Ads 468x60px

VATIKAN, LAGU METAL, dan SEMANGKOK ES KRIM MINIM LEMAK


HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
VATIKAN, LAGU METAL, dan SEMANGKOK ES KRIM MINIM LEMAK
Mgr. Soegijapranata atau yg biasa disapa Romo Kanjeng Soegija adalah penggagas konsep “100% Katolik, 100% Indonesia”. Vatikan menjadi kiblat perjuangan imannya, tapi beliau tidak pernah melakukan “Vatikanisasi” di negeri tempatnya mengabdi.
Kepada Y.B. Mangunwijaya yang baru setahun kuliah di ITB, Romo Kanjeng menugaskan untuk meneruskan studi arsitektur ke Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule (RWTH) di Jerman.
Romo Hardjawardja ditugaskan ke Viena, Austria guna belajar musik, agar kelak mampu menyalin lebih banyak lagu gereja dengan sentuhan budaya lokal Indonesia.
Dan kepada penyiar Pak Besut di masa itu. “Saya sarankan lebih baik Saudara tetap mengabdi di RRI, tak perlu masuk Partai Katolik. Karena tenagamu dibutuhkan di sana. Partai Katolik biarlah diurus orang lain,” imbuh Romo Kanjeng suatu hari.
Terbukti, sepulang dari Jerman, Y.B Mangunwijaya menggenapkan impian Romo Kanjeng. Hampir seluruh gereja dan bangunan lain yg didisain bercorak budaya lokal. Tidak ada kemegahan Vatikan atau Roma, tidak ada kegenitan arsitektur Eropa. Malah tak jarang, elemen bagunannya memakai kayu-kayu lokal daur ulang. Segala material yg digunakan mulai dari pasir, batu kali, batang pohon, mengingatkan betapa Indonesia ada di benaknya.
Dan Romo Mangun mungkin terbilang yg cukup ekstrim menerjemahkan konsep “100% Katolik, 100% Indonesia" meski 6 tahun hidup di Jerman dan menyelami sangat teologi produk Roma. Lihat saja kostum kebesarannya: sarung, baju batik, dan kopiah hitam yg kerap mengiringi langkah beliau.
Baginya, penampilan dan jubah hanya asesoris belaka, tak bisa dijadikan ukuran kualtias seseorang. Malah kadang jubah itu sendiri bisa menipu!
Pada sebuah seminar tentang kepedulian sosial, seorang Katolik fanatik pernah bertanya kepada Romo Mangun, apakah beliau mempunyai target jumlah orang yang akan menjadi Katolik di setiap aksi kemanusiaannya?
Dengan nyolot, Romo Mangun menyemprot orang itu. “Dimana pun saya bekerja, saya hadir bukan sebagai tokoh agama yg mau mengkristenkan. Saya datang sebagai manusia yg bernama Mangun, yg kebetulan saja seorang pastor Katolik. Tidak ada gerakan keagamaan. Kuno itu!”
“Orang miskin butuh penghidupan bukan ajaran agama. Yang Islam tetap menjadi Islam yg baik, yang Katolik biar menjadi Katolik yang baik pula.”
Uskup Agung Mgr. Soegijapranata, Negarawan J. Kasimo, Penerbang Agustinus Adisutjipto, Pejuang Ignatius Slamet Riyadi, Tokoh pendidikan Driyarkara, Budayawan Y.B. Mangunwijaya, dan sederet tokoh Katolik lain yang telah mewariskan keteladanan beragama tanpa melepaskan kecintaan kepada tanah air, telah menjadi inspirasi hidup.
Bagi mereka, Vatikan adalah kiblat, bukan berhala. Tahta Suci adalah matahari.
Yang datang ke setiap negara, termasuk Indonesia adalah sinarnya. Dan sinar itu yg menjadi suluh perjuangan.
Seperti yg pernah diujarkan Romo Kanjeng sendiri bahwa tugas orang Katolik itu bukan membaptis orang. Itu urusan Roh Kudus. Tugas sebenarnya adalah bagaimana membuat sejahtera negara dan bangsa ini. Lagi pula, apakah jika dalam satu negara, semua orang beragama sama, persoalan hidup sudah selesai?
Maka jika kini timbul hasrat (baca: mimpi!) segelinir orang untuk menyamakan gerakan ormas seperti eksistensi Vatikan, ah…sudahlah. Akan semakin ribet nantinya jika kita menarik sejarah panjang tentang keberadaan Vatikan. Memang mau menerima sejarah dan kenyataan bahwa Sang Kristus adalah dalang dari berdirinya Tahta Suci Vatikan?
Vatikan sendiri, bisa jadi tengah tersenyum geli mendengar wacana ini. Bagi mereka akan lebih mengasyikkan menutup sore dengan diskusi memerangi kemiskinan dan upaya perdamaian dunia ditemani kopi-kopi panas dan semangkok gelato, es krim Itali minim lemak di pinggiran kota. Atau sesekali berkeliling di La Piazza di Spagna tak jauh dari tembok Vatikan sambil mendownload lagu-lagu metal dari gadget mereka. Karena hidup untuk dirayakan, bukan melulu membela agama. Kemuliaan Tuhan sesungguhnya lebih besar dan agung dari yang kita bayangkan.
Kiblat perjuangan itu ada di sini, di negara yang dasar, cita-cita dan penyelenggaraannya sudah diperjuangkan mati-matian oleh para bapak bangsa kita. Di sebuah negeri yang akan terus kita cintai: Indonesia Tanah Air Beta.
NB:
In Memoriam:
Romo Mangun (YB.Mangunwijaya)
(Buku XXI. Kanisius. RJK)
Prolog
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, seorang imam diosesan Keuskupan Agung Semarang, adalah splendor veritatis – yang penuh dengan warna-warni pelangi kemanusiaan.
Pergulatan hidupnya tercermin dalam beragam karya monumental. Novel Burung Burung Manyar (1979) menyabet penghargaan The South-East Asian Award (1986). Sentuhan arsitektur yang berbasis masyarakat terpinggirkan di tebing Kali Code telah membuatnya dianugerahi Aga Khan (1990-1992). Belum lagi, kepeduliannya terhadap karya pendidikan dasar dan orang-orang miskin. Ia jugalah yang mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED).
Sebuah Sketsa Profil1
‘’Rumah saya seperti rumah dukun. Banyak orang berdatangan, untuk mengeluh atau minta saran,’’ kata Romo Mangun. Mereka yang berdatangan adalah para mahasiswa, dosen, atau para tetangga, apa pun agamanya.
Kediamannya berupa sebuah rumah panggung, berdinding gedek, terletak di lembah yang berhimpitan dengan jembatan Gondolayu, Yogyakarta.
Berdekatan dengan rumahnya terdapat sederetan rumah serupa, yang dihuni tuna wisma, pemungut sampah, tukang becak, dan anak-anak penyemir sepatu. Tempat tinggal “orang buangan’’ yang tertata rapi itu adalah hasil rancangan Romo Mangun - arsitek lulusan Rheinisch - Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman Barat.
Ia adalah putra sulung dari 12 bersaudara, anak dari pasangan Julianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdiyah. Ia lahir di Ambarawa pada tanggal 6 Mei 1929. Kedua orang tuanya adalah guru, sedangkan kakeknya adalah petani tembakau. Sekolah formalnya dimulai di Muntilan, tetapi ia terpaksa tidak dapat melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut karena sekolah tersebut bubar ketika Jepang memasuki Indonesia.
Semasa remaja, ia sempat bergabung dengan Tentara Pelajar. Saat itu Romo Mangun tergabung dalam Batalyon X yang dipimpin Mayor Soeharto, mantan Presiden Indonesia.
Dalam seluruh hidup Romo Mangun, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah pilihan keberpihakannya kepada rakyat, terutama kaum
miskin, lemah, miskin, dan tersingkir. Sejak awal, sikap ini menjadi pilihan hidupnya.
Pilihan keberpihakan ini diawali dengan pengalamannya di kota Malang. Waktu itu, ada perayaan penyambutan Tentara Indonesia. Semua mengelu-elukan tentara sebagai pahlawan. Lalu Mayor Isman mendapat giliran berpidato. Mayor Isman mengatakan,
“Kami bukan pahlawan. Kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat. Karena kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan melakukan hal-hal yang kejam ... Sebetulnya kami ini bukan pahlawan. Yang pahlawan adalah rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi kami. Jika Belanda datang, kami lari. Memang bukan karena pengecut, melainkan karena kekuatan tidak seimbang. Tapi rakyat tidak bisa lari. Mereka yang menjadi korban : diperkosa, dibakar rumahnya, ditembak. Mereka yang berkorban, tetapi yang menjadi pahlawan bukan rakyat.”2
Pengalaman ini membuat Romo Mangun tergugah untuk membalas budi kepada rakyat. Usaha pembalasan budi kepada rakyat itu ditempuhnya dengan menjadi imam praja (baca: diosesan). Ia lebih memilih menjadi imam praja karena ia ingin bekerja langsung di tengah rakyat.
Bagi Mangun, menjadi imam adalah sebuah cara untuk berusaha menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan. Pada tanggal 8 September 1959, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Soegijapranata, SJ.
Dalam sebuah wawancara, Romo Mangun mengakui bahwa status imamat memang memberi banyak kemudahan baginya, tapi ia ingin menjadi manusia biasa saja:
“Yang berat justru untuk tetap bertahan sebagai manusia biasa. Sebab pastor itu ‘kan seolah-olah kasta tersendiri. Mudah membuat orang menjadi sombong. Karena itulah orang seperti kami harus selalu aware jangan sombong.”3
Tadinya, ia memang hanya ingin menjadi pastor desa, tetapi uskupnya menginginkan agar ia melanjutkan studi. Ia lalu masuk Institut Teknologi Bandung dan Sekolah Tinggi Teknik di Aachen, Jerman. Gelar insinyur sipil diraihnya pada tahun 1966. Selain menjadi arsitek dan pastor, ia juga menjadi dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gajahmada.
Seiring perjalanan waktu, orang-orang mengenalnya sebagai novelis, kolumnis berbagai surat kabar dan majalah, pekerja sosial, budayawan, dan tokoh besar yang mencintai orang miskin.
Selama hidupnya, Romo Mangun memang banyak terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakat. Ia berkiprah di banyak tempat demi hidup masyarakat yang lebih baik.
Pengalaman hidupnya di Code (Yogyakarta), Gigrak (Gunungkidul), Kedungombo (Boyolali) mengungkapkan betapa ia peduli terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Hasratnya untuk terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat manusia membuatnya juga tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, dia pun berpolitik. Komentar dalam buku Politik Hati Nurani mengatakan demikian:
“Romo Mangun memang berpolitik, tapi bukan politik dalam arti mencari kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara. Ia menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikannya. Politik harus menggunakan hati nurani dan hati nurani
sendiri juga harus dipolitikkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas dan demi keadian bagi seluruh lapisan.”4
Romo Mangun sendiri menghabiskan sisa hidupnya di Gang Kuwera, Jalan Gejayan, Yogyakarta. Saat ini bekas rumah tinggal sekaligus kantornya ini digunakan sebagai kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, sebuah yayasan yang didirikannya.
Akhirnya, ia menghembuskan nafas akhirnya
pada hari Rabu Legi, 10 Februari 1999, ketika ia diminta menyampaikan gagasan dalam seminar perbukuan dengan tema Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di Hotel Le Meridien, Jakarta.
Banyak kalangan yang merasa kehilangan atas kepergiannya. Berbagai komentar dari tokoh masyarakat, termasuk Mantan Presiden BJ Habibie, menunjukkan bahwa bangsa ini telah kehilangan seorang tokoh yang menjadi suri teladan. Jenazahnya dimakamkan di Seminari
Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Meskipun ia telah pergi, namun nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkannya tidak akan pernah hilang, bukan?
Refleksi Teologis
Sugi, Suka Berbagi
Merupakan sebuah pemaknaan bahwa tindakan politik Romo Mangun didasari pengalaman mistiknya dengan Allah. Ia sungguh-sungguh
berpolitik. Ia membangun negara yang demokratis. Ia ingin betul-betul tidak ada orang yang disingkirkan dalam pembangunan negara. Apa yang dilakukan Romo Mangun adalah tanggapan kenabian terhadap kenyataan
yang bobrok.5
Kiranya tidak berlebihan, kalau Jennifer Lindsey menilai bahwa Romo Mangun adalah hati nurani bangsa. “Orang agung yang bijak di dunia ini memang jarang dan Romo Mangun adalah salah satu di antaranya.
Beliau adalah salah seorang cendekiawan Indonesia terbesar, seorang yang amat mencintai negaranya dan dari rasa cinta tersebut berani bicara sebagai hati nurani bangsa.”6
Saya pribadi kalau mengingat Rm Mangun, jadi teringat seorang supir bernama Sugi (kebetulan Romo Mangun juga pernah menjadi supir ketika
ikut dalam Tentara Pelajar).
Saya mengenal Mas Sugi ketika bertugas pastoral di Kolese Gonzaga Jakarta, sekitar tahun 2002. Bagi saya, “Sugi” bisa berarti suka berbagi. Saya juga melihat bahwasannya Rm Mangun juga suka berbagi.
Dalam bagian refleksi teologis ini, saya membaginya dalam tiga bidang besar sebagai berikut.
a. Romo Mangun sebagai Guru
Romo Mangun bukan hanya seorang rohaniawan, tapi ia juga adalah seorang tokoh yang mencoba membagikan pemahaman betapa pentingnya pendidikan dasar bagi masyarakat, terutama pendidikan bagi rakyat kelas bawah. “Anak-anak miskin yang tanpa sepengetahuan mereka terlempar lahir di
kalangan kumuh itu, itulah yang sebetulnya lebih memerlukan pertolongan dan
dari pengalaman itu saya mengambil kesimpulan bahwa prioritas selanjutnya
yang ingin saya kerjakan adalah mengabdi kepada pendidikan dasar anak-anak
miskin,” kata Romo Mangun.
Di sinilah, Rm. Mangun mencoba untuk keluar dari lingkaran setan:
dampak kekuasaan yang termanifestasi melalui kurikulum yang sarat
dengan pengetahuan namun miskin dalam pemaknaan. Karena itu, dengan
memanfaatkan sebuah SD Kanisius Mangunan, Sleman yang hampir mati,
pada tahun 1994, Rm. Mangun mengadakan terobosan (groundbreaking)
dengan tiga sasaran. Pertama, Rm. Mangun menciptakan kurikulum yang
khas. Kepedulian dan kedekatannya dengan wong cilik telah mendorongnya
untuk mengangkat kemiskinan sebagai laboratorium eksperimental untuk
mengentaskan anak miskin. Kedua, sebagai partner kerja dari SDKEM, Rm.
Mangun juga mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang berperan
sebagai think tank untuk mendukung dari program-program pembelajaran
di SDKEM. Di DED inilah berbagai persoalan pendidikan pada tingkat
pendidikan dasar diangkat, didiskusikan, dibagikan, dipahami secara
bersama, disikapi secara kritis, dan akhirnya dicarikan solusinya. Ketiga, Rm.
Mangun juga tidak enggan menggandeng berbagai rekan, mengembangkan
jaringan, dan menyebarkan temuan-temuan dalam berbagai eksperimen
tersebut ke berbagai forum.
Sebagai seorang pendidik, ia juga pernah berpendapat bahwa beberapa
daya yang harus dikembangkan, yaitu: daya kognitif (daya nalar), cita rasa
dan kemampuan afektif (rasa, intuisi dan hal-hal yang berhubungan dengan
perasaan), kemampuan untuk saling berkomunikasi (bergaul, bekerja sama,
teratur, tenggang rasa), kesehatan raga, dan hati nurani (sikap atau semangat
tolong menolong, setia kawan, sopan, dan cinta kasih).7
Pendidikan daya yang terakhir inilah, “pendidikan hati nurani”, dapat
dilakukan melalui komunikasi iman (bukan melulu agama) dalam kehidupan,
dialog, percakapan, dan lebih-lebih perbuatan. Tujuan komunikasi iman ini
adalah untuk menumbuhkan sikap dasar yang benar, hati nurani yang peka
terhadap segala yang baik, adil, benar, senang menolong, dan membuat
orang lain gembira, sekaligus memekarkan watak yang menolak segala yang
buruk, menghina teman yang miskin, cacat, atau lambat belajar misalnya.8
Di sinilah, saya mengangkat pernyataan Ignatius Haryanto, dalam kata
pengantar buku Politik Hati Nurani. Ia menulis:
“Sosok Mangunwijaya yang pasti bukanlah seorang politikus
dalam arti seorang yang memimpin partai, memimpin sekelompok
massa, dan memperjuangkan suatu kepentingan bersama. Romo
Mangun mengerti soal politik, dan dalam arti luas ia juga
berpolitik, namun ia mendasari politiknya lewat pengabdian
pada kemanusiaan. Profesinya sebagai seorang rohaniwan mau
tidak mau mempengaruhi option yang dipilihnya tersebut.
Dengan seluruh karya sosialnya, Mangun menunjukkan bahwa ia
bergerak atas dasar panggilan nurani kemanusiaan ... Hati nurani
bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan politik, bahkan justru
kegiatan politik harus memiliki Hati Nurani jika perpolitikan
hendak berlangsung abadi dan mendapatkan simpati dari rakyat.”9
Secara imani, Romo Mangun mengajak kita melihat bahwa berbagai
pengalaman hidup yang dijumpai dalam hidup keseharian dapat diangkat
dan dimaknai dengan adanya kepekaan hati nurani. Barang-barang bekas
bisa dibawa ke kelas untuk menumbuhkan kesadaran tentang makna
kreativitas, perlunya konservasi alam, dan kepedulian terhadap sesama.
Bagi Rm. Mangun, kemiskinan bukan alasan untuk merasa pesimistis,
gagal, dan tidak berprestasi. Bukankah Tuhan juga datang sebagai orang
miskin di sebuah kandang Betlehem? Romo Mangun bahkan pernah juga
mengatakan, “Yang utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil
dan solider terhadap yang menderita ... demi perdamaian dunia, kemanusiaan,
keadilan sosial, dan kemerdekaan.” Menurutnya, iman adalah tindakan, ya
tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia, menjadi lebih
punya hati nurani.10
b. R omo Mangun sebagai Sastrawan
Dalam khasanah sastra Indonesia Romo Mangun dikenal sebagai seorang
penulis novel yang produktif. Sampai di akhir hidupnya ia telah menulis
puluhan novel. Beberapa karya satranya antara lain: Romo Rahadi (1981),
Burung-burung Manyar (1981), Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Roro
Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1986), Balada Becak (1985),
Burung-burung Rantau (1992), Balada Dara-dara Mendut (1993), Durga
Umayi (1994), Tak Ada Jalan Lain (1999), Pohon-pohon Sesawi (1999).
Membaca novel Romo Mangun berarti juga membaca humanisme.
Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, semua napas dan roh novel-novel
Romo Mangun menunjukkan sosok multidimensionalitas pribadinya.
Melalui novelnya, Romo Mangun mencurahkan pandangannya tentang
kemanusiaan dan kebangsaan. Ia menulis cerita dengan cara yang sangat
jelas dan memakainya sesuai kebutuhan. Kadang seorang Mangun bergaya, seperti seorang kakek yang bercerita dengan menyenangkan kepada cucunya,
misalnya dalam Burung-burung Manyar yang diselipi unsur jenaka dan riang,
walaupun ada novel yang tergolong ”sulit” dicerna, seperti Durga Umayi.
Trilogi roman sejarah Rara Mendut dan novel petualangan Romo Rahadi bisa
dibilang merupakan novel-novel yang paling nyaman dan mengasyikkan.
Tidak berbeda dengan penulis besar dalam sastra Indonesia, seperti
Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Takdir Alisjahbana, Mangunwijaya
di hampir semua karyanya juga bercerita tentang keindonesiaan, tentang
terbentuknya bangsa Indonesia. Keindonesiaan ditulis melalui pemikirannya
yang kritis. Tanpa gentar ia mengungkap sisi lain dari kebanyakan kisah-kisah
sejarah yang luput diceritakan. Misalnya, meski kini bangsa Indonesia sudah
lama mengenyam kemerdekaan dan tidak lagi dikungkung penjajahan fisik,
tetapi cerita Durga Umayi tetap relevan. Kolonialisme gaya baru, modernitas,
dan kapitalisme global kini yang memperkosa Indonesia.
Dalam novel “Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa”, sikap Mangunwijaya
terhadap penjajahan jelas terlihat. Ikan hiu, ido, dan homa ialah proses
makan dan dimakan. Ikan besar (hiu) memakan ikan kecil (ido), ikan kecil
(ido) memakan ikan lebih kecil (homa). Bagi saya, membaca karya Romo
Mangun juga mengantar kita belajar memahami persoalan-persoalan kunci
dunia melalui pengalaman Indonesia, seperti kolonialisme, modernitas, dan
identitas yang kini menjadi pemecah belah manusia. Tampak jelas, bahwa
Romo Mangun mengomunikasikan imannya lewat pelbagai tulisan yang dia
hasilkan bukan?
c. R omo Mangun sebagai Arsitek
Sebagai seorang arsitek, Romo Mangun mempunyai keistimewaan dalam
dunia arsitektur Indonesia. Hasil karya Mangunwijaya dapat menjadi contoh
hasil ekspresi yang jujur dan kreatif dari jiwa dengan semangat option for the
poor: keberpihakan kepada kelompok lemah dan terpinggirkan.
Erwinthon P. Napitupulu, arsitek muda yang tengah mendokumentasikan
karya-karya Mangunwijaya mengatakan di tengah diskusi yang digelar Dewan
Kesenian Jakarta dalam rangka memperingati 80 tahun kelahiran Romo
Mangun di Goethe Institute, Jakarta, “seperti juga pada banyak aktivitasnya
di bidang politik, pendidikan dan sastra, karya Mangunwijaya di bidang
arsitektur bukanlah menjadi tujuannya. Baginya, arsitektur menjadi media
perjuangan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya, yakni kemanusiaan.”
Mangunwijaya sebagai arsitek, misalnya, terlibat langsung dalam
konflik sosial di Lembah Code ketika muncul rencana penggusuran. Dia
menggunakan arsitektur untuk membantu meredam konflik tersebut. Dia
juga sempat mendesain perahu dan perpustakaan terapung untuk menjawab
persoalan ketika terjadi ketidakadilan di Kedungombo (1989-1993). Sejauh
ini, tercatat 82 karya Mangunwijaya. Karya arsitektur Mangunwijaya
menekankan kesederhanaan dalam penggunaan bahan bangunan. Dalam
pembangunan, digunakan material dan tenaga kerja setempat. Bangunan
menjadi kontekstual sehingga sesuai dengan kondisi Indonesia. Contoh
lain, dalam desain-desain rumah ibadah seperti Gereja, ciri yang menonjol
ialah keterbukaan bangunan sehingga Gereja menjadi bagian dari komunitas
setempat. Romo Mangun sendiri telah berhasil meraih dua kali IAI Award
dan Aga Khan Award untuk ketiga buah karyanya, yakni: Perkampungan
Kali Code, tempat ziarah Sendang Sono, serta Biara Trapis Gedono.
Buah karyanya sarat dengan pesan, baik dari segi konsep maupun
teknik, dan kerap disebut sebagai “Arsitektur Nusantara” karena tidak
harus mengacu ke gaya-gaya arsitektur tertentu. Mangunwijaya (1985) selalu
mengingatkan lewat bukunya “Wastu Citra”, bahwa ternyata bangunan
punya citra tersendiri, mewartakan mental, dan jiwa pembuatnya. Ternyata
pula bila sang arsitek hendak berarsitektur sebaiknya ada kecenderungan lebih
mendalami yang berhubungan dengan mental, kejiwaan, serta kebudayaan
setempat.
Di tengah kiprahnya berkarya, beliau masih prihatin terhadap bidang
arsitektur yang lebih banyak berpihak pada orang mampu daripada orang
tidak mampu sehingga hal ini mendorong beliau dengan sadar melepaskan
atribut keprofesian atau melepas embel-embel IAI di belakang namanya.
Kepedulian beliau ini dapat kita lihat dari hasil karyanya sebuah perumahan
untuk kaum papa di Kali Code, Yogyakarta. Jelasnya, lewat pelbagai karyanya
inilah, Romo Mangun sungguh membagikan imannya yang mau bersolider
dengan masyarakat sekitarnya.
Ep i log
Sebagai penutup, saya kutipkan sepenggal sajak indah dari nenek moyang kita,
yang dituliskan kembali oleh Mangunwijaya dalam bukunya Wastu Citra (hal 2),
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadag lan batine, pepindhane
wadhah lan isine ...” (Yang disebut hidup sejati tak lain adalah leburnya tubuh jasmani
dengan batinnya). Gereja pun diajaknya mencapai hidup sejati, maka Mangunwijaya
pun dengan lantang menyerukan hati nurani kemanusiaan kepada seluruh warga
Gereja.
“Di Asia, khususnya di Indonesia, manusia kecil, lemah,
miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka
yang kaya dan berkuasa ... Hukum rimba: siapa kuat, dia
menang. Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia,
yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.”11
“Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %.
Namun, setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota bene terkenal
sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah
“terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya
kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin,
tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”12
Tampak jelas, keberpihakan Romo Mangun kepada kaum miskin
adalah sesuatu yang digulat-geliati seumur hidupnya terus-menerus. Hidup
Romo Mangun seakan-akan menjadi sebuah usaha yang tiada henti untuk
memperjuangkan kaum miskin, lemah, kecil, dan tersingkir ini. Jelaslah dia
benar-benar mencari hidup yang sejatinya, dan bisa jadi bagi banyak orang,
Romo Mangun memang “hadir untuk memberi”.
“Memanglah ada dua paradigma dan pengertian dan pengartian dasar
politik.
Yang pertama lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni
politik dalam aspek kekuasaan; penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan,
pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status quo kekuasaan,
dan seterusnya; pendek kata, segala yang menyangkut power atau
kekuasaan; termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni
yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih
kuat kepada yang lemah.
Lazimnya khalayak ramai mengartikan politik melulu dalam arti
pertama ini sehingga ada ucapan yang terbang di mana-mana: “politik
itu kotor”.
Namun bagi orang terpelajar, ada politik berparadigma ke-2 yang
sebenarnya lebih asli dan otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis,
ataupun sesuai kodrat alam manusia dan masyarakat, (tetapi kurang
terkenal populer), yakni politik dalam arti: segala usaha demi
kepentingan dan kesejahteraan umum; jasmani dan rohani. Bukan
untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia, atau partai itu atau
umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan
umum, semua warga bahkan universal semua bangsa, tanpa pandang
siapa dan golongan, luas; misalnya, sila ke-2 (kemanusiaan yang adil
dan beradab), sila ke-5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat). Juga
demi perdamaian, kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dan
sebagainya demi tata hidup bersama yang membangun iklim budaya
mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan kesetiakawanan dan
menumpas egoisme, individualis maupun kolektivisme yang mencekik
serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest, dan sebagainya,
dan seterusnya.
Ini politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan
penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi
moral dan iman
(YB. Mangunwijaya).”13
Catatan-catatan:
1. Biografi Romo Mangun ini disusun dari data yang ada, terutama dari Y.B.
Mangunwijaya. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999.
2. “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
Hal. 59-60.
3. “Saya Tak Mau Jadi Godfather” dalam Y.B. Mangunwijaya. Saya Ingin
Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 28.
4. YB. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997.
Halaman sampul bagian belakang.
5. “Bukan Sekadar Politik Rohaniwan Biasa” dalam Y.B. Priyanahadi et all.
Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal.
318-319.
6. Jennifer Lindsey. “Y.B. Mangunwijaya Hati Nurani Bangsa” dalam Y.B.
Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999. Hal. 111.
7. A. Supratiknya dan A. Atmadi. “Romo Mangun sebagai Guru” dalam Y.B.
Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999. Hal. 161.
8. Bdk. A. Supratiknya dan A. Atmadi. Ibid. Hal. 171-172.
9. Y.B. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997.
Hal. xi-xii.
10. “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
Hal. 61.
11. “Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal.
17-18.
12. “Anawim” dalam Y.B. Mangunwijaya. Memuliakan Allah, Mengangkat
Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 30.
13. “Rohaniwan Tak Boleh Berpolitik?” dalam Y.B. Mangunwijaya. Politik
Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997. Hal. 90-91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar