Ads 468x60px

Poros Jakarta - Vatikan. Bung Karno & Paus.


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
DIA.LO.GUE
Poros Jakarta - Vatikan.
Bung Karno & Paus.
Sang Proklamator serta Pemimpin Besar Revolusi yang juga Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, tak hanya “ditinggikan” negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika. Tiga pemimpin umat Katolik yang bersinggasana di Vatikan bahkan punya kesan yang “megah” nan “mewah” terhadapnya.
Tiga kali berkunjung ke Vatikan, Soekarno bertemu tiga Paus dalam kurun waktu delapan tahun, bahkan menerima tiga medali kehormatan tertinggi pada 1956, 1959 dan 1964.
Kunjungan ketiganya terjadi pada 12 Oktober 1964, di mana Soekarno diterima Paus Paulus VI yang ditemuinya di Vatikan.
Sebelumnya, Soekarno menjadi Presiden muslim pertama yang menyambangi Vatikan pada 13 Juni 1956 dan bersua dengan Paus Pius XII. Selama pertemuan berdurasi 20 menit tersebut, Soekarno dihadiahi medali Grand Cross of the Pian Order.
Menyusul kunjungan keduanya ke Vatikan terjadi pada 14 Mei 1959. Soekarno yang mengenakan pakaian jas putih, dasi hitam dan peci hitam bertatap muka dengan Paus Yohanes XXIII. Sebelum pulang, Soekarno kembali dihadiahi medali kehormatan.
Adapun kunjungan ketiga dan kedatangan terakhirnya ke Vatikan, terjadi pada 12 Oktober 1964 untuk bersua dengan Paus Paulus VI.
Medali kehormatan ketiga kembali dikoleksi Soekarno dan bahkan, dibuatkan perangko khusus oleh Vatikan, serta cenderamata lukisan mosaik Castel san Angelo Vatican.
Ya, sebagai Presiden pertama RI, Soekarno tidak hanya mengoleksi berbagai julukan. Mulai dari sang proklamator, putra sang fajar, pemimpin besar revolusi, hingga penyambung lidah rakyat. Tapi di sisi lain, Soekarno mengoleksi tiga medali yang tak terkira nilainya ketika mengadakan kunjungan ke Vatikan dan bertemu tiga Paus yang berbeda.
Mungkin Soekarno adalah satu-satunya Presiden muslim dari negara dengan mayoritas umat Islam terbesar dunia yang memiliki "prestasi" demikian. Hal ini bisa terjadi karena ketiga Paus tersebut melihat Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut Islam, tetap menghormati dan menerima warganya sendiri yang beragama lain.
Konon, menurut cerita Bung Karno, Presiden Irlandia pun "mengeluh" bahwa dia hanya memperoleh satu. Ya, tiga medali kehormatan Vatikan tersebut membuat "iri" salah satu koleganya, Presiden Irlandia, Eamon de Valera, dimana penduduk di negaranya 90 persen memeluk agama Katolik: "Saya saja hanya punya satu penghargaan dari Vatikan. Saya iri dengan Anda", keluh De Valera kala bersua dengan Soekarno.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
Medio Mei 1959.....
Cuaca cukup menyengat untuk ukuran kota Vatikan yang mungil. Pada suatu pagi di Kamis Wage, 14 Mei 1959, 6 Dulkangidah 1890 Tahun JIMAKIR Windu SANGARA, 6 Zulkaidah 1378H, Neptu= 12, Wuku = MADANGKUNGAN, Pangarasan = Aras Kembang, Pancasuda = Tunggak Semi, Dina = Dina Kebo, Lintang 12 = Lintang Kut (Kuda), Pranotomongso = SODHO , Vatikan kedatangan seorang tamu jauh.
Dia datang disambut dengan upacara megah oleh para prajurit berseragam kebesaran ala Eropa abad pertengahan. Bahkan beberapa prajurit senior berpakaian besi seperti serdadu Romawi, karena ini menyambut sebuah kunjungan resmi seorang presiden negara besar ke negara terkecil di dunia.
Bagai seorang pangeran dari “somewhere from the East” dengan gaya berpakaian khas bertopi hitam yang menjadi cirinya di kepala. Dia datang dengan rombongan besar. Mereka tiba dengan 9 mobil yang mengantar mereka untuk beraudiensi dengan Paus Johannes XXIII, pemimpin spiritual umat Katolik sejagat yang bertubuh tambun.
Tepat pukul 7.50, sang tamu dengan berpakaian jas lengkap putih-putih, datang sambil mengempit tongkat kesayangannya di lengan atas tangan kiri.
Di lehernya, tergantung medali ukiran beruntai kuning emas. Dia tampak seperti sudah biasa datang di Ruang Clementine atau Clement VIII Pax V, sebuah ruangan kecil dalam kompleks negara seluas lapangan golf itu, tempat pemimpin Gereja Katolik menerima tamu-tamu resminya. Ini kunjungannya kedua ke tempat pusat rohani umat Katolik sebumi setelah tiga tahun.
Tamu itu seorang pemimpin negara berpenduduk umat Islam terbesar sejagat, sowan ke pemimpin umat Katolik juga sejagat. Presiden Soekarno bertamu kepada Paus Johannes XXIII. Sang pemimpin umat Katolik yang bernama Kardinal Angelo Giuseppe Roncalli itu, agak senang mendapat tamu jauh dari sebuah negeri muslim, meski ia belum setahun menduduki tahta suci di Vatikan.
Ia memberi penghargaan tinggi kepada tamunya dan juga anggota rombongannya, berupa kotak kecil yang diterima secara bergiliran satu per satu.
Mengapa Soekarno sering berkunjung ke pusat agama Katolik sedunia itu? Sering? Ya, untuk ukuran dan skala seorang Soekarno, bertandang ke Vatikan dan menemui paus, bisa dibilang sering.
Pertemuannya dengan Johannes XXIII adalah yang kedua baginya menemui seorang paus. Sebelumnya pada Rabu 13 Juni 1956, dalam rangka tur keliling dunianya, dia pertama kalinya menginjakkan kaki di Vatikan dan menemui Paus Pius XII, yang juga bangga didatangi seorang pemimpin sebuah negeri muslim dari jauh berantah. Sang tamupun mendapat pujian dan kehormatan atas kedatangannya itu.
Hanya 10 tahun baru memimpin bangsa baru, Soekarno ingin menunjukkan bahwa takdirnya memimpin bangsa sangat majemuk ia jalankan dengan baik.
Dia bukan bagai seorang raja atau pangeran yang memimpin negeri homogen dalam budaya dan agama, seperti raja, sultan atau emir di Timur Tengah atau Semenanjung Melayu. Ia ingin berdiri di semua pihak, golongan, agama, budaya dan kepentingan.
“Kami menyambut dengan hangat kedatangan Yang Mulia, dengan mengingatkan kembali kedatangan Yang Mulia menemui pendahulu kami, Paus Pius XII dan Paus Johannes XXIII”, sambutan Paus Paulus VI ketika menerima kedatangan ketiga kalinya Presiden Soekarno ke Vatikan (dan juga menjadi yang terakhir), pada Senin, 12 Oktober 1964.
Soekarno dipuji amat sangat oleh Vatikan, karena memberi sikap yang baik dan bersahabat dengan umat Katolik di Indonesia, seperti yang dikatakan Paus Paulus VI ketika menyambutnya. Setiap dia datang ke Vatikan, dia selalu diberi penghargaan oleh paus.
Prestasi ini tak pernah terjadi kepada pemimpin dari negeri muslim manapun di dunia. Ini yang selalu membanggakan seorang tokoh budayawan, sastrawan, rohaniwan Katolik yang juga arsitek markas ABRI di Cilangkap, Romo Mangunwijaya Pr. Ia selalu memuja penghargaan Soekarno sebagai pemimpin negeri muslim dari Vatikan, sebagai hal pertama dalam 2000 tahun sejarah Gereja Roma Katolik.
“Aku orang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan”, katanya dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams. Perhargaan ini membuat iri Presiden Irlandia Eamon de Valera, yang negerinya punya hampir 90 % umat Katolik. “Saya saja punya satu penghargaan”, katanya saat berjumpa dengan Soekarno.
API BUKAN ABU
Bagi Soekarno, umat Katolik dan kristiani umumnya, bukan hal yang asing baginya. Jauh sebelum dia menjadi pemimpin, persinggungan dengan orang-orang Katolik sudah terjadi. Ketika dipenjara di Sukamiskin, Bandung, dia banyak membaca tulisan-tulisan Romo van Lith, seorang tokoh Katolik yang meletakkan dasar ajaran Katolik di tanah Jawa. Van Lith punya dua murid kesayangan di Sekolah Muntilan, yang juga menjadi lebih dari sahabat bagi Soekarno, yaitu Mgr. Soegijapranata dan IJ. Kasimo. Ada juga murid van Lith lainnya seperti Frans Seda, Yos Soedarso dan Cornell Simanjuntak.
Ketika dia dibuang ke Ende di Flores, Soekarno banyak memuji cara kerja dan sistem manajemen orang-orang Katolik di pulau itu, yang memang menjadi mayoritas.
Ia kadang mengkritik keras cara berpikir orang-orang Islam masa itu, yang terlalu mengurusi asesoris daripada esensi ajaran Islam, yang makin menjauhkan umat Islam dari modernitas. “Ambil apinya dari Islam, bukan abunya”, katanya mengkritik. Soekarno saat itu menggagumi buku ‘Spirit of Islam’ karya Syed Amir dari London, yang isinya ingin membangunkan umat Islam dari tidur panjang.
Pada jaman kemerdekaan, keluarga Soekarno ternyata bersahabat baik dengan Albertus Soegijapranata, salah satu murid van Lith, tokoh yang dikaguminya.
Sewaktu Belanda menyerang ibukota negara di Jogjakarta, 18 Desember 1948, istrinya disembunyikan oleh Albertus Soegijapranata di rumahnya di tepi barat Kali Code, dari kejaran militer Belanda. Sedangkan Soekarno diibuang ke Prapat, Sumatera Utara. Saat ketakutan itu, istrinya punya anak balita dan bayi yang belum setahun, yakni Megawati Soekarno Putri.
Ketika Albertus Soegijapranata wafat, Soekarno menjadikannya pahlawan nasional dan mengirim pesawat khusus untuk menjemput jenazahnya di Belanda. Setelah itu, istrinya Fatmawati meratapi kepergian Uskup pribumi pertama di Indonesia itu dengan tangisan tiada henti.
HAMPA 28 TAHUN
Intensitas kunjungan Soekarno ke Vatikan sangat unik. Jarang ada seorang pemimpin dunia, apalagi dari negeri Islam, menemui tiga paus yang berbeda dalam kurun singkat, 8 tahun!
Namun itu tidak diimbangi dengan kedatangan paus ke negerinya selama ia menjadi presiden. Ini sangat wajar, karena belum menjadi trend seorang paus pergi berkeliling dunia pada masa itu, seperti yang ditunjukkan oleh Paus Johannes Paulus II.
Setelah dia tak berkuasa, baru pada 3 Desember 1970, Indonesia dikunjungi seorang paus pertama kalinya.
Kedatangan Paus Paulus VI yang menjadi tamu Presiden Soeharto adalah untuk membalas kunjungan berkali-kali Soekarno ke Vatikan.
Dan sejak itu, ada semacam tradisi setiap presiden Indonesia ‘harus’ beraudiensi dengan paus. Selama berkuasa 32 tahun, Soeharto pergi ke Vatikan bersama istrinya pada Sabtu 25 November 1972 menemui Paus Paulus VI.
Soeharto bisa jadi enggan datang mampir bertemu Paus Johannes Paulus II ketika ada di Roma pada November 1985 untuk menerima penghargaan FAO karena prestasinya dalam ketahanan pangan padahal menjadi kebiasaan, bila seorang kepala negara datang ke Roma, pasti menyempatkan ke Vatikan yang letaknya di dalam biota Italia.
Masalah gereja Katolik di Timor Timur yang langsung di bawah kendali Vatikan, menjadi isu kurang menarik baginya bila didiskusikan dengan paus. Ia menginginkan umat Katolik di Timor Timur langsung dibawah kendali Jakarta, tapi hal itu ditolak hingga provinsi kesayangan tersebut lepas menjadi negara merdeka.
Namun beruntung Paus Johannes Paulus II tidak mencium bumi Timor Timur, ketika dia datang ke Indonesia pada 9 Oktober 1989, ketika menjadi tamu Soeharto. Kalau itu terjadi, sama saja mengakui propinsi itu sebagai negara terpisah dari Jakarta.
Sejak 1972, hampir 28 tahun lamanya, tidak ada seorang presiden Indonesia pun yang datang Vatikan. Barulah kebekuan itu mencair, ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menemui Paus Johannes Paulus II pada Sabtu 5 Februari 2000, yang kondisinya sudah agak sakit-sakitan.
Pada pertemuan bersejarah itu, ada kejadian janggal. Biasanya seorang wanita yang bertemu paus ‘wajib’ mengenakan gaun hitam. Namun Ibu Shinta Wahid memakai gaun putih cerah.
Kedatangan Wahid diikuti oleh penggantinya, Presiden Megawati Soekarnoputri menemui tuan rumah yang sama pada Senin 10 Juni 2002. Inilah terakhir kali seorang presiden Indonesia datang ke Vatikan. “God Bless Indonesia”, kata paus kepada Megawati sebelum pamit.
DISAYANG GEREJA DICINTAI MUSLIM
Meski Soekarno sangat disayangi oleh Vatikan, tidak menjauhi dia dari dunia Islam. Justru sebaliknya, dia dianggap pahlawan Islam oleh komunitas muslim dunia.
Organisasi internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika menjulukinya sebagai Amirulmukminin (pemimpin umat Islam). Anehnya, julukan itu bukan untuk raja-raja Islam di Timur Tengah yang sangat kental dengan keislamannya.
Dia hanya ingin menunjukkan sebuah contoh kepada dunia, bahwa Indonesia adalah landskap indah sebuah negara majemuk, yang menjadi tempat damai bagi semua golongan apapun.
Para penggantinya, berusaha sebaik mungkin menunjukkan kepada dunia upaya seperti itu, meski tidak sesempurna dia. Tetapi citra Indonesia sebagai negara yang damai bagi semua golongan terawat rapi selama pemerintahan Soeharto, yang selalu memakai Pancasila untuk melegalkan segala tindakannya demi menjaga kerukunan hidup beragama.
Kehebatannya itu pernah dipuji oleh Paus Johannes Paulus II di depan Soeharto. “Falsafah Pancasila telah menjadi nakhoda bagi negeri ini untuk mengakui bahwa hanya satu landasan utama bagi persatuan nasional yang menghormati perbedaan apapun yang ada pada masyarakat majemuk Indonesia”.
Soeharto merawat kerukunan hidup beragama itu dengan cara mencampur pemerintahan bergaya Jawa yang sulit ditebak dan otot kekerasan militer. Resep terakhir diperuntukkan bagi pihak yang “coba-coba” merusak SARA (suku, agama, ras dan antara golongan) di negeri ini.
Saya agak geram, mengapa Saudi Arabia menjadi sponsor konferensi dialog Islam dan barat pada akhir 2007? Padahal negeri itu sangat tidak ramah bagi pemeluk non-Islam dan hak wanita serta minoritas. Mungkin saja karena Raja Abdullah yang menjadi sponsor utama dialog itu, punya ‘minyak pelet’ pada dunia barat, yaitu cadangan minyaknya. Sedangkan Indonesia, tak ada yang bisa dibanggakan untuk itu. Seharusnya, peran itu dijalankan oleh Indonesia. Kita pernah punya pemimpin yang bisa membuktikan peran tersebut.
Memang agak aneh, setelah Soeharto turun dari kekuasaan, kerukunan beragama sedikit terganggu yang dipicu oleh pihak tertentu.
Mulailah subur tumbuh pertikaian horisontal antara masyarakat beragama yang menodai wajah Indonesia di mata dunia.
Sebagian umat beragama minoritas mengalami kesulitan dalam banyak hal dalam menjalankan ibadah mereka. Mengapa ini bisa terjadi? Dan mengapa pada saat Indonesia hidup dalam tirani, kerukunan justru terjaga meski terkesan seperti “menyimpan abu dibalik karpet”? Ada yang salah dengan demokrasi? Atau demo crazy? Kebebasan atau kebablasan?
B.
Kolom ini "merekam" KTT Segitiga Republik Indonesia, Republik Rakyat Tiongkok dan Tahta Suci Vatikan yang berlangsung bertepatan dengan Hari Raya Imlek 1 Cia Gwe 1567 atau 8 Februari Masehi.
Tiga tokoh raksasa: Bung Karno (1901-1970), Deng Xiaoping (1904-1997) dan Paus Paulus VI lahir 26 Sep 1897 (terpilih Paus 1963 - wafat 6 Agustus 1978) meninjau kelenteng Sam Po Kong dan dua gedung berarsitek Tionghoa yang pernah menjadi rumah tinggal Kapten Tionghoa di Semarang.
Yang satu sudah tinggal sisa Gedong Gula dan yang kedua masih terawat menjadi biara susteran Kebon Dalem serta meninjau juga bekas kediaman Oei Tiong Ham di Gergaji yang terkenal sebagai konglomerat pertama Asia Tenggara dengan 8 istri dan 26 anak (13 wanita dan 13 pria) di bawah satu atap.
Berikut ini rekaman otentik diskusi tiga tokoh raksasa dunia itu memantau perkembangan mutakhir dramatis setelah Paus Fransiskus memberi selamat Tahun Baru Imlek kepada Presiden Xi Jinping dan menerobos kebekuan diplomatik khas Tiongkok-Vatikan.
Paus Jesuit asal Argentina itu juga menganjurkan dunia agar tidak mencurigai kebangkitan ekonomi politik Naga Tiongkok sebagai ancaman perdamaian dunia. Ungkapan itu disampaikan Paus melalui wawancara khusus dengan kolumnis Asia Times, Fransico Sisci pada 28 Januari 2016.
Bung Karno membuka KTT segitiga dengan Sri Paus dan Deng Xiaoping di situs bangunan Gedong Gula yang terakhir dibeli dan dihuni oleh mertua saya almarhum Sie Ing Som (1911-1958) tempat pencetakan dan gudang buku "Wawancara Imajiner dengan Bung Karno" Edisi 1977 yang dibredel oleh Soeharto pada 1978.
BK:
Selamat Hari Raya Imlek kepada seluruh bangsa Han di Tiongkok dan di mana saja berada. Xin Nian Kuay Lo Tahun Monyet Api 2567. Selamat kepada Bapa Suci Paulus VI dan kamerad Deng atas ucapan selamat Seri Paus Fransiskus kepada 1,3,milyar rakyat Tiongkok.
Saya mewakili peradaban Nusantara Indonesia yang pluralis ingin mengimbau saudara-saudara Muslim saya di Timur Tengah untuk memanfaatkan momentum pemulihan poros Vatikan - Beijing, dan Jakarta bersedia memfasilitasi Trialog Segitiga Peradaban Barat, Muslim dan Confucius.
Agar peringatan Dominique Moisi dalam buku "The Geopolitics of Emotion", dapat kita kelola secara bijaksana dengan menghentikan pertikaian "The Clash of Civilization" ala Huntington antara 3 peradaban yang semakin mengeras sejak WTC 11 September 2011 dan kini ditandai dengan gelombang pengungsi Timur Tengah ke Eropa yang semakin memperpanas konflik antar peradaban.
Kepada Paduka Sri Paus Paulus VI, saya sampaikan selamat atas terobosan generasi penerus anda menciptakan perdamaian dunia meskipun dulu Pater Beek merupakan operator Opsus Ali Murtopo yang sangat aktif menggulingkan saya karena prinsip Hijau Militer terkesan lebih toleran kepada gereja daripada Hijau Darul Islam.
Paus Paulus VI:
Terima Kasih the Great Bung Karno, anda satu satunya Presiden RI yang bertemu kami, 3 paus, 13 Juni 1956 dengan Paus Pius XII (1939-1958), 14 Mei 1959 dengan Paus Yohanes XXIII (1958-1963) dan 12 Oktober 1964 dengan saya sehingga anda adalah satu satunya presiden beragama Islam tapi menerima 3 medali penghargaan Paus, lebih dari Presidan Eamon de Valera dari Irlandia yang sangat Katolik.
Vatikan membuat perangko khusus untuk anda dan saya juga menerima pengganti Anda, Presiden Soeharto pada 25 November 1972 sebagai kunjungan balasan atas lawatan saya ke Indonesia pada 3-4 Desember 1970.
Dia (Presiden Soeharto) juga menerima Paus Yohanes Paulus II pada 9-13 Oktober 1989. Presiden Habibie tidak sempat bertemu Paus tapi menerima Uskup Dilli, Mgr Bello di Bina Graha 24 Juni 1998. Presiden Gus Dur bertemu Sri Paus Johanes Paulus II (1978-2005) pada 5 April 2000 dan Presiden Megawati pada 10 Juni 2002.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalami tiga periode kepausan, yaitu Yohanes Paulus II, Benediktus XVI (2005-2013) dan Fransiskus, tapi tidak hadir ketika dunia berkabung di Vatikan, 8 April 2005, pada upacara pemakaman Paus Yohanes Paulus II. Semoga saja, Presiden Jokowi akan bisa berkunjung ke Vatikan mendahului lawatan Paus Fransiskus ke Indonesia nantinya.
Atas nama Vatikan saya meminta maaf atas kebijakan yang diambil Pater Beek 12/3/1917 - 17/9/1983) zaman Opsus yang sudah disesali oleh Pater Beek sendiri dengan buku (resensi Kompas 29/8/2008) yang menguraikan pertobatannya atas praktik-praktik pelanggaran HAM yang dilakukan rezim dwifungsi ABRI waktu itu. Gereja Katolik tidak bisa lepas dari kealpaan oknum manusiawi.
Terobosan Paus Fransiskus mengulurkan tangan perdamaian kepada Presiden Xi Jinping harus dilihat dalam rangka rekonsiliasi antara gereja Katolik dengan kelompok “Atheis dan Non Katolik” dalam era Teologi Infinite.
Nol yang Bung Karno paparkan dalam seri "WIBK" pada 25 Januari 2016 mengimbangi lompatan quantum manusia dalam "Teknologi 4.0" (Revolusi Industri 4.0).
Kamerad Deng Xiaoping tentunya tidak peduli kapitalis atau sosialis, yang penting produktif. Ulama harus melepaskan diri dari kungkungan dogma pra revolusi industri yang primitive seperti era Ptolomeus. Bagaimana manusia mengelola kompetisi antar peradaban menjadi persaingan sehat, damai dan meritokratis dan bukan kebencian atau dendam kesumat ala Kain yang membunuh Habil. Agar bisa menerima anugerah luar biasa imortalitas, kemajuan rekayasa biogenetika manusia yang bisa yang mampu mengalami self rejuvenation.
Deng Xiaoping:
Terima kasih Bapa Suci Sri Paus dan the Great Bung Karno atas ucapan selamat Tahun Baru Imlek. Orang Tionghoa sudah sejak zaman Lao Tse di era Pencerahan ("The Great Transformation" buku karya Karen Armstrong) mengakui dan menyembah Tuhan.
Kami bukan ateis yang tidak mengakui adanya supranatural power yang beyond human, yang powerful dan omnipoten, kami percaya itu. Karena itu kami berani meninggalkan Marxisme yang mencoba melawan kodrat, hukum alam, pasar yang terbukti tidak bisa digantikan oleh komando kolektivisme yang dialami Tiongkok dengan penguasaan oleh negara yang bisa membuat bom atom tapi gagal menyediakan bahan pangan ke pasar Tiongkok.
Komunisme berhasil mengorbitkan Sputnik dan Gagarin keluar angkasa tapi gagal mendeliver sembako ke pasar di Uni Soviet dan blok komunis Eropa Timur. Bangsa Han ini sangat lemah lembut, buktinya kami ini dua kali sebagai suku mayoritas Tiongkok malah dijajah oleh suku minoritas Mongol (dinasti Yuan 1271-1368) dan Mancu (dinasti Qing (1644-1911).
Jadi Paduka Sri Paus, terimalah jaminan saya bahwa apa yang dicanangkan oleh Sri Paus Fransiskus bahwa Tiongkok cinta damai dan tidak mau perang, mau berdagang saja telah dibuktikan sejak zaman Zheng He.
Bung Chris ini pernah menulis kolom 28 Juni 2005 dari Washington DC berjudul "Seandainya Dulu ada Zheng He Kongsi", di mana Zheng He melakukan praktik seperti VOC, maka sejarah dunia pasti akan lain. Laksamana Sudomo mengapresiasi analisis geopolitik historis yang relevan itu.
Sekarang ini, Tiongkok mendukung visi "Poros Maritim Indonesia" yang compatible dengan "One Belt One Road" (OBOR) Tiongkok. Kita akan mengaktifkan jalur sutra darat maupun maritime dari zaman Zheng He - Marco Polo untuk pembangunan dan kesejahteraan yang semakin merata bagi seluruh dunia. Terutama continental Asia termasuk Timur Tengah yang dilanda perang saudara keturunan Abraham yang memang memerlukan rekonsiliasi tuntas Israel - Arab, di mana Anda sebagai pemimpin negara mayoritas Muslim terbesar layak menjadi “commander in chief” dari peradaban Islam dunia yang moderat, modern, multikultur dan menghargai meritokratis segera menghentikan pertikaian anak cucu Abraham secara damai dengan semangat rekonsiliasi yang diulurkan Bapa Suci dari Tahta Vatikan.
Bung Karno:
Saya sudah lobby Shah Iran, Gamal Abdul Nasser dan Raja Hussein dari Yordania, mereka semua sepakat bahwa residu kebencian masa lalu yang dilestarikan secara munafik oleh politisi dan diktator gagal Timur Tengah tidak bisa dipertahankan terus menurus.
Dunia Arab Timur Tengah harus mengalami glasnost, perestroika dan modernisasi seperti Gorbachev dan Deng Xiao Ping dengan mengubur diktator proletariat yang gagal total mendeliver kemakmuran masyarakat.
Pembatasan masa jabatan sudah mulai terstruktur di Iran, dan jika Iran sukses berdemokrasi seperti Indonesia maka Arab Saudi akan sulit mempertahankan monarki absolut, demikian juga Mesir harus mendemokratiskan diri dan tidak terkungkung dalam rezim dwifungsi militer.
Era diktator militer maupun diktator “teologis” sudah tidak relevan lagi. Karena itu jangan coba coba menjual teori zaman Opsus, Hijau Militer lebih demokratis dari Hijau Darul Islam dan juga sebaliknya Hijau ISIS jangan sampai menguasai dunia dan berdampak bagi nation state yang masih rawan dikuasai oleh oknum model Osama bin Laden dan derivativenya yang merupakan pengikut setia ajaran "The Clash of Civilizations". Sebetulnya Huntingon bukan berteori, tapi pelaksana fanatik dari teori itu adalah Osama bin Laden, Taliban, Al Qaeda dan ISIS dengan segala anak buah dan sel sel tidurnya.
Saya punya pengalaman yang tidak boleh dilupakan. Indonesia solider dengan Arab dan Palestina. Karena itu waktu penyelenggaraan Asian Games IV 1962 di Jakarta, Indonesia tidak mengundang Israel dan Taiwan.
Gara-gara itu, Asian Games Federation dan International Olympic Committee men-skors Indonesia dengan tidak boleh ikut Olimpiade Tokyo 1964. Tapi negara negara Arab justru tetap lenggang kangkung ikut bermain di Tokyo. RI diskors dan bersama Korea Utara tidak ikut Olimpiade Tokyo.
Saya berpesan kepada Presiden Jokowi agar memanfaatkan momentum uluran tangan Paus Fransiskus ke Xi Jinping ini untuk mengukuhkan Poros "Jakarta - Vatikan - Beijing" sebagai salah satu nodul aksi geo-politik Indonesia untuk mendamaikan Israel-Palestina, untuk menghentikan permusuhan di Timur Tengah dengan demikian otomatis menyelesaikan residu dan dampak samping perang teror dan akar masalah ISIS secara tuntas.
Bagaimana tiga peradaban utama dunia "Barat, Islam dan Confucius" bisa menyelesaikan dendam kesumat tujuh turunan anak cucu Abraham secara damai - tuntas dan menciptakan kerukunan dan kompetisi manusia secara sehat jujur dan adil bukan atas dasar keserakahan dan kebencian timbal balik turun temurun. Bagaimana golden rule benar benar menjadi perilaku manusia yang akan segera menguasai teknologi rekayasa genetika imortalitas.
Deng Xiaoping:
Siap Bung Besar, saya akan segera telepati dengan Presiden Xi Jinping agar menjewer kalau ada aparat Tiongkok yang bertingkah laku tidak sesuai dengan pernyataan Sri Paus Fransiskus bahwa Tiongkok bangkit tidak perlu dicurigai dan dicemburui, Tiongkok bangkit bersama dunia, oleh dunia dan dari dunia yang maju yang menghargai meriotkrasi atas dasar kriteria obyektif. Tidak ada privilege rasisme ataupun dominasi klaim agama tertentu yang malah mendegradasikan kebesaran Thian yang lebih besar dari Tuhan yang dikungkung kesempitan ritual agama partisan.
Tiongkok akan bergembira jika Indonesia bisa menjadi kapten kesebelasan ASEAN yang tangguh sehingga benar - benar Naga Tiongkok dan Garuda Indonesia, Garuda Amerika Serikat dan nation state lain seperti India, Rusia, Brazil, Jepang dari konsorsium G20 berkinerja sesuai harkat martabat dan kualitas masing masing secara produktif kreatif.
Paus Paulus VI:
Ora et Labora. Berdoalah dan bekerjalah. Berimanlah dan berbuatlah! Satunya kata dan perbuatan. Kata kunci adalah jangan munafik dan hormati meritokrasi untuk segala bangsa, ras, etnis, agama, kelas. Kalau anda memang hebat ya anda layak menang dan dihormati.
Kalau anda kurang mampu ya harus rela dipimpin yang lebih mampu. Tidak perlu ada iri hati kebencian dan kedengkian yang melahirkan mental Kain cemburu benci dan membunuh Habil, adiknya sendiri. Ini adalah golder rule yang sudah lama cuma dihafalkan dan dipidatokan.
Nah sekarang, mudah-mudahan pesan Tahun baru Imlek alias Sincia dari Paus Fransiskus kepada Xi Jinping dan Trialogue imajiner kita bertiga yang mewakili 3 peradaban dunia ini bisa diresapi oleh seluruh elite yang bertanggung jawab merumuskan kebijakan nation state yang berdampak pada percaturan geo-politik era ISIS keblinger ini.
BK:
Kita akan melakukan lobby-lobby untuk mewujudkan cita-cita dan visi misi perdamaian dunia dan pembangunan kesejahteraan manusia yang melampaui sejarah konflik masa lalu yang tidak manusiawi.
WHO sudah menentukan kriteria usia manusia yang akan menembus 100 tahun dan dalam perkembangan satu generasi bisa terjadi kemungkinan imortalitas manusia.
Semua itu tidak akan ada gunanya kalau masih ada oknum manusia primitive yang mau jadi pembunuh sesame manusia. Padahal teknologi sudah memungkinkan manusia untuk jadi immortal.
Ini perlu Revolusi Mental luar biasa pada dataran global, fundamental dan bukan sekedar revolusi mental ala yang sekarang menjadi program salah satu Menko di NKRI. Dunia membutuhkan revolusi mental yang menegakkan kembali Golden Rule, menghargai dan menghormati Meritokrasi serta penghentian permusuhan kebencian warisan Kain Habil.
Selama 3 dimensi pertobatan ini tidak dilaksanakan maka betapapun hebatnya kemajuan pembangunan akan terganggu oleh terror oleh manusia primitif yang tidak bertanggung jawab dan menghujat Tuhan yang dicatut dan diklaim namanya oleh teroris bersangkutan.
Saya percaya Tuhan tidak akan membiarkan diri-Nya dibajak oleh teroris primitif. Tuhan agama apapun lebih besar dari teroris mental primitive. Bangsa apapun yang meskipun berteknologi dan berpendidikan universiter, sebetulnya masih primitif teologinya sehingga tidak cocok menjadi manusia modern pasca teologi primitive, tidak akan direstui oleh Tuhan Infinite.
Hanya yang berkenan dihadirat-Nya akan diizinkan memimpin dunia dari pembajakan ala genosida, anti semitisme, yang mungkin untuk sementara masih dibiarkan di Timur Tengah.
Semoga Timur Tengah bertobat dari dendam kesumat Kain - Habil dan Israel - Palestina berhenti berperang saudara karena bisa menghancurkan seluruh umat manusia
(wawancara imajiner wartawan senior Christianto Wibisono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar