HOMILI PAUS FRANSISKUS
DALAM MISA 15 September 2017 :
BUNDA MARIA BERDUKACITA
DALAM MISA 15 September 2017 :
BUNDA MARIA BERDUKACITA
Bacaan Ekaristi :
Ibr 5:7-9;
Mzm 31:2-6,15-16,20;
Yoh 19:25-27
Ibr 5:7-9;
Mzm 31:2-6,15-16,20;
Yoh 19:25-27
Homili Paus Fransiskus selama Misa harian Jumat pagi 15 September 2017 di Casa Santa Marta, Vatikan, berfokus pada sosok Bunda Maria Berdukacita yang dirayakan hari itu.
Kita perlu merenungkan Bunda Yesus, kata Paus Fransiskus, kita perlu merenungkan "tanda perbantahan ini, karena Yesus adalah sang pemenang, tetapi di atas kayu Salib". Ini adalah sebuah pertentangan, beliau mengatakan, yang tidak bisa kita pahami. "Perlu iman untuk memahaminya, paling tidak mendekati (untuk memahami) misteri ini".
Maria memahami dan menjalani seluruh hidupnya dengan hati yang tertusuk. "Ia mengikuti Yesus dan mendengarkan komentar orang banyak terhadap Yesus, terkadang bernada positif, terkadang bernada negatif. Tetapi ia selalu berada tepat di belakang Putranya. Itulah sebabnya kita menyebutnya murid pertama". Keprihatinan Marialah, lanjut Paus Fransiskus, yang menimbulkan "tanda perbantahan" ini di dalam hatinya.
Maria ada di sana pada akhirnya, dalam keheningan, di kaki Salib, menyaksikan Putranya. Mungkin ia mendengar komentar-komentar seperti : "Lihatlah, ada ibu dari salah seorang dari tiga penjahat itu". Tetapi, kata Paus Fransiskus, ia "memperlihatkan wajahnya kepada Putranya".
Paus Fransiskus mengatakan bahwa ia sedang menawarkan beberapa kata sederhana ini untuk membantu kita merenungkan misteri ini dalam keheningan. Pada saat ini, di bawah kaki Salib, Maria melahirkan Gereja dan kita semua : "Ibu", Putranya mengatakan, 'lihatlah anak-anakmu'". Ia tidak mengatakan "Bunda", ia mengatakan "Ibu". Ibu yang kuat dan pemberani ini ada di sana untuk mengatakan : "Inilah Putraku. Aku tidak menyangkal-Nya".
Lebih dari sekadar sebuah panggilan untuk bercermin, kata Paus Fransiskus, Injil hari ini adalah sebuah panggilan untuk merenung. "Semoga Roh Kudus", beliau mengakhiri homilinya, "menjadi yang memberitahukan kita masing-masing apa yang kita butuhkan".
NB:
HOMILI PAUS FRANSISKUS:
TANPA KEIBUAN, GEREJA HANYALAH SEBUAH ORGANISASI YANG KAKU
Bacaan Ekaristi :
1Kor 12:31-13:13 atau Ibr. 5:7-9;
Yoh 19:25-27
HOMILI PAUS FRANSISKUS:
TANPA KEIBUAN, GEREJA HANYALAH SEBUAH ORGANISASI YANG KAKU
Bacaan Ekaristi :
1Kor 12:31-13:13 atau Ibr. 5:7-9;
Yoh 19:25-27
Dalam sebuah dunia yang tampaknya "yatim piatu" ada harapan bagi suatu "keibuan yang berjangkit" yang membawa penerimaan, kelembutan dan pengampunan.
Dalam homilinya selama Misa harian pagi di Casa Santa Marta, Vatikaan, pada Pesta Bunda Maria Berdukacita, di hadapan Dewan Kardinal, Paus Fransiskus merenungkan keibuan Maria dan keibuan Gereja yang, tanpa ciri tersebut, akan berkurang menjadi hanya "sebuah organisasi yang kaku".
Paus Fransiskus memulai permenungannya dari sebuah perikop Injil Yohanes - "Ibu, inilah, anakmu!", yang diikuti dengan kata-kata kepada murid tersebut, "Inilah, ibumu!" (19:25-27). Beliau menekankan bahwa "itulah kedua kalinya Maria mendengar 'ibu' dari Putranya". Yang pertama, tentu saja, adalah di Kana ketika Yesus mengatakan kepada ibu-Nya: "Saat-Ku belum tiba"; yang kedua adalah saat ini, di kaki Salib, ketika Ia menyerahkan kepadanya anak lainnya.
Perlu dicatat bahwa "pertama kalinya ia mendengar kata" dari Yesus, ia mengambil alih keadaan, mengatakan kepada para pelayan : "Perbuatlah yang Ia katakan kepadamu". Saat ini, malahan, Yesuslah yang mengambil alih tanggung jawab : "Perempuan, anakmu".
Dan pada momen itu, Paus Fransiskus mengatakan, Maria "sekali lagi menjadi seorang ibu". Keibuannya "meluas ke sosok anak yang baru itu, ia meluas ke seluruh Gereja dan ke seluruh umat manusia".
Dan kita, hari ini, tidak bisa "memikirkan Maria tanpa mempertimbangkannya sebagai Ibu". Dan pada saat perasaan merasakan "yatim piatu" ini, Paus Fransiskus mengatakan, kata ini "memiliki kepentingan besar". Yesus mengatakan kepada kita : "Aku tidak akan meninggalkan kamu yatim piatu, aku memberimu seorang ibu".
Warisan ini juga merupakan "kebanggaan kita : kita memiliki seorang ibu, yang bersama kita, melindungi kita, menyertai kita, membantu kita, bahkan dalam masa-masa sulit, dalam momen-momen buruk".
Untuk lebih menjelaskan pertimbangan ini, Paus Fransiskus mengingat kembali tradisi para biarawan Rusia kuno, orang-orang yang "pada saat-saat kekacauan rohani", mengatakan bahwa kita harus berlindung "di bawah mantel Bunda Allah yang kudus".
Saran tersebut diteguhkan dalam "antifon Maria pertama dalam bahasa Latin : Sub tuum praesidium confugimus"; dalam doa pertama ini kita menemukan "ibu yang menerima kita, melindungi kita dan menjaga kita".
Tetapi, Paus Fransiskus menambahkan, "kita juga dapat mengatakan bahwa keibuan Maria ini melampaui" hal itu, dan "berjangkit".
Memang, kembali ke permenungan Ishak, "Abas Biara Stella" kuno, kita dapat memahami bahwa selain "keibuan Maria" ada juga "sebuah keibuan kedua", keibuan 'Bunda Gereja kita yang kudus', yang melahirkan kita dalam baptisan, memungkinkan kita tumbuh dalam komunitasnya" dan memiliki sikap-sikap keibuan yang sesungguhnya : "kelembutan dan kebaikan : Maria ibu dan Gereja ibu tahu bagaimana membelai anak-anak mereka, mereka memberikan kelembutan".
Ini merupakan ciri penting, Paus Fransiskus menunjukkan. Memikirkan Gereja tanpa keibuan ini seperti memikirkan "sebuah organisasi yang kaku, sebuah organisasi tanpa kehangatan manusiawi, yatim piatu".
Gereja, bagaimanapun, "adalah ibu dan menerima kita sebagai seorang ibu : Maria ibu, Gereja ibu". Itu tidak semuanya. Ishak Abas menambahkan hingga kini rincian lain yang, Paus Fransiskus menjelaskan, mungkin "mengejutkan" kita: "bahkan jiwa kita adalah ibu", bahkan ada hadir di dalam diri kita sebuah keibuan "yang diungkapkan dalam sikap kerendahan hati, penerimaan, pemahaman, kebaikan , pengampunan dan kelembutan".
Setiap bentuk keibuan ini datang langsung dari "kata-kata Yesus kepada ibu-Nya" yang berada di kaki Salib. Dan, Paus Fransiskus menjelaskan, di mana ada keibuan "di sana ada kehidupan, di sana ada sukacita, di sana ada damai, orang bertumbuh dalam damai".
Sebaliknya, ketika kekurangan, di sana hanya tinggal "kekakuan itu, kedisiplinan itu" dan, beliau menambahkan, "kita tidak tahu bagaimana tersenyum". Paus Fransiskus kemudian menyarankan "salah satu hal yang paling indah dan manusiawi", yaitu "tersenyum pada seorang anak dan membuat dia tersenyum".
Menerapkan permenungannya terhadap perayaan Ekaristi, Paus Fransiskus mengakhiri : "Sekarang kita memperingati Salib, Yesus datang ke sini dan sekali lagi memperbaharui pengorbanan-Nya untuk kita dan ibu-Nya", dalam sakramen Ekaristi, beliau menjelaskan. Keduanya hadir "meskipun dalam cara yang berbeda: ibu-Nya secara rohani dan Ia sesungguhnya".
Paus Fransiskus berdoa agar, pada momen ketika "sekali lagi Ia menawarkan diri-Nya kepada Bapa demi kita", Tuhan "sudi membuat kita merasakan bahkan hari ini" kata-kata ini : "Anak, lihatlah ibumu!".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar