Ads 468x60px

Thomas Merton


"Hanya dia yang terus berjuang, mengalami damai"
(Thomas Merton)
Prolog
Perjalanan manusia menemukan diri sejati akan membawanya kepada kebahagiaan dan kedamaian. Merton menulis sebagai berikut: “Therefore there is only one problem on which all my existence, my peace and my happiness depend: to discover myself in discovering God. If I find him I will find myself, and if I find my true self I will find him”.
Mengapa dikatakan bahwa penemuan ini akan membahagiakan manusia? Sebab dengan menemukan Allah ia menemukan dirinya yang sejati dan dengan menemukan dirinya yang sejati, ia menjadi manusia sebagaimana ia dimaksudkan oleh Allah.
Dengan lain kata, ia menjadi manusia seperti Adam sebelum jatuh ke dalam dosa, di mana di dalam dirinya tidak ada kontradiksi. Ia terbebaskan dari kontradiksi. Dengan hidup tanpa kontradiksi ia menemukan kedamaian dan kebahagiaan.
Seorang yang menemukan diri sejati, akan menemukan kesucian dan keselamatannya. Mengapa demikian? Karena kesucian merupakan partisipasi pada Allah yang kudus. Seorang menjadi kudus sejauh ia berada dalam kesatuan dengan Allah. Hidup dalam diri yang sejati berarti hidup dalam Allah dan Allah di dalam dirinya. Itulah kesuciannya. Itulah keselamatannya.
A.
Dua Gerakan dalam Perjalanan Manusia Menuju Allah
Lebih lanjut, Merton mengatakan bahwa setiap orang Kristiani dipanggil untuk menuju diri sejatinya. Inilah perjalanan batin seorang Kristiani. Agar seseorang sampai kepada Allah orang perlu menemukan diri sejatinya.
Ada dua gerakan dalam perjalanan batin ini, yang pertama adalah masuk ke dalam dirinya, menemukan diri sejatinya dan kedua adalah mengatasi dirinya tersebut untuk menemukan Allah.
Titik tolak perjalanan batin mansia menuju diri sejatinya adalah pengakuan bahwa ia terasing. Jika
manusia menyadari keadaan tersebut, ia akan berusaha menemukan diri sejatinya. Penemuan diri sejatinya tidaklah dicari di luar dirinya, melainkan di dalam dirinya dengan menyadari bahwa ia berada dalam kesatuan
dengan Allah pada pusat eksistensinya.
Namun, kesadaran ini pun tidak bisa
muncul apabila manusia tidak menyadari kehinaannya. Dibutuhkan disiplin spiritual agar manusia dapat melepaskan diri dari keterikatan akan dirinya yang palsu.
Berbeda dengan Zen, yang berhenti pada penemuan
diri sejati, perjalanan batin seorang Kristiani tidak berhenti pada penemuan diri yang terdalam tersebut.
Penemuan tersebut merupakan batu pijakan menuju
kesatuan dengan Allah. Allah adalah pusatnya.
Namun demikian, kedua gerakan tersebut (mencari diri dan melampaui diri) bukanlah dua gerakan yang terpisah atau dua gerakan yang bergantian satu sama
lain. Pada kenyataannya mereka bergerak bersamaan. Penemuan diri sejati manusia pada saat yang sama merupakan penemuan Allah walaupun diri sejati manusia berbeda dengan Allah.
B.
Kesatuan dengan Allah dan Sesama.
Merton menegaskan bahwa pencarian diri sejati didapatkan melalui kontemplasi. Berbagai istilah digunakan Merton yang menegaskan pentingnya kontemplasi. Ketika manusia masuk dalam kesatuan dengan Allah ia menemukan diri
sejatinya dan sekaligus kenyataan bahwa ia bersatu dengan sesamanya.
Tidaklah mengherankan dalam pemikiran Merton, kesatuan manusia dengan Allah memiliki dimensi sosial. Bersatunya manusia dengan Allah dan persatuannya dengan sesame berkaitan erat satu sama lain. Karena Allah adalah dasar segala sesuatu, maka semakin kita bersatu dengan-Nya dalam cinta semakin kita bersatu dengan sesama kita.
Tampak perbedaan yang tajam antara diri yang palsu dan diri sejati. Diri palsu tertutup dalam dirinya sendiri dan tidak mampu mencintai. Apabila ia berusaha menjalin relasi dengan sesamanya hanya dengan maksud memanipulasi mereka
untuk tujuan dirinya sendiri. Diri palsu menggunakan sesama demi memuaskan keinginan-keinginan yang bersifat egoistis. Sebaliknya diri sejati, menerima kesatuan umat
manusia secara mendasar. Kesatuan kasih adalah salah satu karya dari diri sejati ini.
Berkaitan dengan kasih ini, gagasan pokok Merton adalah pendapat tentang manusia yang diciptakan seturut citra Allah. Karena Allah adalah kasih, manusia sebagai makhluk yang diciptakan seturut citra-Nya juga memiliki cinta sebagai
identitasnya yang asli.
Sebagai citra Allah, dirinya ditandai oleh cinta. Karena ciri sejati manusia adalah kasih. Tidaklah mengherankan bahwa sejak lahir manusia memiliki kemampuan untuk mencintai tanpa pamrih. Cinta kasih ini memungkinkan manusia secitra dengan Allah sebab dalam kapasitas inilah manusia terbebas dari segala sekat penentuan. Cinta ini yang memungkinkan manusia mengasihi dengan begitu dalam dan berani mengorbankan diri demi yang dikasihinya. Dengan cara ini, ia
mampu mengatasi cinta diri yang juga dimilikinya.
Kemampuan mencintai seperti ini sangat penting dalam perjalanan manusia menuju dasar keberadaannya. Hanya jika ia mengasihi Allah dan sesamanya, manusia dapat menemukan diri sejatinya. Dengan mengasihi sesama tanpa pamrih, ia melepaskan diri egoisnya dan dengan demikian ia bergerak menuju diri sejatinya.
Di pihak lain, semakin ia menemukan diri sejatinya dan masuk dalam persekutuan dengan Allah di dalam kontemplasi, semakin ia mampu mengasihi sesamanya dengan kasih yang sempurna karena ia mengasihi sesamanya seperti Allah mengasihi mereka. Dengan kata lain, berada dalam
kesatuan dengan Allah membuat cinta manusia yang tanpa pamrih disempurnakan. Manusia mampu mengasihi sesamanya dengan cinta kasih adikodrati.
C.
Kontemplasi dan Aksi.
Merton berpendapat bahwa kontemplasi adalah
communio sejati antara manusia dengan Allah dan dengan sesamanya. Dalam kontemplasi manusia kembali kepada identitasnya yang sejati, yakni citra Allah. Sebuah cara berada yang sama sekali baru.
Ia menjadi manusia baru dalam Kristus, karena dalam kontemplasi itu Kristus sendiri telah mengubahnya. Manusia diubah karena cinta kasih Kristus, diresapi dalam dirinya oleh Roh Kudus. Transformasi ini tentu saja memiliki dampak pada
relasinya dengan Allah dan sesama. Diresapi kasih Kristus, ia menemukan dirinya dalam kesatuan dengan sesamanya.
Mereka yang berada dalam kasih Kristus
mengasihi satu sama lain dan menyadari bahwa sesungguhnya Kristus yang berada dalam diri merekalah yang mengasihi. Dalam Kristus pula mereka dibawa
kepada persekutuan dengan Bapa dan Roh Kudus. Inilah dimensi trinitaris dari kontemplasi,arena Trinitas adalah lingkaran kasih abadi dan karena kasih Allah adalah
kasih tanpa pamrih, dalam kontemplasi, ia pun mengambil bagian dalam hidup trinitaris tanpa pamrih. Manusia mengasihi sesamanya juga dengan kasih
tanpa pamrih / selfless love.
Dengan kata lain, dalam kontemplasi manusia hidup
seutuhnya untuk sesamanya dan Trinitas adalah model
communio seperti itu. Ini adalah communio
manusia yang berada dalam Kristus, di mana mereka mengasihi sesamanya dengan kasih Allah sendiri. Karena itu jelaslah bahwa kontemplasi bukanlah “a heaven of separate individuals, each one viewing his own private intuition for God” tetapi kontemplasi adalah lautan kasih. Kesatuan dengan Allah dan sesama yang dialami dalam kontemplasi memiliki
satu dasar yaitu cinta kasih (charity).
Cinta kasih itu adalah hidup Kristus dalam diri manusia. Hidup Kristus itu yang memungkinkan manusia mengasihi sesamanya dan Allah. Karena sesungguhnya Kristuslah yang membawa orang tersebut dalam kesatuan dengan kesatuan dengan sesamanya. Kristus bekerja dengan cara
demikian: Ia mencintai sesama kita melalui diri kita dan Ia mencintai kita melalui diri sesama kita.
Karenanya manusia semata-mata adalah instrumen Kristus,
karena sesungguhnya Dialah yang mengasihi kita. Manusia dapat menemukan Kristus dalam setiap orang, dan setiap orang menemukan Kristus di dalam dirinya. Dengan demikian, mengasihi sesama, terutama mereka yang paling membutuhkan, sama dengan mengasihi Kristus sendiri. Merton menegaskan hal tersebut, “I must learn that my fellow man, just as he is, whether he is my friend or my enemy, my brother or stranger from other side of the world, whether he be wise or foolish, no matter what he may be his limitation, is “Christ”.”
Apabila seseorang berani memandang sesamanya sebagai Kristus sendiri, ia harus berani menerima mereka tanpa diskriminasi. Ia tidak peduli status, ras ataupun kemampuan mereka. Tugasnya adalah menerima mereka dan mengasihi mereka karena di dalam diri mereka dan kelemahan mereka, Kristus hadir. Sesungguhnya, dengan memandang sesama sebagai Kristus sendiri, seseorang membawa dirinya dan juga sesamanya yang dikasihi itu untuk hidup secara utuh di dalam Kristus.
Mereka yang melihat diri Kristus dalam sesamanya, menerima sesama itu
bukan sebagai benda melainkan sebagai pribadi. Relasi yang terjalin di antara mereka itu serupa dengan relasi mereka dengan diri mereka sendiri. Kesamaan derajat merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dielakkan.
Dalam kasih seperti ini, sesama tidak dapat diperlakukan seolah-olah mereka lebih rendah dari pada orang yang mengasihi. Menghargai orang lain sederajat dengan diri kita berarti juga memberikan kepada mereka otonomi dan menghargai mereka sebagai pribadi.
Sesorang dapat menghargai dan mencintai sesamanya demi kebaikan mereka hanya apabila ia menghargai keheningan mereka. Kasih kepada sesama bukanlah sesuatu yang mengawang-awang. Ia tidak dapat mengasihi sesamanya hanya dalam tahap gagasan. Untuk itu cinta harus
bersifat konkret. Cinta kasih kristiani ini kurang berarti apabila tidak disertai tindakan kasih yang konkret. Apabila tadi kita berbicara tentang mengasihi sesama seperti mengasihi Kristus, maka bisa dikatakan bahwa kita harus mengasihi Kristus tidak secara abstrak melainkan dalam “tubuh dan darah”, yakni dalam hidup yang nyata: cinta kepada Kristus diwujudkan dalam cinta kepada sesama dalam situasinya yang konkret. Bagi Merton, mengasihi Allah dalam diri sesama hanya bisa apabila kita menunjukkan itu melalui tindakan yang konkret.
Epilog
Merton dikenal sebagi penulis rohani yang memberi perhatian pada masalah-masalah kemanusiaan. Kiranya, dari uraian di atas kita bisa mengetahui bahwa pemikirannya berkembang melalui pergulatan hidup rohaninya. Dari pencarian akan makna kontemplasi yang sesungguhnya ia akhirnya menemukan bahwa kontemplasi dan perhatian terhadap masalah-masalah kemanusiaan bukanlah dua hal terpisah, melainkan berkaitan erat. Semakin orang menemukan Allah, ia
semakin mampu melihat sesama dari sudut pandang yang paling dalam, yaitu cara pandang kasih.
Pemikiran dan pengalaman rohani Merton relevan untuk membangun dan mengembangkan visi spiritual yang membumi dan peduli terhadap realitas kemanusiaan. Spiritualitas bukan hanya perkara relasi individual manusia dengan Allah melainkan gerakan hidup yang didorong oleh nilai-nilai kasih persaudaraan.
Penghayatan hidup rohani yang bersumber pada kasih Allah akhirnya bermuara pada kehidupan bersama yang saling mengasihi dan menumbuhkan serta mengarahkan pada upaya kontinyu untuk mewujudkan perdamaian. Merton menunjukkan bahwa kehidupan rohani yang mendalam terpancar dalam sikap dan tindakan yang penuh kasih dan bersetiakawan dalam mengupayakan tata hidup bersaudara dan damai.
Jelasnya: Bagi Merton, hidup rohani merupakan kekuatan pembaruan yang subur dan kaya bagi umat manusia dan dunia. Bagi anda, bagaimana?
NB:
Benarkanlah jiwaku ya Tuhan,
dari pancuran-Mu kobarkanlah keinginanku.
Bersinarlah dalam budiku dan isilah hatiku dengan kecemerlangan-Mu.
Biarkan mataku melihat hanya kemuliaan-Mu.
Biarkan tanganku menyentuh hanya untuk melayani-Mu.
Biarkan lidahku hanya mencicipi roti yang akan memberiku kekuatan untuk memuji-Mu.
Aku akan mendengar suara-Mu, dan semua harmoni yang Kau ciptakan, dan aku akan menyanyikan pujian.
Bulu domba dan kain kapas dari ladang akan sudah cukup menghangatkanku untuk dapat hidup melayani-Mu, sisanya kuberikan kepada kaum miskin-Mu.
Biarlah kugunakan semua hal hanya untuk satu tujuan saja : untuk menemukan sukacitaku dalam memuliakan-Mu.
Karena itu,
Jagalah aku, lebih dari segala sesuatu yang lain, dari dosa.
Jagalah aku dari kematian karena dosa mematikan yang menempatkan jiwaku ke dalam neraka.
Jagalah aku dari dosa-dosa yang memakan daging manusia dengan api yang tak tertahankan.
Jagalah aku dari cinta akan uang dimana juga terdapat kebencian, keserakahan, dan ambisi yang mencekik hidup.
Jagalah aku dari kesombongan dan pamrih di mana orang menghancurkan diri sendiri dengan kebanggaan, kekayaan, dan reputasi.
Karena itu,
Sumbatlah lukaku akan ketamakan yang mengeringkan jiwa.
Basmilah racun iri hati yang menyengat cinta dan membunuh semua sukacita.
Lepaskan tangan dan hatiku dari kemalasan.
Bebaskanlah aku:
dari kemalasan yang menyamar sebagai aktifitas ketika aktifitas itu justru tidak dibutuhkan dariku,
dan dari sikap pengecut dengan melakukan apa yang tidak diminta, untuk menghindari berkorban.
Tetapi,
Berilah aku kekuatan menantikan Engkau dalam keheningan dan kedamaian,
Berilah aku kerendahan hati dan lepaskanlah aku dari keangkuhan yang adalah beban yang terberat.
Kuasailah seluruh hati dan jiwaku dengan kesederhanaan cintaMu.
Penuhilah seluruh hidupku dengan satu pikiran dan satu hasrat saja, akan cinta,
supaya aku boleh mencintai
bukan demi pujian,
bukan demi kesempurnaan,
bukan demi kebajikan,
bukan demi kesucian,
tetapi demi Engkau saja.
Karena hanya ada satu saja yang dapat memuaskan cinta, dan menghadiahkannya,
dan itu adalah Engkau sendiri.
“TM” alias Thomas Merton (31 Januari 1915 – 10 Desember 1968) adalah seorang rahib Trappist di "Abbey of Our Lady of Gethsemani", Kentucky Amerika dan pengarang buku buku rohani, pakar spiritual, penyair dan sekaligus aktivis sosial yang dilahirkan di Prades, tepatnya di département Pyrénées-Orientales, sebuah kota kecil di Perancis, pada tanggal 31 Januari 1915.
Ibunya, Ruth Jenkins Merton, adalah seorang wanita Amerika yang berbakat seni, penari, penulis puisi dan kronik hidup. Ayahnya, Owen Merton, adalah seorang pria Selandia baru yang berprofesi sebagai pelukis.
Ketika berumur satu tahun, orang tuanya pindah ke Amerika Serikat. Disanalah adiknya lahir dengan nama John Paul, empat tahun lebih muda dari dia. Ketika Merton berumur enam tahun, ibunya meninggal akibat penyakit kanker.
Setelah ibundanya meninggal, Merton ikut berpindah-pindah bersama ayahnya, karena itu sekolah dasarnya dilangsungkan di tiga negara: Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris. Ia sendiri melewati tahun-tahun awal hidupnya di bagian selatan Perancis, kemudian ia pergi ke Sekolah Oakham di Inggris dan ayahnya meninggal karena tumor otak ketika Merton berusia 16 tahun.
Merton lalu masuk di Universitas Cambridge dan menjalani hidup yang kacau, penuh dengan petualangan, foya-foya dan huru hara. Ia menjadi “sang pendosa” dan melulu asyik masyuk-khusyuk mencari kenikmatan duniawi, bahkan di tahun pertamanya di Universitas Cambridge, ia mendapatkan anak dari hubungan free-sex nya.
Akhirnya, Merton pindah ke Amerika Serikat dan tinggal bersama kakek-neneknya yang bekerja sebagai penerbit dan menyelesaikan pendidikannya di Columbia University, New York, jurusan Sastra Inggris. Disanalah, ia berkenalan dengan sekelompok seniman dan penulis yang kelak menjadi sahabatnya seumur hidupnya dan mengajaknya ber-transformasi dari “sang pendosa” menuju ke “sang pendoa”.
Selain sastra, ia berminat dalam bidang sosial dan filsafat, termasuk filsafat mistik timur. Ia juga sangat aktif melibatkan diri dalam kegiatan kampus. Ia banyak menulis dalam hampir semua majalah kampus. Ia berambisi menjadi seorang penyair, penulis dan kritikus terkenal.
Jiwa sosial Merton tumbuh ketika ia mulai mengenal kristianitas. Merton sendiri dibaptis dan menjadi pemeluk agama Katolik pada awal usia 20-an tahun ketika ia sedang menyusun tesis masternya tentang William Blake.
Meskipun hidup masa muda Merton dapat dikatakan”kafir”, namun pada inti batinnya ia merupakan seorang religius, dalam arti: selalu memiliki rasa kagum dan haus, yang tak pernah terpuaskan, akan suatu realitas tertinggi.
Kehausan akan realitas tertinggi tersebut sedikit terpenuhi setelah ia membaca buku ”The Medieval Philosophy” karangan Etiene Gilson. Merton mengatakan bahwa dengan membaca buku itu, inteleknya yang selama itu mencari arti Allah, benar-benar “melek” dan terpuaskan, sehingga ia mengalami perubahan radikal dari seorang”ateis”menjadi seorang yang “mistis”, membuka diri kepada pengalaman religius yang otentik.
Setelah bertobat, ia rajin melakukan praktek keagamaan: setiap hari menyambut komuni, seminggu sekali mengaku dosa,berdoa jalan salib, membaca bacaan rohani, antara lain karya-karya St.Yohanes dari Salib, St. Agustinus dan lain-lain.
Beberapa figur yang berpengaruh dalam membentuk dan membangun kepribadian Merton adalah Mark Van Doren, Daniel Walsh dan William Blake. Mark Van Doren adalah seorang pujangga pemenang hadiah Pulitzer, menjadi model keunggulan mengajar, kefasihan sastra dan etika pribadi serta pengganti ayah bagi Merton.
Sementara Daniel Walsh adalah seorang filsuf yang amat memahami Merton dan yang memperkenalkannya kepada kehidupan Trappist di Pertapaan Gethsemani. Pribadi lain yang juga amat berpengaruh terhadap kepribadian Merton adalah William Blake, yang kemudian hari akan memiliki pengaruh sangat banyak terhadap pemikiran-pemikiran dan tulisannya.
Merton sendiri pernah berkarya di Friendship House dan mulai memikirkan secara serius untuk menjadi imam. Ia mengajukan permohonan ke Ordo Fransiskan dan diterima. Tetapi beberapa bulan sebelum masuk novisiat ia dihantui oleh rasa tidak pantas, mengingat masa lalunya.
Kemudian, ia menjelaskan keraguannya kepada pemimpin Ordo Fransiskan dan ia dinasehati untuk menarik diri selama waktu tak terbatas, apalagi mengingat bahwa belum ada dua tahun sejak dia menjadi Katolik. Merton mengalami frustasi yang hebat namun menerima keputusan itu dengan tabah. Ia masuk Ordo Ketiga Fransiskan, karena ia berpikir sekurang-kurangnya dalam Ordo Ketiga ia masih kesempatan untuk menjadi suci sembari mengajar di Kolese St. Bonaventure, di Olean, New York.
Pada liburan Paska, ia mengadakan retret/khalwat di Biara Trappist, Gethsemani, dekat Bardstown, Kentucky, dan merasa jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap cara hidup Trappist yang keras. Ia melihat dalam cara hidup tersebut cita-cita hidupnya sendiri yang selalu ia cari.
10 Desember 1948, ia masuk ke pertapaan Trappist Gethsemani di Louisville, Kentucky. Disana, Merton menjalani kehidupan doa dan kerja dalam keheningan sebagai seorang rahib Trappist, sementara buah-buah pemikiran dan permenungannya ia tuangkan ke dalam tulisan-tulisannya.
Sebelum kaul kekalnya, ia tergoda untuk meninggalkan biaranya dan masuk biara Kartusian, untuk menghayati hidup eremit di sana. Tetapi hatinya tenang setelah membicarakannya dengan Abas dan Bapa pengakuannya.
Tahun 1947, ia mengucapkan kaul kekal dan tahun 1949 menerima tahbisan imamat, meskipun sebelum tahbisan, godaan untuk memeluk eremit muncul kembali. Setelah di tahbiskan, ia menjadi pembimbing para calon imam dalam biaranya sendiri di Biara Trappist, Gethsemani dari tahun 1951-1955. Dan tahun 1955-1965, ia bertugas sebagai pembimbing novis.
Waktu menjadi novis, dia disuruh menulis riwayat hidupnya, ”The Seven Storey Mountain” yang menjadi “best seller”. Adapun menurut pengakuan para pembacanya, mereka menemukan Tuhan kembali dan bertobat sesudah membaca buku ”The Seven Storey Mountain” itu.
Sementara itu Merton terus menulis dalam berbagai subyek, mulai dari hidup rohani, kesenian, sastra, sampai politik. Banyak orang yang membaca karya tulisnya, karena apa yang ditulisnya keluar dari hati dan penghayatan hidupnya.
Ya, pada tahun-tahun ia tinggal di Gethsemani, Merton berubah dari seorang biarawan muda yang sangat bersemangat dalam memeriksa hidup batinnya seperti yang digambarkan dalam buku otobiografinya yang paling terkenal, The Seven Storey Mountain, menjadi seorang penulis dan penyair yang kontemplatif yang menjadi terkenal karena dialognya dengan iman-iman lain dan sikapnya yang anti-kekerasan pada masa kerusuhan antar-ras dan Perang Vietnam pada tahun 1960-an.
Pada tahun 1965, setelah pergulatan selama lima belas tahun untuk meyakinkan komunitasnya bahwa panggilan hidup eremit adalah perkembangan wajar dan buah yang masak dari hidup seorang rahib trappist/cisterciensis, akhirnya ia mendapat ijin dari Abasnya untuk menjalani hidup eremit. Sebuah rumah di bangun khusus untuk itu, namun masih di dalam lingkungan biaranya.
Dengan menjalani hidup eremit, Merton semakin menjadi rahib trappist yang matang, manusiawi, dekat dengan manusia dan universal pandangannya. Hal ini nampak dari tulisan dan pengaruh tulisannya yang semakin luas dan mendalam.
Pada tahun-tahun itu juga, ia sekaligus mengalami banyak sekali "pertikaian" dengan Abas/kepala biaranya karena ia dilarang keluar dari biara, mengimbangi reputasi internasionalnya dan korespondensinya yang sangat luas dengan banyak tokoh terkenal dari pelbagai bidang pada waktu itu.
Seorang kepala biara atau Abas yang baru memberikan kepadanya kebebasan untuk melakukan perjalanan ke Asia pada akhir 1968. Dalam perjalanan itu ia mengalami pertemuan yang tak terlupakan dengan Dalai Lama di India, juga dengan Thich Nhat Hanh dan D. T. Suzuki. Ia juga berkunjung ke Polonnaruwa (yang saat itu dikenal sebagai Ceylon), dan mendapatkan suatu pengalaman keagamaan ketika ia menyaksikan patung-patung Sang Buddha yang sangat besar.
Pada tahun 1968 itu juga, Merton di undang oleh suatu lembaga”pertemuan para rahib Asia” di Bangkok, untuk memberikan ceramah dalam pertemuan itu. Ia bermaksud beberapa bulan tinggal di Asia, dengan tujuan untuk memperdalam penghayatan kerahibannya dan berdialog dengan para rahib timur. Dia juga punya rencana untuk berkunjung ke pertapaan Santa Maria Rawaseneng, Temanggung, Jawa Tengah. Ada spekulasi bahwa Merton ingin menetap di Asia sebagai seorang pertapa.
Akan tetapi harapan itu tak dapat di penuhi karena di Bangkok, Thomas Merton, sang “rahib” ini-pun “raib”. Ia meninggal dunia di usia 53 tahun pada tanggal 10 Desember 1968, akibat suatu kecelakaan, terkena arus listrik dari sebuah kipas angin.
Jenazahnya diterbangkan ke Gethsemani dan di sana ia dikebumikan. Sejak kematiannya, pengaruhnya terus berkembang, dan ia dianggap oleh banyak orang sebagai mistikus Amerika pada abad ke-20.
Selama hidupnya, Merton menulis lebih dari 50an buku, 2000 puisi, dan tidak terhitung jumlahnya esai, tinjauan, dan ceramah yang telah direkam dan diterbitkan dimana Merton sendiri melarang buku-bukunya diterbitkan sebelum lewat masa 25 tahun sesudah kematiannya.
Sebagai penghargaan terhadap hubungannya yang erat dengan Universitas Bellarmine, arsip-arsip Merton disimpan di tempat penyimpanan resmi, yaitu "Thomas Merton Center" di kampus Bellarmine di Louisville, Kentucky. Ada juga “Penghargaan Thomas Merton” yakni sebuah hadiah perdamaian, yang telah dianugerahkan sejak 1972 oleh "Pusat Thomas Merton untuk Perdamaian dan Keadilan Sosial" ("Thomas Merton Center for Peace and Social Justice") di Pittsburgh, Pennsylvania, AS.
My Lord God, I have no idea where I am going.
I do not see the road ahead of me.
I cannot know for certain where it will end.
Nor do I really know myself, and the fact that I think that I am following your will does not mean that I am actually doing so.
But I believe that the desire to please you does in fact please you.
And I hope I have that desire in all that I am doing.
I hope that I will never do anything apart from that desire.
And I know that if I do this you will lead me by the right road though I may know nothing about it.
Therefore will I trust you always though I may seem to be lost and in the shadow of death.
I will not fear, for you are ever with me, and you will never leave me to face my perils alone.”
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar