Ads 468x60px

"Happy Birthday" Romo Abbas Frans.


HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
"Happy Birthday" Romo Abbas Frans.
Ad multos annos....
The Monk in hiding himself from the world
becomes not less than himself,
not less of a person, but more of a person,
more truly and perfectly himself:
for his personality and individuality
are perfected in their true order,
the spiritual, interior order.
- Thomas Merton -
Dom Fransiskus Harjawiyata, O.C.S.O; lahir di Yogyakarta, 24 September 1931 – meninggal di Parakan, 7 Juni 2016 pada umur 84 tahun).
Ia adalah abbas pertama Pertapaan Santa Maria Rawaseneng sejak tanggal 23 April 1978. Romo Abbas Frans, sebagaimana ia biasa dipanggil, mengundurkan diri dari jabatan abbas pada tanggal 24 September 2006 karena telah mencapai usia 75 tahun. Posisinya secara resmi digantikan oleh abbas terpilih Dom Aloysius Gonzaga Rudiyat, OCSO sejak 6 Januari 2007.
Dikatakan bahwa Abbas Frans Harjawiyata "pernah menggunakan lebih dari sepuluh bahasa", dan pernah membantu penyiapan liturgi dalam bahasa Jepang.
Sejak pendidikannya di seminari menengah, ia memang telah aktif menggubah lagu Gregorian, lalu bakatnya dikembangkan saat menjadi novis di Biara Koningshoeven, Belanda, sehingga kemudian ia banyak menerjemahkan maupun menciptakan lagu Gregorian (misalnya yang terdapat dalam Madah Bhakti dan Puji Syukur).
Frans Harjawiyata adalah putra sulung dari delapan bersaudara dan salah seorang adiknya adalah imam diosesan di Keuskupan Agung Jakarta, yaitu RD Josef Wiyanto Harjopranoto. Sebelum ia dilahirkan, orang tua Abbas Frans sudah berharap bahwa putra sulungnya akan menjadi imam.
Menurut pengakuannya, ada 3 buku yang mempengaruhinya untuk menjadi rahib dalam Ordo Trapis: otobiografi Thomas Merton dengan judul The Seven Storey Mountain, otobiografi Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus dengan judul l'Histoire d'une Âme (di Indonesia diterjemahkan dengan judul Aku Percaya akan Cinta Kasih Allah), dan sebuah buku mistisisme klasik dari abad ke-14 berjudul The Cloud of Unknowing.
Pada tanggal 26 Juli 1951, Frans Harjawiyata mengawali kehidupannya sebagai rahib Trapis di Biara Koningshoeven, di Tilburg, Belanda; masa novisiat dijalaninya sejak tanggal 30 September 1951, dan sejak itu ia dipanggil Frater Maria Fransiskus Harjawiyata.
Ia mengikrarkan kaul sementara pada tahun 1954, dan berkaul kekal pada tanggal 7 Oktober 1956 sebagai rahib trappist.
Frater Frans kemudian ditahbiskan sebagai imam di Basilika Agung Santo Yohanes Lateran, Roma, pada tanggal 14 Maret 1959.
Ia kembali ke Indonesia pada tanggal 2 Oktober 1960 untuk bergabung dengan para rahib sepersaudaraannya di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng, Temanggung, dan pada tanggal 3 Oktober 1961 mengubah stabilitas loci (keterikatan permanen seorang rahib/rubiah pada suatu biara tertentu) yang diikrarkan dalam kaulnya ke Rawaseneng.
Pada tanggal 4 Mei 1978, ia dilantik sebagai abbas pertama di Pertapaan Rawaseneng oleh Kardinal Justinus Darmojuwono, dan mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada tanggal 1 Oktober 2006.
Romo Abbas Frans Harjawiyata, OCSO akhirnya meninggal dunia pada tanggal 7 Juni 2016 pukul 01.45 di RSK.Ngesti Waluyo di Parakan, Temanggung. Misa Requiem diselenggarakan pada tanggal 8 Juni 2016 pukul 12.00 dan jenazahnya dimakamkan di pemakaman dalam kompleks Pertapaan Santa Maria Rawaseneng.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
In Memoriam
Dom Frans Harjawiyata OCSO :
Don’t worry. Be happy!!
"Fear is not real...It is a product of thought uou create.
Danger is very real. But fear is a choice"
Akhir Oktober 2016, saya diundang datang ke kampus Universitas Pelita Harapan oleh seorang sahabat. Paul Soetopo namanya, yang adalah seorang Direktur Bank Indonesia pada jaman Soeharto. Di UPH inilah, saya bertemu beliau bersama dengan J. Sudrajat Djiwandono dalam rangka sidang doktoral hukum ekonomi. Di usia mereka yang sudah terbilang lansia, mereka masih terkesan bersemangat untuk terus belajar dan belajar terus, homo studentes.
Indahnya?
Dalam perjumpaan dengan sang homo studentes yang adalah doktor ekonomi dan hukum ini, beliau mengaku dekat dengan Dom Frans Harjawiyata OCSO (Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae). Baginya, Dom Frans yang terlahir di Yogyakarta pada 24 September 1931 ini adalah tokoh spiritualis besar yang penuh makna tapi sungguh sederhana.
Paul Soetopo menceritakan bahwa selama tiga tahun berturut-turut (1999-2001), boleh menjalani retret pribadi setiap kali selama lima hari di pertapaan Rawaseneng dengan bimbingan Dom Frans. Setelah itu, dua kali retret pribadi dengan bimbingan Dom Gonzaga karena Dom Frans pergi berkarya di Jepang.
Menurut pengakuannya, Dom Frans sangat ber-karakter, mempunyai karisma: “Setiap malam setelah Completorium, saya bertemu beliau, sekitar 1 jam-an. Hari pertama saya langsung ditanya tujuan retret apa? Takut? Apa yang ditakutkan? Mati? Semua orang akan mati! Memento mori! Nabi-nabi mati disiksa, dibunuh. Yesus juga! Siapa yang mau diikuti? Para nabi dan Yesus? Kalau begitu: Jangan takut!!”
Paul Soetopo menceritakan bahwa Dom Frans mengajaknya untuk mengukur tingkat ketakutannya setiap hari: “Hari ini berapa? 100%? 75%? 50%? Malam-malam dan tahun-tahun berikutnya ukuran kuantitatif itu dipakai, sampai mencapai 0%!“ Beliau mengakui bahwa saran Dom Frans sampai hari ini dipakai untuk dirinya dan juga keluarga beserta teman-temannya, termasuk yang non Katolik.
Lebih lanjut, lewat saran Dom Frans ini, ia sungguh meyakini dan mengalami ternyata ukuran 'ketakutan' itu bisa dipakai untuk mengukur tingkat 'keimanan' seseorang, sehingga saat ini ia merasa joss, mantep, cespleng menjadi 'saksi Yesus': “No worry, no afraid!” Satu keyakinan yang didapatkan dari Dom Frans bahwasannya setiap orang punya rasa takut. Tetapi kalau percaya Tuhan maha besar (Allahuakbar) dan selalu bersama kita (Immanuel), mengapa takut dan mengapa masih nggak percaya?
Nah, bersama dengan kenangan setahun Dom Frans “sowan Gusti” dan pengalaman saya diperkenankan “nyantrik” dan “dipingit” di Rawaseneng, tercandra ada “tiga tas” yang membuat beliau senantiasa mengajarkan kita untuk tidak mudah takut. Secara singkat, “tiga tas” yang penuh harapan iman dan kasih tersebut, adalah:
1.SIMPLICI-TAS
Ketika merayakan misa arwah untuk satu tahun meninggalnya Dom Frans, Rm Anton mengingat-kenang salah-satu pesan beliau yang sederhana: “Belajarlah hidup bersama tanpa banyak bicara.” Baginya, panggilan itu perlu dijalani dengan kesederhanaan dan dihayati hari lepas hari, tanpa banyak rasa takut. Itulah juga yang diingat oleh Fr Amadeus ketika menanyakan kepada Dom Frans, tentang tips-nya untuk menjadi “rahib sejati”: "Saya tidak mencari yang saya senangi, tetapi berusaha menyenangi yang saya hadapi setiap hari. Karena yang saya hadapi adalah realita, dan realita itu adalah Tuhan sendiri, betapapun sederhananya."
Beliau sendiri mengaku terkesan dengan sebuah buku dari abad ke-14 di Inggris, "The Cloud of Unknowing", yang menjelaskan bahwa antara manusia dan Tuhan ada awan, yang hanya bisa ditembus oleh kasih. Dan, beliau mengalami dan meyakini bahwa kasih yang menembus batas antara yang insani dan yang ilahi itu bisa didapat dan dialami lewat perjumpaan dengan banyak hal yang sederhana setiap harinya. Oleh karena itulah, beliau terus disadarkan untuk belajar diam dan menemukan Tuhan dalam segala, kepanggih gusti ing sembarang kalir.
Beliau juga mengingat peran keluarga dalam tumbuh-mekar iman kristianinya: “Anugerah terbesar dalam hidup saya adalah anugerah iman. Semua saya peroleh melalui nilai-nilai yang ditanamkan ibu sejak saya belum bersekolah" Sederhana! Tapi bukankah pohon yang besar itu datang dari benih yang kecil, dan petinju yang kekar juga datang dari sesosok bayi yang mungil? Pastinya: tak ada sesuatu yang terlalu remeh untuk dilakukan bila demi cinta kepada Tuhan, bukan?
"Gusti nyuwun suci, Gusti nyuwun pinter, Gusti nyuwun waras, Gusti nyuwun dados pastor (Tuhan mohon kesucian, mohon kepandaian, mohon kesehatan, dan mohon bisa menjadi imam)," demikian doa sederhana yang terus diajarkan ibunya, yang membuatnya juga untuk tidak mudah takut sebagai rahib dan sebagai putra sulung dari delapan bersaudara, yang juga memiliki seorang adik kandung yang menjadi imam di KAJ, yaitu (Alm) Josef Wiyanto Harjopranoto Pr.
2. TOTALI-TAS
Selama 28 tahun (1978-2006), Dom Frans menjadi pemimpin di Biara Trapis Rawaseneng dengan sepenuh hati. Saat memasuki usia 75 tahun, seperti Uskup maka seorang Abbas-pun memasuki masa pensiun. Dengan sepenuh hati pula, beliau memutuskan untuk mengambil Tahun Sabatikal di luar Biara Rawaseneng sekaligus untuk memberi keleluasaan bagi Abbas baru pada masa transisi.
Kala itu terdapat tiga pilihan tempat: Belanda, Italia dan Jepang. Beliau-pun lagi-lagi dengan sepenuh hati dan tanpa takut malahan memilih tempat yang asing, yakni Jepang, karena beliau sendiri pernah menjalani masa studi di Italia dan menjalani novisiat di Biara Trapis Koningshoeven, Tilburg, Belanda.
Awal 2007, Dom Frans tiba di Biara Suster-Suster OCSO Torapisuto Shudoin (Tenshien) di wilayah Keuskupan Sapporo, Hakodate, Jepang. Tugas utamanya, membantu imam kapelan asal Belgia yang sudah lama berkarya melayani para trapistin (rubiah). Setelah dua minggu di Biara Tenshien, Abdis di biara itu, Abdis Cecilia Aoki, menawarinya untuk menjadi imam kapelan di biara itu, dan Dom Frans-pun menerimanya dengan sepenuh hati, tanpa banyak rasa takut atau kuatir.
Di usianya yang sudah tidak begitu muda lagi, Dom Frans yang mengakui termotivasi masuk Biara Trapis karena buku "The Seven Stories Mountain" (Thomas Merton) ini mulai dengan sepenuh hati belajar bahasa baru lagi. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk menyiapkan liturgi dalam bahasa Jepang. Awalnya, ada seorang trapistin Jepang yang bisa berbahasa Perancis yang membantunya tapi beliau terus belajar membaca dan menulis dalam bahasa Jepang, sampai akhirnya bisa berbicara dan menulis sendiri homilinya dalam bahasa Jepang.
3.HUMILI-TAS
Di balik sikapnya yang rendah hati, Dom Frans banyak diakui sebagai salah satu tokoh penting yang banyak berbakti dalam sejarah liturgi Gereja Katolik di Indonesia. Beliau adalah seorang imam Trapis yang dikenal cerdas-bernas dan banyak menggubah dan menterjemahkan pelbagai lagu Latin ke dalam bahasa Indonesia: Aneka lagu ordinarium dan meditatif yang bergaya khas latin-klasik, seperti yang ada dalam Te Deum serta aneka doa ibadat harian. Beberapa karya-nya bisa dibilang menjadi “magnus opus”-nya, seperti buku doa Completorium dan Doa Bapa Kami Rawaseneng. Bahkan, konon kabarnya, buku ibadat brevir berbahasa Indonesia adalah juga salah satu karya nyatanya yang amanda et admiranda, dicintai pun dikagumi.
Dom Frans yang diketahui menguasai lebih dari sepuluh Bahasa ini adalah Abbas pertama di Biara Pertapaan St Maria, Rawaseneng, Temanggung (dan salah satu perintis Pertapaan Rubiah Bunda Permersatu Gedono di Salatiga, Jawa Tengah serta Biara Trappist Lamanabi di Larantuka, NTT), sejak beberapa tahun terakhir, bertugas di Biara Trapis Tenshien, Jepang.
Selama di negeri Matahari Terbit ini, Dom Frans membantu di Biara Trapis Tenshien sebagai imam kapelan. Pastinya, beliau hidup sendiri dan terpisah dari komunitas. Hanya pada jam ibadat harian dan Ekaristi, beliau bisa berdoa bersama para suster trapis. "Ini adalah hal yang saya rindukan ketika saya memutuskan masuk Biara Trapis. Hidup dalam kesunyian. Ketika saya masih menjadi abbas, hal ini sulit karena saya harus melaksanakan banyak tugas," ungkapnya.
Tampaklah, dibalik banyak talentanya yang berguna dimana-mana, beliau tetaplah seorang rahib yang sederhana. Beliau tetap seorang yang rendah hati dan mencintai hidup dalam kesunyian dengan sepenuh hati: "Saya seperti menjalani hidup semi eremit. Sendiri dan sunyi, tetapi tidak kesepian juga karena saya masih bisa berdoa bersama para suster. Tetapi, kami tidak berkomunikasi kalau tidak perlu sekali.”
Menurut ceritanya, salah satu buku lain yang digemarinya adalah karya Santa Theresia Kanak-Kanak Yesus dengan spiritualitas “Jalan Kecil”-nya ini. Bisa jadi, seperti teladan St Theresia, apa saja yang dilakukan di biara itu sesungguhnya semuanya sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tetapi, di balik itu semua, ada satu rahasia pokok, yaitu “CINTA”: “Kamu bertanya kepadaku tentang jalan menuju kesempurnaan? Aku tahu cinta dan hanya cinta. Hatiku dibuat demi cinta itu. Cinta mengenal bagaimana menarik keuntungan dari segala sesuatu.” Yah, panggilanku akhirnya kutemukan. Panggilan itu adalah mencintai. Di dalam hati Gereja, di dalam Ibuku, aku akan menjadi cinta. Hidup karena cinta, inilah surgaku, inilah tujuan hidupku!”
Karena satu rahasia, yakni, “CINTA”, maka bisa jadi Dom Frans berusaha untuk selalu memulai hidup “dokar”, doa dan karyanya dengan nada dasar C, yakni cinta. Yah, mencintai adalah pekerjaan yang membuat dirinya sangat bahagia, dan cinta itu bertambah ranum dan harum dengan sikap hidupnya yang penuh kerendahan hati. Seperti humus, humilitas-nya yang tampak dari ketenangan dan tidak banyak pamer-nya itu sungguh menyuburkan harapan iman dan kasih orang lain yang menjumpainya. Superb. Splendid. Splendor!
Soal ketidaktakutannya, bisa jadi, Dom Frans sungguh lagi-lagi terinspirasi oleh kata-kata St Teresia Liseux, dimana hidup itu adalah “kehidupan seorang anak kecil yang tidur tanpa ketakutan di dalam pelukan tangan ayahnya, semangat penyerahan diri itulah yang menjadi pedoman satu-satunya. Aku tidak punya pedoman arah yang lain”.
EPILOG
Kembali kepada sharing Paul Soetopo, bersama sepenggal kisah dan kenangan kasih akan sosok kebapakan Dom Frans dengan “tiga tas”-nya, kita senantiasa diajak untuk tidak mudah takut dan mampu menerima segala sesuatu, termasuk yang mengejutkan, tidak diharapkan dan tidak sesuai rencana. Beliau tidak memaksakan rencana dan keinginannya pada realitas, tetapi menyambut realitas dengan hati lapang dan ikhlas. Disinilah menjadi tepat apa yang dikatakan oleh Thomas Merton bahwa, inti kebahagiaan adalah kebebasan. Bebas berarti berani menertawakan diri yang palsu, yang sombong dan angkuh, yang serba pasti, dan kerap egois. Bebas berarti mempercayakan segalanya pada Allah dan menyerahkan seluruh hidup kepada-Nya. Bukankah sebuah relasi akan lebih membahagiakan jika kita mau belajar mempercayakan segalanya pada Allah dan menyerahkan seluruh hidup kepada-Nya? “Makan bakut di Pasar Koja – Jangan takut, syukuri saja!”
Akhirnya, ketika ajal menjelang, St Theresia Kanak-Kanak Yesus memandang salib dan berdoa: ”Allahku, aku mencintai-Mu. Aku tidak sedang meninggal. Aku sedang memasuki kehidupan. Aku akan menikmati waktuku di surga karena telah mengerjakan kebaikan di dunia. Dari surga, aku akan berbuat kebaikan bagi dunia." Begitulah juga yang mungkin dikatakan oleh Dom Frans. Amin!
Berkah Dalem.
TRIBUTE TO DOM FRANS :
SANG PENDOA GEREJA DAN DUNIA
Hidup manusia itu seperti rumput,
pagi hari tumbuh,
siang hari berkembang,
sore hari menjadi kering,
layu dan mati. (Mazmur 90: 6).
A.
Berpulang, aku berpulang
Tenang dan damai, aku berpulang
Tidaklah jauh, lewati pintu terbuka
Tugas telah usai, tiada cemas tersisa
Bunda menanti, ayah pun menunggu
Banyaklah wajah yang kukenal,
dari masa lalu
Ketakutan lenyap, kesakitan hilang
Rintangan musnah, perjalanan usai
Bintang fajar terangi jalanku
Mimpi buruk hilang sudah
Bayang-bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Di hidup abadilah aku
Tiada jeda, tiada akhir
Hanya ada kehidupan
Tersadar penuh, dengan senyuman
Untuk selamanya
Berpulang, aku berpulang
Bayang bayang telah berlalu
Terang kini tiba
Hidup abadi kumulai
Aku kini berpulang
-----------
Going home,
I am going home
Quiet like some still day
I am going home
It's not far, just close by
Through an open door
Work all done, care laid by
Never fear no more
Mother's there expecting me
Father's waiting too
Lots of faces gathered there
All the friends I knew
No more fear, no more pain
No more stumbling by the way
No more longing for the day
Going to run no more
Morning star lights the way
Restless dreams all gone
Shadows gone, break of day
Real life has begun
There's no break, there's no end
Just a living on
Wide awake with a smile
Going on and on
Going home,
I am going home
Shadows gone, break of day
Real life has begun
I'm just going home
B.
Si Deus pro nobis, quis contra nos?
Bila Tuhan beserta kita, siapa yang berani melawan kita?
Jauh
Ku kayuh perahu
Susuri buih tiada jemu
Dalam
Aku menyelam
Mencari MutiaraMu yang karam
Tinggi
Tangan meraih
Tali-tali illahi tiada henti
Lelah
Jiwa berkelana
Mengembara dalam fatamorgana
Tabah !
Hati Mencoba
Menanti panggilan
Menunggu giliran
C.
When somebody dies, a cloud turns into an angel,
and flies up to tell God to put another flower on a pillow.
A bird gives the message back to the world and sings a silent prayer
that makes the rain cry.....
People dissappear, but they never really go away.
The spirits up there put the sun to bed, wake up grass, and
spin the earth in dizzy circles.
Sometimes you can see them dancing in a cloud during the day-time,
when they’re supposed to be sleeping
They paint the rainbows and also the sunsets,
and make waves splash and tug at the tide.
They toss shooting stars and listen to wishes,
and they sing wind-songs, they whisper to us:
“Don’t miss me too much. The view is nice and I’m doing just fine”
Saat seseorang berpulang, segumpal awan menjelma menjadi malaikat,
dan melayang ke surga meminta Tuhan untuk meletakkan
setangkai bunga di atas sebuah bantal
Sang burungpun menyampaikan pesan itu ke bumi dan melantunkan seuntai doa
yang menyebabkan hujan menangis
Mereka memang harus pergi, tapi mereka tidak benar-benar pergi
Roh mereka di atas sanalah yang menidurkan matahari, membangunkan rerumputan dan memutar bola dunia
Kadang kau dapat melihat mereka menari di dalam awan di siang hari
di saat mereka seharusnya nyenyak tertidur
Mereka melukis keindahan pelangi dan juga temaram matahari senja
dan membangunkan ombak di lautan
mereka melambungkan bintang jatuh dan mendengarkan semua harapan,
nyanyian mereka merdu dalam hembusan angin, berbisik pada kita
“Jangan terlalu sedih. Pemandangan di sini indah dan aku baik-baik saja”
D.
Bila kita enggan memasuki malam
bagaimana mungkin kita bangun menatap menyingsingnya fajar.
Bila kita enggan terpejam dalam tidur dan terlena dalam mimpi
bagaimana mungkin kita menikmati suka cita mentari pagi.
Tidur adalah semacam
kematian mini
yang berakhir di nafas pagi.
Mati adalah semacam tidur yang panjang dan lama
dalam dekap hangat pelukan Allah.
Dan fajar menyeruak cakrawala
setiap jiwa
sebab janji Allah adalah kehidupan bukan kematian
sebab cuma melalui mati orang
mencicipi hidup abadi.
Pour Lui je vis, Pour Lui je meurs
Untuk Dia aku hidup, dan untuk Dia aku mati
E.
Benarkanlah jiwaku ya Tuhan,
dari pancuran-Mu kobarkanlah keinginanku.
Bersinarlah dalam budiku dan isilah hatiku dengan kecemerlangan-Mu.
Biarkan mataku melihat hanya kemuliaan-Mu.
Biarkan tanganku menyentuh hanya untuk melayani-Mu.
Biarkan lidahku hanya mencicipi roti yang akan memberiku kekuatan untuk memuji-Mu.
Aku akan mendengar suara-Mu, dan semua harmoni yang Kau ciptakan, dan aku akan menyanyikan pujian.
Bulu domba dan kain kapas dari ladang akan sudah cukup menghangatkanku untuk dapat hidup melayani-Mu, sisanya kuberikan kepada kaum miskin-Mu.
Biarlah kugunakan semua hal hanya untuk satu tujuan saja : untuk menemukan sukacitaku dalam memuliakan-Mu.
Karena itu,
Jagalah aku, lebih dari segala sesuatu yang lain, dari dosa.
Jagalah aku dari kematian karena dosa mematikan yang menempatkan jiwaku ke dalam neraka.
Jagalah aku dari dosa-dosa yang memakan daging manusia dengan api yang tak tertahankan.
Jagalah aku dari cinta akan uang dimana juga terdapat kebencian, keserakahan, dan ambisi yang mencekik hidup.
Jagalah aku dari kesombongan dan pamrih di mana orang menghancurkan diri sendiri dengan kebanggaan, kekayaan, dan reputasi.
Karena itu,
Sumbatlah lukaku akan ketamakan yang mengeringkan jiwa.
Basmilah racun iri hati yang menyengat cinta dan membunuh semua sukacita.
Lepaskan tangan dan hatiku dari kemalasan.
Bebaskanlah aku:
dari kemalasan yang menyamar sebagai aktifitas ketika aktifitas itu justru tidak dibutuhkan dariku,
dan dari sikap pengecut dengan melakukan apa yang tidak diminta, untuk menghindari berkorban.
Tetapi,
Berilah aku kekuatan menantikan Engkau dalam keheningan dan kedamaian,
Berilah aku kerendahan hati dan lepaskanlah aku dari keangkuhan yang adalah beban yang terberat.
Kuasailah seluruh hati dan jiwaku dengan kesederhanaan cintaMu.
Penuhilah seluruh hidupku dengan satu pikiran dan satu hasrat saja, akan cinta,
supaya aku boleh mencintai
bukan demi pujian,
bukan demi kesempurnaan,
bukan demi kebajikan,
bukan demi kesucian,
tetapi demi Engkau saja.
Karena hanya ada satu saja yang dapat memuaskan cinta, dan menghadiahkannya,
dan itu adalah Engkau sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar