'PKI REBORN?'
"PERKUMPULAN KAUM INTOLERAN" [PKI]
Yang mengusir anak-anak yg sedang ibadah minggu.
Mungkin ini yg disebut komunis anti agama?
Yang mengusir anak-anak yg sedang ibadah minggu.
Mungkin ini yg disebut komunis anti agama?
NB
TENTANG “KEBANGKITAN PKI”
TENTANG “KEBANGKITAN PKI”
Ini bukan narasi ilmiah, cuma uneg-uneg yang mewakili pendapat subjektif saya tentang isu kebangkitan PKI. Anda boleh berpendapat, saya juga. Ini pendapat saya.
Saya sama sekali tidak percaya komunisme bangkit di Indonesia. Tanya kenapa? Ideologi itu sudah tidak laku, tidak diminati orang, apalagi oleh generasi milenial. Ayo jujur, emang gampang jadi komunis? Prinsip komunisme adalah: “From each according to his ability, to each according to his needs.” Ini dawuh Eyang Kakung Karl Marx. Aslinya dalam bahasa Jerman: “Jeder nach seinen Fähigkeiten, jedem nach seinen Bedürfnissen.“
Dalam masyarakat ‘kominis’ (ejaan khas mbah-mbah buyut saya), “Setiap orang memberi sesuai kemampuannya, setiap orang mendapat sesuai dengan kebutuhuannya.” Anda doktor, lulus S3 luar negeri, tidak usah pamer ijazah. Jika anak Anda cuma 1, Anda tidak berhak dapat bayaran lebih tinggi dari tukang parkir lulusan SMP yang anaknya 5. Itu adil dalam perspektif komunisme.
Apa yang gini laku? Emang enak “sama rata sama rasa”? Mimpi komunisme kiri-kira begini: “kalau mau kaya ya kaya bareng, kalau miskin ya miskin bareng.”
Alamak! Sama rata-sama rasa hanya ada di surga. Di surga pun ada tingkatan-tingkatannya. Ada surga kelas VVIP, ada surga kelas ekonomi. Ada juga al-A’raf, tempat di antara surga dan neraka.
Jika Mbak Marx bilang kapitalisme mengidap kontradiksi internal dan menggali kuburnya sendiri, komunisme juga. Mana ada masyarakat bisa tumbuh dan berkembang kalau tidak ada kompetisi? Tanpa kompetisi, tidak ada inovasi, tidak ada kreativitas, tidak ada kemajuan. Kompetisi adalah kodrat manusia. Islam juga mengajarkan orang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Tetapi, kompetisi juga harus tandem dengan koperasi. Ini ajaran tawassuth dalam Islam, yang tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945.
Ajaran komunisme yang utopis ini tadi tidak pernah ada dalam praktek sejarah. Di Rusia, Lenin mendirikan negara sosialis. Ajaran Marx dimodifikasi menjadi: “From each according to his ability, to each according to his works” (Setiap orang memberi sesuai kemampuannya, setiap orang mendapat sesuai prestasinya). Di sini kerja orang dihargai. Hasrat untuk maju tumbuh. Orang tidak perlu sama-sama miskin. Orang boleh kaya, tetapi jangan terlalu timpang.
Ini pun tidak bertahan karena kendali negara terlalu kuat. Orang gerah, tidak bisa kreatif, tidak bebas ekspresi. Uni Soviet tumbang, Tembok Berlin jebol. Sosialisme-komunisme kandas. Sejarah usai, kapitalisme berjaya, kata Fukuyama. Komunisme tinggal nama. Tidak ada negara komunis. Yang ada adalah negara otoriter, dengan sistem politik tertutup, tetapi pro-pasar seperti RRT (Republik Rakyat Tiongkok).
Kalau Anda bilang RRT negara komunis, karena itu Jokowi berarti antek komunis karena akrab dengan RRT, Anda diketawai kecebong. RRT itu negara kapitalis, cuma dimodifikasi. Karena sistem politiknya tertutup, porsi negara besar. Namanya kapitalisme negara. Model begini banyak, termasuk Singapore.
Jika Jokowi akrab dengan RRT, itu bukan karena beliau turunan PKI dan antek ‘kominis’, tetapi karena yang pegang duit sekarang ini RRT. Jangankan Indonesia, Amerika aja tergantung duit RRT. Raja Salman tempo hari juga berusaha menggangsir duit RRT dalam rangka pelepasan saham perdana Saudi Aramco.
Alhasil, komunisme usang, tidak laku. Yang masih laku, dan tetap dipelajari dengan penut minat di kampus-kampus, adalah marxisme. Marxisme tidak sama dengan komunisme. Marxisme adalah filsafat kritis terhadap kapitalisme. Karena yang berjaya sekarang adalah kapitalisme dan janji kapitalisme adalah mewujudkan kesejahteraan seperti titah Adam Smith (The Wealth of Nations) dan ternyata terjadi ketimpangan dan masih banyak orang melarat, orang pinjam teori Karl Marx untuk menyoal kemiskinan. Mempelajari marxisme tidak sama dengan menjadi komunis. Orang sekadar pinjam pisau Marx untuk membedah anatomi kapitalisme.
Dan tidak usah takut, banyak pengikut Marx yang tidak paham marxisme. Karena apa? Buku babon Marx tentang kritik kapitalisme adalah Das Kapital. Tidak seperti buku lain, buku ini sulit dicerna dan dipahami, termasuk oleh pentolan partai komunis di seluruh dunia. Dulu, sewaktu kuliah dan Orde Baru lagi berjaya, kiri itu ‘seksi.’ Saya juga ingin terlihat seksi dengan menenteng-nenteng buku Das Kapital (edisi Inggris yang saya punya Capital), meski tidak paham isinya.
Sekarang kita pindah ke soal PKI. Saya tidak percaya PKI bangkit. Apa indikatornya? Mayjen (Purn) Kivlan Zen dalam acara ILC TVOne bilang, indikatornya adalah adalah suara-suara yang ingin Tap MPRS No. 25/1966 dicabut. Saya merasa ini dibesar-besarkan.
Dulu Gus Dur punya ide mencabut Tap ini untuk membuka pintu rekonsiliasi. Apa berarti Gus Dur komunis?
Ada banyak tafsir dan teori seputar kejadian tahun 1965. Selama ini tafsirnya dimonopoli Orde Baru: PKI bersalah, berontak, dan layak dibantai semua pengikut dan simpatisannya. Titik! Saya orang NU dan yakin PKI bersalah di tahun 1965 dan tahun 1948. Di tahun 1950-an, abah saya adalah santri Tebuireng, Jombang. Pengasuhnya waktu itu KH. Abdul Kholiq Hasyim, putra Hadlratus Syeikh yang terkenal ‘jaduk’ alias sakti. Semua santri waktu itu digembleng hizib. Untuk apa? Melawan PKI yang aktif memprovokasi kekerasan, termasuk di kantong-kantong NU.
Setelah gagal berontak di Madiun tahun 1948, PKI terus berambisi mengambil alih kekuasaan dan mempengaruhi Bung Karno. Situasi di bawah panas. Kediri, Blitar, Jombang, dan tempat-tempat lain bergolak. Berdasarkan hikayat lisan, banyak kiai-kiai NU dipersekusi PKI. NU tentu saja melawan.
Jadi, teori yang bilang PKI murni korban dalam kasus 1965, pasti ditolak NU. Mereka berhadap-hadapan di lapangan. Sepanjang tahun 50-60an, situasinya seperti “kill or to be killed.” Namun, teori yang menimpakan semua kesalahan kepada PKI sehingga mereka layak dihabisi secara brutal, juga tidak adil.
Sudah banyak sumber kritis yang menyebut tensi sosial yang eskalatif itu ditunggangi oleh lanskap Perang Dingin yang agendanya membersihkan pengaruh komunisme di seluruh dunia. Mereka pakai alat ABRI yang terbelah dan kemudian menyuplai logistik untuk membantai PKI. Tensi sosial di bawah yang keras cocok dengan skenario benturan. NU yang sudah sering bersitegang dengan PKI menjadi mitra dalam mewujudkan skenario itu. Terjadilah kemudian peristiwa berdarah yang mengerikan. Semua orang gelap mata. Korban juga banyak berasal dari orang yang tidak bersalah. Tahu-tahu mereka diangkut, disiksa, asetnya dijarah.
Gus Dur bilang, banyak pihak dalam peristiwa 1965 adalah korban keaadaan. Karena itu, beliau berbesar hati meminta maaf. Tetapi saya syok, Pram (Pramoedya Ananta Toer), sastrawan Lekra yang karya-karyanya dikagumi, tidak menunjukkan akhlak terpuji. Dengan pongah dia menampik uluran tangan Gus Dur.
Prahara 1965 adalah salah satu bab terkelam dari sejarah Indonesia. Kita tahu, pihak-pihak yang ingin kejelasan duduk perkara 1965 tidak bisa serta merta dianggap mewakili aspirasi PKI. Menuntut negara meminta maaf kepada PKI dan menyatakan PKI tidak bersalah pasti ditolak banyak orang, karena PKI terbukti terlibat dalam kekerasan sosial dan pemberontakan. Tetapi, memberikan keadilan kepada korban yang tidak bersalah: korban salah tangkap, korban stigma, dan korban keadaan perlu dilakukan.
Caranya rekonsiliasi kultural alamiah seperti yang dilakukan NU. Banyak kiai NU di Jawa menjadi ayah asuh bagi anak-anak keturunan PKI. Cara ini merupakan mekanisme kultural terbaik ketimbang menyeret Indonesia ke Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 di Den Haag oleh satu pihak dan membangkitkan sentimen anti-PKI sebagai dagangan politik di pihak lain. Dua-duanya tidak elok! Hanya bikin perpecahan bangsa.
Saya ingin mencapai kesimpulan saya sendiri. Anda boleh menyimpulkan yang lain.
Pertama, orang-orang yang menuntut keadilan dan kejelasan peristiwa 1965 tidak otomatis PKI. Seperti Gus Dur, banyak kalangan adalah pejuang keadilan dan kemanusiaan.
Kedua, kebangkitan PKI hanya dagangan politik. Komunisme sudah tidak laku. Dia hantu yang dipelihara untuk konsolidasi agenda politik. Siapa pelakunya dan apa agendanya? Kalau Anda baca buku Robert Dreyfus, Devil’s Game, isu komunisme ini mengena di kelompok Islam Kanan. Dulu, Jamaluddin al-Afghani membangkitkan Pan-Islamisme dengan dukungan Inggris. Agendanya adalah menyingkirkan pengaruh komunisme di Asia Tengah, Afrika, dan Asia Barat Daya. Spirit revivalisme Islam dibangkitkan untuk melawan pengaruh Rusia di daerah-daerah itu. Dan berhasil!
Pola ini terus digunakan. Dalam lanskap Perang Dingin, Amerika dan Inggris melatih para Jihadis di Afghanistan untuk melawan Rusia. Isunya Islam lawan komunisme. Setelah sukses mengusir Rusia, mereka kelak membentuk al-Qaeda dan menabrak Pentagon dan WTC. Senjata makan tuan! Di Indonesia, petanya jelas sekali. Setelah sukses memenangkan Gubernur DKI, politik Islam bersiap-siap menyongsong Pilpres 2019. Banyak di antara pendukung Gubernur DKI terpilih kemarin yakin bahkan haqqul yaqin Jokowi adalah keturunan PKI. Dan, seperti pola di belahan dunia lain di masa lalu, isu Pilpres 2019 adalah Islam lawan komunisme. Sekarang baru pemansan.
Anda tahu sendiri, siapa yang dianggap representasi Islam, siapa yang dianggap wakil PKI. Dalam politik, wakil Islam tidak harus mengerti Islam. Yang penting, dia mendengungkan aspirasi kelompok Islam. NU adalah pelaku sejarah yang tidak akan mengikuti agenda begini. NU cintra NKRI, cinta Islam, dan cinta Indonesia. Demikian.
M. Kholid Syeirazi
Sekjen PP ISNU
------------------------
Kalo kemarin ada tragedi takbir saat anak kecil yang bertakbir keliling sambil meneriakkan “Bunuh si Ahok, bunuh si Ahok, sekarang juga ada bocah-bocah yang sudah bisa teriak “Bunuh PKI..Bunuh PKI“? Ini di Jakarta loh, di sebuah ibukota atau jangan - jangan ini tanda semakin banyak orang di negeri ini (dari anak-anak yang merasa sudah besar, sampai orang orang besar yang masih kekanak-kanakan), yang anarkis, karena terasingkan dari akal sehat dan nurani murni, yang dalam bahasa khas Karl marx, mereka ter-alienasi.
Sekjen PP ISNU
------------------------
"PERKUMPULAN KAUM INTOLERAN" [PKI]
Kalo kemarin ada tragedi takbir saat anak kecil yang bertakbir keliling sambil meneriakkan “Bunuh si Ahok, bunuh si Ahok, sekarang juga ada bocah-bocah yang sudah bisa teriak “Bunuh PKI..Bunuh PKI“? Ini di Jakarta loh, di sebuah ibukota atau jangan - jangan ini tanda semakin banyak orang di negeri ini (dari anak-anak yang merasa sudah besar, sampai orang orang besar yang masih kekanak-kanakan), yang anarkis, karena terasingkan dari akal sehat dan nurani murni, yang dalam bahasa khas Karl marx, mereka ter-alienasi.
NB:
DISKURSUS PEMIKIRAN
Marxisme-Leninisme (Komunisme)
Selayang Pandang
DISKURSUS PEMIKIRAN
Marxisme-Leninisme (Komunisme)
Selayang Pandang
Perkembangan Komunisme
Kaum Bolshevik, di bawah kepempimpinan Lenin, merebut kekuasaan dalam Revolusi Oktober 1917, dan kemudian menghancurkan semua tatanan masyarakat lama di Russia. Mereka mematahkan pengaruh agama Islam dan Budha, sekaligus menindas Gereja Katolik Ortodoks, yang sebelumnya begitu kuat. Mereka menutup semua pasar, dan menghapus kepemilikan pribadi serta usaha produktif, seperti bank. Mereka menghancurkan kelas bangsawan, dan kemudian membagikan tanah mereka kepada petani-petani. Tanah-tanah tersebut nantinya akan dialihfungsikan menjadi korporasi-korporasi negara. Petani-petani pun disingkirkan. Setelah itu, mereka membangun suatu masyarakat yang sama sekali baru dengan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi resminya. Semua upaya tersebut dilakukan dengan kekerasan. Banyak orang menjadi korban. Dalam tiga tahun, lima juta orang mati, karena kebijakan perekonomian komunis. Fakta menyedihkan tersebut pun mereka abaikan. Semua bentuk perlawanan dihancurkan tanpa ragu. Semua hal ini terjadi sebelum pemerintahan totaliter Stalin dimulai.
Kaum Bolshevik, di bawah kepempimpinan Lenin, merebut kekuasaan dalam Revolusi Oktober 1917, dan kemudian menghancurkan semua tatanan masyarakat lama di Russia. Mereka mematahkan pengaruh agama Islam dan Budha, sekaligus menindas Gereja Katolik Ortodoks, yang sebelumnya begitu kuat. Mereka menutup semua pasar, dan menghapus kepemilikan pribadi serta usaha produktif, seperti bank. Mereka menghancurkan kelas bangsawan, dan kemudian membagikan tanah mereka kepada petani-petani. Tanah-tanah tersebut nantinya akan dialihfungsikan menjadi korporasi-korporasi negara. Petani-petani pun disingkirkan. Setelah itu, mereka membangun suatu masyarakat yang sama sekali baru dengan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi resminya. Semua upaya tersebut dilakukan dengan kekerasan. Banyak orang menjadi korban. Dalam tiga tahun, lima juta orang mati, karena kebijakan perekonomian komunis. Fakta menyedihkan tersebut pun mereka abaikan. Semua bentuk perlawanan dihancurkan tanpa ragu. Semua hal ini terjadi sebelum pemerintahan totaliter Stalin dimulai.
Para pelaku dari salah satu insiden paling berdarah sepanjang sejarah manusia itu didorong oleh kepercayaan pada pemikiran Karl Marx. Di mata mereka, Marx telah mampu menjelaskan teka teki sejarah. Walaupun begitu, seluruh upaya penerapan pemikiran Marx tersebut dapat dikatakan berpulang pada aksi satu aktor tunggal, yakni Vladimir Ilyic Lenin. Tanpa keberanian dan inisiatif Lenin, Uni Soviet tidak akan pernah terbentuk. Oleh karena itu, ia seringkali dikenal sebagai bapak Uni Soviet dan sekaligus menjadi bapak Komunisme Internasional. Ideologi yang melandasi komunisme Uni Soviet ini adalah Marxisme-Leninisme.
Komunisme sebagai ideologi mulai diterapkan saat meletusnya Revolusi Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917. Sejak saat itu, komunisme diterapkan sebagai sebuah ideologi, dan disebarluaskan ke negara lain. Pada 2005, negara yang menganut paham komunis adalah Cina, Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan Laos. Ideologi komunisme di Cina agak lain daripada dengan Marxisme-Leninisme yang diadopsi bekas Uni Soviet. Mao Zedong menyatukan berbagai filsafat kuno dari Cina dengan Marxisme yang kemudian ia sebut sebagai Maoisme. Perbedaan mendasar dari komunisme Cina dengan komunisme di negara lainnya adalah bahwa komunisme di Cina lebih mementingkan peran petani daripada buruh. Ini disebabkan, karena kondisi Cina yang khusus, di mana buruh dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kapitalisme.
Ada kemungkinan Indonesia menjadi negara komunis pula kalau saja PKI berhasil berkuasa di Indonesia. Namun, hal tersebut tidak menjadi kenyataan, karena terjadi pelanggaran HAM super berat, dan pembantaian manusia secara sia-sia oleh tentara dan kelompok-kelompok agama terhadap orang-orang yang dicurigai dan dituduh mempunyai hubungan dengan PKI, pada pertengahan tahun 1960-an. Hal ini juga membawa kesengsaraan luar biasa bagi para warga Indonesia dan anggota keluarga yang dituduh komunis, meski tuduhan tersebut tidaklah benar. Diperkirakan antara 500.000 sampai 2 juta jiwa manusia dibantai di Jawa dan Bali setelah peristiwa Gerakan 30 September. Hal ini merupakan halaman terhitam sejarah negara Indonesia. Semenjak jatuhnya Presiden Suharto, aktivitas kelompok-kelompok Komunis, Marxis, dan haluan kiri lainnya mulai kembali aktif di lapangan politik Indonesia, walaupun belum boleh mendirikan partai karena masih dilarang oleh pemerintah.
Banyak orang mengira, bahwa dengan runtuhnya pemerintahan Uni Soviet, maka komunisme juga telah mati. Akan tetapi, cita-cita komunisme yang sesungguhnya belum pernah terwujud. Partai komunis juga masih tetap ada di seluruh dunia. Mereka terus berupaya memperjuangkan hak-hak buruh, serta melawan ekses-ekses negatif dari kapitalisme dan neo-liberalisme. Salah satu negara yang masih menerapkan sistem komunisme dalam konteks politik maupun ekonominya adalah Kepulauan Solentiname di Nikaragua.
Pandangan Dunia Ilmiah Proletariat
Lenin berupaya agar kelas buruh proletariat menjadi kebal terhadap ideologi borjuasi, yang cenderung berpihak pada ideologi idealisme. Oleh karena itu, kelas buruh haruslah memiliki pandangan dunia yang lengkap. Lenin kemudian merumuskan pandangan dunia semacam itu. Tesis pertama dari pandangan dunia proletariat adalah bahwa realitas pada dasarnya bersifat material, atau merupakan perkembangan dari materi. Materi tersebut bergerak, terbentuk, dan berkembang seturut dengan hukum dialelktika. Artinya, materi selalu sudah bergerak dan terbentuk dalam kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi disini adalah mesin pendorong perkembangan dari materi tersebut. Hukum perkembangan sejarah berdasarkan kontradiksi yang bersifat materialis inilah yang disebut sebagai materialisme dialektis.
Di samping itu, ada satu unsur lagi yang integral di dalam pandangan dunia ilmiah proletariat, yakni karakter keberpihakan dari filsafat modern. Bagi dia, filsafat dan ilmu pengetahuan yang tidak berpihak adalah pembela dari idealisme, yang merupakan ideologi utama dari borjuasi. Pertama, seorang filsuf ataupun ilmuwan haruslah mengambil posisi, apakah ia berpihak pada idealisme atau materialisme. Kedua, semua teori filsafat ataupun ilmu juga sudah selalu mengungkapkan kepentingan kelas. Netralitas dari ilmu maupun filsafat adalah tanda dari keberpihakan terhadap borjuasi. Keberpihakan filsafat dan ilmu pengetahuan terhadap proletariat dan penolakan terhadap ideologi borjuasi justru membuat filsafat dan ilmu pengetahuan tersebut menjadi bebas dari distorsi. Perspektif proletariat bukanlah hanya merupakan perspektif kelompok kelas saja, melainkan perspektif yang memungkinkan umat manusia secara keseluruhan mencapai pembebasan. Oleh karena itu, perspektif proletariat jugalah diyakini kebenaran objektif. “Semakin berpihak ilmu pengetahuan”, demikian Lenin, “semakin benar dan objektiflah dia... makin benar dan objektiflah posisi kita.”
Materialisme Dialektis
Materialisme dialektis mau menjelaskan bagaimana dari materi tak bernyawa dapat berkembang menjadi materi bernyawa, dan berkembang menjadi produk tertinggi dari kehidupan, yakni manusia. Pengandaian dasarnya adalah, bahwa realitas itu material. Seluruh realitas bergerak dan berkembang akibat proses dialektika yang juga bersifat material tersebut. Dialektika di sini dapat dimengerti sebagai kontradiksi-kontradiksi, yang memungkinkan terjadinya perubahan.
Materialisme Historis
Pemikiran tentang materialisme historis diperoleh Lenin dari Karl Marx. Cita-cita terdasar tesis ini sebenarnya sangat luhur, yakni menciptakan masyarakat yang lebih adil dan mencapai pembebasan bagi umat manusia seluruhnya. Akan tetapi, pembebasan disini memiliki arti yang berbeda dengan cita-cita liberalisme dan individualisme. Selama masyarakat masih terpisah-pisah akibat dari kelas-kelas, maka ide kebebasan hanyalah selubung bagi sistem yang menindas, karena selama hak milik privat masih ada, selama itu pula kelas pekerja masih tergantung sepenuhnya pada kelas pemilik modal. Kelas pekerja tidak memiliki kebebasan. Kebebasan hanyalah dimiliki oleh kelas pemilik modal. Karl Marx melihat pola penindasan sistemik semacam itu, dan kemudian ia merumuskan filsafatnya dalam kerangka pertanyaan berikut: bagaimana cara menghapus alienasi dan mencapai pembebasan bagi masyarakat secara keseluruhan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut terletak dalam tesis Marx, yakni materialisme historis. Istilah materialisme di sini setidaknya berarti dua hal, yakni realitas pada dasarnya adalah material, serta kegiatan dasar manusia adalah kerja, dan bukan pikirannya. Realitas akhir adalah objek inderawi, dan objek inderawi tersebut dapat dipahami sebagai kerja ataupun relasi-relasi produksi. Sedangkan, kata historis mengacu pada pengandaian-pengandaian Hegel tentang gerak dialektis dari sejarah. Akan tetapi, historis (atau sejarah) disini bukanlah sejarah roh yang mengasingkan dirinya, melainkan sejarah perjuangan kelas-kelas yang tertindas untuk mencapai kebebasan. Tesis dan antitesis bukanlah tentang roh subjektif dan roh objektif, melainkan tentang kontradiksi-kontradiksi dalam hidup bermasyarakat, yakni dalam kegiatan ekonomi dan produksi. Sintesis, pada akhirnya, terjadi pada bentuk emansipasi keseluruhan dan alienasi telah dihapuskan. Pada saat itu, hak milik pribadi akan dihapus, dan masyarakat tanpa kelas akan tercipta.
Konsisten dengan pandangan materialisnya, Marx berpendapat bahwa bukan kesadaran yang menentukan realitas, melainkan realitas materilah yang menentukan kesadaran. Realitas material di sini dapat diartikan sebagai cara-cara produksi barang material dalam kegiatan kerja. Perbedaan cara produksi akan secara niscaya menciptakan perbedaan kesadaran. Dengan demikian, jika kita membayangkan masyarakat sebagai sebuah bangunan, maka kegiatan ekonomi dan produksi akan menjadi bangunan bawah, serta pikiran dan kesadaran orang-orang akan menjadi bangunan atas. Bangunan bawah adalah kekuatan-kekuatan produksi dan relasi-relasi produksi. Sementara, bangunan atas adalah hukum, agama, filsafat, kesadaran, seni, dan sebagainya. Di dalam bangunan bawah terjadi kontradiksi-kontradiksi. Di satu sisi, kekuatan-kekuatan produktif yang ada berkembang secara progresif. Di sisi lain, relasi-relasi produksi yang ada masihlah konservatif, karena masih mencerminkan penindasan. Kontradiksi itu nantinya akan memuncak, sehingga terjadilah revolusi. Setelah revolusi, bangunan bawah dan bangunan atas akan berubah. Marx, dengan demikian, memahami gerak sejarah sebagai “lompatan-lompatan dialektis”.
Sejak semula, Marx memang mau membuat analisis objektif tentang proses perubahan sosial. Kontradiksi di dalam sistem yang menindas adalah suatu bentuk kenyataan objektif, dan sama sekali tidak tergantung pada individu-individu. Jadi, kontradiksi tidaklah terjadi karena pemilik modal kurang cakap mengatur modalnya, dan kemudian para pekerja membencinya, melainkan karena kedudukan keduanya yang pada akhirnya menciptakan penindasan terhadap kelas pekerja di dalam proses produksi secara niscaya. Keniscayaan itu terjadi, karena adanya kedudukan objektif kelas tertindas, yang Marx sebut sebagai kelas. “Sejarah semua masyarakat”, demikian Marx, “sampai hari ini adalah sejarah perjuangan kelas.” Perjuangan kelas tertindas melawan kelas penindas merupakan cara untuk mengubah masyarakat.
Perjuangan Sosialis
Seluruh pemikiran Lenin, baik itu di bidang filsafat maupun ilmu-ilmu lainnya, ditujukan untuk menciptakan revolusi sosialis. Ia berfilsafat bukan untuk pemahaman lebih jauh akan filsafat itu sendiri, melainkan ditujukan untuk mengamankan kesadaran revolusioner proletariat, sehingga selalu dalam keadaan siap untuk melakukan revolusi. Dalam arti ini, pemikiran Lenin seratus persen pragmatis. Yang terpenting bukanlah kecocokan dengan tesis-tesis dasar Marx, melainkan kecocokan pemenuhan tujuan terlaksananya revolusi.
Lebih jauh, Lenin menyadari bahwa proletariat di Russia terlalu kecil untuk menghancurkan kekuasaan feodal Russia dan borjuasi sendirian. Oleh karena itu, ia mencoba untuk mengajak kelas tertindas mayoritas di Russia, yakni petani dan kelas borjuasi kecil yang hidupnya masih di bawah garis kemiskinan, ke dalam koalisi perwujudan revolusi sosialis. Ia juga tetap berpendapat bahwa proletariat haruslah menjadi kelas yang memimpin revolusi, dan setelah revolusi, proletariat jugalah yang harus memegang hegemoni atas kelas-kelas lainnya.
Oleh karena itu, Lenin tanpa ragu-ragu membubarkan aliansi perjuangan sosialis tersebut, ketika kelas-kelas lainnya, seperti petani dan pedagang kecil, mulai memberontak terhadap kebijakan ekonomi dan politik komunis, yang diterapkannya. Ia tidak peduli, ketika proletariat kalah dalam pemilu pada Nopember 1917, karena ia memang tidak pernah mengakui prinsip mayoritas. “Kita melihat banyak contoh bagaimana sebuah minoritas yang terorganisir dengan baik, sadar akan tujuannya, dan bersenjata,” demikian Lenin, “memaksakan kehendaknya pada mayoritas dan mengalahkannya.”
Semua taktik yang telah dijabarkan pada paragraf sebelumnya disebut sebagai “taktik perjuangan revolusioner”. Partai komunis bersedia bekerja sama dengan kelompok-kelompok kiri progresif revolusioner lainnya yang anti-fasis. Akan tetapi, jika kerja sama tersebut dianggap telah menghalangi tujuan mereka, maka partai komunis tidak akan segan-segan menghantam sekutunya.
Tanggapan Kritis: Sisi Totaliter
Mungkin, salah satu sisi totaliter dari pemikiran Lenin adalah penolakannya pada demokrasi. Ia menolak demokrasi tanpa ragu-ragu. Demokrasi adalah cita-cita borjuasi. Menemukan kehendak bersama melalui proses pemilihan umum, baginya, merupakan ilusi borjuasi picisan. “Demokrasi”, demikian Lenin, “adalah tipuan belaka yang digunakan oleh borjuasi untuk merusak semangat revolusioner proletariat, dan alat untuk menyelamatkan kapitalisme.”
Sisi totaliter kedua dari pemikiran Lenin adalah pemihakannya pada hak-hak khusus negara untuk menciptakan sistem sosialisme. Negara masih diperlukan untuk menjamin nilai-nilai sosialis, dan melindungi nilai-nilai tersebut dari ancaman borjuasi kapitalis. “Selama transisi dari kapitalisme ke komunisme, penindasan masihlah perlu,” demikian Lenin, “tetapi penindasan tersebut adalah penindasan minoritas yang menghisap oleh mayoritas yang dihisap.” Dengan demikian, negara masihlah diperlukan untuk jangka waktu yang lama.
Negara, pada titik ini, lebih dipahami sebagai aparatur kontrol yang menindas. Pemahaman semacam itu menunjukkan, bahwa komunisme tidak mampu merealisasikan hakekat negara sesungguhnya, yakni sebagai elemen positif pengembangan manusia, seperti dipahami oleh Aristoteles dan Hegel. Komunisme mengonsepkan negara dengan menggunakan daya ancamnya terhadap warga, dan bukan atas dasar pengakuan yang rasional dari warganya. Dengan kata lain, negara didirikan atas ketakutan dan ancaman, dan bukan atas dasar legitimasi tanpa paksaan.
Sisi totaliter ketiga adalah tujuan mendasar dari revolusi sosialis yang dikonsepkan oleh Lenin, yakni menghancurkan negara borjuis, dan kemudian menggantinya dengan kediktatoran proletariat, di mana proletariat akan menjadi penguasa dan penentu segala bentuk kebijakan menuju kedamaian dan kesejahteraan versi mereka sendiri. Dengan kata lain, revolusi sosialis mau menghancurkan dominasi kelas borjuasi, dan kemudian menggantinya dengan dominasi proletariat, yang terwujud dalam bentuk “kediktatoran proletariat”. Sistem diktator yang satu akan diganti dengan sistem diktator yang lainnya. Jika begitu, siapa yang bisa menjamin bahwa penindasan dapat diakhiri, dan bukan hanya sang penindasnya yang berganti wajah? “Kediktatoran revolusioner proletariat”, demikian Lenin, “adalah kekuasaan yang direbut dengan paksaan oleh proletariat dari borjuasi dan dipertahankan. Sebuah kekusaaan yang tidak terikat oleh undang-undang apa pun.”
Kediktatoran proletariat ini bukanlah berarti kelas proletar memimpin pemerintahan secara langsung, melainkan kekuasaan diberikan kepada partai komunis sebagai wakil dari proletariat. Partai komunis menentukan segala-galanya secara eksklusif. Partai tidak akan melepaskan kekuasaannya selama situasi dianggap masih belum kondusif bagi terciptanya masyarakat komunis. Akan tetapi, dalam kenyataan, partai komunis tidak pernah melepaskan kekuasaan itu. Kediktatoran proletariat tersebut pada hakekatnya adalah kediktatoran partai komunis atas proletariat, dan seluruh kelas lainnya.
------------------------------
------------------------------
"PERKUMPULAN KAUM INTOLERAN" [PKI]
Sejujurnya, bukanlah ideologi yang jadi ancaman bangsa ini, melainkan "will to power" ala Nietzche, sebuah nafsu ingin berkuasa dengan segala macam cara dan melulu bicara, yang parahnya koq selalu buat orang lain sengsara & bermuatan SARA.
Sejujurnya, bukanlah ideologi yang jadi ancaman bangsa ini, melainkan "will to power" ala Nietzche, sebuah nafsu ingin berkuasa dengan segala macam cara dan melulu bicara, yang parahnya koq selalu buat orang lain sengsara & bermuatan SARA.
NB:
IDEOLOGI dan bukan IDEOLOGIS
IDEOLOGI dan bukan IDEOLOGIS
Selayang Pandang
"Ideologi" merupakan salah satu kata kunci dalam alam politik sejak dua ratus tahun terakhir. Akan tetapi apakah ideologi adalah sesuatu yang perlu dan positif, atau malah merupakan sesuatu yang harus "dikritik" dan "dibongkar" masih tetap dipertentangkan. Marxisme-Leninisme pernah dengan bangga menamakan diri "ideologi proletariat" dan di Indonesia anggapan bahwa "Indonesia memerlukan sebuah ideologi" masih sering disuarakan. Padahal dalam filsafat politik kata ideologi umumnya dianggap bernada negatif. Kata ideologi lalu dilihat bersamaan dengan sikap "ideologis". Kata "ideologis" dalam segala konteks selalu bernada negatif. Menamakan pikiran ideologis adalah sama dengan menuduhnya tidak benar atau tidak jujur. Sebuah argumentasi disebut "ideologis" apabila mendasarkan diri pada suatu pikiran atau teori yang tampak luhur, tetapi sebenarnya menjadi wahana kepentingan kekuasaan tersembunyi. Pemikiran ideologis adalah pemikiran yang secara objektif, bahkan kadang-kadang secara subjektif menyesatkan. "Ideologis" berarti benar hanya karena melegitimasikan kepentingan kekuasaan yang bersangkutan. Kalau sebuah teori atau cita-cita universal dituduh ideologis, yang mau dikatakan adalah bahwa ciri universal cita-cita itu hanyalah kamuflase sebuah maksud tersembunyi yang tidak universal dan tidak luhur.
"Ideologi" merupakan salah satu kata kunci dalam alam politik sejak dua ratus tahun terakhir. Akan tetapi apakah ideologi adalah sesuatu yang perlu dan positif, atau malah merupakan sesuatu yang harus "dikritik" dan "dibongkar" masih tetap dipertentangkan. Marxisme-Leninisme pernah dengan bangga menamakan diri "ideologi proletariat" dan di Indonesia anggapan bahwa "Indonesia memerlukan sebuah ideologi" masih sering disuarakan. Padahal dalam filsafat politik kata ideologi umumnya dianggap bernada negatif. Kata ideologi lalu dilihat bersamaan dengan sikap "ideologis". Kata "ideologis" dalam segala konteks selalu bernada negatif. Menamakan pikiran ideologis adalah sama dengan menuduhnya tidak benar atau tidak jujur. Sebuah argumentasi disebut "ideologis" apabila mendasarkan diri pada suatu pikiran atau teori yang tampak luhur, tetapi sebenarnya menjadi wahana kepentingan kekuasaan tersembunyi. Pemikiran ideologis adalah pemikiran yang secara objektif, bahkan kadang-kadang secara subjektif menyesatkan. "Ideologis" berarti benar hanya karena melegitimasikan kepentingan kekuasaan yang bersangkutan. Kalau sebuah teori atau cita-cita universal dituduh ideologis, yang mau dikatakan adalah bahwa ciri universal cita-cita itu hanyalah kamuflase sebuah maksud tersembunyi yang tidak universal dan tidak luhur.
Kata ideologi
Paham ideologi dalam arti pemikiran ideologis sendiri berasal dari Karl Marx. Marx mengajar bahwa selama masyarakat masih dikuasai oleh kelas-kelas atas, jadi selama manusia belum betul-betul sosial, sistem-sistem pemikiran besar yang menyediakan makna dan pengertian menyeluruh kepada masyarakat mesti bersifat ideologis. Jadi bahwa pandangan-pandangan moral, agama, nilai-nilai budaya, cita-cita keadilan dan lain sebagainya sebenarnya menunjang kepentingan kelas-kelas atas untuk mempertahankan kekuasaan. Cita-cita itu di permukaan kelihatan indah dan universal. Artinya, cita-cita itu menjanjikan kebaikan bagi segenap manusia kalau diikuti. Tetapi sebenarnya cita-cita itu berfungsi untuk membuat kelas-kelas bawah mau menerima keadaan mereka sebagai kelas bawah sebagai sesuatu yang baik dan luhur, yang akhirnya, barangkali di surga, akan mendapat ganjarannya. Hal itu berarti, bahwa karena cita-cita moral, ajaran agama dan nilai-nilai budaya kelas-kelas yang terhisap dan terpuruk bersedia melakukan apa yang oleh tatanan masyarakat itu ditetapkan sebagai kewajiban mereka daripada memberontak dan menuntut pembagian hasil kerja masyarakat yang lebih adil. Dalam arti ini agama, moralitas dan nilai-nilai budaya bagi Marx merupakan ideologi, sistem-sistem berpikir yang menyediakan legitimasi kepada struktur-struktur kekuasaan yang tidak adil, tidak manusiawi dan tidak bermoral.
Maka kalau bahasa sehari-hari bicara tentang pelbagai pandangan dunia sosial-politis sebagai ideologi, selalu terbawa juga nada kecurigaan jangan-jangan teori-teori bagus itu sebenarnya memainkan fungsi yang tersembunyi sebagai sarana untuk memperkokoh kekuasaan golongan-golongan atas dalam penghayatan masyarakat itu. Dalam filsafat, "ideologi" dilawankan dengan "pengetahuan sungguh-sungguh." Jadi, ideologi dipahami sebagai "pengetahuan yang terdistorsi", sebagai keseluruhan cita-cita, nilai-nilai dan pikiran-pikiran yang tidak pertama-tama mau memenangkan kebenaran, melainkan mengamankan kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa. Pendek kata, pikiran-pikiran itu sebenarnya bukannya "benar", melainkan mau melegitimasikan hubungan kekuasaan tertentu. Ada juga paham ideologi yang lebih luas, namun tetap dengan nada negatif. Dalam sosiologi pengetahuan, dan sebagai akibat positivisme dan empirisme, kata "ideologi" dipakai untuk segala pandangan, keyakinan, kepercayaan, sistem normatif dan lain sebagainya yang tidak dapat dikembalikan pada pengamatan empiris atau pernyataan-pernyataan deskriptif. Dalam model pandangan ini, “ideologi” lalu dimengerti sebagai segala macam pemikiran yang tidak ilmiah, yang tidak berdasarkan suatu kenyataan objektif, yang bersifat subjektif belaka. Segala cita-cita, harapan, ajaran moral, pandangan tentang baik dan buruk menurut gaya bahasa ini termasuk "ideologi". Di sini bukan tempatnya untuk menguji pandangan positivistik itu. Cukup dicatat bahwa positivisme sekarang umumnya ditolak dalam filsafat. Sebagian filsuf sekarang berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat didukung dengan argumentasi yang sah. Di sini hanya mau diperlihatkan bahwa ideologi dalam filsafat dan sering juga dalam politik dikaitan dengan pengetahuan yang kurang objektif, subjektif, tak ilmiah, yang terdistorsi oleh kepentingan dan lain sebagainya.
Namun, berlawanan dengan pengertian di atas, dalam pengertian umum, kata ideologi dipakai justru dalam arti yang netral, sebagai teori sosial dan politik menyeluruh yang memuat program perubahan dan penataan kembali masyarakat, jadi yang memberikan arah dan tujuan pada suatu perjuangan politik. Dalam arti ini ideologi oleh mereka yang mengikutinya dianggap sebagai sesuatu yang positif, sebagai sesuatu yang dibanggakan. Gerakan-gerakan radikal suka menyebut teori perjuangan mereka "ideologi". Contoh utama tentu adalah Marxisme-Leninisme, ajaran teoretis komunisme yang oleh kaum komunis resmi disebut "ideologi" atau pandangan dunia ilmiah proletariat. Dalam arti netral ini kata "ideologi" lalu dipakai bagi paham-paham besar modernitas seperti liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan nasionalisme.
Ideologi dan modernitas
Ada beberapa hal yang pantas diperhatikan. Yang pertama: Semua ideologi, tanpa kecuali, baru muncul selama tiga ratus tahun terakhir. Rupa-rupanya munculnya ideologi-ideologi berhubungan erat dengan sekularisasi dan keruntuhan struktur-struktur kekuasaan serta kepercayaan-kepercayaan tradisional. Dalam semua masyarakat tradisional di dunia, seluruh kehidupan masyarakat – pola cocok tanam dan bertukang, perekonomian pada umumnya, pemerintahan yang biasanya di bawah seorang raja, keagamaan dengan pelbagai struktur kepastoran, kependetaan dan keulamaan serta cara berperang – berlangsung dalam kerangka pandangan dunia, kepercayaan-kepercayaan, dunia nilai dan pandangan normatif yang sama, yang bagi masyarakat bersangkutan berfungsi sebagai latar belakang pengertian diri dalam dunia dan oleh karena itu tidak pernah dipersoalkan. Yang dipersoalkan adalah apakah kelakuan individual atau suatu penataan sosial sesuai dengan kerangka itu. Pandangan-pandangan religius, nilai-nilai, pandangan tentang struktur alam tertentu itu menjadi latar belakang mengapa orang-orang dalam masyarakat-masyarakat itu merasakan tata hidup, cara berkomunikasi dan bekerja mereka sebagai bermakna. Jürgen Habermas menyebut latar belakang segala makna itu sebagai "dunia kehidupan" ("Lebenswelt"). Dalam dunia di mana semua warga masyarakat dengan sendirinya memahami diri pada latar belakang makna yang sama tidak ada ruang spiritual untuk sebuah ideologi. Mengapa? Karena ideologi selalu menawarkan makna, memuat cita-cita, tujuan-tujuan dan tuntutan-tuntutan yang berdasarkan suatu makna yang khusus. Tetapi dunia makna dalam masyarakat tradisional masih mantap diduduki oleh "dunia kehidupan" tradisional itu.
Nilai utama liberalisme misalnya adalah kebebasan. Liberalisme menuntut kebebasan dan karena itu menolak segala ketaatan, baik terhadap raja maupun terhadap lembaga agama, yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional. Kebebasan sampai hari ini menjadi salah satu nilai paling penting yang dapat menggerakkan bangsa-bangsa. Di Indonesia hari raya nasional terbesar adalah hari raya Kemerdekaaan Republik Indonesia. Tetapi dalam masyarakat tradisional kebebasan atau kemerdekaan tidak pernah merupakan nilai istimewa. Bebas barangkali bisa berarti pembebasan dari status perbudakan, bebas dari hama tikus, dan sebagainya. Tetapi, misalnya di Jawa, nilai-nilai yang lebih mendalam adalah tata tentrem adil makmur kerta raharja (tertata [baik], tenteram, adil, sejahtera, kaya, bahagia). Baru sesudah alam makna tradisional itu runtuh pertanyaan tentang suatu makna baru bisa muncul.
Individualisme
Salah satu latar belakang kunci munculnya ideologi-ideologi adalah individualisme. Individualisme memang merupakan salah satu ciri paham diri manusia pasca tradisional paling mencolok. Individualisme baik suatu kesadaran maupun sebuah kenyataan sosial-sosiologis. Individualisme adalah kesadaran diri manusia bahwa ia seorang diri yang bebas untuk menentukan sikap dan tindakannya, serta untuk bertanggungjawab atasnya, pun pula apabila tidak sesuai dengan kehendak atau adat-istiadat kelompok. Secara tradisional seseorang selalu menghayati diri sebagai anggota kelompok sosial dalam pelbagai lingkaran intensitasnya: Ia anggota suatu keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga lebih luas (marga), ia warga desa, anggota umat beragama tertentu dan barangkali anggota sebuah profesi (misalnya pande besi). Ia menganggap baik yang dianggap baik oleh kelompoknya dan buruk apa yang dicela oleh kelompoknya. Tak mungkin bahwa ia menolak nilai-nilai dan norma-norma kelompoknya. Ia bisa saja melanggar sebuah norma kelompok, misalnya dengan berzinah, tetapi ia tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu pelanggaran dan tidak baik. Tetapi di modernitas bisa terjadi bahwa seseorang bukan hanya berzinah, melainkan juga menyatakan bahwa berzinah itu haknya dan bukan sesuatu yang buruk. Ia tidak hanya melanggar norma yang berlaku, ia menyangkal bahwa norma itu sendiri berlaku. Individu modern – sebagaimana dirumuskan dengan paling jernih oleh Immanuel Kant - merasa berhak untuk mengetahui sendiri apa yang benar dan baik dan apa yang salah, dan ia akan merasa wajib bertindak sesuai dengan kesadarannya itu, juga apabila kesadarannya bertentangan dengan norma-norma kelompoknya. Immanuel Kant menarik kesimpulan bahwa moralitas yang benar adalah moralitas otonom, otonom dalam arti bahwa sikap moral yang benar bukanlah asal mengikuti aturan kelompok, melainkan bertindak sesuai dengan apa yang diyakini oleh orang yang bersangkutan sendiri sebagai benar.
Pendekatan individualistik itu merupakan suatu perubahan luar biasa terhadap seluruh tradisi. Namun perlu diperhatikan bahwa sebenarnya individualisme sudah merupakan implikasi keagamaan Abrahamistik. Menurut kepercayaan tiga agama keturunan Abraham : Yahudi, Kristen dan Islam, setiap orang di saat kematiannya akan menghadap Tuhan Penciptanya secara individual dan akan dinilai secara individual juga apakah masuk surga atau tidak. Diyakini bahwa Tuhan tidak akan menerima kalau ia mengatakan bahwa ia ikut-ikutan berbuat jahat bersama orang-orang sekelompok, melainkan Tuhan akan bertanya: "Mengapa engkau ikut melakukan apa yang kauketahui tidak benar?" Keluhuran individu dalam pandangan dunia agama-agama Abrahamistik kelihatan dari fakta kepercayaan bahwa kematian manusia individual tidak – seperti halnya di beberapa agama Asia Selatan dan Timur - dimengerti sebagai kembalinya setetes air ke dalam samudra alam raya, apalagi sebagai padamnya lilin kehidupan sebagaimana halnya kematian binatang. Melainkan individu masing-masing, secara personal, diciptakan untuk bereksistensi untuk selama-lamanya. Jadi setiap orang bernilai dalam kekhasan individualnya dalam pandangan Tuhan.
Keyakinan akan arti mutlak eksistensi individual ini sebenarnya berimplikasi bahwa setiap orang harus bertindak menurut suara hatinya sendiri dan bukan sekedar mengikuti kelompoknya. Akan tetapi, meskipun misalnya filsuf dan teolog besar dari Abad Pertengahan bernama Thomas Aquinas (1225-1274) sudah mengajarkan bahwa setiap orang wajib untuk selalu mengikuti suara hatinya, toh kesadaran itu tadi sebenarnya baru mulai dihayati lebih luas sejak zaman Pencerahan, sejak saat fajar budaya modernitas menyingsing. Perubahan kesadaran manusia ini – sebuah perubahan paradigma sungguh-sungguh – tidak lepas dari keambrukan struktur-struktur sosial-politik tradisional. Pada abad ke-17, kapitalisme purba – kapitalisme yang belum dimotori oleh revolusi industri – sudah mendobrak tatanan sosial tradisional kaku abad pertengahan. Kapitalisme menuntut agar petani dibebaskan dari kewajiban untuk tetap di desanya, agar pembatasan-pembatasan untuk berusaha, untuk bertukang, untuk mencari pekerjaan dihapus. Kapitalisme menutut kebebasan orang untuk bekerja di mana ia mau, berproduksi sesuai dengan kemauannnya, bebas berdagang. Dengan demikian individu menjadi lebih bebas bergerak, dengan akibat bahwa struktur-struktur sosial tradisional yang juga menjamin kehidupan dan keamanan individu kehilangan artinya. Manusia harus berjuang secara individual untuk survive, segala kemungkinan jadi terbuka baginya (kita kenal ceritera-ceritera tentang orang yang mulai dengan cuci piring di New York, dan akhirnya bisa menjadi jutawan), tetapi begitu pula segala risiko (itulah salah satu latar belakang sosial munculnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia). Mudah dilihat bahwa individualisasi itu sudah ke mana-mana. Di Indonesia hanya sedikit orang yang masih bisa hidup dari gotong-royong di desa, sebagian besar warga masyarakat harus mencari pekerjaan secara individual kalau ia dan keluarganya mau makan. Dalam pendidikan di sekolah, orang dinilai menurut ranking individualnya, menurut prestasi individualnya, dan bukan menurut asal-usul sosialnya. Individualisasi paling jelas kelihatan dalam fakta bahwa taraf kehidupan seseorang tidak lagi tergantung dari kelompoknya, melainkan semata-mata dari apakah ia secara individual memiliki uang. Begitu pula orang perlu KTP, SIM, dan lain-lain yang sifatnya individual kalau ia mau hidup.
Individualisasi sosial dan kesadaran individualistik mempunyai akibat bahwa wawasan intelektual dan emosional seseorang tidak lagi secara otomatis mesti tertampung dalam dunia kehidupan keluarganya, kampungnya, umatnya. Oleh karena itu seseorang mungkin merasa kehidupannya tidak lagi bermakna, maka ia mencarinya. Nah, ideologi-ideologi menawarkan makna itu. Ideologi-ideologi mengisi ruang yang sudah ditinggalkan oleh tradisi dan yang sudah tersekularisasi dalam arti bahwa makna-makna keagamaan yang dulu melekat pada segenap unsur kehidupan dari pagi sampai malam, sudah menguap. Ideologi-ideologi mengisi ruang kosong nir-makna cakrawala manusia pasca-tradisional.
Intensitas ideologis berbeda
Akan tetapi, kalau kita bicara tentang ideologi kita harus memperhatikan bahwa corak dan intensitas ideologi-ideologi itu sangat berbeda. Ada ideologi-ideologi yang keras, dengan ajaran lengkap mengenai hampir semua segi kehidupan politik, sosial dan ekonomi, di mana ideologi dirumuskan dalam buku-buku resmi, diajarkan kepada para pengikutnya, atau, di mana ideologi itu berkuasa, kepada masyarakat, dan orang yang mengritik ideologi ditindak. Ideologi-ideologi keras itu selalu diperjuangkan oleh suatu gerakan politik yang mempunyai program perebutan kekuasaan dan mencoba membentuk masyarakat sesuai dengan ideologinya itu. Tiga contoh paling jelas ideologi keras itu adalah (1) Marxisme-Leninisme, ideologi gerakan komunis sedunia, (2) Fasisme, yang dengan paling ekstrem terwujud dalam Nasionalsosialisme (Nazi), dan (3) Islamisme Imam Khomeini di Iran. Tiga ideologi itu tentu sangat berbeda satu sama lain. Tetapi masing-masing menjadi dasar perjuangan untuk merebut kekuasaan, dan sesudah gerakan ideologis itu merebut kekuasaan mereka mendirikan sistem kekuasaan keras berdasarkan ideologi mereka. Mereka semua menolak demokrasi atas dasar pertimbangan, bahwa kebenaran tidak tergantung dari pandangan mayoritas, dan karena itu pemerintahan justru harus dipegang atau, seperti di Iran, dikontrol oleh para penjaga kemurnian ideologis (dalam komunisme itu adalah Komite Sentral Partai Komunis, dalam Nazisme itu pemimpin sendiri dan jajaran partai Nazi, di Iran itu adalah Majlis Para Penjaga Islam di bawah Kepala Spiritual Imam Ali Khameini), pendidikan dikontrol ketat secara ekslusif sesuai dengan ideologi negara, ada aparat yang mengontrol masyarakat dan menindak segala cara hidup, usaha, pekerjaan profesional dan pola rekreasi yang tidak sesuai dengan ideologi itu. Perlawanan tidak diizinkan dan penjara-penjara penuh dengan orang-orang yang ditemukan menyeleweng dari kemurnian ideologi.
Liberalisme, tetapi juga kapitalisme sangat berbeda dari ideologi-ideologi keras itu. Dua ideologi itu hanya memperjuangkan kebebasan terhadap kuasa-kuasa feodal dan diktatoris, yaitu kebebasan politik-sosial-kultural dan (kapitalisme) kebebasan untuk berusaha. Dua ideologi itu tidak memiliki ajaran tertentu. Mereka hanya memperjuangkan sebuah nilai, yaitu kebebasan itu. Liberalisme – nama ideologi ini baru dipakai di abad ke-19 – adalah paham yang pertama memperjuangkan nilai kebebasan. Tokoh liberalisme adalah filosof Inggris John Locke yang hidup di abad ke-17 dan menjadi konseptor negara monarki konstitusional pertama, kerajaan Inggris, sesudah "Revolusi Mulia" 1689. Secara sampingan dapat dicatat bahwa liberalisme kemudian juga mengembangkan anggapan-anggapan lebih keras daripada hanya kebebasan, terutama dalam bentuk sekularisme, yaitu penolakan terhadap pengaruh Gereja (sekarang: agama) atas kehidupan publik. Maka, secara historis liberalisme memperlihatkan juga sikap-sikap yang sebenarnya justru tidak liberal, seperti melarang sekolah-sekolah beragama, membubarkan biara-biara, melarang tarekat-tarekat religius tertentu (seperti Ordo Yesuit di Perancis dan Jerman pada akhir abad ke-19). Akan tetapi ideologi-ideologi "lunak" tidak mengenal paksaan ideologis, mereka justru mendukung demokrasi di mana segala sikap diizinkan kecuali yang mau membongkar demokrasi sendiri.
Nasionalisme adalah sebuah ideologi khusus. Di satu pihak nasionalisme barangkali merupakan kekuatan ideologis paling besar selama abad ke-19 dan sebagian abad ke-20. Nasionalisme bisa betul-betul menggerakkan hati orang. Orang bersedia untuk berjuang dan bahkan mati atas nama kebangsaan. Tetapi kalau kita bertanya apa ajaran nasionalisme, langsung kelihatan bahwa nasionalisme itu bukan sebuah ajaran sama sekali. Nasionalisme adalah suatu keterlibatan hati, suatu perasaan, tetapi tidak mempunyai paham-paham teoretis sama sekali. Karena itu Nasionalisme adalah khas bagi masing-masing bangsa, sedangkan Liberalisme, Marxisme-Leninsime, Sosialisme, Islamisme dan Feminisme di seluruh dunia dan di semua masyarakat pada hakekatnya sama dan karena itu bisa memakai buku ajaran atau doktrin, dan sebagainya, yang sama. Tetapi nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme Malaysia dan bukan nasionalisme Amerika Serikat.
Kita dapat juga membedakan antara ideologi-ideologi universalistik dan ideologi kelompok, umat, bangsa tertentu. Ideologi-ideologi universalistik mengklaim keberlakuan bagi segenap manusia, jadi segenap bangsa, masyarakat dan negara. Di antara ideologi-ideologi universalistik termasuk liberalisme, kapitalisme, sosialisme, Marxisme-komunisme, dan juga keyakinan demokratis. Nasionalisme, meski ditemukan di semua negara dan karena itu merupakan gejala universal, tidak termasuk ideologi universalistik. Orang dari semua bangsa dan negara bisa berjuang di bawah bendera sosialisme, tetapi tidak di bawah bendera satu nasionalisme. Fasisme dan Nasionalsosialisme (NAZI), meskipun mempunyai kemiripan, justru mengunggulkan bangsa tertentu dan tanpa ragu-ragu akan menyingkirkan bangsa-bangsa penghalang. Islamisme dan Feminisme, meskipun mempunyai tujuan-tujuan spesifik, bersifat universal karena berpendapat bahwa apa yang mereka perjuangkan berlaku bagi seluruh umat manusia. Sebaliknya gerakan-gerakan dengan ideologi regional mau memenangkan atau membebaskan kelompok, daerah, suku atau etnik tertentu, biasanya atas dasar pengandaian bahwa kelompok atau golongan itu tertindas dan harus dibebaskan, dan karena itu tidak mengangkat klaim keberlakuan universal (tetapi mereka memperjuangkan sasaran-sasaran mereka atas nama keberlakuan universal hak-hak asasi manusia).
Yang mencolok adalah bahwa pada akhir abad ke-20 ideologi-ideologi sekuler besar kehilangan daya juangnya. Liberalisme (politik) semakin tidak relevan, justru karena tujuan-tujuan politik yang diperjuangkannya semua sudah tercapai: Negara hukum demokratis, negara berdasarkan undang-undang dasar yang membatasi kesewenang-wenangan pemerintah, pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) dan pemastian konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia. Pokok-pokok ini semua sekarang sudah secara universal diyakini sebagai tonggak-tonggak etika politik struktural. Fasisme dan Nasionalsosialisme, meskipun sebagai tendensi tetap masih ada, rupa-rupanya mati sebagai gerakan massal karena secara amat kentara membawa bangsa-bangsa yang menganutnya ke dalam kehancuran (terbukti dalam perang dunia kedua). Komunisme dan pelbagai bentuk sosialisme terdiskreditasi pada akhir abad ke-20, tidak hanya karena brutalitas kekuasaannya, melainkan terutama karena gagal menciptakan kesejahteraan umum dan kalah jauh terhadap negara-negara dengan sistem perekonomian pasar. Di Cina komunisme hanya mempertahankan kekuasaan, karena menggantikan sosialisme dengan kapitalisme. Sebaliknya, ideologi-ideologi yang bersifat agamis maupun regionalis (Tamil Elam dan lain sebagainya), jadi yang justru tidak universal, kelihatan semakin menyatakan diri dan menyaingi nasionalisme.
Penutup
Lalu bagaimana kita harus bersikap terhadap ideologi-ideologi? Uraian di atas kiranya membuat jelas bahwa pertanyaan ini tidak bisa dijawab. Sekurang-kurangnya tidak sebelum orang menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan ideologi. Kalau orang mengikuti cara bicara positivisme dan menyebutkan segala sistem nilai sebagai "ideologi", tentu setiap orang mempunyai ideologi. Tetapi, cara bicara positivistik – yang mengandaikan bahwa cita-cita dan nilai-nilai merupakan sesuatu yang irasional belaka – tidak tepat. Lebih baik bicara tentang nilai-nilai, cita-cita, makna-makna berdasar. Seperti misalnya kalau kita bicara Pancasila. Pancasila jelas bukan sebuah ajaran eksplisit, melainkan sejumlah nilai yang amat mendasar. Menyebutkan Pancasila sebagai ideologi tidak memberi manfaat apa-apa. Tetapi memang betul, kita tidak dapat menjalankan kehidupan politik-sosial kecuali mempunyai nilai-nilai, cita-cita, keyakinan-keyakinan tertentu, misalnya tentang solidaritas bangsa.
Tetapi kalau ideologi dimengerti sebagai sebuah sistem pemikiran politik yang lengkap, sesuatu yang bisa ditulis dalam buku panjang dan diajarkan dalam kursus-kursus indoktrinasi, maka kita justru tidak memerlukan ideologi. Ideologi semacam itu selalu cenderung menjadi ideologis, cenderung membelenggu keterbukaan berpikir dan menyingkirkan integritas orang yang mempertanggungjawabkan kelakuannya tidak terhadap sebuah ajaran pikiran para ideologi, melainkan terhadap suara hati, cerminan suara Tuhan dalam hatinya. Ideologi-ideologi itu hampir semua memiliki segi penindas dan pembungkam. Yang kita perlukan adalah kritik terhadap segala macam ideologi dan keberakaran dalam nilai-nilai dan keyakinan dasar yang positif, terbuka, sosial dan jujur.
-----------------------
-----------------------
"PERKUMPULAN KAUM INTOLERAN" [PKI]
Heboh dan kepo' membahas PKI dengan berbagai teori yang dicari-cari sementara praktek intoleransi & dehumanisasi di sekitar kita terus terserak marak semarak, pakai nama agama lagi, yang katanya Feuerbach hanyalah proyeksi dari kepentingan manusia itu sendiri.
Dan yang paling mengganjal dalam tragedi "pki reborn" di rusunawa kemarin adalah : Itu ngapain Ahok masih dibawa-bawa, dibangsat-bangsatin segala? Ahok salah apa? Ahok berubah wujud jadi bocah ikut kebaktian Sabtu Ceria? Ahok memimpin kebaktian?
NB:
AGAMA DALAM KACAMATA MARX(IS)
AGAMA DALAM KACAMATA MARX(IS)
1. AGAMA SEBAGAI BENTUK ALIENASI:
AGAMA, di mata Marx, adalah suatu bentuk alienasi. Ini diungkapkannya sebagai berikut dalam Manuskrip-Manuskrip Ekonomi & Filsafat yang ditulis tahun 1844:
AGAMA, di mata Marx, adalah suatu bentuk alienasi. Ini diungkapkannya sebagai berikut dalam Manuskrip-Manuskrip Ekonomi & Filsafat yang ditulis tahun 1844:
Religion, the family, the State, law, morality, science, art, etc., are only particular forms of production and come under its general law. The positive abolition of private property, as the appropriation of human life, is thus the positive abolition of all alienation, and thus the return of man from religion, the family, the State, etc., to his human, i.e. social life. Religious alienation only occurs in the sphere of consciousness, in the inner life of man, but economic alienation is that of real life, and its abolition therefore affects both aspects. Of course, the development in different nations has a different origin according to whether the actual life of the people is more in the realm of mind or in the external world, whether it is a real or ideal life (dikutip dalam Bottomore & Rubel 1973: 250).
Selanjutnya, dalam (sebelas) tesis tentang Feuerbach (1845), Marx bertanya:
• dalam situasi bagaimana manusia memproyeksikan kekuatan serta nilai-nilainya, kepada mahluk-mahluk yang adikodrati (superhuman) yang hipotetis, sebagai penyebab sosial gejala-gejala itu?
• Bagaimana latar belakangnya sehingga manusia memproyeksikan kekuatan, yang sebenarnya kekuatannya sendiri, kepada benda-benda di luar dirinya, yang mereka abstraksikan dengan memberhalakannya?
(lihat Bottomore & Rubel 1973: 20-21).
Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan oleh Marx, sebab sejarah umat manusia menunjukkan epoch-epoch tertentu di mana kerja keras manusia tidak dinikmati oleh mereka sendiri, tapi diperuntukkan bagi dewa-dewa, yang diperantarai oleh mandor-mandor. Jadi di sini terjadi alienasi ganda: alienasi religius dan alienasi ekonomis. Ini dipersoalkan oleh Marx dalam Manuskrip-Manuskrip Ekonomi & Filsafat yang ditulisnya setahun sebelum sebelas tesis tentang Feuerbach, sebagai berikut:
Let us now see, further, how in real life the concept of estranged, alienated labour must express and present itself.
If the product of labour is alien to me, if it confronts me as an alien power, to whom, then, does it belong?
If my own activity does not belong to me, if it is an alien, a coerced activity, to whom, then, does it belong?
To a being other than me.
Who is this being?
The gods? To be sure, in the earliest times the principal production (for example, the building of temples, etc., in Egypt, India and Mexico) appears to be in the service of the gods, and the product belongs to the gods. However, the gods on their own were never the lords of labour. No more was nature. And what a contradiction it would be if, the more man subjugated nature by is labour and the more miracles of the gods were rendered superfluous by the miracles of industry, the more man were to renounce the joy of production and the enjoyment of the produce in favour of these powers.
The alien being, to whom labour and the produce of labour belongs, in whose service is done and for whose benefit the produce of labour is provided, can only be man himself.
If the product of labour does not belong to the worker, if it confronts him as an alien power, this can only because it belongs to some other man than the worker. If the worker’s activity is a torment to him, to another it must be delight and his life’s joy. Not the gods, not nature, but only man himself can be this alien power over man. (lihat Marx 1961: 78-9).
Masih dalam naskah yang sama, Marx berbicara tentang hubungan antara alienasi dan dominasi yang dialami manusia, termasuk dalam hubungan agama:
Every self-estrangement of man from himself and from nature appears in the relation in which he places himself and nature to men other than and differentiated from himself. For this reason religious self-estrangement necessarily appears in the relationship of the layman to the priest, or again to a mediator, etc., since we are here dealing with the intellectual world. In the real practical world self-estrangement can only become manifest through the real practical relationship to other men (lihat Marx 1961: 79).
Dari situ berkembanglah tesis-tesis Marx tentang Feuerbach, yang khusus menyoroti hakekat agama, sebagai berikut:
• Tesis IV: Feuerbach sets out from the fact of religious self-alienation, the duplication of the world into a religious and a secular one. His work consists in resolving the religious world into its secular basis. But the fact that the secular basis deserts its own sphere and establishes an independent realm in the clouds, can be explained by the cleavage and self-contradictions within this secular basis. The latter, therefore, must itself be both understood in its contradictions and revolutionized in practice. Thus, for instance, once the earthly family is discovered to be the secret of the heavenly family the former must be destroyed in theory and in practice.
• Tesis V: Feuerbach, not satisfied with abstract thought, wants empirical observation, but he does not conceive the sensible world as practical, human sense activity.
• Tesis VI: Feuerbach resolves the essence of religion into the essence of man. But the essence of man is not an abstraction inherent in each particular individual. The real nature of man is the totality of social relations. Feuerbach, who does not enter upon a criticism of this real nature, is therefore obliged:
1. to abstract from the historical process, to hypostatize the religious sentiments, and to postulate an abstract – isolated – human individual;
2. to conceive the nature of man only in terms of a ‘genus’, as an inner and mute universal quality which unites the many individuals in a purely natural (biological) way.
• Tesis VII: Feuerbach therefore does not see that the ‘religious sentiment’ is itself a social product, and that the abstract individual whom he analyzes belongs to a particular form of society.
• Tesis VIII: All social life is essentially practical. All the mysteries which lead theory towards mysticism find their rational solution in human practice and in the comprehension of this practice.
(lihat Bottomore & Rubel 1973: 83-4).
Tesis-tesis ini boleh dianggap perintisan munculnya sosiologi agama modern, menurut Bottomore & Rubel (1973: 20). Selanjutnya, dalam Kritik terhadap Filsafat Kebenaran Hegel (1842-3), yang baru terbit tahun 1927, Marx bergeser lebih jauh ke sikap filsafatinya yang semakin tegas melihat agama sebagai ciptaan manusia. Atau dalam istilah lain, agama sebagai konstruksi sosial. Tulisnya:
Man makes religion, religion does not make man. Religion is indeed man’s self-consciousness and self-awareness as long as he has not found his feet in the universe. But man is not an abstract being, squatting outside the world. Man is the world of men, the State, and society. This State, this society, produce religion which is an inverted world consciousness, because they an inverted world. Religion is the general theory of this world, its encyclopedic compendium, its logic in popular form, its spiritual point d’honneurs, its enthusiasm, its moral sanction, its solemn complement, its general basis of consolation and justification. It is the fantastic realization of the human being inasmuch as the human being possesses no true reality. The struggle against religion is therefore indirectly a struggle against that world whose spiritual aroma is religion.
Religious suffering is at the same time an expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the sentiment of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.
The abolition of religion, as the illusory happiness of men, is a demand for their real happiness. The call to abandon their illusions about their condition is a call to abandon a condition which requires illusions.
….. The immediate task is to unmask human alienation in its secular form, now that is has been unmasked in its sacred form. Thus the criticism of heaven transforms itself into the criticism of earth, the criticism of religion into the criticism of law, and the criticism of theology into the criticism of politics. (lihat Bottomore & Rubel 1973: 41-2).
3. DIALEKTIKA ANTARA AGAMA & MODA PRODUKSI:
DALAM teori ekonominya, Marx menempatkan agama – bersama kebudayaan, hukum, dan politik – sebagai supra-struktur dari moda produksi atau sistem ekonomi, sebagai basis. Dengan kata lain, agama – atau tepatnya, para pemimpin agama – berfungsi memberikan pembenaran teologis atas apa yang terjadi di basis masyarakat, yakni di sistem ekonomi. Hal ini dapat dilihat di Eropa di abad ke-18 dan 19 setelah lahirnya Revolusi Industri berkat penerapan mesin uap ciptaan James Watt dalam industri tekstil di Inggris tahun 1785. Revolusi ini menimbulkan dampak negatif yang luar biasa bagi kaum proletar di Eropa (lihat Engels 1979; Hunt 1981, Bab 4, ‘Classical Liberalism and the Triumph of Industrial Capitalism’, dan Bab 5, ‘Socialist Protest Amid the Industrial Revolution’, hal. 36-65). Gereja Katolik Roma menanggapi perkembangan ini dengan serangkaian ensiklik (surat gembala Paus), yakni Rerum Novarum (1891), Quadragesimo Anno (1931) dan Mater et Magistra (1961). Ajaran Sosial Gereja Katolik Roma ini dipelopori oleh Paus Leo XIII (1810-1903) (lihat Hunt 1981: 108; Darmaputra 1990: 6; dan Bertens 2000: 38).
Suatu etika ekonomi-politik Kristiani yang paternalistik, yang menyambut dengan gembira munculnya elite usahawan di bidang industri & keuangan, mendapat dukungan dari Paus Leo XIII. Antara tahun 1878 dan 1901 sang Paus mempelajari permasalahan kapitalisme korporasi dan mengusulkan beberapa ‘obat sosial’ dalam ensikliknya, Rerum Novarum (1891). Dalam Rerum Novarum, Paus Leo XIII menyatakan bahwa “suatu pertolongan [remedy ] harus ditemukan …. untuk mengatasi penderitaan yang pada saat ini membebani sejumlah besar orang miskin”. Selanjutnya ia mengecam dampak sosial yang negatif dari persaingan bebas tanpa kendali:
“Working men have been given over, isolated and defenseless, to the callousness of employers and the greed of unrestrained competition. The evil has been increased by rapacious usury … still practiced by avaricious and grasping men. And to this must be added the custom of working by contract, and the concentration of so many branches of trade in the hands of a few individuals, so that a small number of very rich men have been able to lay upon the masses of the poor a yoke little better than slavery itself” (lihat Hunt 1981: 108).
Ironisnya, kutipan di atas yang kedengarannya begitu sosialis dalam nada dan isi, langsung diikuti dengan kutukan keras terhadap sosialisme dibarengi pembelaan terhadap hak milik pribadi. Sang Paus berharap bahwa dampak sosial industrialisasi yang begitu parah dapat dikurangi dengan penolakan terhadap persaingan bebas serta usaha kembali ke nilai-nilai luhur Kristiani tentang cinta dan persaudaraan dengan sesama. Ia mengharapkan bahwa para pemimpin bisnis dan industri memimpin jalan dengan mengadopsi semangat paternalisme Kristiani baru itu, tetap dalam konteks sistem kapitalis yang dilandasi hak milik pribadi (lihat Hunt, idem ).
Itu tadi kita lihat bagaimana basis (moda produksi) terefleksi dalam teologi masa itu. Sebaliknya kita juga dapat melihat, bagaimana perubahan moda produksi dapat juga ‘didahului’ dengan perubahan teologi. Misalnya, dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia, di mana PKI merupakan salah satu aktor terpenting, di masa awalnya sebagian anggotanya muncul dari sayap kiri Sarekat Islam (SI), yang dikenal dengan julukan, ‘SI Merah’. Koalisi PKI/SI Merah itu punya gaung yang kuat kalangan santri, berkat kepeloporan Haji Mohammad Misbach, yang tampil sebagai propagandis PKI keliling Jawa, serta Mas Marco Kartodikromo, yang menerbitkan koran Doenia Bergerak. Keduanya bergerak dari Solo. Keduanya, yang silih berganti memimpin pergerakan ‘Komunis-Islam’ itu, melakukan ijtihad dalam penafsiran ajaran sosial yang termaktub dalam agama Islam, yang parallel dengan prinsip-prinsip dasar Marxisme, terutama soal eksploitasi kaum buruh (lihat McVey 1965: 172-6; Shiraishi 1997).
Selain mendapat oposisi keras dari penguasa kolonial Belanda, yang membuang Haji Misbach ke Manokwari dan Mas Marco ke Digul, Muhammadiyah sangat menentang propaganda Haji Misbach. Masalahnya bukan semata-mata karena Haji Misbach yang sebelumnya anggota Muhammadiyah ‘menyeberang’ ke PKI, tapi juga karena propaganda Haji Misbach sangat menarik simpati para buruh batik di kota Solo (lihat Shiraishi 1997: 440), sementara majikan mereka kebanyakan anggota Muhammadiyah.
Makanya, hubungan antara agama (suprastruktur) dan moda produksi (basis), lebih tepat dilihat sebagai hubungan yang dialektis, bukan hubungan yang deterministik. Dalam hubungan yang deterministik, satu fihak, misalnya basis, secara unilinier mempengaruhi suprastruktur, yakni agama dan bentuk-bentuk kesadaran lain. Adapun istilah dialektika dan kata sifatnya, dialektis, diambil Marx dari Hegel. Menurut Hegel, filsafat sejarah berkembang melalui tiga fase, yakni mula-mula ada tesis, lalu dari tesis itu muncul pikiran oposisi terhadapnya, yang disebut anti-tesis, selanjutnya konflik antara tesis dan anti-tesis melahirkan sintesis, yang mempertemukan kedua perangkat pikiran itu dalam kesatuan yang lebih tinggi. Sintesis itu kemudian menjadi tesis baru, dan berulanglah spiral perkembangan itu. Marx mengambil oper gagasan Hegel, tapi bukan pada tingkat pemikiran, melainkan pada tingkat material, khususnya moda produksi. Moda produksi yang sedang berlaku dilihat sebagai tesis. Dari situ muncul kekuatan-kekuatan produksi yang melawannya, yang merupakan anti-tesis. Hasil kontradiksi antara tesis dan anti-tesis itu melahirkan moda produksi baru sebagai sintesis, yang pada gilirannya menjadi tesis baru. Berbeda dengan Hegel, yang menganggap pikiran merupakan motor perubahan sejarah, Marx berpendapat kekuatan-kekuatan produksi (productive forces) lah motor perubahan sejarah yang utama (lihat Beer 1955: xii-xiii).
Sementara itu, menurut Engels, dalam bukunya, Dialektika Alam, ada tiga hukum utama yang mengatur dialektika, sebagai ilmu pengetahuan tentang antar-keterkaitan berbagai gejala alam dan gejala sosial. Hukum pertama, transformasi kuantitas menjadi kualitas. Hukum kedua, saling penetrasi pertentangan-pertentangan polar (kutub) dan transformasi ke dalam satu sama lain ketika dibawa hingga ke ekstrema masing-masing. Hukum ketiga adalah perkembangan sosial terjadi dalam bentuk spiral melalui kontradiksi atau negasi dari negasi (lihat Engels 2005: 8, 68).
Apabila diterapkan dalam melihat perkembangan dalam masyarakat Eropa sejak kapitalisme menggeser feodalisme, secara garis besar evolusi teologi dan bentuk organisasi gereja Katolik Roma berkembang sebagai berikut (lihat Skema di halaman berikut). Di Abad-abad Pertengahan, sebelum terjadi skisma, ketika moda produksi feodal masih dominan di Eropa, teologi Gereja Kristen sangat mendukung feodalisme. Apalagi ketika Paus masih berkuasa mengangkat dan memberhentikan raja-raja. Paus jugalah yang memerintahkan raja-raja Kristen memerangi sultan-sultan Islam di daerah yang sekarang termasuk Spanyol dan Portugal, dan memerintahkan kedua negeri Kristen itu untuk mengkristenkan dunia.
Sesudah Revolusi Liberal di Perancis memisahkan kaum borjuis dari kaum bangsawan, terjadi proses Reformasi, di mana Martin Luther memisahkan gereja Protestan dari Gereja Katolik Roma. Selanjutnya, setelah Revolusi Industri dan moda produksi kapitalis melanda Eropa, dipelopori oleh Inggris, dengan penemuan mesin uap sehingga industri tekstil Inggris dapat melemparkan produk-produknya ke pasaran dunia. Gereja Katolik Roma, yang cenderung menjadi semakin konservatif setelah skisma, menanggapi dampak negatif Revolusi Industri dengan mengembangkan teologi yang pro-bisnis dan anti-sosialisme, seperti yang sudah disinggung di depan.
Sesudah pola pembangunan ekonomi kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Utara diekspor ke Dunia Ketiga, dengan dampak yang lebih dahsyat lagi dari pada di negara asalnya, akibat perselingkuhan antara kapitalisme global dengan militerisme Dunia Ketiga, baru gereja di Dunia Ketiga mulai bereaksi. Seiring dengan munculnya mazhab Teori Ketergantungan di Amerika Latin, khususnya di Brazil, satu dua pimpinan hirarki gereja di Amerika Latin mulai bersuara kritis terhadap kolusi antara maskapai mancanegara (transnational corporation ) AS, rezim militer, dan kapitalis komprador di Amerika Latin.
Suara-suara kritis itu dipelopori oleh Dom Helder Camara, Uskup dari Recife, Brazil. Namun mayoritas hirarki Gereja Katolik di Amerika Latin tetap berkolusi dengan penguasa, sementara Gereja Protestan lebih akrab lagi berkolusi dengan TNC AS, akibat kolusi antara badan-badan pekabaran Injil dari ‘jalur Alkitab’ (Bible Belt ) di AS, salah satu basis dukungan Partai Republik. Di balik kedok penelitian antropologi serta penerjemahan Alkitab ke bahasa-bahasa lokal, Summer Institute of Linguistics (SIL) berkolusi dengan CIA untuk mematahkan resistensi suku-suku non-Hispanic di Amerika Latin.
Menghadapi hirarki Gereja Amerika Latin yang tetap akrab bersekongkol dengan modal, militer, dan kekuatan-kekuatan paramiliter di separuh benua itu, lahirlah gerakan komunitas Kristen basis (base Christian communities ), atau CEB (comunidad eclecial de base, dalam bahasa Spanyol dan comunidade eclecial de base, dalam bahasa Portugis) (lihat Hebblethwaite 1993). Gerakan itu menjadi wadah untuk teologi pembebasan yang sudah beredar lebih dulu, dipelopori oleh sejumlah teolog di luar struktur Gereja Katolik, seperti Leonardo Boff (1986) dan Adolfo Perez Esquivel (1984). Teologi ini tetap berbasis Alkitab, tapi tidak mengharamkan, bahkan secara aktif menggunakan analisis kelas Marx serta teori-teori radikal yang lain.
Jadi dalam kasus ini, kita bisa melihat bahwa teologi pembebasan bukan merupakan refleksi, tapi proyeksi dari moda produksi sosialis yang dicita-citakan. Bukan refleksi, dalam arti, bukan menggambarkan apa yang sudah terjadi, melainkan proyeksi, dalam arti, gambaran dari utopia yang ingin dihadirkan oleh para pendukung teologi pembebasan. Makanya, perubahan di aras ide dapat mendahului perubahan di aras basis material, sama halnya sebagaimana pikiran Marx sendiri. Tapi seperti kata Marx: “Ide-ide tidak dapat membawa masyarakat keluar dari tatanan dunia yang lama, tapi hanya keluar dari ide-ide dunia lama itu. Ide-ide tidak dapat berbuat apapun. Supaya ide-ide dapat terwujud, harus ada orang-orang yang melaksanakan ide-ide itu dengan usaha nyata mereka.” [Ideas can never lead beyond an old world order but only beyond the ideas of the old world order. Ideas cannot carry out anything at all. In order to carry out ideas men are needed who can exert practical force] (lihat Price 1986: 21).
4. ATHEISME:
BAGAIMANA sikap Marx terhadap atheisme? Apakah Marx menganjurkan sikap untuk secara aktif melarang orang percaya Tuhan? Ataukah penolakan terhadap keberadaan Tuhan lebih merupakan ‘konsekuensi logis’ dari filsafat materialis Marx? Cuplikan berikut dari Manuskrip-Manuskrip Ekonomi & Filsafat Marx tahun 1844 lebih mengindikasikan kemungkinan kedua:
Since the real existence of man and nature has become practical, sensuous and perceptible – since man has become for man as the being of nature, and nature for man as the being of man – the question of an alien being, about a being above nature and man – a question which implies the admission of the inessentiality of nature and of man – has become impossible in practice. Atheism, as the denial of this inessentiality, has no longer any meaning, for atheism is a negation of God, and postulates the existence of man through this negation; but socialism as socialism no longer stands in any need of such a mediation. It proceeds from the practicality and theoretically sensuous consciousness of man and of nature as the essence. Socialism is man’s positive self-consciousness, no longer mediated through the annulment of religion, just as real life is man’s positive reality, no longer mediated through the annulment of private property, through communism. Communism is the position as the negation of the negation, and is hence the actual phase necessary for the next stage of historical development in the process of human emancipation and recovery. Communism is the necessary pattern and the dynamic principle of the immediate future, but communism as such is not the goal of human development – the structure of human society (lihat Marx 1961: 114).
Marx juga tidak banyak ambil pusing soal atheisme atau theisme, bahkan soal pilihan antara idealisme dan materialisme, sebab yang terpenting buat dia adalah bagaimana manusia memanusiakan diri mereka, dengan memanusiakan alam, yang berarti, memanfaatkan alam untuk kepentingan bersama, dengan menghapus hak milik dan menciptakan masyarakat di mana manusia dapat mengembangkan seluruh potensi dirinya. Kata Marx dalam Manuskrip-Manuskrip Ekonomi & Filsafat tahun 1844:
Just as resulting from the movement of private property, of its wealth as well as its poverty – or of its material and spiritual wealth and poverty – the budding society finds to hand all the material for this development: so established society produces man in this entire richness of his being – produces the rich man profoundly endowed with all the senses – as its enduring reality.
It will be seen how subjectivism and objectivism, spiritualism and materialism, activity and suffering only lose their antithetical character, and thus their existence, as such antitheses in the social condition; it will be seen how the resolution of the theoretical antitheses is only possible in a practical way, by virtue of the practical energy of men. Their resolution is therefore by no means merely a problem of knowledge, but a real problem of life, which philosophy could not solve precisely because it conceived this problem as merely a theoretical one (lihat Marx 1961: 109).
Sejarah juga membuktikan, bahwa filsafat Marx telah mempengaruhi banyak pemikir dan aktivis beragama Islam atau Kristiani di Indonesia, untuk berjuang melalui gerakan Komunis. Akitivitas Haji Misbach dan Haji-Haji lain, telah disinggung di atas. Di Nusa Tenggara Timur, banyak aktivis PKI yang tetap setia pada ajaran agama Kristennya, dan ikut menjadi korban 1965 (lihat Webb & Farram 2005). Sedangkan Filipina dan Amerika Latin, merupakan ‘gudang’ rohaniwan, rohaniwati, dan aktivis awam, yang menganut teologi pembebasan, seperti yang sudah disinggung di atas.
Referensi:
Beer, Samuel H. (1955). “Introduction”. Dalam Samuel H. Beer (ed). Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto with selections from The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte and Capital. New York: Appleton Century-Crofts, hal. vii- xxix.
Bertens, K. (2000). Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.
Boff, Leonardo (1986). Church: Charism & Power: Liberation Theology and the Institutional Church. New York: Crossroad.
Bottomore, T.B. & Maximilien Rubel (eds). (1973). Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosophy. Hammondsworth, Middlesex: Penguin Books.
Engels, Frederick (1979). The Condition of the Working Class in England. London: Granada Publishing Ltd.
--------- (2005). Dialektika Alam. Jakarta Hasta Mitra.
Hebblethwaite, Margaret (1993). Base Communities: An Introduction. London: Geoffrey Chapman.
Hunt, E.K. (1981). Property and Prophets: The Evolution of Economic Institutions and Ideologies. New York: Harper & Row Publishers.
De Lourdes Martins, Maria (2001). Kelompok Gerejani Basis: Upaya Menumbuhkan Gereja dari Bawah. Dili: Yayasan HAK & Sahe Institute for Liberation.
Marx, Karl (1961). Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Moscow: Foreign Languages Publishing House.
McVey, Ruth T. (1965). The Rise of Indonesian Communism. Ithaca: Cornell University Press.
Perez-Esquivel, Adolfo (1984). Christ in a Poncho: Testimonials of the Nonviolent Struggles in Latin America. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Price, R.F. (1986). Marx and Education in Late Capitalism. Totowa, NJ: Barnes & Noble Books.
Shiraishi, Takashi (1997). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Webb, R.A.F. Paul & Steven Farram (2005). Di-PKI-kan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur. Yogyakarta: Syarikat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar