HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
HARAPAN IMAN KASIH.
Para rahib turun dari biara
mengenakan jubah
mengalir bagai air
aku tak bisa melihat mereka
tetapi kudengar langkahnya yang mengombak..
mengenakan jubah
mengalir bagai air
aku tak bisa melihat mereka
tetapi kudengar langkahnya yang mengombak..
"3 Jurus HOPE FAITH LOVE" ala Rahib Trappist
1. Opus Dei:
Berdoa 7x sehari
Berdoa 7x sehari
2. Opus Manuale:
Bekerja setiap hari
Bekerja setiap hari
3. Lectio Divina:
'Belajar' membaca KS.
'Belajar' membaca KS.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
I.
Tiga Pilar "HIK"
I.
Tiga Pilar "HIK"
Tercandra dalam keseharian para rahib trappist, yang sejak zaman dahulu menjadi tiga latihan dasar bagi pembentukan hidup kerahiban, antara lain:
"Berdoa" : OPUS DEI.
"Belajar" : LECTIO DIVINA.
"Bekerja" : OPUS MANUALE.
"Belajar" : LECTIO DIVINA.
"Bekerja" : OPUS MANUALE.
A.
OPUS DEI.
Berdoa bersama- sama dengan komunitas menurut waktu, liturgi offisi, (dan berdoa secara pribadi).
OPUS DEI.
Berdoa bersama- sama dengan komunitas menurut waktu, liturgi offisi, (dan berdoa secara pribadi).
Bersama para saudaranya, rahib mengambil bagian dalam ibadat liturgis gerejani, yang disebut Ibadat Harian. Mereka memuji dan memohon kepada Allah di dalam Gereja dan sebagai anggota Gereja. Sebagai bagian dari Gereja, mereka bertugas menampakkan wajah Gereja yang berdoa.
Ibadat Harian akan mandul tanpa berbuah kalau tidak dijiwai secara pribadi. Oleh karena itu rahib harus meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi. Selain berfungsi sebagai jiwa ibadat, doa pribadi juga dimaksudkan untuk memperdalam hidup batin rahib. Doa batin-pribadi dengan doa liturgis-bersama saling mengisi dan memperkaya. Keduanya menjadi sarana utama bagi rahib untuk berdialog terus-menerus dengan Allah.
B.
LECTIO DIVINA.
Belajar, membaca aneka bacaan rohani dan terlebih kitab suci.
LECTIO DIVINA.
Belajar, membaca aneka bacaan rohani dan terlebih kitab suci.
Karena pada dasarnya doa merupakan dialog, maka pertama-tama rahib harus bersikap mendengarkan. Latihan mendengarkan suara Allah ini dilaksanakan secara khusus dalam bacaan suci atau Lectio Divina.
Lectio Divina dapat diartikan sebagai bacaan yang bemuara ke dalam doa. Karena itu dalam Lectio Divina ada unsur-unsur: membaca teks, meresapkannya dalam hati dengan cara mengulang-ulang, lalu secara spontan mengucapkan doa sebagai jawaban atas sentuhan rahmat yang diperoleh melalui teks tersebut.
Bahan utama Lectio Divina adalah Kitab Suci. Khususnya dengan mendengarkan suara Allah secara terus menerus dalam Kitab Suci, rahib semakin belajar dibentuk dan diresapi oleh semangat Allah sendiri; ia semakin ditarik oleh-Nya untuk bersatu denganNya.
C.
OPUS MANUALE.
Bekerja, melakukan pekerjaan tangan.
OPUS MANUALE.
Bekerja, melakukan pekerjaan tangan.
Tentu saja rahib tidak dapat hidup hanya dengan berdoa. Rahib harus bekerja juga. Kerja rahib terutama untuk mencari nafkah yang diperlukan bagi hidupnya. Menurut S. Benediktus rahib harus hidup dari hasil keringatnya sendiri, bukan dari bantuan atau derma orang lain.
Kerja di sini dapat dilihat pertama-tama sebagai suatu pelayanan dan pengabdian bagi sesama saudaranya sebiara.
Hasil dari pekerjaan tangan untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari para rahib dan untuk merawat biara.
Para rahib sendiri menjalani hidup kontemplatif, artinya tidak memiliki ambisi pribadi, tetapi memusatkan diri pada doa, berdoa untuk dunia, dan untuk ujud -ujud. Mereka tinggal bersama di dalam suatu lingkungan tertutup yang mandiri, mengurus kebutuhan sendiri, memiliki pemakaman dan tempat perawatan sendiri bagi yang sakit, namun juga tidak menolak bantuan dari luar sesuai keadaan dan kebutuhan.
Jelasnya, mereka mengambil "tata hidup kerahiban", secara jelas dan terpilah, clara et disctinta, al:
Sumpah kemiskinan :
Tidak memiliki harta pribadi, melainkan segala sesuatu adalah milik bersama / milik biara. Tidak memiliki kelekatan teratur, tapi menjadi pribadi beriman yang lepas bebas, homo relugiosus yang bersahaja, simply deeply lovely.
Tidak memiliki harta pribadi, melainkan segala sesuatu adalah milik bersama / milik biara. Tidak memiliki kelekatan teratur, tapi menjadi pribadi beriman yang lepas bebas, homo relugiosus yang bersahaja, simply deeply lovely.
Sumpah kemurnian :
Hidup bertarak atau selibat alias tidak menikah seumur hidup; "high quality jomblo".
Hidup bertarak atau selibat alias tidak menikah seumur hidup; "high quality jomblo".
Sumpah ketaatan :
Taat pada ajaran Gereja, pada PSB / Peraturan Santo Benediktus, patuh pada pimpinan biara / Abas; "obedientia sicut cadaver", ketaatan seperti mayat, dari egosentris beralih ke kristus sentris.
Taat pada ajaran Gereja, pada PSB / Peraturan Santo Benediktus, patuh pada pimpinan biara / Abas; "obedientia sicut cadaver", ketaatan seperti mayat, dari egosentris beralih ke kristus sentris.
Sumpah kesetiaan :
Stabilitas loci, tinggal bersama untuk selalu bersatu di dalam komunitas seumur hidup, cor unum et anima una, sehati sejiwa.
Stabilitas loci, tinggal bersama untuk selalu bersatu di dalam komunitas seumur hidup, cor unum et anima una, sehati sejiwa.
Sumpah pertobatan:
Dimensi "silih", untuk terus maju dalam semangat pertobatan dan dalam menjalani hidup spiritual, yang jika semakin dalam semakin menyadari banyak yang masih perlu terus dilakukan dengan lebih baik.
Dimensi "silih", untuk terus maju dalam semangat pertobatan dan dalam menjalani hidup spiritual, yang jika semakin dalam semakin menyadari banyak yang masih perlu terus dilakukan dengan lebih baik.
Pastinya:
Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang dibaktikan kepada doa.
Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang dibaktikan kepada doa.
Seorang rahib mengundurkan diri dari “dunia” dan sesama saudaranya, bukan karena, ia tak mau ambil pusing akan keselamatan mereka, melainkan karena dengan pang¬ilannya itu ia justru ingin menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Apakah yang ingin disumbangkannya?
Secara singkat dapat dikatakan panggilan seorang rahib mengingatkan sesamanya akan nilai-nilai rohani yang harus diperjuangkan dan dijunjung tinggi.
Secara singkat dapat dikatakan panggilan seorang rahib mengingatkan sesamanya akan nilai-nilai rohani yang harus diperjuangkan dan dijunjung tinggi.
Seorang rahib menjadi semacam tanda, suatu petunjuk, untuk memberikan kesaksian akan keagungan kasih Allah dan akan per-saudaraan akan semua orang dalam Kristus. Itulah panggilan hidupnya, sekaligus sumbangannya yang utama.
Panggilan hidup itu dijalankan dalam kesunyian. Kesunyian yang merupakan sarana untuk memudahkan setiap orang bertemu dengan Tuhan, bagi rahib menjadi suatu kebutuhan permanen dalam menghayati panggilan hidupnya. S. Antonius pernah berkata, “Sebagaimana ikan akan mati jika terlalu lama ditaruh di darat, demikian pun rahib akan hancur jika terlalu laina tinggal di luar kesunyian”.
Sebagai jawaban atas kasih Allah, rahib menjalani hidup yang dibaktikan kepada doa ini melalui sarana-sarana kerahiban lainnya: ketaatan, hidup wadat, kemiskinan, berjaga dan berpuasa, kekerasan hidup, kerja tangan, bacaan suci, ibadat bersama dan doa pribadi dalam keheningan. Semua sarana itu merupakan akibat dan tujuannya untuk hidup melulu bagi Allah.
Melalui semua sarana itu, rahib ingin mengungkapkan tekadnya untuk menjadikan Allah sungguh-sungguh pusat hidupnya. Dengan rendah hati dan tak kunjung henti, dengan segala usaha, ia mencari wajah Allahnya. Ia ingin seluruh hidupnya berakhir dan tercurah habis di hadapanNya dan untuk Dia. Karena Ia berhak atas persembahan diri itu. Hanya Dia melulu yang berhak memiliki persembahan hidup seutuhnya. Itulah hidup yang biasa disebut Kontemplatif, hidup yang sama sekali diarahkan sepenuhnya kepada persatuan dengan Allah.
Cita-cita hidup yang sederhana, mendalam dan indah ini tak dapat diraih tanpa pengurbanan. Seperti seseorang menemukan harta tak ternilai yang merebut seluruh minat perhatiannya, sehingga ia rela meninggalkan segalanya demi memiliki harta yang telah mempesona hatinya.
Begitulah kira-kira panggilan seorang rahib! Ia rela mengurbankan suatu kebaikan dan cinta demi kebaikan dan cinta yang lebih besar lagi. Hanya dengan keyakinan dan kesadaran inilah orang akan bertahan dengan tekun dan setia dalam panggilannya sebagai rahib. Ia melihat dalam hidup kerahibannya suatu panggilan akan adanya nilai yang lebih dan nilai-nilai lainnya, bahkan suatu nilai yang paling tinggi dan mutlak.
Kesadaran dan keyakinan inilah yang menyebabkan ia rela berjuang, bersama dan di dalam Kristus tanpa memanjakan diri sendiri, untuk mengalahkan kelekatan pada aku-nya supaya melekat pada Allah melulu. Inilah perjuangan yang membebaskan dia, sehingga menjadikan ia mampu mencintai Allah dengan segenap hati, segenap akal budi dan segenap tenaga. Itulah dambaan setiap rahib!
II.
Ordo Cisterciensis/Trappist/ OCSO
Ordo Cisterciensis/Trappist/ OCSO
Pada tahun 1098, sejumlah rahib dari biara Benediktin (OSB) di Molesme, Perancis, dipimpin oleh S. Robertus, Alberikus dan Stefanus Harding, meninggalkan biara mereka dan membuka hutan Citeaux (dekat kota Dijon) sebagai tempat untuk biara mereka yang baru.
Di Citeaux ini, mereka menjalankan hidup bertapa secara keras, yang mereka anggap lebih sesuai dengan semangat asli S. Benediktus.
Mereka khususnya menekankan kesederhanaan dan kerja tangan, yang menurut hemat mereka sudah kurang mendapat perhatian di biara Molesme. Dari nama Citeaux inilah muncul nama Ordo Cisterciensis.
Beberapa waktu lamanya tak seorangpun mau menggabungkan diri dengan para rahib Citeaux, karena takut melihat cara hidup mereka yang keras.
Hal ini membuat para rahib gelisah dan putus asa. Siang malam dengan mencucurkan air mata mereka mohon panggilan kepada Tuhan. Ternyata doa mereka tidak sia-sia. Pada tahun 1112, di luar dugaan, rahmat Allah mengirimkan pemuda Bernardus bersama 30 orang sanak saudara dan temannya sekaligus masuk biara Citeaux.
Berkat pengaruh S. Bernardus dalam beberapa dekade saja Ordo Cisterciensis meluaskan sayapnya di benua Eropa.
Sebelum S. Bernardus wafat pada tahun 1153, sudah tersebar hampir 350 buah biara Cisterciensis di seluruh Eropa. Sayang kejayaan ini tidak bersifat langgeng. Sejak abad XIV kemerosotan mulai menggerogoti Ordo, kecemerlangan Cisterciensis semakin memudar. Kemerosotan ini antara lain disebabkan juga oleh wabah penyakit pes, peperangan-peperangan, skisma dan timbulnya Reformasi Protestan.
Meskipun demikian tiap kali ada saja biara-biara yang ingin membarui diri. Dalam abad XVII ada juga biara-biara yang ingin kembali ke semangat asli dan menamakan diri biara-biara Observansi Tertib.
Salah satu di antaranya adalah biara La Trappe yang dari tahun 1664- 1700 dipimpin oleh Abas De Rancé.
Adapun, semangat pembaruan biara La Trappe mempunyai pengaruh besar terhadap biara-biara lainnya di Perancis.
Pada Revolusi Perancis (akhir abad XVIII) hampir semua biara Cisterciensis, baik di Perancis maupun di negara-negara lainnya, disapu bersih oleh Napoleon.
Sesudah jatuhnya. Napoleon (1814) para rahib yang masih bertahan mendirikan biara-biara lagi. Sejak waktu itu para rahib yang melanjutkan pembaruan La Trappe lebih dikenal sebagai rahib Trappist. Sebagian dari biara-biara Cisterciensis yang tidak mengikuti pembaruan La Trappe juga hidup kembali.
Dengan demikian, dewasa ini ada dua Ordo Cisterciensis yaitu: Sacer Ordo Cisterciensis (S.O.Cist.) yang juga disebut Ordo Cisterciensis Observansi Umum dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau Ordo Cisterciensis Observansi Tertib, yang juga dikenal sebagai Ordo Trappist.
Kedua Ordo tersebut terdiri dari biara-biara rahib dan biara-biara rubiah. Dengan kata lain kedua Ordo terdiri dari dua cabang, yaitu cabang pria dan cabang wanita
III.
Pertapaan Rawaseneng.
Pertapaan Rawaseneng.
Rawaseneng adalah nama sebuah desa kecil, 14 Km dari kota Temanggung di Jawa Tengah. Agak jauh dari desa, di pelosok, berdampingan dengan masyarakat pedesaan terletak sebuah pertapaan dari Ordo Trappist.
Sebelum digunakan untuk pertapaan, pada tahun 1936 berdirilah di sana sekolah pertanian asuhan para Bruder Budi Mulia.
Ketika pecah "clash action" pada tahun 1948, sekolah beserta asrama, biara dan bangunan gereja yang ada, dibumihanguskan sehingga tinggal puing-puing.
Pada tahun 1950 datang ke Indonesia Pater Bavo van der Ham, seorang rahib Trappist dari biara Koningshoeven-Tilburg, negeri Belanda, untuk menjajaki segala kemungkinan bagi pendirian biara cabang.
Setelah mengunjungi beberapa tempat di Jawa Tengah, akhirnya pilihan jatuh pada Rawaseneng. Mulailah dibangun pertapaan di atas puing-puing bekas sekolah pertanian.
Tiga tahun kemudian, tanggal 1 April 1953, pertapaan Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng di buka secara resmi sebagai cabang dari pertapaan induk di Tilburg.
Sedikit demi sedikit berdatangan para pemuda yang ingin menggabungkan diri. Sehingga pada tanggal 26 Desember 1958 pertapaan Rawaseneng diangkat menjadi biara otonom dengan status keprioran.
Pada tanggal 23 April 1978 dalam rangka Pesta Perak berdirinya biara, status pertapaan maju setapak lagi menjadi Keabasan. Rm. Frans Harjawiyata terpiih menjadi Abasnya yang pertama.
Rawaseneng sendiri merupakan satu-satunya biara Trappist pria di Indonesia. Tetapi pada akhir tahun 1995 pertapaan Rawaseneng mulai mengadakan pra fundasi di Flores di Keuskupan Larantuka. Jumlah anggota pertapaan Rawaseneng pada awal tahun 1996 ada 47 rahib. Biara Trappist wanita sudah dibuka secara resmi pada awal tahun 1987 di Gedono, dekat Salatiga, Jawa Tengah.
C.
Rahib Senobit.
Rahib Senobit.
Rahib Cisterciensis termasuk golongan rahib senobit. Karena itu kehidupan bersama termasuk inti hidup mereka. Hidup bersama ini dinamakan juga hidup berkomunitas.
Kebersamaan ini terutama terletak dalam kebersamaan semangat, kebersamaan hati. Tetapi kebersamaan hati perlu diungkapkan dalam kebersamaan lahir. Karena itu dalam biara banyak latihan bersama: doa bersama, kerja bersama, makan bersama. Semua itu merupakan sarana untuk saling menguatkan dalam mengejar cita-cita bersama.
Tetapi dalam biara Cisterciensis, kesunyian juga termasuk inti hidupnya. Maka baik kebersamaan maupun kesunyian harus dijaga dan dijamin. Para rahib harus mengusahakan adanya keseimbangan antara kesunyian dan komunikasi.
Kesunyian di sini bukan berarti membisu total seumur hidup. Komunikasi antar sesama rahib diperkenankan meskipun dibatasi dan dengan tetap menjaga suasana hening dalam biara. Di samping latihan bersama ada juga saat-saat hening yang dapat digunakan secara leluasa oleh rahib sendiri-sendiri.
Setiap kehidupan bersama mengandaikan adanya seorang pemimpin. Begitupun setiap biara Cisterciensis yang bercorak senobit. Pemimpin biara disebut Abas, artinya bapak rohani.
Menurut S. Benediktus, bapak rohani yang sesungguhnya di dalam biara adalah Kristus sendiri. Abas diimani sebagai wakil Kristus dalam biara. Karena itu Abas harus memimpin para rahibnya menurut semangat Kristus sendiri, yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Abas harus melihat tugasnya lebih sebagai suatu pengabdian.
Abas berperanan penting untuk menyatukan komunitas dalam mengejar cita-cita bersama. Ia juga menyadarkan dan mengarahkan komunitas kepada cita-cita Ordo.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar