Ads 468x60px

Oleh-Oleh Sharing Seputar Teladan & Pesta Kelahiran Bunda Maria



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Jumat 8 September 2017.
Oleh-Oleh Sharing Seputar Teladan & Pesta Kelahiran Bunda Maria
Totus tuus ego sum et omnia mea Tua sunt.
Accipio Te in me omnia.
Praebe mihi cor Tuum, Maria.
Aku adalah milikmu
dan segala milikku adalah milikmu.
Engkau kuterima dalam diriku seluruhnya.
Berikan aku hatimu, ya Maria
=======
Bersama dengan momentum di hari Jumat ini, saya ingin kembali mengajak untuk merenung menungkan soal ulang tahun Maria, Bunda Allah, Bunda Gereja sekaligus Bunda kita semua.
Ya, tidak biasanya kita merayakan hari kelahiran para kudus. Sebaliknya kita merayakan hari mereka wafat, karena pada hari itulah mereka dilahirkan ke dalam sukacita surgawi.
Namun, hari kelahiran Maria, yang dirayakan di kalangan Gereja Ortodoks, Katolik Roma, dan Anglikan pada 8 September ini merupakan suatu pengecualian.
Kita merayakan hari kelahirannya karena ia datang ke dunia dalam keadaan penuh rahmat dan karena ia akan menjadi Bunda Yesus
Kelahiran Bunda Maria sendiri bagaikan fajar. Ketika pada waktu pagi cakrawala mulai berwarna merah, kita tahu bahwa matahari akan segera terbit.
Demikian juga ketika Maria dilahirkan, ia membawa sukacita yang besar bagi dunia. Kelahirannya berarti bahwa Yesus, Matahari Keadilan, akan segera datang. Maria adalah manusia mengagumkan yang memperoleh hak istimewa untuk membawa Yesus kepada segenap umat manusia.
Maria adalah sosok yang sangat populer, bukan hanya dikalangan Katolik tetapi di semua kalangan, bahkan dikalangan Muslim, sebab dalam Alquran nama Maria juga sering disebut.
Dalam bahasa St. Agustinus, Maria adalah bunga indah yang tumbuh di ladang, bunga indah ini menghasilkan “lili” yang menghiasi ladang. Lewat Maria lahir sang Penyelamat dunia, Yesus Kristus.
Kelahiran Bunda Maria sendiri bagi orang-orang di Mangalore, (sebuah basis Katolik di Negara Bagian Karnataka di India bagian selatan), dirayakan sebagai festival bunga bersama anak-anak.
Disana, banyak gereja memulai novena, atau doa khusus sembilan hari, untuk menghormati Bunda Maria di kota yang berjarak 2.290 kilometer selatan New Delhi ini.
Selama hari-hari novena itu, anak-anak berkeliling mengumpulkan bunga untuk mempersembahkannya kepada Kanak-Kanak Maria.
Rishal Albuquerque, seorang gadis Katolik berusia 13 tahun, berbagi dengan UCA News (Kantor Berita Katolik Asia, UCAN, Union of Catholic Asian News), tentang mengapa dia tertarik dengan pesta Ulang Tahun Bunda Maria. Dia yakin bahwa Bunda Maria sangat menyayanginya. Dia mengatakan, “Para guru mengajarkan kepada kami untuk menjadi indah dan bersih seperti bunga yang kami persembahkan kepada Kanak-Kanak Maria.”
Dia juga menambahkan, perayaan ulang tahun selalu penuh kegembiraan. Setiap orang datang, ia mendapat banyak manisan, pergi ke gereja, dan menari.
Di hari ulang tahun Bunda Maria itu, biasanya ia bersama teman-teman mengumpulkan bunga-bunga terbaik, mengenakan pakaian baru, dan pergi ke gereja paroki dengan seluruh keluarga, untuk mempersembahkan bunga dalam prosesi dan doa. Di akhir Misa, ia mendapat banyak manisan dan tebu.
Di sore hari ada acara perlombaan, olahraga, dan pementasan budaya di gereja. Di malam hari, ia pergi ke rumah nenek untuk makan malam. Dia memperlihatkan cintanya kepada Bunda Maria dengan berdoa rosario setiap hari di keluarga, pada doa-doa malam.
Ia memiliki sebuah gua Maria di rumah, bahkan pada hari-hari lain, ia mempersembahkan bunga dan menyalakan lilin di depan patung Bunda Maria di sore hari.
Bagaimana dengan kita?
Yang pasti, selamat Ulang Tahun buat Bunda Maria dan buat semua orang yang mencintai Bunda Maria. Kita tak selalu punya kue ulang tahun, tetapi kita diajak belajar memberikan diri untuk mengikuti jejaknya dalam mengimani Allah yang benar. Semoga hidup kita yang penuh harapan iman serta kasih, bisa menjadi hadiah ulang tahun setiap hari.
Berdoalah untuk kami ya Maria, karena kami sadar bahwa “every day is a birth day!”
"Dari Taman Ria ke Sukabumi - Bunda Maria doakanlah kami."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Kesaksian Iman tentang Bunda Maria.
Salve, Regina, Mater misericordiae!
Vita, Dulcedo, et Spes nostra!
Salve.
Salam, ya Ratu, ya Bunda Kerahiman!
Hidup, penghiburan dan pengharapan kami.
Salam.
1.
AYU UTAMI, Novelis
Maria menyelamatkan iman saya di masa-masa paling sulit. Di era ini agama menghadapi pertanyaan akal budi yang berat: bagaimana ia mempertanggungjawabkan diri di hadapan perjuangan kesetaraan jender?
Kita tahu hak asasi wanita adalah hak asasi manusia. Seorang anak serius yang kebetulan Katolik bisa bertanya: kenapa perempuan tidak boleh jadi imam?
Pertanyaan itu demikian berat sehingga pada suatu saat saya memutuskan untuk menjauhi Gereja, bersama dengan beberapa alasan lain. Tapi rupanya saya tidak pernah pergi terlalu jauh.
Pertama,
Saya selalu senang membaca Alkitab, setidaknya sebagai buku sastra. Dari Alkitab saya faham bahwa tak semua hal langsung mendapat rumusan yang tepat. Sebagian besar akan tetap tinggal sebagai kisah, yang tak bisa diformulakan. Itu modal saya untuk tidak tergesa menghakimi apapun.
Kedua,
Maria sudah terlanjur menjadi ibu spiritual bagi saya. Sebagai pemudi yang rasional dan skeptis, saya terbuka bahwa “ibu spiritual” mungkin adalah ilusi belaka. Agama adalah ilusi dan sugesti buat orang-orang lemah. Itu baik, hanya palsu. Baiklah. Maka dalam periode agnostik di umur 20 hingga 30-an itu, saya sedia menerima bahwa Maria―juga segala orang kudus dan personifikasi Tuhan―adalah produk budaya.
Tapi, bahkan manakala saya melihatnya sebagai produk budaya pun Maria adalah gejala yang menakjubkan.
Di tengah-tengah segala macam budaya patriarki, Maria menjulang dan bercahaya. Tak satu bintang pun meredupkan dia. Ia terus hadir tanpa banyak bicara, mengiringi perjalanan Gereja, dan ini telah tahun ke-dua ribuan. Bagaimana satu sosok perempuan bisa demikian dihormati dan dicintai dalam kebudayaan yang sangat patriarkal?
Para feminis yang sinis bisa berkata: "yah, itu kan karena sosok Maria telah diidealisasi secara berlebihan. Dia bunda dan perawan sekaligus! Mana bisa perempuan betulan jadi seperti itu? Terlalu berat!"
Pendeknya, Maria adalah seperti Barbie: idealisasi yang terlampau jauh untuk dicapai di dunia nyata sehingga hanya menimbulkan beban yang tak manusiawi. Baiklah.
Tapi, sejujurnya, Maria memang bukan Barbie. Boneka Barbie adalah ideal tentang keindahan perempuan. Sebaliknya, Maria tidak pernah dianggap sebagai ideal bagi wanita, dalam arti perempuan Kristen harus menjadi perempuan seperti Maria, meniru femininitas atau dandannya dll.
Ini kerap dilupakan para pengkritiknya: Maria adalah ideal tentang manusia beriman bagi perempuan maupun lelaki! Ini penting dicatat: tradisi Gereja menerima bahwa manusia selalu konkrit dan partikular (secara konkret-partikular Maria adalah perempuan), tetapi yang konkrit-partikular itu bukan membatasi melainkan menjadi jalan kepada yang universal (Maria adalah model bagi semua manusia, apapun jenis kelaminnya).
***
Setelah bertahun-tahun membaca Alkitab sebagai buku sastra, pada akhirnya saya mengatakan bahwa penyaliban bisa dibaca sebagai penyaliban patriarki. Saya telah mencoba menulis tentang itu. Semua agama utama yang kita kenal sekarang muncul dari dalam kebudayaan patriarki. (Patriarki―dari kata yang sama dengan “pater”, “patris” atau bapak―adalah sistem di mana lelaki menjadi patriark atau pemimpin.)
Patriarki adalah fakta sejarah. Kristus memenuhi semua persyaratan sebagai anak sulung masyarakat patriarki, tapi ia tidak mengambil segala kemewahan para patriark. Sebaliknya, ia disalibkan.
Dengan demikian, patriarki tidak ditolak sebagai fakta historis, sekaligus dengan penyaliban dan kebangkitanNya kita bisa beranjak membangun tatanan baru di atas sejarah itu.
Agama Kristen bertumbuh, barangkali satu-satunya yang eksplisit hanya menerima monogami (ini penegasan yang luar biasa terhadap kesetaraan jender). Meski demikian, Gereja Katolik Roma hanya menerima imam lelaki selibat. Ini sesungguhnya bisa difahami, sambil tetap dalam posisi feminis, jika kita melihatnya sebagai sebuah “penyaliban patriarki” (patriarki tidak disangkal, tapi disalibkan).
***
Untuk sampai pada kesimpulan feminis perihal penyaliban itu prosesnya lama. Dan selama itu Maria mengiringi saya. Seorang yang tidak beriman, asalkan bersikap jujur dan tulus, akan melihat bahwa Maria tampil secara istimewa menyintasi zaman. Ia menjadi model bagi pria dan wanita tentang bagaimana beriman (dan bagaimana mencintai). Pada saat yang sama, kewanitaan dan keibuannya membuat pernyataan istimewa juga:
Pertama,
Tanpa Maria, sejarah Gereja sungguh-sungguh akan terseret jadi sejarah lelaki belaka.
Kedua,
Maria mengangkat wong cilik. Penampakan Maria nyaris selalu kepada anak-anak, petani dan kaum sahaja. Ini memberi perimbangan yang penting terhadap para teolog dengan bahasa rasional yang canggih. Ini sejalan dengan apa yang ada dalam Alkitab. Maria tak terlalu banyak dikatakan, tapi ia selalu hadir. Lihatlah: Iman bukanlah rumusan kata-kata (bahkan yang jenius sekalipun) melainkan kehadiran.
Ketiga,
Maria membantu saya bisa paham cerita yang paling sulit dimengerti: kisah manusia jatuh ke dalam dosa. Adam “jatuh ke dalam dosa” karena Hawa menerima bujukan setan. Kristus lahir untuk “menebus dosa” karena Maria menerima permintaan Tuhan. Tanpa Maria, dunia bisa terus menyalahkan wanita sebagai Hawa. Dengan adanya Maria, kita bisa terbebas dari jebakan misogini (kebencian terhadap perempuan) tafsir kisah Taman Eden itu.
Sebagai penulis, saya tahu bahwa sastra yang hebat adalah yang menyediakan kunci-kunci dan simetri-simeteri di dalam dirinya. Alkitab menyediakan itu secara luar biasa, bahkan manakala saya tidak membacanya sebagai kitab iman melainkan sebagai kitab sastra belaka.
***
Karena itu buku dari Jost Kokoh Prihatanto ini amat sangat berharga. Bagi yang beriman tentu! Bagi yang tidak beriman, asalkan bersikap jujur dan terbuka, buku ini memberi ringkasan teks-teks terpenting yang tak terlalu rumit mengenai hubungan Maria dengan umat Kristiani sepanjang sejarah.
Penulis memulainya dengan fakta bahwa Maria tidak terlalu banyak disebut dalam Kitab Suci (tapi disebut selalu dalam momen-momen terpenting dan tersulit). Tapi Maria tidak hilang dalam perjalanan Gereja, sebaliknya ia menemani putra-putrinya (yaitu Gereja) sebagaimana ia menemani Putra-nya. Dalam bahasa yang lebih sekular: umat Kristen selalu menemukan penguatan pada Maria Sang Bunda.
Dalam buku dari Jost Kokoh Prihatanto ini adalah sederet pemikiran dan kesaksian ringkas orang-orang itu (dari era para Bapa Gereja hingga modern), doa-doa, dan di bagian akhir adalah aneka permenungan dari penulis buku ini sendiri.
Romo Kokoh atau Romo Jost, begitu saya biasa memanggilnya, adalah seorang pastor yang berada dan akrab di kalangan umat dan anak muda. Karena itu, ia menggunakan bahasa yang cukup popular dan menjalar untuk dibaca orang biasa, sehingga bacaan ini tidak menjadi beban. Jelasnya, buku ini sangat berharga untuk merenungkan misteri Tuhan melalui misteri Maria. “Tolle et legge” - Ambil dan bacalah!
2.
ARSWENDO ATMOWILOTO, Budayawan
Andai para bapa Gereja, atau juga penulis buku Perjanjian Baru , adalah kaum perempuan, barang kali peta dan sejarah Kristianitas dunia berbeda, juga cara umat Kristiani berdoa dan menggereja. Barang kali di pusat altar bukan patung Tuhan Yesus yang disalib, atau hanya salib kosong, melainkan wajah anggun Bunda Maria yang digambarkan menggunakan jubah biru dalam wajah pasrah, haru.
Barang kali jenis begini adalah jenis barang kali yang tak mungkin, karena sejarah tak bisa di restart, diulang kembali seperti kalau kita main games di komputer. Dan syukurlah begitu. Tanpa itupun, Bunda Maria, Ibu Tuhanku—seruan Elizabeth yang mewakili kemanusiaan kita secara utuh, tetap istimewa, terpuji, menginspirasi lahir batin, dalam segala doa. Juga dalam kitab suci agama lain.
Bunda Maria adalah nama yang saat disebutkan tak mengenal akhir, de Maria numquam satis. Lebih dari dibicarakan, melainkan diteladani, diikuti, di-eja wantah-kan, dibumikan secara aktual saat ini atau sampai nanti saat Putranya datang lagi. Bunda Maria adalah segalanya, dan segala kekatolikan terkait dengan Bunda Maria. Misteri terbesar dunia, dan sekaligus teragung, Tuhan Yesus lahir dari Rahim Perawan Maria.
Dan Romo Jost Kokoh – dalam buku dilengkapkan dengan nama Prihatanto, menuliskan secara utuh,penuh dan menyeluruh dalam nuansa teduh tentang itu. Baik melalui khotbah para santo, atau calon santo, melalui Martin Luther , John Calvin, Zwingli atau ungkapan Salam Maria dalam berbagai bahasa, dalam tata rahmat dan liturgi Gereja.
Saya sangat suka buku ini dan merekomendasikan kepada banyak orang, salah satunya tentu istri saya yang lebih sering melarikan derita—sebagian karena saya, sebagian karena ulahnya sendiri, kepada Bunda Maria, ibu kita juga.
Buku ini ibarat ensiklopedi mengenai Bunda Maria, buku referensi terpercaya karena yang menulis seorang Romo Jost Kokoh yang selalu jatuh hati dan tergila-gila dengan bundanya, yang selalu terbuka disapa dan menyapa.
Saya kadang iri dengan istri saya, dengan romo dengan suster, dengan anggota dewan paroki, atau umat Katolik yang baik, yang bisa mesra dengan Bunda Maria sejak awal. Sebagai Katolik “turis—turut istri”, awalnya saya tak bisa in dalam menyenandungkan Salam Maria secara beramai-ramai, berurutan menunggu giliran.
Sampai suatu ketika saya dan istri berdoa di Gereja Solo, tempat saya menerima sakramen pernikahan dengan dispensasi, saya menangis terguguk, di depan patung Bunda Maria. Saya malu, tapi tak mampu menahan itu. Komentar istri :”Kamu sudah diterima Bunda.” Lhooo, jadi selama ini belum ya?
Yang kedua ketika ke Larantuka, Flores dalm rangka mengisi seminar perayaan Lima Abad Bunda Maria “Tuan Ma”, dalam rombongan ada Romo Jost Kokoh, ada Romo Sindhunata, dan mas Adi Kurdi meskipun tidak janjian. Di salah satu Gereja di luar pulau, entah kenapa saya bersama isteri dan Romo Jost Kokoh cs boleh masuk. Pengantar pun tak bisa masuk ke dalam Gereja “Tuhan Yesus membawa ayam”, sehari sebelumnya.
Di sini terulang kembali pengalaman aneh, saya menangis – dan kata orang yang mendengarkan tangisannya seru dan keras di kaki Bunda Maria.
Semua peristiwa yang sedang dan telah saya jalani, bermunculan. Padahal sebelumnya kita tertawa-tawa, potret memotret dan merasakan air kelapa muda yang fresh from the tree, bukan from the oven lagi. Rasanya saya baru berlutut, belum selesai memulai doa awal, atas nama Bapa… sudah langsung sesengrukan lama. Makin tua saya ini memang makin cengeng, tapi saat itu bisa jadi tangis paling lama sampai membuat orang lain bertanya : kenapa, kenapa?
Padahal saya sendiri juga sering bertanya kenapa. Kenapalah perawan yang bisa jadi baru berusia 13 tahun, seusia anak zaman sekarang yang baru lulus SD, mengandung dari Roh Kudus, dan bagaimana menghadapi ini semua selain ketaatan total dan kerendah-hatian tanpa reserve? Kenapalah malaikat yang datang padanya yang meramalkan segala yang hebat dan besar , termasuk “KerajaanNya tak pernah berakhir?”, lalu klepat meninggalkan Bunda, masih muda, Maria sendirian menghadapi dunia ini? Kenapa pula Sang Putra yang hilang dan dicari-cari malah menjawabi bahwa Dia di rumah Bapa-nya? Kenapa pula Bunda Maria masih bisa bertahan di bawah kayu salib , dan menyaksikan semua penderitaan dan penyiksaan tiada taranya. Kekuatan mahadahsyat apa membuat kuat menatap peristiwa menyayat atas putra tunggalnya ini? Sungguh kemampuan yang kalau kita menyoba menggambarkan masih bisa merinding dan berdebar.
Sampai akhirnya saya mendengar kisah nyata. Seorang ibu, berdoa di depan patung Bunda Maria di Gereja Katedral Jakarta, menangiskan penderitaan. Anaknya menderita kelainan darah yang langka, kalau tak segera mendapat donor darah yang sesuai, kisah hidupnya selesai. Ibu tadi berdoa, mengucap Salam Maria, sudah beberapa kali.
Entah karena iseng, atau sirik, atau ingin meledek, kisah ibu yang berdoa di bawah patung Bunda Maria ini muncul di media sosial dengan caption : 'zaman sekarang kok masih ada yang memuja berhala untuk kesembuhan penyakit langka'.
Namun sungguh ajaib dan heranlah. Justru karena dimuat di media sosial, ada pembaca dari luar negeri yang menderita kelangkaan, dan akhirnya bisa berkomunikasi. Saya meramu dalam novel berjudul "Horeluya", bukan salah tulis dari Haleluya, diterbitkan dan sudah cetak ulang oleh Gramedia, lalu saya angkat dalam FTV, film untuk televisi, dan ditayang SCTV, meskipun sempat dipersoalkan adegan berdoa di bawah patung.
Dan sesungguhnya, buku karya Romo Jost Kokoh ini menghangatkan kembali. Ia menjadi kenangan yang hidup dan masih relevan hingga saat ini.
Ya, Romo Jost Kokoh, yang kerap mempopulerkan singkatan kata menjadi bermakna, yang suka aksesori militer, menuliskan dengan encer sehingga mudah dimengerti. Seperti sikap Bunda Maria, bahkan yang tak masuk akal pikiran pun, sebenarnya bisa diterima dan menginspirasi umat untuk meneladani.
Sekarang pun saya ganti memberi nasehat ke anak dan menantu—belum ke cucu, kalau kalian belum bisa menangis ketika berdoa kepada Bunda Maria, maka bisa jadi kalian belum diterima. Hayati dan rasakan kelembutan pertanda rendah hati itu dan berkah kelegaan akan menyertaimu, selalu.
Berkah Dalem.
3.
MAYONG SURYO LAKSONO, Wartawan
Saya perhatikan, ujub doa saya berubah sejak ibu meninggal dunia, 10 Juni 1991. Saya tidak tahu sebabnya. Sengaja berubah? Mungkin. Tidak sengaja? Enggaklah. Berdoa kok tidak sengaja.
Tapi benar. Ibu saya, Antonia Maria Sitti Mukadarun, yang meninggal dunia di siang hari setelah paginya membangunkan saya dari tidur karena menunggui beliau yang sakit jantung di Paviliun Maria Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, tidak lantas menjadi inspirasi doa di masa-masa selanjutnya.
Saya sangat sayang dan hormat kepada ibu, ya. Tapi tidak lantas merasa paling dekat, karena ibu memang dekat dengan keenam anaknya – tapi si sulung Mas Ari telah meninggal dunia (karena pembengkakan jantung) sembilan bulan sebelumnya sehingga kami jadi lima bersaudara. Tidak lantas membuat saya sedih tak berkesudahan. Tidak juga membuat saya bermimpi atau merasa seolah-olah ketemu ibu, sementara adik-adik saya beberapa kali bertemu dalam mimpi, dan bapak tak terhitung lagi memimpikan ibu. Saya memang tidak berbakat mimpi bertemu dengan orang yang masih hidup maupun sudah meninggal, orang dekat sekalipun. Sama tidak berbakatnya dengan melihat makhluk gaib atau mengalami hal-hal gaib meski dalam hati ingin juga sesekali seperti adik-adik atau bapak yang bahkan merasa seperti berinteraksi di alam nyata dengan mendiang ibu. Makanya saya tidak pernah yakin dengan aneka cerita gaib seperti penampakan dan sebagainya, termasuk penampakan Bunda Maria.
Dari sebelumnya berdoa selalu dengan (sangat) banyak intensi, sejak ibu meninggal, saya menjadikan beliau perantara dalam doa. Lebih sederhana. Tentu saja tanpa saya tiba-tiba berharap ibu akan hadir dalam imajinasi atau mimpi. Saya hanya percaya ibu telah memiliki keabadian hidupnya di surga. Ibu tetap memiliki kasih sayang dan perhatian, memberi segalanya tanpa diminta. Sebagai salah satu pemiliki keabadian surgawi, ibu tentu mudah menjadi perantara doa kepada para penghuni surga.
Antonia Maria tentu tidak sama dengan Maria bunda Yesus. Tapi dua-duanya sama-sama ibu. Saya tahu bahwa ibu di masa hidupnya telah melakukan apa saja bagi kami, anak-anaknya. Ibu menolong dan membantu kami tanpa diminta. Tentu bapak juga. Tapi bagi saya, bapak lebih berperan dalam soal pemikiran dan penyikapan terhadap hidup, sementara ibu menanamkan dasar-dasar bagi tumbuhnya nurani dan rasa kemanusiaan.
Meski ibu sudah tidak ada, perasaan saya sebagai anak tidak pernah hilang. Setiap kali mengunjungi makam beliau, saya merasa bisa menyampaikan segala maksud dan isi hati. Seperti orang mengobrol tapi satu arah, monolog. Meski sebenarnya hanya menghadapi batu nisan, tapi ya biar saja. Sebab itu yang bisa saya lakukan alih-alih menemuinya dalam mimpi atau bayang-bayang imajinasi.
Kepada Maria bunda Yesus saya juga melakukan hal yang hampir sama, dalam arti saya menempatkan diri sebagai anak. Saya bercerita, “curhat”, bersyukur, atau meminta kepada Bunda Maria. Kalau dipikir-pikir, porsi saya bermonolog kepada Bunda Maria lebih banyak daripada kepada Yesus dan orang-orang kudus lain. Kenapa bisa begitu, logika saya sederhana saja: seorang ibu pasti dekat dengan anak-anaknya, pasti memikirkan anak-anaknya, akan melakukan apa saja untuk anak-anaknya, dan akan membantu anak-anaknya tanpa diminta.
Entah keberhasilan dan kegagalan yang telah terjadi selama hidup saya merupakan akibat dari doa-doa saya atau tidak. Sebab sebagai manusia yang tidak berbakat mengalami keajaiban, saya merasa belum pernah mendapatkan bukti dari setiap permintaan dalam doa. Apalagi yang sifatnya seketika. Tapi itu tidak lantas mengurangi, apalagi menghilangkan, kebiasaan berdoa. Saya tetap meminta, tetap “curhat”, dan tetap bersyukur dan tidak berharap pada hasilnya. Saya hanya merasa harus menyampaikan sesuatu, dan itu hanya bisa dilakukan dalam doa. Bukan dengan cara lain.
Hampir setiap tahun saya terlibat dalam aktivitas devosi kepada Bunda Maria. Saya banyak belajar tentang bunda Yesus itu dari para ahli, juga mendengar pengalaman hidup banyak orang dalam berinteraksi dengan Maria.
Ketika sekian banyak pengalaman secara sepotong-sepotong itu disatukan, rasanya bisa menjadi risalah tebal seperti buku karya Romo Jost Kokoh ini. Memang ada banyak hal yang bisa tersampaikan lewat perbincangan. Tapi banyak pula hal yang hanya bisa disampaikan secara tertulis. Baik karena mendasarkan referensi tertulis maupun sebaliknya, juga bisa menjadi referensi tertulis.
Romo Jost Kokoh tidak hanya menggali bahan-bahan mengenai Bunda Maria, tetapi juga mensintesakannya menjadi rangkaian persembahan ( “tribute”) bagi ibu utama itu. Bagi kita yang awam, buku ini menjadi pegangan iman yang amat bernilai. Ada historiografi, ada referensi, ada interpretasi dan refleksi. Cukup lengkap, dan itu memperkaya wawasan saya dalam menempatkan diri sebagai anak yang membutuhkan ibu. Selalu. Berkah Dalem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar