entah secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warganegara di bawah bimbingan suara hati Kristiani, dan di pihak lain apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para gembala mereka. Berdasarkan tugas maupun wewenangnya Gereja sama sekali tidak dapat dicampuradukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sitem politik manapun juga. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendesi pribadi manusia.
Di bidang masing-masing Negara dan Gereja bersifat otonom tidak saling tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan semakin efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, jika semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan sesama. Sebab manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal. Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat Kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.
Para Rasul dan para pengganti mereka beserta rekan-rekan sekerja mereka diutus untuk mewartakan Kristus Penebus dunia kepada masyarakat. Dalam menjalankan kerasulan mereka mengandalkan kekuasaan Allah, yang sering sekali justru dalam kelemahan para saksi menampilkan kekuatan Injil. Sebab barang siapa membaktikan diri kepada pelayan sabda Allah, harus menggunakan cara-cara serta bantuan-bantuan yang khas bagi Injil, yang dalam banyak hal berlainan dengan sumber-sumber daya masyarakat duniawi.
Hal-hal duniawi dan perkara-perkara, yang dalam kondisi hidup manusia melampaui dunia ini, berhubungan erat sekali; dan Gereja memanfaatkan hal-hal duniawi sejauh dibutuhkan oleh perutusannya. Tetapi Gereja tidak menaruh harapannya atas hak-hak istimewa yang ditawarkan oleh pemerintah. Bahkan akan melepaskan penggunaan hak-hak tertentu yang diperolehnya secara sah, bila karena penggunaan ketulusan kesaksiaannya ternyata disangsikan, atau bila kondisi-kondisi kehidupan yang baru memerlukan pengaturan yang baru. Tetapi selalu dan di mana-mana hendaknya ia diperbolehkan dengan kebebasan yang sejati mewartakan iman, menyampaikan ajaran sosialnya, menunaikan tugasnya dalam masyarakat tanpa di halang-halangi, dan menyampaikan penilaian morilnya, juga tentang hal-hal yang menyangkut tata politik, bila itu di tuntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa, dengan menggunakan semua dan hanya bantuan-bantuan yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan-kesejahteraan semua orang, menanggapi zaman maupun situasi yang berbeda-beda.
Sementara Gereja dengan setia berpaut pada Injil, dan menunaikan perutusannya di dunia, Gereja, yang dipanggil untuk memelihara serta memupuk apapun yang serba besar, baik dan indah dalam masyarakat manusia, memantapkan perdamaian diantara manusia demi kemuliaan Allah.”
Kesimpulan:
Menurut ajaran resmi Gereja Katolik, Negara memiliki otonomi, Gereja juga memiliki otonomi. Keduanya berbeda, punya ciri khas masing-masing, saling menghormati wilayah kewenangan masing-masing, namun keduanya bisa dan seharusnya bekerja sama melayani masyarakat manusia demi kesejahteraan masyarakat manusia itu.
C.
Transcript: JFK's Speech on His Religion
On Sept. 12, 1960, presidential candidate John F. Kennedy gave a major speech to the Greater Houston Ministerial Association, a group of Protestant ministers, on the issue of his religion.
At the time, many Protestants questioned whether Kennedy's Roman Catholic faith would allow him to make important national decisions as president independent of the church. Kennedy addressed those concerns before a skeptical audience of Protestant clergy.
The following is a transcript of Kennedy's speech:
Kennedy:
Rev. Meza, Rev. Reck, I'm grateful for your generous invitation to speak my views.
While the so-called religious issue is necessarily and properly the chief topic here tonight, I want to emphasize from the outset that we have far more critical issues to face in the 1960 election: the spread of Communist influence, until it now festers 90 miles off the coast of Florida; the humiliating treatment of our president and vice president by those who no longer respect our power; the hungry children I saw in West Virginia; the old people who cannot pay their doctor bills; the families forced to give up their farms; an America with too many slums, with too few schools, and too late to the moon and outer space.
These are the real issues which should decide this campaign. And they are not religious issues — for war and hunger and ignorance and despair know no religious barriers.
But because I am a Catholic, and no Catholic has ever been elected president, the real issues in this campaign have been obscured — perhaps deliberately, in some quarters less responsible than this. So it is apparently necessary for me to state once again not what kind of church I believe in — for that should be important only to me — but what kind of America I believe in.
I believe in an America where the separation of church and state is absolute, where no Catholic prelate would tell the president (should he be Catholic) how to act, and no Protestant minister would tell his parishioners for whom to vote; where no church or church school is granted any public funds or political preference; and where no man is denied public office merely because his religion differs from the president who might appoint him or the people who might elect him.
I believe in an America that is officially neither Catholic, Protestant nor Jewish; where no public official either requests or accepts instructions on public policy from the Pope, the National Council of Churches or any other ecclesiastical source; where no religious body seeks to impose its will directly or indirectly upon the general populace or the public acts of its officials; and where religious liberty is so indivisible that an act against one church is treated as an act against all.
For while this year it may be a Catholic against whom the finger of suspicion is pointed, in other years it has been, and may someday be again, a Jew— or a Quaker or a Unitarian or a Baptist. It was Virginia's harassment of Baptist preachers, for example, that helped lead to Jefferson's statute of religious freedom. Today I may be the victim, but tomorrow it may be you — until the whole fabric of our harmonious society is ripped at a time of great national peril.
Finally, I believe in an America where religious intolerance will someday end; where all men and all churches are treated as equal; where every man has the same right to attend or not attend the church of his choice; where there is no Catholic vote, no anti-Catholic vote, no bloc voting of any kind; and where Catholics, Protestants and Jews, at both the lay and pastoral level, will refrain from those attitudes of disdain and division which have so often marred their works in the past, and promote instead the American ideal of brotherhood.
That is the kind of America in which I believe. And it represents the kind of presidency in which I believe — a great office that must neither be humbled by making it the instrument of any one religious group, nor tarnished by arbitrarily withholding its occupancy from the members of any one religious group. I believe in a president whose religious views are his own private affair, neither imposed by him upon the nation, or imposed by the nation upon him as a condition to holding that office.
I would not look with favor upon a president working to subvert the First Amendment's guarantees of religious liberty. Nor would our system of checks and balances permit him to do so. And neither do I look with favor upon those who would work to subvert Article VI of the Constitution by requiring a religious test — even by indirection — for it. If they disagree with that safeguard, they should be out openly working to repeal it.
I want a chief executive whose public acts are responsible to all groups and obligated to none; who can attend any ceremony, service or dinner his office may appropriately require of him; and whose fulfillment of his presidential oath is not limited or conditioned by any religious oath, ritual or obligation.
This is the kind of America I believe in, and this is the kind I fought for in the South Pacific, and the kind my brother died for in Europe. No one suggested then that we may have a "divided loyalty," that we did "not believe in liberty," or that we belonged to a disloyal group that threatened the "freedoms for which our forefathers died."
And in fact ,this is the kind of America for which our forefathers died, when they fled here to escape religious test oaths that denied office to members of less favored churches; when they fought for the Constitution, the Bill of Rights and the Virginia Statute of Religious Freedom; and when they fought at the shrine I visited today, the Alamo. For side by side with Bowie and Crockett died McCafferty and Bailey and Carey. But no one knows whether they were Catholic or not, for there was no religious test at the Alamo.
I ask you tonight to follow in that tradition, to judge me on the basis of my record of 14 years in Congress, on my declared stands against an ambassador to the Vatican, against unconstitutional aid to parochial schools, and against any boycott of the public schools (which I have attended myself)— instead of judging me on the basis of these pamphlets and publications we all have seen that carefully select quotations out of context from the statements of Catholic church leaders, usually in other countries, frequently in other centuries, and always omitting, of course, the statement of the American Bishops in 1948, which strongly endorsed church-state separation, and which more nearly reflects the views of almost every American Catholic.
I do not consider these other quotations binding upon my public acts. Why should you? But let me say, with respect to other countries, that I am wholly opposed to the state being used by any religious group, Catholic or Protestant, to compel, prohibit, or persecute the free exercise of any other religion. And I hope that you and I condemn with equal fervor those nations which deny their presidency to Protestants, and those which deny it to Catholics. And rather than cite the misdeeds of those who differ, I would cite the record of the Catholic Church in such nations as Ireland and France, and the independence of such statesmen as Adenauer and De Gaulle.
But let me stress again that these are my views. For contrary to common newspaper usage, I am not the Catholic candidate for president. I am the Democratic Party's candidate for president, who happens also to be a Catholic. I do not speak for my church on public matters, and the church does not speak for me.
Whatever issue may come before me as president — on birth control, divorce, censorship, gambling or any other subject — I will make my decision in accordance with these views, in accordance with what my conscience tells me to be the national interest, and without regard to outside religious pressures or dictates. And no power or threat of punishment could cause me to decide otherwise.
But if the time should ever come — and I do not concede any conflict to be even remotely possible — when my office would require me to either violate my conscience or violate the national interest, then I would resign the office; and I hope any conscientious public servant would do the same.
But I do not intend to apologize for these views to my critics of either Catholic or Protestant faith, nor do I intend to disavow either my views or my church in order to win this election.
If I should lose on the real issues, I shall return to my seat in the Senate, satisfied that I had tried my best and was fairly judged. But if this election is decided on the basis that 40 million Americans lost their chance of being president on the day they were baptized, then it is the whole nation that will be the loser — in the eyes of Catholics and non-Catholics around the world, in the eyes of history, and in the eyes of our own people.
But if, on the other hand, I should win the election, then I shall devote every effort of mind and spirit to fulfilling the oath of the presidency — practically identical, I might add, to the oath I have taken for 14 years in the Congress. For without reservation, I can "solemnly swear that I will faithfully execute the office of president of the United States, and will to the best of my ability preserve, protect, and defend the Constitution, so help me God.
Transcript courtesy of the John F. Kennedy Presidential Library and Museum.
D.
Sang Proklamator serta Pemimpin Besar Revolusi yang juga Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, tak hanya “ditinggikan” negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika. Tiga pemimpin umat Katolik yang bersinggasana di Vatikan bahkan punya kesan yang “megah” nan “mewah” terhadapnya.
Tiga kali berkunjung ke Vatikan, Soekarno bertemu tiga Paus dalam kurun waktu delapan tahun, bahkan menerima tiga medali kehormatan tertinggi pada 1956, 1959 dan 1964.
Kunjungan ketiganya terjadi pada 12 Oktober 1964, di mana Soekarno diterima Paus Paulus VI yang ditemuinya di Vatikan.
Sebelumnya, Soekarno menjadi Presiden muslim pertama yang menyambangi Vatikan pada 13 Juni 1956 dan bersua dengan Paus Pius XII. Selama pertemuan berdurasi 20 menit tersebut, Soekarno dihadiahi medali Grand Cross of the Pian Order.
Menyusul kunjungan keduanya ke Vatikan terjadi pada 14 Mei 1959. Soekarno yang mengenakan pakaian jas putih, dasi hitam dan peci hitam bertatap muka dengan Paus Yohanes XXIII. Sebelum pulang, Soekarno kembali dihadiahi medali kehormatan.
Adapun kunjungan ketiga dan kedatangan terakhirnya ke Vatikan, terjadi pada 12 Oktober 1964 untuk bersua dengan Paus Paulus VI.
Medali kehormatan ketiga kembali dikoleksi Soekarno dan bahkan, dibuatkan perangko khusus oleh Vatikan, serta cenderamata lukisan mosaik Castel san Angelo Vatican.
* Foto Paus Paulus VI bersama dengan Presiden USA, John F. Kennedy dan ibu negara, Jacqualine Kennedy yang merupakan umat Katolik sekaligus Presiden USA termuda. Ada juga medali coin antara Kennedy dan Paus John XXIII. Pertemuan Paus JP II dengan Fidel Castro (Cuba), Ratu Elizabeth, Pangeran Charles dan Lady Di (Inggris) serta Ronald Reagan dan Bill Clinton (USA). Paus Benediktus XVI dengan George W Bush. Paus Fransiskus dengan Barrack Obama dari USA dan Vladimir Putin dari Rusia serta dengan beberapa pemimpin negara lainnya.
Bung Karno sendiri pernah mendapat medali penghargaan dari tiga paus yang berbeda yakni 
Paus Pius XII, Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar