Ads 468x60px

Audiatur et altera pars - Dengarlah semua sisi


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
“Audiatur et altera pars - Dengarlah semua sisi”.
Ini adalah sebuah ungkapan yuridis yang konteksktual karena kita kadang mudah menghakimi dan mengadili yang lain, tanpa pernah mencoba memahami konteksnya yang lain secara utuh, penuh dan menyeluruh. Kita mudah asyik “berbicara tentang dia”, tapi belum atau bahkan tidak pernah “berbicara dengan dia”.
Fenomen sosio-psikologis ini bisa terjadi di masyarakat tapi juga sangat bisa terjadi di lingkungan gereja kita sendiri.
Mungkinkah ini wajah sebuah hidup “farisi” jaman sekarang ketika kita sibuk memperbincangkan belaskasihan tapi sebenarnya tak pernah punya rasa belaskasihan? Kasih yang hanya pada kata-kata tapi tidak menjadi “daging” karena apa yang dikatakan tidak sekaligus dinyatakan.
Kata Farisi sendiri berasal dari bahasa Ibrani פרושים p'rushim, dari perush, yang berarti penjelasan. Jadi kata Farisi berarti "orang yang menjelaskan" (לפרש, "lefareish").
Dari literatur rabinik, mereka adalah perkembangan dari kelompok Hasidim, yang menganggap diri sebagai orang beragama yang saleh dan terpisah dari orang biasa serta tergambarkan sebagai pengamat dan penegak hukum Taurat yang sangat teliti. Mereka mudah memandang hukum sebagai sesuatu yang statis dan mereka seolah merasa berhak menjadi “hakim” untuk sesamanya yang lain.
Dalam bahasa Paulo Coelho, “sang Alchemist”: mereka kerap menghakimi dosa orang meski mungkin banyak diantara mereka yang berbuat dosa yang serupa bahkan lebih, mereka kadang mengancam orang dengan api neraka atas pelbagai kesalahan yang sebetulnya juga kerap mereka lakukan.
Nah, di tengah maraknya kebiasaan bergunjing dan menjadi hakim” atas yang lain karena lebih mudah “menjelaskan” daripada “melaksanakan”, lebih mudah “besar mulut” dibanding “lebar telinga”, Yesus mengajak kita kembali menjadi orang yang berhati tulus, yang tidak penuh akal bulus tapi sungguh mau berhati nurani.
Adapun tiga jalannya, al:
1.Via positiva:
Kata-kata dapat membantu ketika penuh pujian tapi dapat pula membatu ketika penuh makian dan gosipan.
De iure, kata kata dalam hukum bisa berarti “Hadir Untuk Keselamatan Umat Manusia”, sehingga wajarlah Hukum Gereja berkata “Salus animarum suprema lex – Hukum yang tertinggi adalah keselamatan jiwa jiwa. Inilah sebuah dasar yang bukan hanya dikatakan tapi harus dinyatakan termasuk juga oleh “para ahli hukum” untuk melihat segalanya secara positif.
De facto, semua perkataan kita kadang seperti orang farisi yang mudah kritis pada orang lain tapi lupa kritis pada diri sendiri, karena kita mudah juga memberi cap buruk kepada “yang lain”, dan itu biasanya “semper accusat – selalu menuduh.
Yang pasti, bukankah orang miskin kekurangan banyak , tetapi orang yang mudah berpikir buruk akan kekurangan segala-galanya?
2.Via purgativa:
”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.” Inilah teguran Yesus kepada orang Farisi yang mudah menghakimi sesamanya dengan dalih hukum Taurat.
Seperti orang Farisi yang punya banyak dalih dan kepentingan, kita kadang juga punya banyak kepentingan terselubung, semacam “hidden agenda” agar orang lain salah dan kita benar/dibenarkan.
Disinilah kita perlu jujur memurnikan (purgativa) niat dan tindakan kita, karena kadang hati kita bukan melulu punya “intentio pura” (maksud yang murni) tapi “intentio pura-pura” (maksud yang palsu).
3.Via misericordia:
"Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan". Persembahan kepada Tuhan dan derma kepada sesama tentu saja baik tapi hal itu tidak bermakna sama sekali jika tidak dilakukan atas dasar belas kasih (misericordia).
Bukankah iman adalah tindakan, ya tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia, menjadi lebih punya hati nurani dan bukan basa basi yang sibuk menghakimi.
Dkl: Orang yang sungguh-sungguh hidup adalah seseorang yang sudah mengalami banyak "kematian", minimal kematian dari cinta diri dan kesombongan yang berlebihan.
Singkatnya:
Ketika kita menghayati hukum Allah dalam hati kita, kita harus tahu cara bertindak dengan penuh kasih dan belarasa pula. Dalam kasus ini, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai penafsir hukum yang penuh wibawa dan ia melakukan itu dalam perspektif (membela) kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa belas kasih lebih utama dari sekadar ritualisme belaka.
Inilah sebuah "core value", nilai dasar kristiani yang sebenarnya harus dilandasi oleh citarasa yang ber-belaskasihan, "misericordia". Ia melihat esensi/isi-bukan dekorasi/kemasannya, bukan besarnya persembahan tapi kerelaan hati.
Bisa jadi, itu sebabnya Gereja Katolik tidak lagi mewajibkan umatnya untuk memberi 10% penghasilan bulanannya seperti praksis umat Perjanjian Lama (Kej 14:17-24; Ul 14:22-23; Neh 10:37-38; Im 27:32-33) karena "Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7).
Ia mengajak kita menjadi orang yang memberi dengan hati riang dan ringan, tidak mengharapkan balas jasa tapi dilandasi oleh rasa syukur karena didasari cinta pada yang ilahi, sehingga kita tulus dan tidak munafik karena: "celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang Farisi karena yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan (Mat 23:23).
Jelaslah bahwa semangat dasar yang ditekankan bukanlah kewajiban berdasar hukum/aturan/"legalitas" tapi lebih pada semangat kasih/"karitas" kepada Allah. Tidak ada artinya sebuah persembahan, jika tidak didasari oleh nada dasar C "cinta kasih", yang merupakan hukum utama dan pertama (Mat 22:37-40).
“Siti Hajar naik delman - Mari belajar memiliki semangat kerahiman”
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

NB:
1.
"Donato ergo sum - Aku berbagi maka aku ada."
Inilah sebuah "core value", nilai dasar kristiani yang sebenarnya harus dilandasi oleh citarasa yang ber-belaskasihan, "misericordia": "Yang kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan."
Jelasnya, Ia melihat esensi/isi-bukan dekorasi/kemasannya, bukan besarnya persembahan tapi kerelaan hati. Bisa jadi, itu sebabnya Gereja Katolik tidak lagi mewajibkan umatnya untuk memberi 10% penghasilan bulanannya seperti praksis umat Perjanjian Lama (Kej 14:17-24; Ul 14:22-23; Neh 10:37-38; Im 27:32-33).
Dari fenomen ini, diharapkan ada 3 semangat yang penuh “harapan – iman – kasih”, antara lain:
A.Sukarela:
"Hendaknya masing-masing memberi menurut kerelaan hatinya." Inilah pesan iman supaya kita ikut "membangun" Gereja, tidak dengan "sukar-rela tapi dengan sukarela, terlebih dalam "KHK/Kitab Hukum Kanonik" ditegaskan bahwa "kita wajib membantu Gereja, agar tersedia hal-hal yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal-kasih serta sustentasi(balas jasa) bagi para pelayan" (KHK, Kanon 222 § 1+2)
B.Sukacita:
"Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita (2 Kor 9:7). Ia mengajak kita menjadi orang yang memberi dengan hati riang dan ringan, tidak mengharapkan balas jasa tapi dilandasi oleh rasa syukur.
C.Suka akan Tuhan:
Kita diajak untuk memberi didasari cinta pada yang ilahi, sehingga kita tulus dan tidak munafik karena: "celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang Farisi karena yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan (Mat 23:23).
Jelaslah bahwa semangat dasar yang ditekankan bukanlah kewajiban berdasar hukum/aturan/"legalitas" tapi lebih pada semangat kasih/"karitas" kepada Allah. Tidak ada artinya sebuah persembahan, jika tidak didasari oleh nada dasar C "cinta kasih", yang merupakan hukum utama dan pertama (Mat 22:37-40).
"Dari Kediri ke Surakarta - Mari kita selalu memberi dengan sukacita."
2.
"O buona ventura - O keberuntungan yang baik."
Inilah ucapan St Fransiskus Asisi kepada Bonaventura kecil yg terlahir dengan nama Giovanni di Fidanza pada tahun 1221 di kota Bargnoreggio, dekat Orvieto, Italia yang juga kita kenangkan pada 15 Juli.
Adapun Bonaventura yang dijuluki sebagai "pendiri kedua ordo fransiskan" adalah seorang pujangga gereja yang dikenal sebagai "doktor para malaikat" karena kesucian hidup dan kecakapan iman yang benar benar tampak dalam keseharian dan tulisan tulisan rohaninya.
Doa St Bonaventura
(RJK, "TTM”-“Tribute To Mary”)
Ya Santa Perawan yang Berduka, persatukanlah aku setidak-tidaknya dengan penghinaan dan luka-luka Putramu, sehingga baik Dia maupun engkau mendapati penghiburan dengan memiliki seseorang yang berbagi penderitaan denganmu. Oh, alangkah bahagianya aku andai aku dapat melakukannya! Sebab, mungkinkah ada sesuatu yang lebih agung, lebih manis, ataupun lebih berguna bagi seorang daripada itu? Mengapakah engkau tak hendak meluluskan apa yang aku minta? Apabila aku menghina engkau, bersikaplah adil dan tembusilah hatiku. Apabila aku setia kepadamu, sudi janganlah tinggalkan aku tanpa ganjaran: berilah aku dukacitamu. Amin.
Karya dan Pemikiran St Bonaventura
Dalam hidupnya, Santo Bonaventura telah menyumbangkan banyak pemikiran-pemikiran besar yang tertulis dalam berbagai buku hasil karyanya, seperti “Komentar di Empat Buku Kalimat Petrus Lombard” atau “Commentaries on the Four Books of Sentences of Peter Lombard”, “Itinerarium mentis in Deum”, “De reductione artium ad theologiam”, dan “Breviloquium”.
Di dalam “Breviloquium”, Bonaventura mengemukakan suatu teori mengenai 3 derajat pengetahuan, yaitu:
- Tingkat pertama adalah pengetahuan partikular, individual, dan diperlukan indera fisik untuk merasakan pengalaman tertentu dari pengetahuan ini.
- Tingkat kedua adalah pengetahuan yang universal, ide, dan semua yang diperoleh manusia dari refleksi dirinya sendiri. Pengetahuan ini tidak datang dari abstraksi seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Aquinas, namun merupakan hasil iluminasi dari kerjasama langsung dengan Allah,
- Tingkat ketiga adalah pemahaman tentang hal superior yang terjadi pada diri manusia sendiri, yaitu Tuhan, dimana pemahaman tersebut hanya akan diperoleh melalui mata kontemplasi.
Dalam beberapa bidang, Bonaventura memiliki pemikiran yang berbeda dengan Aristoteles:
-Dalam bidang kosmologi, Bonaventura tidak menerima konsep Aristoteles akan kekekalan dunia dan materi yang disebutkan juga kekal bersama dengan Allah.
-Dalam bidang psikologi, Bonaventura juga bertentangan dengan Aristoteles yang hanya berpegang pada fakta pengetahuan, tetapi Bonaventura juga menilai hubungan antara jiwa dan tubuh serta jiwa dan fakultasnya.
Bonaventura mengemukakan adanya tiga nilai atau tahapan yang mengantar jiwa kepada Tuhan, yaitu:
- Nilai pertama disebut "vestigium" yang merupakan jejak Allah sendiri telah ditandai pada materi-materi di luar diri manusia.
- Nilai kedua disebut "imago," atau refleksi jiwa dengan sendirinya, di mana dapat dilihat tiga kali lipat fakultas jiwa - keinginan, intelek, dan memori - manusia melihat citra Allah.
- Nilai ketiga disebut "similitudo," atau pertimbangan dari Tuhan sendiri, dimana jiwa mencapai persatuan mistis yaitu tingkat tertinggi dari cinta antara makhluk dan Penciptanya. Dengan membanyangkan ide dari sesuatu yang paling sempurna, manusia dapat membayangkan kesatuan dengan Tuhan.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar