Ads 468x60px

Orang Tua St. Theresa Lisieux


HIK: HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN IMAN KASIH
"BUKAN IMPIAN SEMUSIM".
Sts. Louis and Zélie Martin (19th century) are the parents of St. Thérèse of Lisieux , the French Carmelite nun.
St. Louis was a watchmaker and St. Zelie was a lace maker. They had both tried to join religious orders but were rejected because God had greater plans for them as a married couple.
Their holy piety inspired all their daughters to become nuns! Life in the Martin Family was not only holy but filled with joy and laughter. Sts. Louis and Zelie were truly parents every child could wish for. Their feast day is on 12 July.
==========
MASA MUDA LOUIS MARTIN.
Louis Joseph Aloys Stanislaus Martin lahir pada tanggal 22 Agustus 1823 di Bordeaux, Gironde—Perancis. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Pierre-François Martin dan Marie-Anne-Fanie Boureau. Ayahnya adalah seorang militer yang sering dipindahtugaskan. Lalu keluarganya menetap di Alençon dan ia mulai bersekolah di sana.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia tidak memilih karir di dunia militer seperti ayahnya, namun ia memilih untuk menjadi seorang pembuat jam. Pada tahun 1842, ia mulai belajar cara membuat jam di Rennes—Inggris. Di sana ia tinggal dengan sepupu ayahnya, Louis Bohard.
Pada bulan September 1843, Louis meninggalkan Rennes dan mulai magang di Strasburg. Di Strasburg, Louis tinggal bersama dan sekaligus magang di keluarga Mathey, salah seorang teman ayahnya yang sekaligus pembuat jam. Louis tinggal di Strasburg selama dua tahun.
Kemudian, ia pergi ke Biara Kartusian di Pegunungan Alpen Swiss untuk bergabung di dalam komunitas tersebut. Salah satu syarat agar bisa diterima di dalam komunitas tersebut adalah bisa berbahasa Latin. Waktu itu Louis belum menguasai bahasa Latin, maka pimpinan biara menyarankan agar Louis belajar bahasa Latin terlebih dahulu. Maka, ia pulang kembali ke keluarganya di Alençon untuk belajar bahasa Latin. Setahun penuh ia belajar dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya ia terpaksa menyerah karena terserang suatu penyakit.
Akhirnya, ia mengerti bahwa Tuhan memiliki rencana lain bagi dirinya dan ia melanjutkan kerja magangnya di Paris.
Bulan November 1850, Louis kembali ke Alençon sebagai ahli pembuat jam dan mendirikan sebuah toko bernama “Rue du Pont Neuf” di Paroki St. Pierre de Monsort, Alençon. Ia menjalankan usahanya ini dengan rajin dan jujur. Usahanya ini berjalan dengan sangat baik sehingga ia mampu membuka sebuah toko perhiasan. Karena rumahnya besar, maka ia mengajak kedua orang tuanya untuk tinggal bersama dengannya.
Meskipun usahanya berhasil, namun kehidupan kerohaniannya tetap dijaga dengan baik. Setiap hari Minggu ia menutup tokonya dan menggunakan hari tersebut hanya untuk Tuhan.
Selain itu, ia juga terkenal sebagai pengusaha yang baik dan murah hati. Ia tidak pernah mengambil keuntungan dari para pelanggannya, meskipun mereka kaya raya. Ia juga sangat murah hati kepada para fakir miskin dan tidak pernah ragu-ragu untuk memberikan bantuan kepada mereka.
Pada tahun 1857 ia membeli sebuah paviliun di luar kota Alençon. Paviliun ini menjadi tempatnya menyepi. Ia senang pergi ke paviliun ini untuk membaca, berdoa, dan memancing (hasil pancingannya sering ia bagikan ke Biara St. Klara). Di halaman paviliunnya tersebut diletakkan patung Bunda Maria.
Selama hampir delapan tahun, Louis hidup tenang dalam kesendirian. Ia tidak berkeinginan untuk menikah dan hal ini membuat hati ibunya "gusar".
Ibunya mulai menceritakan kepadanya tentang seorang gadis bernama Zélie Guérin, seorang gadis yang mengajarinya cara membuat pakaian. Gadis inilah yang akhirnya mampu memikat hatinya dan menjadi istri yang sangat dikasihinya.
MASA MUDA MARIE-AZÉLIE GUÉRIN.
Marie-Azélie Guérin dilahirkan di Gandelain, dekat St. Denis-sur-Sarthon, Orne, Perancis, pada tanggal 23 Desember 1831. Zélie adalah putri kedua dari pasangan Isidore Guérin dan Louise-Jeanne Macé.
Sehari setelah kelahirannya, ia dibaptis di Gereja St. Denis sur Sarthon. Ayahnya adalah seorang tentara kerajaan. Tahun 1844 ayahnya pensiun dan seluruh keluarganya pindah ke Alençon. Zélie mempunyai seorang kakak perempuan bernama Marie-Louise yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Kakaknya ini menjadi seorang Suster Visitasi di Le Mans, Suster Marie-Dosithée. Selain itu, ia mempunyai seorang adik laki-laki bernama Isidore yang usianya terpaut sepuluh tahun darinya.
Zélie adalah seorang gadis dengan kehidupan kerohanian yang sangat baik. Hal ini diperolehnya dari pendidikan yang diterimanya dari para Suster Adorasi Abadi. Ia pernah melamar untuk menjadi seorang Suster Cintakasih dari St. Vincentius a Paulo. Namun, ia ditolak karena kesehatannya yang kurang baik—ia sering mengalami gangguan pernapasan dan sakit kepala (migren)—dan oleh pimpinan biara ia dinilai tidak memiliki panggilan hidup membiara. Zélie melihat penolakan ini sebagai tanda yang jelas bagi dirinya dan ia menerimanya dalam iman.
Kemudian, ia berdoa kepada Tuhan, “Karena aku tidak cukup layak untuk menjadi mempelai-Mu seperti kakakku, maka aku akan menikah untuk memenuhi kehendak-Mu. Aku mohon kepada-Mu, berilah aku banyak anak, dan berkatilah mereka agar mereka mau membaktikan hidupnya hanya untuk-Mu.”
Zélie melanjutkan hidupnya dengan mengambil kursus membuat pakaian di Alençon. Ia menyelesaikan kursusnya dengan hasil yang sangat memuaskan.
Di akhir tahun 1853 ia membuka sebuah toko pakaian di Alençon. Usahanya ini berjalan dengan sangat baik dan mampu menarik banyak orang untuk bekerja padanya. Zélie memiliki hubungan yang sangat baik dengan semua karyawannya. Ia menganggap mereka sebagai keluarganya sendiri.
Zélie juga menunjukkan bahwa ia selalu siap untuk memerangi ketidakadilan dan menolong orang-orang yang sangat memerlukan pertolongan. Zélie selalu berusaha agar apa pun yang dilakukannya selalu berdasarkan Kitab Suci.
PERTEMUAN PERTAMA LOUIS DAN ZÉLIE
Louis dan Zélie bertemu pertama kali di jembatan St. Leonard pada bulan April 1858. Jembatan ini sering dilalui oleh Zélie. Suatu hari Zélie melintasi jembatan tersebut dan berpapasan dengan Louis. Zélie sangat terkesan dengan penampilan Louis, seorang pemuda yang mencerminkan sikap dan martabat seorang bangsawan. Lalu, Zélie mendengar suara di dalam hatinya, “Inilah dia yang Kusediakan bagimu.”
Louis dan Zélie akhirnya berkenalan dan dengan cepat mereka dapat saling mencintai dan menghargai satu dengan yang lainnya.
KEHIDUPAN PERKAWINAN LOUIS DAN ZÉLIE
Tiga bulan setelah pertemuan pertama mereka, Louis dan Zélie memutuskan untuk menikah. Pada tanggal 12 Juli 1858, jam 10 malam, Louis dan Zélie menikah di catatan sipil. Dua jam kemudian pada tengah malam tanggal 13 Juli 1858, mereka mengucapkan janji setia pernikahan di Gereja Notre-Dame di hadapan Pastor Hurel, pastor paroki St. Leonard.
Kehidupan perkawinan yang mereka jalani berbeda dengan kehidupan perkawinan pada umumnya. Karena Louis dan Zélie dulu pernah berkeinginan untuk menjalani kehidupan membiara, maka mereka sepakat untuk tetap mempertahankan kemurnian mereka bagi Tuhan. Selama sepuluh bulan mereka menjalani kehidupan perkawinan yang seperti ini.
Kemudian, karena bapa pengakuan mereka menyarankan mereka memperhatikan panggilan mereka sebagai orang tua, maka Louis dan Zélie mengubah pandangan mereka. Mereka pun hidup layaknya pasangan suami istri pada umumnya dan memutuskan untuk memiliki anak.
Perkawinan mereka dikaruniai sembilan orang anak, walaupun hanya lima anak yang dapat bertahan hidup dan kelimanya menjadi suster. Kesembilan anak mereka adalah:
Marie-Louise (22 Februari 1860 - 19 Januari 1940), kemudian menjadi seorang Suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Suster Maria dari Hati Kudus Yesus.
Marie-Pauline (7 September 1861 - 28 Juli 1951), kemudian menjadi Suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Muder Agnes dari Yesus.
Marie-Léonie (3 Juni 1863 - 16 Juni 1941), kemudian menjadi seorang Suster Visitasi di Caen dengan nama biara Suster Françoise-Thérèse.
Marie-Hélène (3 Oktober 1864 – 22 Februari 1870).
Marie-Joseph (20 September 1866 - 14 Februari 1867).
Marie Jean-Baptiste (19 Desember 1867 - 24 Agustus 1868).
Marie-Céline (28 April 1869 - 25 Februari 1959), menjadi seorang Suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Suster Genoveva dari Wajah Kudus.
Marie-Mélanie Thérèse (16 Agustus 1870 - 8 Oktober 1870).
Marie-Françoise-Thérèse (2 Januari 1873 - 30 September 1897), kemudian menjadi seorang Suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Suster Theresia dari Kanak-kanak Yesus dan dari Wajah Kudus, dikanonisasi tahun 1925.
Louis sangat gembira dengan kelahiran anak-anaknya. Namun, ia juga mengalami kesedihan karena tiga dari anaknya meninggal sewaktu masih bayi. Kesedihan terbesar adalah saat kematian Hélène yang baru berusia lima tahun pada 22 Februari 1870. Louis merasa hatinya sangat hancur dan bertahun-tahun kemudian ia sering meratapi kematian anaknya ini.
Pada tahun yang sama, pada bulan April, Louis menjual tokonya kepada keponakannya, Adolphe Leriche. Bulan Juli 1871, Louis beserta seluruh keluarganya pindah ke rumah Zélie. Di tempat baru ini, Louis membantu usaha Zélie dengan semaksimal mungkin. Louis mengambil alih pembukuan dan ia sering bepergian untuk bertemu dengan para pelanggan. Ia juga mengawasi proses pengiriman barang pesanan dengan sangat teliti, bahkan ia mengeluarkan desain sendiri.
Supaya lebih dekat dengan anaknya, Louis memberikan “julukan” kepada masing-masing anaknya. Marie adalah permatanya, Pauline adalah mutiaranya, Céline adalah si pemberani dan malaikat pelindung, sedangkan Thérèse adalah ratu kecilnya.
Ketika Marie sakit tifus pada usia tiga belas tahun, Louis meluangkan banyak waktu untuk berada di samping tempat tidur Marie. Bahkan, ia melakukan ziarah rohani ke Basilika Bunda Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa dengan berjalan kaki sejauh 15 kilometer, untuk memohon kesembuhan Marie. Sekembalinya ke rumah, Bunda Maria menjawab doa-doanya dan Marie sembuh dari penyakitnya.
Selain mengurusi keluarga dan usahanya, Louis bergabung dalam komunitas St. Vincentius a Paulo dan mengurusi adorasi malam hari kepada Sakramen Mahakudus. Zélie bergabung dalam ordo ketiga Fransiskan dan sering mengunjungi orang-orang sakit dan miskin. Louis dan Zélie adalah pasangan yang terkenal aktif dalam berbagai kegiatan di parokinya. Mereka tak segan-segan memberikan pertolongan kepada mereka yang memerlukan.
Louis juga suka melakukan ziarah rohani ke tempat suci. Dia pernah berziarah ke Lourdes, Chartres, Pontmain, Jerman, Austria, Roma, dan Konstantinopel. Selain itu, Louis dan Zélie juga rajin untuk retret pribadi. Louis sering retret pribadi di Biara Trapis terdekat di Mortagne, sedangkan Zélie sering retret pribadi di Biara St. Klara.
KEMATIAN ZÉLIE MARTIN.
Tahun 1865, Zélie divonis dokter terkena kanker payudara. Sejak saat itu Zélie merasa bahwa hidupnya di dunia tidak lama lagi. Ia berdoa, “Jika Tuhan ingin menyembuhkan saya, saya akan sangat bahagia, karena jauh di lubuk hati, saya ingin hidup. Rasa sakit saya adalah meninggalkan suami dan anak-anak saya. Namun, jika saya tidak sembuh, itu mungkin karena saya akan lebih berguna jika saya pergi.”
Akhir tahun 1876, ketika Louis menyadari bahwa penyakit Zélie semakin parah, ia melepaskan hobi memancingnya untuk sementara waktu dan menemani Zélie. Bulan Juni 1877, Zélie berziarah ke Lourdes untuk memohon kesembuhan dan menaruh seluruh kepercayaannya kepada Tuhan. Namun, ia kembali dalam keadaan yang lebih buruk.
Pada Jumat pertama di bulan Agustus, Zélie bersama Louis pergi ke Misa untuk terakhir kalinya. Setelah itu Louis hampir tidak pernah meninggalkannya. Pada malam tanggal 26 Agustus 1877 ia pergi ke Gereja Bunda Maria untuk meminta pastor memberikan Sakramen Perminyakan Orang Sakit dan Komuni Kudus kepada Zélie. Tanggal 28 Agustus 1877, pukul setengah dua belas tengah malam, Zélie meninggal dunia. Hari berikutnya Louis mengambil Thérèse kecil supaya mencium ibunya untuk terakhir kalinya.
Setelah kematian Zélie, Pauline, Marie, Theresia, dan Céline menjadi biarawati Karmelit satu demi satu bersama dengan sepupunya, Marie Guérin. Sedangkan, Leonie menjadi Suster Visitasi setelah sebelumnya mencoba kehidupan religius di Biara St. Klara.
SEBUAH KEHIDUPAN BARU DI LISIEUX
Untuk memenuhi keinginan istrinya, kurang dari tiga bulan setelah kematiannya, Louis dan kelima anaknya pindah ke Les Buissonnets di Lisieux, supaya dekat dengan kakak iparnya, Isidore Guérin dan istrinya (Céline).
Louis tetap tinggal di Alençon selama dua minggu sampai rumah dan usahanya terjual. Namun, ia memutuskan untuk tidak menjual paviliunnya sehingga dia mempunyai tempat tinggal ketika ia kembali ke Alençon kelak.
Kehidupan di Buissonnets, rumah baru di Lisieux, terasa lebih keras dan tersembunyi daripada di Alençon. Louis, dibantu Marie untuk mengurus urusan rumah tangga, menerapkan cara hidup yang lebih keras mengenai ketepatan atau disiplin waktu dan sopan santun.
Namun demikian, Louis sangat dihormati oleh kelima anaknya. Selain itu, Louis mulai kembali melakukan hobi memancingnya. Kadang kala Louis membawa Thérèse bersamanya dan hasil tangkapannya sering ia bagikan untuk para Suster Karmelit di sana.
Setiap sore, ketika cuaca sedang baik, ia sering berjalan-jalan ke gereja-gereja kota untuk melakukan kunjungan kepada Sakramen Mahakudus. Seringkali ia membawa Thérèse bersama dengannya.
Ketika mereka mengunjungi Kapel Karmelit, Louis menjelaskan kepada Thérèse bahwa di balik terali tersebut terdapat para suster yang sedang berdoa. Selain itu, Louis masih senang membaca di ruang kerjanya dan melewatkan banyak waktunya di sana untuk bermeditasi dan berdoa.
Louis sering menghabiskan malam harinya bersama dengan kelima anaknya untuk bermain, membaca buku, menceritakan kisah-kisah tertentu (khususnya tentang surga) dan bernyanyi bersama.
Di akhir malam itu, Louis selalu mengakhirinya dengan doa malam bersama kelima anaknya. Karena kesalehan hidup dari Louis ini, St. Theresia pernah mengatakan bahwa untuk mengetahui bagaimana orang-orang kudus berdoa, ia cukup melihat ayahnya yang sedang berdoa.
Louis juga aktif melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah. Setiap hari ia membantu menyiapkan Misa Kudus di parokinya, seperti yang biasa ia lakukan di Alençon.
Dengan bantuan saudara iparnya, Louis mendirikan suatu komunitas baru yang bernama Komunitas Adorasi Malam Hari. Louis kembali aktif dalam komunitas St. Vincentius a Paulo. Salah satu kegiatan rutinnya adalah memberi sedekah kepada fakir miskin setiap hari Senin.
DOA ZÉLIE MENJADI KENYATAAN.
Ketika Thérèse mulai sekolah di Biara Benediktin, Pauline menyatakan keinginannya untuk masuk Biara Karmel di Lisieux. Louis memberikan ijin dengan senang hati kepadanya. Louis merasa senang karena doa Zélie mulai menjadi kenyataan, yaitu setiap anaknya akan membaktikan seluruh hidupnya hanya untuk Tuhan.
Suatu hari Louis mendapatkan suatu kabar yang sangat mengejutkan dari putri sulungnya, Marie. Marie meminta ijin kepadanya untuk mengikuti jejak Pauline masuk ke Biara Karmel di Lisieux. Louis tidak menyangka bahwa Marie akan masuk biara karena Marie tidak pernah menunjukkan ada ketertarikan untuk masuk biara. Selain itu, Louis juga tidak bisa membayangkan hidup tanpa Marie karena selama ini Marie selalu membantunya dalam mengurusi rumah tangga.
Untuk hal ini, Marie berusaha menyakinkan Louis bahwa Céline akan bisa menggantikan posisinya dalam mengatur rumah tangga. Kemudian Louis berkata kepada Marie, “Tuhan tidak mungkin meminta pengorbanan yang lebih besar dari saya. Saya pikir kamu tidak akan pernah meninggalkanku!”
Sebelum Marie masuk Biara Karmel, Louis mengajak semua anaknya untuk berkunjung ke makam ibu mereka di Alençon. Saat mereka berada di makam itu, tiba-tiba Léonie memutuskan untuk masuk ke Biara St. Klara. Meskipun Louis merasa terkejut dengan kabar ini, namun ia mulai membiasakan diri mendengar kabar seperti ini. Namun sayang, Léonie hanya dapat bertahan selama dua bulan saja karena ia tidak sanggup mengikuti peraturan biara. Saat itu Marie sudah berada di Biara Karmel.
Saat Thérèse berusia empat belas tahun, ia meminta ijin ayahnya untuk masuk Biara Karmel di Lisieux. Mendengar kabar ini, Louis tidak terlalu terkejut. Bahkan, Louis berusaha agar Thérèse bisa mendapat ijin dari pimpinan Gereja (antara lain dengan menjumpai Bapa Suci) karena Thérèse belum cukup umur untuk masuk biara.
KESEHATAN LOUIS MEMBURUK.
Setelah Thérèse masuk Biara Karmel, pada tahun 1888 Louis jatuh sakit. Ia terpaksa dirawat di Bon Sauveur, Caen. Suatu hari ketika kesehatannya sudah mulai membaik, Louis pergi memancing di dekat Alençon.
Saat sedang memancing itu, tiba-tiba Louis disengat serangga beracun tepat di bagian belakang telinganya. Pada awalnya bekas sengatan tersebut hanya berupa titik hitam kecil yang tidak terlalu membawa masalah. Namun tahun-tahun berikutnya, bekas sengatan tersebut mengalami infeksi sehingga Louis harus mendapatkan berbagai perawatan. Sejak saat itu, kondisi kesehatan Louis semakin menurun.
Suatu hari Louis pergi ke Le Havre tanpa memberitahu siapa pun dan empat hari kemudian Céline dan pamannya menemukan Louis berada di sana dalam keadaan bingung. Louis memiliki ide untuk pensiun dan pergi menyendiri sehingga ia dapat hidup sebagai seorang pertapa. Dalam kebingungan itu, Louis memutuskan bahwa ia harus meletakkan urusan bisnis dalam rangka untuk mengamankan kebutuhan masa depan anak-anak perempuannya.
Hal ini menyebabkan ia harus melakukan beberapa kunjungan ke Paris. Louis melakukan pemberesan bisnisnya dengan sangat memuaskan. Namun, ada beberapa kesempatan ketika Louis tidak kembali pada hari yang ditentukan dan kedua putrinya menjadi sangat khawatir, terutama saat ia membawa uang dalam jumlah besar.
Tanggal 10 Januari 1889, Louis menghadiri prosesi pemakaian jubah biara Thérèse. Tak lama setelah acara tersebut, Louis terkena penyakit stroke diikuti dengan arteriosklerosis otak yang menyebabkan ia kehilangan ingatan, kemampuan berbicara, dan halusinasi.
Atas saran dari saudara iparnya, Isidore Guérin, Léonie dan Céline memutuskan untuk merawat ayahnya di Bon Sauveur, Caen pada tanggal 12 Februari 1889. Di rumah sakit tersebut, Louis menghabiskan banyak waktunya di kapel dan menerima Komuni Kudus setiap hari ketika dia merasa cukup sehat. Louis berbagi segala sesuatu yang diberikan kepadanya dengan pasien lain dan ia tidak pernah mengeluh meskipun ia merasa menderita karena dipisahkan dari keluarganya.
Setiap minggu, Léonie dan Céline mengunjungi ayah mereka di rumah sakit. Pada tanggal 10 Mei 1892, Louis dapat kembali ke Lisieux lagi. Saat itu Louis masih menderita stroke yang menyebabkan kakinya lumpuh dan hampir tidak dapat berbicara. Hal inilah yang membuat Léonie dan Céline memberanikan diri untuk membawa ayahnya pulang.
Pada tanggal 12 Mei 1892, Louis dibawa untuk mengunjungi anak-anaknya di Biara Karmel. Hari itu adalah hari terakhir Louis melihat ketiga anaknya tersebut. Setelah tinggal untuk sementara waktu dengan keluarga iparnya, Louis, Léonie, dan Céline pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil di dekat rumah iparnya tersebut. Pada bulan Juni 1893, Léonie memasuki Biara Visitasi di Caen lagi setelah sebelumnya ia harus dipulangkan karena sakit. Céline sendirian merawat ayahnya sampai kematiannya, namun ia tetap dibantu oleh keluarga iparnya.
KEMATIAN LOUIS MARTIN.
Pada bulan Mei 1894, Céline pergi ke Caen. Saat ia berada di sana, pamannya mengirimkan telegram yang mengatakan bahwa tanggal 27 Mei Louis terkena stroke serius yang menyebabkan lengan kirinya lumpuh. Mendengar kabar ini, Céline segera pulang.
Saat itu Louis menerima Sakramen Perminyakan Orang Sakit.
Bulan Juni, Louis terkena serangan jantung yang serius. Sementara itu Céline masih berada di Katedral untuk mengikuti Misa. Pamannya segera memanggilnya dan ia berlari sepanjang perjalanan pulang karena takut kalau dia tidak bisa tiba pada waktunya. Louis tampak benar-benar kelelahan dan memiliki kesulitan besar dengan pernapasannya.
Tanggal 28 Juli Louis terkena serangan jantung kembali dan kembali ia menerima Sakramen Perminyakan Orang Sakit. Sejak saat itu Céline selalu menemani ayahnya dan ia berdoa kepada Yesus, Maria, dan Yusuf agar ayahnya dapat meninggal dunia dengan bahagia. Ketika Céline selesai berdoa, Louis memandangnya dengan penuh cinta dan rasa syukur. Lalu, Louis memejamkan matanya. Isidore dan Céline Guérin datang ke kamar Louis dan Isidore menekan bibir Louis beberapa kali dengan salib yang dibawanya. Saat itu napasnya telah menjadi sangat lemah.
Pada hari Minggu 29 Juli 1894, Louis meninggal dunia. Isidore mengatakan bahwa ia belum pernah melihat kematian yang lebih damai daripada kematian Louis. Jenazah Louis dibawa kembali ke Lisieux dan dimakamkan pada tanggal 2 Agustus 1894 setelah Misa Requiem di Katedral.
TELADAN HIDUP LOUIS DAN ZÉLIE MARTIN.
Louis dan Zélie adalah teladan kekudusan bagi keluarga-keluarga Kristiani. Di rumah, mereka selalu berusaha menciptakan suasana penuh iman dan sukacita. Mereka selalu berusaha agar anak-anak mereka menyadari bahwa mereka sangat dicintai dan melatih mereka melakukan kebajikan-kebajikan. Selain itu, ada beberapa kebiasaan yang dilakukan bersama-sama dalam keluarga Martin ini, antara lain:
Tiap pagi hari pukul 05.30 merayakan Ekaristi.
Mendoakan Ibadat Harian setiap hari di hadapan patung Bunda Maria.
Selalu hadir dalam Misa mingguan dan benar-benar mengkhususkan hari Minggu sebagai hari Tuhan.
Pada saat makan bersama, selalu dibacakan bacaan rohani.
Melakukan ziarah rohani ke tempat-tempat suci di Perancis.
Louis biasa melakukan retret pribadi di Biara Trapis, sedangkan Zélie di Biara St. Klara.
Louis dan Zélie tidak dapat mengendalikan situasi apa yang akan mereka hadapi. Mereka tidak dapat menghindar dari berbagai tragedi dalam hidup, seperti perang Franco-Prussian di mana mereka harus menerima sembilan orang tentara Jerman di dalam rumah mereka; kematian keempat anaknya; penyakit yang mereka derita. Mereka juga tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab sebagai pemilik bisnis, suami istri, orang tua, dan pemerhati orang yang miskin dan menderita.
Sumber kekuatan mereka terletak dari cara mereka menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka. Mereka menerima ketidakberdayaan mereka dan percaya bahwa hanya Tuhan yang berkuasa atas seluruh kehidupan mereka.
Louis dan Zélie tidak dinyatakan kudus karena St. Theresia, anaknya. Justru St. Theresia bisa menjadi orang kudus karena mereka. Louis dan Zélie menciptakan suatu lingkungan hidup yang dapat membawa anak-anaknya kepada kekudusan.
Gereja menggelari pasangan Louis dan Zélie Martin sebagai pasangan kudus untuk menunjukkan bahwa panggilan kepada kekudusan adalah panggilan untuk semua orang Kristiani. Mereka adalah pahlawan-pahlawan dalam kehidupan sehari-hari. Almarhum Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Ke-heroik-an harus menjadi keseharian, dan keseharian harus menjadi sesuatu yang heroik.”
Pasangan Louis dan Zélie Martin dinyatakan "terhormat" pada tanggal 26 Maret 1994 oleh Paus Yohanes Paulus II. Kemudian, Paus Benediktus XVI membeatifikasi pasangan ini pada Hari Misi Sedunia tanggal 19 Oktober 2008 di Basilika St. Theresia di Lisieux, Perancis oleh Kardinal Jose Saraiva Martins. Pada tanggal 18 October 2015, mereka digelarkan menjadi santo dan santa oleh Paus Fransiskus. Gereja memperingati pasangan Louis dan Zélie Martin setiap tanggal 12 Juli. Mereka menjadi pasangan suami istri pertama dalam sejarah Gereja yang digelarkan kudus.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
"Praebe mihi cor Tuum - Berikan aku hatiMU"
Inilah salah satu harapan dasar yang saya kenangkan ketika mempersembahkan misa di Gereja Theresia Jakarta bersama dengan guru dan murid dari sekolah St Theresia Jakarta.
Adapun St Theresia adalah seorang kudus yang memiliki kualitas hati yang diharapkan Tuhan: "Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”
Disinilah kita juga diajak menjadi orang yang berhati sebagai "anak" ("child") dan tidak berhati kekanak-kanakan ("childish"). Menjadi anak yang berpola "TTS- Tulus Terbuka & Sederhana" dengan 3 semangat hati, antara lain:
1. Youth/Semangat kemudaan.
Seperti Bunda Maria yang menjawab panggilan ilahi ketika masih belasan tahun, St Theresia-pun menjadi biarawati Karmelit pada usia muda dan meninggal di usia muda 24 tahun.
2. Faith/Semangat Keberimanan.
Dalam usia muda, St Theresia menghayati kesucian hidup yang luar biasa. St Theresia tidak hanya memahami dan mengenali Tuhan tapi juga mengalami Tuhan lewat doa dan hidup rohani yang mendalam. Kesuciannya diraih karena hatinya bersatu dengan hati Tuhan.
3. Depth/Semangat Kedalaman.
Menyitir catatan harian St Theresia dalam "Kisah Suatu Jiwa" ditegaskan bahwa kesucian hidup dapat dicapai oleh siapa saja, betapa pun rendah, hina & biasa-biasa saja pribadinya. Caranya ialah melaksanakan aneka pekerjaan kecil dan tugas sehari-hari dengan pola "2 k", kasih & ketulusan. Inilah sebuah pemaknaan iman yang menawarkan kedalaman di tengah kedangkalan hidup harian.
B.
St. Theresia Lisieux: Sketsa Historiografi.
PURGATIVA, ILLUMINATIVA, UNITIVA
(Buku "HERSTORY", RJK. KANISIUS)
PROLOG
Sebagai seorang frater skolastik filsafat, tugas kerasulan pertama yang saya dapatkan pada tahun 1997-1998 adalah mengajar di SMU St. Theresia, sekaligus tinggal di Paroki St Theresia Jakarta Pusat bersama dua imam tua dari tarekat Jesuit.
St Theresia yang dimaksud disini adalah St. Theresia dari Lisieux (1873-1897). Dia dikenal juga sebagai “Theresia dari Kanak-kanak Yesus” atau si “Kuntum Bunga yang kecil” atau “Theresia Kecil” untuk membedakannya dengan Santa Theresia dari Avila.
Paus Yohanes Paulus II memproklamasikannya sebagai Pujangga Gereja, pada tanggal 20 Oktober 1997 dalam suratnya "Divini amoris scientia". Sst…Ia adalah salah satu santa yang paling populer dan disukai oleh banyak orang sepanjang abad ke-20. Mengapa demikian?
SKETSA PROFIL
Oh Yesus, aku tahu
cinta hanya dapat dibalas dengan cinta,
maka aku sudah menemukan alat
untuk memuaskan hatiku
dengan memberikan cintaku kepada CintaMu.
(Otobiografi Theresia Lisieux)
Kisah tentang Theresia Lisieux adalah sebuah kisah yang unik sekaligus menarik dalam sejarah Gereja Katolik. Ini adalah sebuah kisah nyata tentang seorang gadis belia yang menjadi suster Karmelit pada usia muda. Ia tidak pernah meninggalkan biara dan meninggal muda pada umur 24 tahun.
Menurut Paus Pius IX, dia menjadi santa terbesar di jaman modern. Ia juga mendapat gelar sebagai Pujangga Gereja, yang tulisan rohaninya telah memberikan inspirasi sekaligus aspirasi bagi jutaan orang di seluruh dunia, dan bahkan sampai diterjemahkan ke dalam 60 bahasa di seluruh dunia. Beratus-ratus judul buku dan artikel rohani juga ditulis-kupas mengenai St. Theresia dengan spiritualitas “Jalan Kecil”nya ini.
Theresia sendiri terlahir di kota Alençon, Perancis, pada tanggal 2 Januari 1873. Ayahnya bernama Louis Martin dan ibunya Zelie Marie Guerin. Pasangan tersebut dikarunia sembilan orang anak, tetapi hanya lima yang bertahan hidup hingga dewasa. Kelima bersaudara itu semuanya puteri dan semuanya menjadi biarawati. Menakjubkan bukan? Ibunya meninggal dunia ketika Theresia baru berusia empat tahun karena sakit kanker.
Louis Martin bersama kelima puterinya kemudian berpindah ke Buissonets di kota Lisieux, sebuah rumah yang sampai sekarang banyak dikunjungi oleh para peziarah.
Di dekat rumahnya, terdapat sebuah biara Karmel di mana para suster berdoa secara khusus untuk kepentingan seluruh dunia. Ketika Theresia berumur sepuluh tahun, kakak sulungnya, Pauline, masuk biara Karmel di Lisieux pada tahun 1882. Hal itu amat berat bagi Theresia. Setelah ibunya meninggal, Pauline telah menjadi "ibunya yang kedua". Pauline biasa merawat dan mengajarinya, serta melakukan semua hal seperti yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya.
Dalam perjalanan waktu, Theresia berkeinginan untuk masuk biara juga. Pada umur 15 tahun, dia akhirnya diperbolehkan masuk ke biara Karmel dengan ijin khusus dari Paus Leo XII. “Aku harus menjadi santa”, kata Theresia ketika dia masuk biara. Motivasinya adalah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan untuk mendoakan para imam. Saudara perempuannya yang lain, yaitu Marie dan Celine juga masuk di biara Karmel. Sedangkan saudara perempuannya yang kelima, Leonie masuk ke Orde Visitasi.
Theresia ingin menghabiskan seluruh harinya dengan bekerja dan berdoa bagi orang-orang yang belum mengenal dan mengasihi Tuhan. Katanya: "Kekudusan adalah suatu sikap hati, yang menempatkan kita ke dalam tangan Tuhan, kecil dan rendah hati, menyadari kelemahan kita dan secara buta mengandalkan kebaikan Ke-Bapaan-Nya."
Apa saja yang dilakukan Theresia di biara? Semuanya sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tetapi, di balik itu semua, ia mempunyai suatu rahasia pokok, yaitu “CINTA”: “Kamu bertanya kepadaku tentang jalan menuju kesempurnaan? Aku tahu cinta dan hanya cinta. Hatiku dibuat demi cinta itu. Cinta mengenal bagaimana menarik keuntungan dari segala sesuatu.” Yah, panggilanku akhirnya kutemukan. Panggilan itu adalah mencintai. Di dalam hati Gereja, di dalam Ibuku, aku akan menjadi cinta. Hidup karena cinta, inilah surgaku, inilah tujuan hidupku!”
Karena satu rahasia, yakni, “CINTA”, maka Theresia berusaha untuk selalu memulai semuanya dengan nada dasar C, yakni cinta, walaupun itu bukan hal yang selalu mudah, bukan?
Salah satu tips Theresia, ia selalu berusaha melayani sesamanya seolah-olah ia melayani Yesus. Ia percaya bahwa jika dia mengasihi sesama, maka dia juga mengasihi Yesus.
Yah, mencintai adalah pekerjaan yang membuat dirinya sangat bahagia: “Andaikata kulakukan segala perbuatan yang dilakukan oleh Rasul Paulus, aku akan tetap menganggap diriku sendiri seorang HAMBA YANG TIDAK BERGUNA. Aku akan melihat bahwa tangan-tanganku sendiri kosong. Tetapi, itulah sesungguhnya sumber sukacitaku: sebab aku tidak mempunyai apa-apa, maka aku mengharapkan segala-galanya dari Allah yang baik.”
Karena kematangan jiwanya inilah, Teresia sudah diangkat menjadi magister novis ketika dia baru berumur 20-an tahun.
Meskipun para suster dalam biara (termasuk dua orang kakaknya) mencintai Theresia, hal ini tak berarti dia terluput dari berbagai pencobaan batin dan pengalaman desolasi/kekeringan.
Dia juga pernah menderita ketika mendengar ayahnya jatuh sakit pada tahun 1888, karena terkena gangguan cerebral arteriosclerosis dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1894.
Di balik setiap pengalaman konsolasi maupun desolasinya, Theresia senantiasa berjuang untuk menempuh “jalan kecil”.
Apa itu “Jalan kecil”?
Bagi Theresia, “Jalan kecil” adalah sebuah jalan kehidupan rohani seorang anak kecil, yakni jalan kepercayaan dan jalan kepasrahan diri secara total kepada Tuhan.” Dasar dari jalan kecil ini ditemukannya dalam teks Matius 18:3, ketika Yesus mengatakan: “Jika kamu tidak menjadi seperti anak kecil ini, maka kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga”.
Baginya, hidup rohani kanak-kanak Yesus itu adalah “kehidupan rohani seorang anak kecil yang tidur tanpa ketakutan di dalam pelukan tangan ayahnya, semangat penyerahan diri itulah yang menjadi pedomanku satu-satunya. Aku tidak punya pedoman arah yang lain”.
Hanya sembilan tahun lamanya, Theresia menjadi biarawati. Orang kudus muda ini menderita sakit TBC yang parah dan akhirnya meninggal pada tanggal 30 September 1897 dalam usia 24 tahun.
Ketika ajal menjelang, Theresia memandang salib dan berdoa, ”Allahku, aku mencintai-Mu. Aku tidak sedang meninggal. Aku sedang memasuki kehidupan. Aku akan menikmati waktuku di surga karena telah mengerjakan kebaikan di dunia.” Sebelum meninggal, Theresia juga mengatakan, "Dari surga, aku akan berbuat kebaikan bagi dunia."
Pada tahun 1923, Theresia dibeatifikasi oleh Paus Pius XI yang juga mengkanonisasi dia sebagai seorang kudus di lapangan santo Petrus Vatican pada tahun 1925.
Bersama dengan Santo Fransiskus Xaverius, Theresia juga diangkat menjadi pelindung misi, meskipun dia belum pernah pergi ke luar negeri. Paus Pius XII pada tahun 1944, menyebut Theresia sebagai “penyembuh ulung pada abad modern” dan menjadikan dia pelindung untuk tanah Perancis bersama St Jeanne de Arc.
Pada tahun 1977, setelah 100 tahun kematiannya, Paus Yohanes Paulus II menyatakan dia sebagai Pujangga Gereja bersama Santa Teresia Avilla dan Santa Katharina Siena.
Theresia adalah juga pelindung para penjual bunga dan pelindung bagi karya kerasulan doa yang tersebar-pencar di seluruh dunia. Dia sendiri adalah seorang anggota kerasulan doa yang setia selama bertahun-tahun lamanya. Pestanya sendiri dirayakan oleh Gereja Katolik, setiap tanggal 1 Oktober.
REFLEKSI TEOLOGIS
Tiga Jalan Sederhana:
Purgativa, Illuminativa, Unitiva
Dimurnikan, Dicerahkan, Disatukan.
Kamu ingin supaya aku memberitahukan
sarana untuk menjadi sempurna.
Aku hanya tahu satu ini saja: CINTA."
(Auto-biografi, surat kepada Marie Guerin)
Hidup Theresia dan yang pasti juga hidup kita masing-masing bisa diibaratkan seperti sebuah perjalanan, dimana cinta yang menjadi pegangannya, terlebih ketika kita harus mengarungi samudera percobaan dan kesulitan, “should you pass trough the sea, I wiill be with you.
Di lautan itu, cinta Allah seakan hanya diam, padahal cinta itu yang memegang dan menopang kita untuk mengarungi kedashyatannya, sehingga kita tidak tertelan oleh gelombangnya. Cinta itu pula yang diam-diam selalu menyertai kita untuk membebaskan dari segala rintangan dan belenggu.
Oleh karena itulah, bersama Theresia, kita diajak untuk belajar diam dan menemukan Tuhan dalam segala, kepanggih gusti ing sembarang kalir.
Disinilah, Theresia yang belajar menemukan Tuhan dalam segala, menjadi terkenal karena buku yang ditulisnya: “The Story of a Soul” (“Kisah Satu Jiwa”), yang diterbit-kenangkan satu tahun setelah wafatnya.
Bagi saya pribadi, Theresia sendiri sebetulnya mempunyai satu jiwa dengan tiga jalan sederhana penuh keutamaan, yang sebenarnya juga kita hayat-kenangi setiap kali merayakan Ekaristi, yakni:
via purgativa (jalan pemurnian)
via illuminativa (jalan pencerahan)
via unitiva (jalan persatuan).
- Via Purgativa:
Tiga pengalaman nyata saya angkat disini, bahwa Theresia mengalami pemurnian dari Tuhan sendiri lewat pengalaman hidupnya.
Pertama:
Ketika Theresia masih kanak-kanak, ibunya sangat dekat dengan kelima anaknya. Pada saat itu, ibunya terserang penyakit kanker. Para dokter mengusahakan yang terbaik untuk menyembuhkannya, tetapi penyakit ibunya bertambah parah. Ia meninggal dunia ketika Theresia baru berusia empat tahun. Theresia pasti merasa kehilangan.
Ketika Theresia berumur sepuluh tahun, ia mengalami “kehilangan” lagi. Pauline, kakak sulungnya “meninggalkannya” masuk biara Karmel di Lisieux. Hal itu pasti amat berat bagi Theresia, sampai-sampai ia sakit dalam jangka waktu yang lama. Selama ini, Pauline telah menjadi "ibunya yang kedua", merawatnya dan mengajarinya, serta melakukan semua hal seperti yang dilakukan seorang ibu terhadap an anaknya.
Pastilah, dari dua pengalaman “kehilangan ini”, Teresia dimurnikan untuk berani menerima pengalaman pahit dan melepaskan pelbagai kelekatan insani dalam hidupnya, bukan?
Kedua:
Sejak kecil, Theresia adalah pribadi yang perasa dan mudah tersinggung. Oleh karena sifatnya itu, ketika ia belajar di sekolah suster-suster Benediktin, ia tidak mempunyai banyak teman.
Sifat perasa dan mudah tersinggung ini, akhirnya diatasi sendiri oleh Theresia berkat nasihat ayahnya, Louis Martin. Ayahnya mengatakan, tidak baik kalau seorang yang mempunyai cita-cita menjadi suster masih memelihara sifat kanak-kanak.
Yah, teguran ayahnya memurnikan karakter pribadinya untuk lebih dewasa dan bijaksana.
Ketiga:
Theresia ingin masuk biara Karmel agar dapat menghabiskan seluruh harinya dengan bekerja dan berdoa bagi orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Ia tidak diijinkan karena dianggap terlalu muda.
Nah, selama masa penantian inilah, motivasinya masuk biara juga dimurnikan. Hingga akhirnya, ketika umurnya lima belas tahun, atas ijin khusus dari Paus, ia diijinkan masuk biara Karmelit di Liseux. Yah, bukankah hidup kita juga mesti terus senantiasa dimurnikan?
- Via Illuminativa:
Theresia kerap membaca riwayat para kudus dan isi kitab suci untuk menemukan suatu jalan pencerahan menuju kesempurnaan:
“Aku terlalu kecil untuk mampu mendaki tangga kesempurnaan itu, karena itu aku melihat ke dalam Kitab Suci untuk menemukan indikasi tentang apa yang mungkin bisa mengantarku untuk mencapai keinginan itu.”
Yah, dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup, Teresia mendapatkan pencerahan tentang jalan sederhana.
Menurutnya, hidup rohani seperti Kanak-Kanak Yesus adalah kehidupan rohani seorang anak kecil yang tidur tanpa ketakutan di dalam pelukan tangan ayahnya. Semangat penyerahan diri yang tulus dan penuh cinta itulah yang menjadi pedoman Teresia dan dihayatinya setiap saat.
- Via Unitiva:
Tiga bukti bahwa Theresia mengalami jalan persatuan dengan Tuhan, antara lain:
Pertama:
Ia pernah sakit parah ketika Pauline, kakak sulung “meninggalkannya”, masuk biara Karmel. Meskipun sudah satu bulan sakit, tak satu pun dokter yang dapat menemukan penyakitnya.
Bersama Theresia, ayah dan keempat saudarinya menyatukan pengalaman duka dan sakit ini dengan berdoa penuh iman. Hingga, suatu hari patung Bunda Maria di kamar Theresia tersenyum padanya dan ia sembuh sama sekali dari penyakitnya.
Kedua:
Dalam perjalanan waktu, Theresia jelas ingin senantiasa bersatu dengan Yesus.
Salah satu buktinya:
Ketika masih berumur 12 tahun, Theresia sudah berjanji kepada Kristus, “Yesus di kayu salib yang haus, aku akan memberikan air pada-Mu. Aku akan menderita sedapat mungkin, agar banyak orang berdosa bertobat” (pendosa pertama yang bertobat berkat doa Theresia adalah seorang penjahat kelas berat yang dijatuhi hukuman mati tanpa menyesali perbuatan-perbuatan jahatnya. Orang itu bertobat di hadapan sebuah salib sesaat sebelum menjalani hukumannya. Luar biasa!).
Ketiga:
Ketika Theresia terserang penyakit tuberculosis (TBC) yang membuatnya sangat menderita, ia menyatukan semua deritanya dengan cinta Yesus: ”Jangan berpikir bahwa kita dapat menemukan cinta tanpa penderitaan. Penderitaan selalu ada di dalam perjalanan untuk menjangkau cita-cita kesempurnaan. Aku membuktikan cinta itu dengan ’menaburkan bunga’ untuk Yesus, dan mempersembahkan kurban-kurban kecil,” tulis Theresia dalam catatan hariannya.
Dia kerap juga mengatakan: "Aku merasa diriku dikuasai oleh sekian banyak kelemahan, namun itu tidak pernah membuatku heran ... alangkah manisnya merasakan diriku lemah dan kecil."
Bahkan, ketika ajal menjelang, Theresia menyatukan pengalaman sakitnya dengan memandang salib secara bersahabat dan seraya berbisik, "O, aku cinta padaMu, Tuhanku, aku cinta pada-Mu!"
EPILOG
Perbuatan-perbuatan yang gemilang
bukan untukku....
Jadi, bagaimanakah akan kubuktikan cintaku,
karena cinta dibuktikan dalam perbuatan?
Dengan perbuatan dan kurbanku yang kecil-kecil.
Ya Yesus, hal-hal kecil yang tak berarti itu
akan menyenangkan Engkau!"
(auto-biografi Theresia Liseux)
Tiga tahun sebelum Theresia meninggal, salah satu saudarinya, Pauline (yang sudah menjadi Pemimpin tarekat Karmelit, dengan nama Bunda Agnes dari Yesus) meminta kepada Theresia untuk menuliskan pengalaman rohaninya, yang berjudul “The Story of a Soul” (“Kisah satu jiwa”).
Dalam buku inilah, Theresia menunjukkan, bahwa kesucian dapat dicapai oleh siapa saja, betapa pun rendah, hina dan biasa-biasa saja orang itu.
Caranya adalah dengan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan kecil dan tugas sehari-hari dengan penuh cintakasih yang murni kepada Tuhan. Theresia telah mengajarkan kita, bahwa kita dapat bersatu dengan Allah dengan mempersembahkan kepada-Nya setiap saat dari kehidupan kita sehari-hari.
Persembahan sederhana itu dapat menjadi sarana bagi kita mencapai kesucian yang kita rindukan, bukan?
Betapa indah pelajaran yang diberikan Theresia kepada kia: tak ada sesuatu yang terlalu remeh untuk dilakukan bila demi cinta kepada Tuhan.
Marilah bersama teladan dan doa restu Theresia, kita belajar mencecap tiga hal dari Tuhan sendiri setiap harinya, “purgativa-illuminativa-unitiva”: dimurnikan, dicerahkan dan akhirnya berani disatukan dalam rencana Tuhan sendiri.
ASPIRASI
"Di suatu hari Minggu kupandang Yesus di salib. Hatiku tersentuh oleh darah yang menetes dari tangan-Nya yang kudus. Kurasa sungguh sayang, sebab darah itu menetes ke tanah tanpa ada yang menampungnya. Aku pun memutuskan untuk dalam Roh tinggal di kaki salib supaya dapat menampung darah Ilahi yang tercurah dari salib itu dan aku mengerti bahwa setelah itu aku harus menuangkannya atas jiwa-jiwa."
(Theresia Lisieux, Kanak Kanak Yesus)
O Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus
tolong petikkan bagiku
sekuntum mawar dari taman surgawi dan
kirimkan padaku dengan suatu amanat cinta.
O Bunga Kecil dari Yesus
mintalah kepada Allah hari ini
untuk menganugerahkan rahmat yang sangat kubutuhkan ………
Santa Theresia,
bantulah aku untuk senantiasa percaya
kepada belaskasih Allah yang sedemikian besar,
sebagaimana telah engkau wujudkan di dalam hidupmu,
sehingga aku boleh mengikuti 'Jalan Kecil'mu setiap hari.
Amin.
C.
Carmelit: Selayang Pandang.
Ordo Fratrum Beatissimæ Virginis Mariæ de Monte Carmelo = Ordo Saudara-Saudara Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel (Ordo Karmel) adalah Ordo keagamaan Katolik yang didirikan sejak 8 abad lalu oleh pada pertapa di Gunung Karmel di Palestina; yang hidup meneladan Nabi Elia.
Aturan hidup membiara mereka (Regula Karmel) ditetapkan oleh St Albertus dari Yerusalem pada sekitar tahun 1206.
Dengan menempatkan diri di bawah perlindungan khusus Santa Perawan Maria, para Karmelit memiliki pengabdian yang besar kepada Maria dari Gunung Karmel, berkontemplasi, meneladan Maria dan Nabi Elia, menjalin persaudaraan, dan menjalankan pelayanan terhadap sesama.
Pada akhir abad ke-16, terjadi pemisahan menjadi dua kelompok:
Karmelit berkasut (O.Carm), untuk biarawan, yang relatif bergiat secara lebih aktif dengan menerapkan aturan yang lebih terbuka, dan Karmelit tak berkasut (OCD), untuk biarawati, dengan aturan kontemplatif ketat/tertutup.
Selain itu juga ada ordo ketiga, OCS -Ordine Carmelitano Secolare = Ordo Karmel Sekular yang beranggotakan awam (menikah dan “hidup biasa”) yang berpartisipasi dalam doa liturgis, doa kontemplatif dan pelayanan kerasulan lainnya.
Tokoh yang terkenal dari para Karmelit antara lain : St. Teresa Avila, St.Theresia Lisieux, St. Edith Stein, St. Yohanes dari Salib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar