Ads 468x60px

STORY OF "SOUL"



STORY OF "SOUL"
Belajar dari Thomas Merton dkk.
"Kita harus mengingat bahwa kita mencari kesendirian untuk bertumbuh dalam kesendirian itu untuk mencintai Tuhan dan mencintai sesama. Kita tidak pergi ke padang gurun untuk melarikan orang tetapi untuk belajar bagaimana untuk menemukan mereka: kita tidak meninggalkan mereka karena tak ada lagi yang perlu dilakukan dengan mereka, tetapi untuk mencari cara memperlakukan mereka yang terbaik." - Thomas Merton.
PROLOG
Merton mendasarkan seluruh kristologinya pada upaya pencarian manusia akan identitas dirinya yang sejati (true self).
Menurutnya, kepenuhan kemanusiaan kita tidak terletak di luar diri kita, melainkan ada dalam diri kita masing-masing. Salah satu cara untuk mencapai kesadaran diri yang utuh adalah melalui keheningan (solitude).
Dalam keheningan, kita bisa menyadari diri dan kehadiran Allah dalam diri kita. Menurut Merton, keheningan, yang terus-menerus terpelihara melalui doa, terlebih meditasi, kontemplasi dan refleksi, dapat membawa manusia pada suatu pemahaman yang lebih utuh. Dalam Bahasa Shakespeare: "Ketahuilah dirimu sendiri, dan jadilah nyata dengan dirimu, sehingga engkau tidak akan mudah salah dengan orang manapun."
SOLITUDE: ALONE WITH GOD
Pastinya: solitude berbeda dengan loneliness (kesepian). Seseorang yang melakukan solitude, ia sendirian bersama Tuhan, dan memiliki kepenuhan di dalam rohnya. Sedangkan seseorang yang lonely, ia sendirian tanpa Tuhan, sehingga ia mengalami kesepian.
Kita yang merasa kesepian, harus bergerak ke arah solitude, sendirian bersama Tuhan. Jika hidup kita tidak berkembang ke arah itu, kita akan menjadi lelah. Karena itu penting sekali menyediakan waktu sendirian bersama Allah (alone with God).
Tokoh Alkitab yang memiliki solitude adalah Musa. Ia punya kebiasaan pergi dan sendirian bersama Allah di tempat yang sunyi. Setiap kali kembali dari persembunyiannya, wajahnya bercahaya. Harus kita akui bahwa bagi sebagian besar orang, sangat sulit melakukan solitude di tengah dunia yang ramai ini. Namun banyak orang berhasil menemukan solitude di tengah keramaian dengan cara-caranya yang unik.
Mengapa seseorang perlu melakukan solitude? Antara lain untuk mempersiapkan diri menghadapi pekerjaan yang besar. Sebelum memulai pelayanan-Nya, Yesus menyendiri bersama Bapa-Nya selama 40 hari di padang gurun.
Namun belum tentu seseorang mengalami solitude walaupun secara fisik dia sendirian, bahkan ketika sedang berdoa sekalipun. Solitude merupakan satu misteri di mana kita menemukan diri kita bersama Tuhan. Tuhanlah yang memberikan space (tempat) bagi kita bersama-Nya. Keadaannya menjadi sulit kalau kita belum menemukan space itu. Seperti terjadi kegelisahan dan kegaringan di dalam diri kita. Keadaannya sangat berbeda ketika kita sudah menemukan tempat itu. Kita akan menjadi lebih rileks, ramah terhadap orang lain, dan tidak akan merasa kekurangan.
Solitude memampukan kita memahami bahwa kita adalah milik Allah. Pengertian akan hal tersebut begitu penting, karena tidak ada makanan, minuman atau unsur yang lain yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh hidup kita. Hanya Allah yang dapat memenuhi-Nya.
Selain ketidaktenangan, apa lagi yang akan terjadi jika tidak ada solitude? Kita akan sangat possesive terhadap berbagai hal, barang ataupun orang.
Dalam hubungan dengan orang lain kita kadang-kadang tanpa sadar merasa bahwa kita yang memiliki orang itu. Bisa juga kita ingin selalu hadir dalam hidup orang lain. Kita sering mengira bahwa kita ini berlaku ramah, padahal kita sudah sangat mengganggu bahkan mencampuri hidup orang lain. Sebaliknya, banyak orang-orang yang sangat absen dalam diri kita. Lalu, di mana panggilan kita? Keduanya. Kadang-kadang kita harus hadir, tapi juga perlu absen dalam kehidupan orang lain. Sama halnya dengan saat kita merasa Allah tidak hadir, hal itu masih wajar.
Sesungguhnya, Allah tidak pernah absen. Ia sedang menyembunyikan diri.' Allah tidak akan mencampuri semua hal dalam kehidupan kita karena kita punya kebebasan, sekalipun Ia tetap berdaulat atas hidup kita.
Untuk latihan, cobalah melakukan "Terapi Sendirian" selama beberapa hari. Misalnya, melakukan retreat. Jangan membawa apa-apa dan biarlah Anda sendirian di situ. Maka Anda akan kembali dengan pembaharuan dan kesegaran.
Namun tanpa retreat pun sebetulnya kita bisa melakukan solitude. Aturlah rumah kita, dan carilah tempat di mana kita bisa merasa nyaman ber-solitude. Selain itu, waktu di lift, saat menyetir sendiri, tempat parkir, ruang tertentu di kantor, beberapa sudut di restoran atau lobby hotel adalah beberapa tempat di mana kita bisa mengalami solitude.
Lebih lanjut, sebenarnya solitude khas Merton ini juga terkait paut dengan "silence (keheningan); " stillness (ketenangan); " simplicity (kesederhanaan) dan dalam penerapannya sering merupakan satu kesatuan.
SILENCE
Kesepian (silence) membawa kita pada solitude (keheningan). Tapi kita sering merasa tidak nyaman dengan keheningan, termasuk pada waktu mengikuti gladi rohani di gereja atau di biara ataua di pelbagai tempat retret. Mengapa keheningan begitu penting di dalam diri kita?
(a) Sebab keheningan menolong kita masuk pada suatu hal yang sifatnya mendalam. Pengalaman yang ajaib membuat kita terpaku, tidak bisa berbicara. Sebaliknya, hal yang sangat sakit juga akan mengakibatkan keheningan. Jadi pengalaman yang sangat dalam ditemukan dalam keheningan.
(b) Di Alkitab banyak pengalaman yang mendalam terjadi di padang gurun. Pengalaman rohani di padang gurun mengajarkan kita beberapa hal sebagai berikut, yakni:
a. Kesederhanaan:
Di padang gurun kita akan menyederhanakan diri. Tidak ada gunanya membawa hal-hal yang tidak esensial. Kita akan melihat pekerjaan Allah daripada pekerjaan manusia. Di kota besar lebih banyak buatan tangan manusia. Jika tidak hati-hati, kita akan lupa pekerjaan Allah. Karena itu sangat penting bagi kita untuk pergi ke tempat-tempat yang sunyi. Di sana kita disadarkan sesungguhnya siapa yang mengendalikan hidup kita. Pengenalan yang dalam akan diri kita dan Allah
Di padang gurun juga ada pergumulan, seperti Yakub dan Ayub yang bergumul dengan Allah. Dalam keheningan di padang gurun kita akan bergumul. Pergumulan akan menyingkapkan siapa diri kita dan siapa Allah itu. Di dalam silence di mana kita berhenti berbicara, kita akan menemukan hal-hal yang tidak kita temukan ketika banyak berbicara. Bersabar dan tidak tergesa-gesa.
Dan, di padang gurun bukanlah tempat untuk melakukan segala sesutu dengan tergesa-gesa. Allah berjalan dengan manusia, tidak berlari. Ketika kita berlari, mungkin kita sedang berlari di depan Allah atau sedang menjauh dari Allah. Dunia yang kita tinggali adalah dunia yang instan. Ambil uang tinggal tekan tombol. Hal yang serba instan kerap mengajar kita ingin serba cepat. Jawaban doa ingin cepat. Begitu juga soal kekudusan, kita ingin kekudusan yang instan. Padahal kekudusan adalah proses yang panjang.
b. Penyembahan
Di padang gurun kita secara spontan akan menyembah Allah. Namun penyembahan bukanlah semacam ritual yang penuh entertainment, melainkan sebuah penyerahan yang total. Kita perlu membangun kebiasaan seperti ini.
Perlu diketahui bahwa ketika kita berbicara, kita sedang berusaha mengendalikan orang lain. Sebaliknya ketika diam, kita sedang membiarkan Allah mengendalikan dan mengarahkan pikiran, emosi dan kemauan kita.
Dalam keheningan, kita bisa mendengar dan merasakan lebih jelas dan banyak hal-hal yang tidak kita dengar dan rasakan pada waktu kita bicara. Sebagai latihan, pada waktu anda menutup mata untuk berdoa, coba anda belajar untuk berdiam diri dan membiarkan suasana hening untuk beberapa saat sebelum anda bedoa.
Selain itu, kita juga bisa membangun sikap hening dalam misa atau perayaan liturgi di gereja, baik sebelum maupun sesudah ibadah, bahkan ditengah-tengah berlangsungnya gladi rohani.
STILLNESS
MTV atau pelbagai budaya popular memang bisa merupakan suatu bentuk kreatifitas, namun ia juga bisa menjadi suatu contoh kehidupan yang penuh dengan ketidaktenanganan. Tampilannya bergerak terus, menandakan kegelisahan (restlessness). Ini seakan menunjukkan bahwa pembuatan film abad ini penuh dengan kegelisahan. Semuanya serba bergerak dengan cepat, tidak tenang.
Ketidaktenangan yang tampak dari luar seringkali menunjukkan adanya ketidaktenangan dari dalam. Hati yang tidak tenang bermuara dari hubungan yang tidak benar dengan Allah.
Mari kita bandingkan antara ketidaktenangan dengan ketenangan. Kita seringkali bergerak, berlari, namun tidak mendapatkan apa-apa. Mari kita belajar bagaimana berdoa. Berdoa pada awalnya seperti kita membawa air dari sungai ke rumah dengan gentong atau ember yang ditenteng atau dipikul. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, apalagi biasanya melewati tidak sedikit anak tangga. Akan tetapi karena melalui proses dan waktu yang panjang kita makin terlatih, maka berdoa akhirnya seperti aliran air, bahkan seperti hujan, begitu deras.
Rasa tidak tenang dalam diri kita menandakan kita sedang berada di arah yang salah. Dengan mengubah arah, akan ada ketenangan. Peliharalah sikap untuk memelihara hari Sabat. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menyuruh kita untuk memelihara hari sabat. Selama ini paradigma kita tentang hari istirahat adalah sebagai upah kita bekerja. Kita memandang istirahat sebagai hak karena kita sudah bekerja. Tetapi yang lebih tepat adalah, kita bekerja karena kita sudah beristirahat. Pada malam hari sementara kita beristirahat (tidur) Allah bekerja. Ia memelihara dan menumbuhkan tanaman. Pagi harinya, baru kemudian kita bekerja. Ini mengajarkan bahwa kita bekerja karena Allah telah bekerja lebih dulu.
Kita menjadi hamba Tuhan karena kita anak Allah. Kita menjadi hamba Tuhan bukan untuk membuktikan sesuatu, untuk mendapatkan sesuatu, atau untuk mendapatkan rasa aman. Kita menjadi hamba Tuhan sebagai ucapan rasa syukur karena kita adalah anak Allah. Stillness adalah berdiam diri, baik itu penampakan luar maupun hati kita. Stillness dari luar adalah ketenangan dari segala aktivitas kita, di mana kita duduk diam. Ini akan menolong kita tidak terjebak dalam kegiatan yang tidak berarti. Stillness dari dalam adalah hati yang tenang. Bisa saja kita tenang secara fisik tapi hati kita gelisah. Oleh karena itu, carilah ketenangan, yang datang dari kedamaian bersama Allah.
Bagaimana kita bisa mempraktekkan stillness? Puasa kegiatan! Perlu kita ketahui bahwa tujuan awal hari libur (holiday) adalah untuk beristirahat. Tetapi banyak justru di hari libur kita menjadi lebih sibuk. Salah satu cara menikmati liburan adalah dengan tidak melakukan apa-apa. Jangan sampai perlu mengalami musibah atau kecelakaan dulu baru bisa berdiam diri. Nikmatilah saat-saat yang tenang. Karena waktu tenang adalah waktu untuk memperkaya atau memelihara kehidupan rohani kita. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk menjaga hari Sabat dengan sungguh-sungguh beristirahat. Kalau kita bisa tenang dari dalam, kita pun bisa tenang dari luar.
SIMPLICITY
Hidup makin rumit. Banyak hal yang harus kita urus. Kita dihujani oleh berbagai informasi dan komoditi. Di sinilah kita perlu belajar dan menemukan simplicity (kesederhanaan). Sederhana secara lahiriah mungkin bisa saja kita miliki, akan tetapi sangat sulit untuk memiliki kesederhanaan secara batin. Kesederhanaan secara batin menyangkut kemurnian hati dan motivasi dalam hidup.
Beberapa saran atau sekedar usulan praktis untuk memiliki kesederhanaan secara lahiriah (outer simplicity):
a) Belilah barang-barang yang tujuannya untuk digunakan bukan untuk prestise.
b) Tolak segala hal yang mendatangkan kecanduan/keterikatan.
c) Bangunlah kebiasaan memberi barang-barang yang tidak kita gunakan kepada orang lain. Sebab pada dasarnya kita ini pengumpul sampah. Kita sering mengoleksi barang-barang yang sesungguhnya tidak kita butuhkan.
d) Belajar untuk memiliki sesedikit mungkin barang-barang yang tidak perlu bagi perjalanan hidup iman dan kemasyarakatan.
e) Belajar untuk tidak mudah mempercayai apa yang diiklankan. Mereka menciptakan kebutuhan dalam diri kita untuk barang atau hal-hal yang sesungguhnya tidak kita butuhkan. Sering orang merasa barang itu adalah kebutuhannya karena iklan yang mengatakan demikian.
f) Belajar untuk menikmati barang tanpa harus memilikinya. Misalnya, kalau mau baca buku yang bagus, kita tidak perlu membelinya, datang saja ke perpustakaan. Banyak pemilik rumah pantai yang terlalu sibuk sehingga tidak bisa menikmatinya. Kita cukup memimjam atau menyewanya. Mau lihat ikan kunjungi saja berbagai toko ikan hias atau ke Sea World.
g) Hati-hati dengan propaganda credit card: "beli sekarang bayar kemudian." Karena kita akan terjebak pada hutang. Dan yang terpenting, hindari dari segala hal yang bisa menyimpangkan kita dari sasaran utama kita. Di dunia ini terlalu banyak pilihan. Jangan habiskan waktu untuk memilih. Fokuskan pada tujuan utama hidup kita. Hati-hati juga bahwa beli barang yang murah tidak selalu berarti kesederhanaan. Dalam membeli barang selain memperhatikan faktor price juga faktor: durability, usability & beauty.
Beberapa saran / sekedar usulan praktis untuk memiliki kesederhanaan secara batiniah (inner simplicity):
a) Belajar akan rahasia contentment: enough is enough.
b) Sadari bahwa only few things are needed. (Luk. 10: 41)
c) Belajar mendengar secara kritis suara-suara batiniah dan suara-suara dari luar.
d) Belajar untuk mengetahui mana suara Allah dan mana yang tidak.
e) Milikilah rasa aman dan harga diri di dalam Kristus bukan pada berbagai gelar, posisi atau banyaknya harta benda kita.
Kalau falsafah dunia mengatakan "Orang yang besar tinggal di rumah besar dengan yang mobil besar," maka kita tidak perlu seperti itu. Nilai kita tidak tergantung pada hal-hal seperti itu, tetapi pada realita bahwa kita adalah umat Allah bahkan kita ini adalah anak-anakNya. Kita membawa nama Kristus. Kalau kita bisa menemukan makna itu, maka kita bisa hidup secara sederhana.
EPILOG
Solitude tidak hanya sebuah ruang yang hampa. Itulah momentum dimana Tuhan kerap berada, menunggu untuk sebuah ledakan keluar dengan kemungkinan akan solusi kreatif atau pemikiran ajaib. Dari kesendirian datanglah bab selanjutnya dalam sebuah buku atau cord pembuka dari sebuah simfoni. Dari kesendirian datanglah ritme pernafasan alami yang memulihkan dan pemulihan yang penuh ketenangan dan optimisme akan kesehatan sendiri.
Namun perlu diingat bahwa memelihara kehidupan jiwa merupakan proses yang panjang dan membutuhkan kerja keras baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Kita perlu bertumbuh bersama-sama untuk saling membagikan pergumulan kita bersama dengan Tuhan sembari ber-solitude dengan silence, stillness, dan simplicity.
Thomas Merton sendiri terkesan oleh kata-kata Kardinal Newman yang mengatakan: “Hidup itu berarti siap berubah dan menjadi sempurna berarti selalu siap berubah, dan seluruh kehidupan kita merupakan pelepasan dan penerimaan. Lepaskan yang lama dan terima yang baru dari Tuhan.”
My Lord God, I have no idea where I am going.
I do not see the road ahead of me.
I cannot know for certain where it will end.
Nor do I really know myself, and the fact that I think that I am following your will does not mean that I am actually doing so.
But I believe that the desire to please you does in fact please you.
And I hope I have that desire in all that I am doing.
I hope that I will never do anything apart from that desire.
And I know that if I do this you will lead me by the right road though I may know nothing about it.
Therefore will I trust you always though I may seem to be lost and in the shadow of death.
I will not fear, for you are ever with me, and you will never leave me to face my perils alone.”
"Kesendirian bagi saya adalah sumber kesembuhan yang membuat hidup saya lebih berarti untuk dihidupi. Berbicara terkadang adalah siksaan untuk saya, dan saya membutuhkan banyak hari untuk berdiam untuk pulih dari kesia-siaan berkata-kata," - Carl G. Jung.
"Saya benci keramaian dan melakukan pidato. Saya benci berhadapan dengan kamera dan harus menjawab seberondong pertanyaan. Mengapa fantasi popular harus menangkap perhatianku, seorang ilmuwan, berhadapan dengan hal-hal abstrak dan senang jika ditinggalkan sendiri, adalah sebuah manifestasi dari psikologi massa yang di luar pikiranku." - Albert Einstein.
"Perkataan orang berhikmat yang didengar dengan tenang, lebih baik daripada teriakan orang yang berkuasa di antara orang bodoh." Pengkhotbah 9: 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar