Ads 468x60px

NO MAN IS AN ISLAND



HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
"NO MAN IS AN ISLAND....
Tidak seorangpun terpencil seperti pulau"
Meski banyak orang mengenal ucapan itu berasal dari John Donne, tapi kutipan itu sesungguhnya merupakan salah satu judul buku dari Thomas Merton, seorang rahib trapist yang meski tinggal di biara kontemplatif, tapi ia aktif dengan rajin menulis pelbagai tema dunia modern dengan kaitannya dengan nilai-nilai spiritual.
Artinya?
Merton mengusahakan diri untuk terkoneksi dengan dunia, meski dia sendiri tinggal di dalam tembok biara yang sarat dengan hidup kontemplasi bisu. Ia tetap ingin memberi arti pada dunia di luarnya, tanpa perlu meninggalkan tempat. Ya, terhubung dengan orang atau ruang lain adalah dorongan alami kita sebagai makhluk sosial, bukan?
Peribahasa “No Man is an Island” tadi sekaligus menggambarkan bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini dapat hidup sendirian tanpa be-relasi dengan orang lain karena jelaslah bahwa manusia bukanlah sebuah pulau yang tak berpenghuni.
Merton yang adalah seorang rahib trappist dari pertapaan Kentucky, Amerika Serikat yang hidup antara tahun 1915-1968 dikenal sebagai seorang penulis rohani ternama pada masanya. Sebagai pembimbing rohani cakap, ia selalu mendorong orang Kristiani untuk mengalami hadirat Allah tidak hanya pada waktu doa dan dalam keheningan tetapi juga dalam rutinitas hidup setiap hari, dalam segala aktivitas dan kesibukan harian kita bersama dengan sesama dan semesta.
Menurutnya, karena oleh inkarnasi Allah telah menyucikan kehidupan manusia, maka pengalaman akan Allah atau pengalaman kontemplatif tidak bertumbuh di luar konteks hidup manusia tetapi di dalam konteks kehidupan rutin manusia.
Ia menyebut ini sebagai "kontemplasi tersamar". Kontemplasi tersamar ini mau menggambarkan bahwa orang berjumpa dan mengalami Allah dalam pelayanan, dalam kesibukan hariannya, dalam pekerjaan rutinnya. Bahwa seseorang itu adalah seorang kontemplatif tersamar, itu terungkap tatkala ia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa-biasa saja tetapi dengan semangat yang luar biasa. Dalam Bahasa Thomas Merton: "Tuhan bisa melakukan berbagai perkara penting melalui cara sederhana dan tak terduga.’’
Lebih lanjut seputar inkarnasi Allah dimana "Yang Mulia" Menyentuh "hidup kita, yang hina". Ya, oleh peristiwa inkarnasi – "Allah menjadi Manusia", Allah mengenakan kodrat manusiawi kita dan menyentuh segala aspek hidup kita dengan segala situasi yang mengitarinya. Dalam kata-kata Thomas Merton, "Dengan inkarnasi, Allah menjadikan kudus manusia dan kehidupannya. Allah menyucikan kehidupan kita" .
Kata-kata Merton ini mau menghapus segala bentuk dualisme yang membedakan antara rohani dan duniawi, antara yang suci dan tidak suci. Baginya, semuanya adalah suci. Bila segalanya suci berkat inkarnasi, maka bagi kita segala tempat dan saat itu adalah tempat dan saat suci, tempat dimana kita mesti "menanggalkan kasut kita" dan berdoa kepada Allah. Bila segala tempat itu tempat suci, maka kita dapat berdoa dan bermeditasi dimanapun juga kita berada - di gereja atau di luar gereja, entah di hutan, di ladang, di rumah, di jalan - termasuk di tempat dimana kita bekerja dan beraktivitas.
Selain itu, karena oleh Inkarnasi Allah menyucikan kehidupan manusia maka bagi orang yang suci hatinya, "saat dimana kita sedang berada dan beraktivitas" ("saat kini" - present moment) adalah "saat yang suci". Jadi, baginya "saat kini" atau "saat ini" dapat menjadi sebuah saat yang kontemplatif dimana hatinya terbuka dan terarah kepada Allah. Barangkali kata-kata puitis Thomas Merton berikut membantu:
Bunga ini,
Cahaya ini,
Saat ini,
Keheningan ini:
DOMINUS EST AETERNUM!
Merton ingin mengajak kita untuk menyadari bahwa "saat kini" itu suci. "Saat kini" akan menjadi sebuah dialog tanpa henti dengan Allah – saat intim, saat persatuan.
Itulah sebabnya mengapa penulis rohani besar asal Perancis abad ke-17, Jean Pierre de Caussade SJ (1675-1751), menyebut "saat kini" sebagai "Sakramen saat kini" (The sacrament of the present moment) yaitu tanda yang mengingatkan kita bahwa Allah hadir menyertai kita dan membimbing kita. Maka: bila "saat ini suci" maka kita dapat berdoa entah pada waktu-waktu doa maupun di luar waktu doa – termasuk waktu kita bekerja, kita sibuk dan beraktivitas.
"Hadir saat kini dan disini" lebih jauh berkembang dalam Injil Matius ketika Yesus disebut "Imanuel" atau "Allah menyertai kita" (Mat 1:23). Teologi St. Paulus tentang Roh Kudus meneguhkan makna kehadiran ini: "Roh Allah diam di dalam kamu" (Rm 8:9). Artinya kemana kita pergi, dimana dan kapanpun kita berada, Allah selalu "Allah beserta kita". Kita tidak dapat mengatakan bahwa ketika kita berada di suatu tempat atau berada dalam suatu situasi, Allah tidak hadir disitu. Ya, tidak bisa karena Ia adalah "Allah yang selalu hadir"
Di dalam tradisi, Regula St. Benediktus (bab 19:1) menegaskan bahwa "kita percaya bahwa kehadiran ilahi itu dimana-mana". Sementara itu St. Ignatius dari Loyola mengajar kita untuk menemukan Allah di dalam segala sesuatu. Doa pembukaan Hari Minggu Biasa ke enam menggemakan hal senada ketika kita berdoa: "Bantulah kami untuk hidup di dalam kehadiranMu".
Tradisi-tradisi itu memperlihatkan bahwa "dimana kita berada – saat kini dan disini – Allah hadir. Dan karena itu kita selalu bisa menemukan Dia kapan dan dimanapun.
"Bila Allah itu Saat kini" maka kalau kita menaruh perhatian pada siapa dan apa yang kita alami dan kita lakukan saat kini, maka kita akan terbantu untuk menyadari Dia selalu pada segala waktu. Dengan menaruh perhatian pada saat kini, kita memberikan perhatian kita pada Dia – "Sang Kehadiran" yang senantiasa ada-hadir pada saat kini. Tradisi kita menyebutnya "age quod agis", melakukan apa yang sedang kita lakukan, atau hidup "hic et nunc" – hidup disini dan saat kini, atau sering juga disebut sebagai "mindfulness"
Akhirnya:
Thomas Merton dalam No Man is an Island (1955) menulis: “Betapa pun manusia dan dunia ini tampaknya rusak, dan betapapun keputusannya sangat memilukan, selama ia terus bertahan menjadi manusia yang hidup "hic et nunc", kemanusiaannya akan terus mengingatkannya bahwa kehidupan itu sungguh ada maknanya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar