Ads 468x60px

MENGENANG 1 TAHUN SINODE KELUARGA



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
MENGENANG 1 TAHUN SINODE KELUARGA
CIKAL BAKAL AMORIS LAETITIA.
A.
WEJANGAN PAUS FRANSISKUS
DALAM DOA MALAIKAT TUHAN
Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!
Pagi ini, dengan Misa Kudus yang dirayakan di Basilika Santo Petrus, Sidang Umum Biasa Sinode para Uskup tentang keluarga berakhir.
Saya mengundang semua orang untuk bersyukur kepada Allah atas tiga minggu kerja intens ini, yang dijiwai oleh doa dan semangat persekutuan sejati. Itu melelahkan, tetapi itu adalah karunia Allah yang sejati, yang pasti akan membawa ke depan banyak buah.
Kata "sinode" berarti "berjalan bersama-sama". Dan yang kita alami itu adalah pengalaman Gereja dalam perjalanan ini, setelah ditetapkan terutama dengan keluarga-keluarga dari orang kudus Allah di seluruh dunia.
Karena alasan ini, Sabda Allah yang datang kepada kita hari ini dalam nubuat Nabi Yeremia memukul saya. Ia mengatakan ini, "Sesungguhnya, Aku akan membawa mereka dari tanah utara dan akan mengumpulkan mereka dari ujung bumi; di antara mereka ada orang buta dan lumpuh, ada perempuan yang mengandung bersama-sama dengan perhimpunan yang melahirkan; dalam kumpulan besar mereka akan kembali ke mari! Dengan menangis mereka akan datang, dengan hiburan Aku akan membawa mereka; Aku akan memimpin mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, di mana mereka tidak akan tersandung; sebab Aku telah menjadi bapa Israel" (Yer 31:8-9).
Sabda Allah ini mengatakan kepada kita bahwa yang pertama ingin berjalan bersama-sama dengan kita, memiliki sebuah "sinode" dengan kita; Dialah, Bapa kita. "Impian"-Nya, selalu dan selamanya, adalah membentuk sebuah bangsa, membawa mereka bersama-sama, menuntun mereka menuju tanah kebebasan dan perdamaian. Dan bangsa ini terdiri dari keluarga-keluarga : ada 'ibu-ibu dan mereka bersama anak'; ia adalah sebuah bangsa yang saat mereka berjalan, mengirim kehidupan ke depan, dengan berkat Allah.
Ia adalah sebuah bangsa yang tidak mengecualikan orang-orang miskin dan kurang beruntung, melainkan, menyertakan mereka: 'di antara mereka, orang-orang buta dan lumpuh' - firman TUHAN.
Ia adalah sebuah keluarga dari keluarga-keluarga, yang di dalamnya orang-orang yang berjuang tidak terpinggirkan dan tertinggal, tetapi berusaha berpegang teguh dengan orang lain, karena bangsa ini berjalan bersama dengan orang-orang yang 'terakhir'; sebagai keluarga yang berjalan dalam keluarga-keluarga, dan betapa Tuhan telah mengajarkan kita, menjadi miskin bersama orang-orang miskin, kecil bersama orang-orang yang terkecil, dan akhirnya, bersama orang-orang yang 'terakhir'.
Ia tidak melakukan hal ini untuk mengecualikan orang-orang kaya, orang-orang besar, dan mereka yang bisa dianggap 'pertama', tetapi karena hal ini adalah satu-satunya cara menyelamatkan mereka juga, menyelamatkan semua orang, bersama orang-orang kecil, dikecualikan dan 'orang-orang terakhir'.
Saya mengakui bahwa nubuat bangsa di perjalanan mereka ini, saya juga membandingkan dengan gambaran para pengungsi berbaris di jalan-jalan Eropa, sebuah kenyataan dramatis zaman kita. Allah berkata kepada mereka : "Mereka berangkat dengan menangis, tetapi Aku akan menghibur mereka dan membimbing mereka, Aku akan menuntun mereka menuju sungai-sungai".
Bahkan keluarga-keluarga yang paling menderita ini, yang telah tercerabut dari tanah mereka, hadir bersama kita dalam Sinode, dalam doa-doa kita dan dalam karya kita, melalui suara-suara dari beberapa gembala mereka yang hadir dalam Sidang.
Bangsa ini mencari martabat, keluarga-keluarga ini yang sedang mencari perdamaian masih bersama kita, Gereja tidak meninggalkan mereka, karena mereka adalah bagian dari bangsa yang ingin Allah bebaskan dari perbudakan dan tuntun menuju kebebasan.
Oleh karena itu, Sabda Allah ini mencerminkan pengalaman sinodalitas, yang telah kita alami. Semoga Tuhan, melalui perantaraan Bunda Maria, membantu kita juga untuk menerapkan tanda-tanda yang muncul dalam sebuah ragam persekutuan persaudaraan.
B.
HOMILI PAUS FRANSISKUS
DALAM MISA PENUTUPAN
SINODE PARA USKUP TENTANG KELUARGA.
Bacaan Ekaristi :
Yer 31:7-9; Ibr 5:1-6; Mrk 10:46-52
Tiga Bacaan untuk hari Minggu ini menunjukkan rasa iba Allah, kebapaan-Nya, yang secara definitif terungkap dalam Yesus.
Di tengah suatu bencana nasional, bangsa dideportasi oleh musuh-musuh mereka, nabi Yeremia memberitakan bahwa "Tuhan telah menyelamatkan umat-Nya, sisa-sisa Israel" (31:7).
Mengapa Ia menyelamatkan mereka? Karena Ia adalah Bapa mereka (bdk. ayat 9); dan sebagai seorang Bapa, Ia mengurus anak-anak-Nya dan mendampingi mereka dalam perjalanan, menopang "orang buta dan lumpuh, para perempuan yang mengandung dan orang-orang dalam pekerjaan" (31:8).
Kebapaan-Nya membuka bagi mereka sebuah jalan ke depan, sebuah cara penghiburan setelah begitu banyak air mata dan kesedihan yang besar. Jika bangsa tetap setia, jika mereka bertekun dalam pencarian mereka kepada Allah bahkan di negeri asing, Allah akan mengubah penahanan mereka menjadi kebebasan, kesendirian mereka ke dalam persekutuan: apa yang orang tabur hari ini dalam air mata, mereka akan menuai besok dalam sukacita (bdk. Mzm 126:6).
Kita juga telah mengungkapkan, dengan Mazmur, sukacita yang merupakan buah keselamatan Tuhan : "mulut kita penuh dengan tertawa, dan lidah kita dengan sorak-sorai" (ayat 2). Seorang beriman adalah seseorang yang telah mengalami tindakan penyelamatan Allah dalam hidupnya. Kita para gembala telah mengalami apa artinya menabur dengan kesulitan, berkali-kali dalam air mata, dan bersukacita atas rahmat panen yang berada berada di luar kekuatan dan kemampuan kita.
Perikop dari Surat Ibrani menunjukkan kepada kita rasa iba Yesus. Ia juga "dilanda dengan kelemahan" (5:2), sehingga Ia bisa merasakan rasa iba bagi mereka dalam ketidaktahuan dan kekeliruan. Yesus adalah Imam Agung besar, suci dan tak berdosa, tetapi juga imam besar yang telah mengambil kelemahan kita dan dicobai seperti kita dalam segala hal, kecuali dosa (bdk. 4:15). Karena alasan ini Ia adalah pengantara perjanjian baru dan definitif yang membawakan kita keselamatan.
Injil hari ini secara langsung terkait dengan Bacaan Pertama: ketika bangsa Israel dibebaskan berkat kebapaan Allah, demikian juga Bartimeus dibebaskan berkat rasa iba Yesus. Yesus baru saja meninggalkan Yeriko.
Meskipun Ia semata-mata telah memulai perjalanan-Nya yang paling penting, yang akan membawa-Nya ke Yerusalem, Ia masih berhenti untuk menanggapi teriakan Bartimeus. Yesus tergerak oleh permintaannya dan menjadi terlibat dalam situasinya. Ia tidak puas menawarkan sedekah, melainkan ingin secara pribadi berjumpa dia. Ia tidak memberinya petunjuk atau tanggapan, tetapi bertanya kepadanya : "Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?" (Mrk 10:51).
Ini mungkin tampak sebuah pertanyaan yang tidak masuk akal: apa yang bisa orang buta harapkan jika bukan karena penglihatannya? Namun, dengan pertanyaan bertatap muka ini, langsung tetapi penuh hormat, Yesus menunjukkan bahwa Ia ingin mendengar kebutuhan kita. Ia ingin berbicara dengan kita masing-masing tentang kehidupan kita, situasi-situasi nyata kita, sehingga tidak ada yang disimpan daripada-Nya. Setelah penyembuhan Bartimeus, Tuhan mengatakan kepadanya : "Imanmu telah menyelamatkan engkau" (ayat 52). Betapa indahnya melihat bagaimana Kristus mengagumi iman Bartimeus, bagaimana ia memiliki keyakinan dalam dirinya. Ia percaya pada kita, lebih dari kita percaya pada diri kita sendiri.
Ada sebuah rincian menarik. Yesus meminta murid-murid-Nya untuk pergi dan memanggil Bartimaeus. Mereka memberi amanat kepada orang buta tersebut dengan dua ungkapan, yang hanya digunakan Yesus dalam sisa Injil.
Pertama mereka mengatakan kepadanya: "Kuatkanlah hatimu!", yang secara harfiah berarti "memiliki iman, keberanian yang kuat!". Memang, hanya sebuah perjumpaan dengan Yesus memberikan seseorang kekuatan untuk menghadapi situasi-situasi yang paling sulit.
Ungkapan kedua adalah "Berdirilah!", seperti dikatakan Yesus kepada begitu banyak orang sakit, yang ia jamah dan sembuhkan. Murid-murid-Nya tidak melakukan apa-apa selain mengulangi kata-kata Yesus yang membesarkan hati dan membebaskan, menuntunnya secara langsung kepada Yesus, tanpa menguruinya.
Murid-murid Yesus dipanggil untuk hal ini, bahkan hari ini, terutama hari ini: membawa orang-orang ke dalam kontak dengan rahmat belas kasih yang menyelamatkan. Ketika jeritan umat manusia, seperti jeritan Bartimeus, menjadi lebih kuat lagi, tidak ada tanggapan lain selain membuat kata-kata Yesus milik kita dan, terutama, meniru hati-Nya. Saat-saat penderitaan dan perseteruan bagi Allah merupakan kesempatan belas kasih. Hari ini adalah sebuah saat belas kasih!
Namun demikian, ada beberapa godaan bagi mereka yang mengikuti Yesus. Injil menunjukkan setidaknya ada dua godaan. Tak satu pun dari para murid berhenti, seperti yang Yesus lakukan. Mereka terus berjalan, berjalan terus seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa. Jika Bartimeus buta, mereka tuli: masalahnya bukan masalah mereka. Ini bisa menjadi sebuah bahaya bagi kita: dalam menghadapi masalah-masalah terus menerus, lebih baik berpindah, bukannya membiarkan diri kita diganggu.
Dengan cara ini, seperti para murid, kita bersama Yesus tetapi kita tidak berpikir seperti Dia. Kita berada dalam kelompok-Nya, tetapi hati kita tidak terbuka. Kita kehilangan keheranan, rasa syukur dan antusiasme, dan beresiko biasanya tak tergerak oleh kasih karunia. Kita dapat berbicara tentang Dia dan bekerja bagi-Nya, tetapi kita hidup jauh dari hati-Nya, yang sedang menjamah mereka yang terluka.
Ini adalah godaan : sebuah "spiritualitas khayalan": kita dapat berjalan melalui padang gurun kemanusiaan tanpa melihat apa yang benar-benar ada; sebaliknya, kita melihat apa yang ingin kita lihat. Kita mampu mengembangkan pandangan-pandangan dunia, tetapi kita tidak menerima apa yang ditempatkan Tuhan di depan mata kita. Iman yang tidak tahu bagaimana mengakari dirinya sendiri dalam kehidupan orang-orang yang tetap kering dan, dibandingkan oasis, menciptakan gurun-gurun lainnya.
Ada sebuah godaan kedua, yang jatuh ke dalam "iman yang terjadwalkan". Kita mampu berjalan bersama Umat Allah, tetapi kita sudah memiliki jadwal kita untuk perjalanan, di mana semuanya tercantum : kita tahu ke mana harus pergi dan berapa lama waktu yang dibutuhkan; setiap orang harus menghormati irama kita dan setiap masalah adalah sebuah gangguan.
Kita menjalankan resiko menjadi "banyak" Injil yang kehilangan kesabaran dan menegur Bartimeus. Sebelumnya dalam waktu singkat, mereka memarahi anak-anak (bdk. 10:13), dan sekarang si pengemis buta : siapapun yang mengganggu kita atau bukan berperawakan kita dikecualikan.
Yesus, di sisi lain, ingin mencakup, terutama semua orang yang tinggal di pinggiran yang sedang berteriak kepada-Nya. Mereka, seperti Bartimeus, memiliki iman, karena kesadaran akan kebutuhan keselamatan adalah cara terbaik berjumpa Yesus.
Pada akhirnya, Bartimeus mengikuti Yesus di jalan-Nya (bdk. ayat 52). Ia tidak hanya mendapatkan kembali penglihatannya, namun ia bergabung dengan komunitas orang-orang yang berjalan bersama Yesus.
Para Bapa Sinode yang terkasih, kita telah berjalan bersama-sama. Terima kasih atas jalan yang kita turut sertakan dengan mata yang tertuju kepada Yesus serta saudara dan saudari kita, dalam pencarian jalan yang ditunjukkan Injil bagi masa-masa kita sehingga kita dapat memberitakan misteri kasih keluarga.
Marilah kita mengikuti jalan yang diinginkan Tuhan. Marilah kita minta kepada-Nya untuk berpaling kepada kita dengan penyembuhan dan tatapan-Nya yang menyelamatkan, yang tahu bagaimana memancarkan terang, karena ia mengingatkan kemegahan yang meneranginya.
Jangan pernah membiarkan diri kita ternoda oleh pesimisme atau dosa, marilah kita mencari dan memandang kemuliaan Allah, yang bersinar pada pria dan wanita yang masih sepenuhnya hidup.
C.
PIDATO PAUS FRANSISKUS
PADA PENUTUPAN SINODE PARA USKUP TENTANG KELUARGA.
Yang Berbahagia, Yang Terhormat dan Yang Mulia,
Saudara-saudari terkasih,
Saya pertama-tama ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, yang telah membimbing proses sinode kita dalam tahun-tahun ini dengan Roh Kudus-Nya, yang dukungannya tidak pernah berkurang bagi Gereja.
Dengan tulus saya berterima kasih kepada Lorenzo Kardinal Baldisseri, Sekretaris Umum Sinode, Uskup Fabio Fabene, Wakil Sekretaris Sinode, dan, bersama-sama dengan mereka, perantara, Peter Kardinal Erd, dan Sekretaris Khusus, Uskup Agung Bruno Forte, delegasi para presiden, para penulis, para penasehat dan para penerjemah, dan semua orang yang telah bekerja tanpa lelah dan dengan dedikasi penuh bagi Gereja: terima kasih terdalam saya!
Saya juga berterima kasih kepada Anda semua, para Bapa Sinode, para Delegasi Persaudaraan, para Auditor dan para Penilai, para pastor paroki dan keluarga-keluarga yang terkasih, atas keikutsertaan aktif dan berbuah Anda.
Dan saya berterima kasih kepada semua pria dan wanita yang tidak dapat disebutkan namanya yang berkontribusi dengan murah hati terhadap para pekerja Sinode ini dengan secara diam-diam bekerja di belakang layar. Diyakinkan doa-doa saya, bahwa Tuhan akan membalas Anda semua dengan karunia-karunia rahmat-Nya yang berlimpah!
Saat saya mengikuti kerja Sinode, saya bertanya pada diri saya sendiri : Akan berarti apakah bagi Gereja dengan berakhirnya Sinode yang dibaktikan untuk keluarga ini?
Tentu saja, Sinode bukan tentang menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan keluarga, melainkan mencoba melihat mereka dalam terang Injil serta tradisi dan sejarah dua ribu tahun Gereja, membawa sukacita harapan tanpa jatuh ke dalam pengulangan tanpa upaya dari apa yang jelas atau yang telah dikatakan.
Tentunya itu bukan tentang menemukan penyelesaian menyeluruh atas semua kesulitan dan ketidakpastian yang menantang dan mengancam keluarga, melainkan tentang melihat kesulitan dan ketidakpastian ini dalam terang iman, dengan seksama mempelajari mereka dan menghadapi mereka tanpa rasa takut, tanpa mengubur kepala kita di pasir.
Itu tentang mendesak semua orang untuk menghargai pentingnya lembaga keluarga dan lembaga perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, berdasarkan kesatuan dan tak terceraikan, serta menghargainya sebagai landasan dasariah kehidupan masyarakat dan manusia.
Itu tentang mendengarkan dan menjadikan mendengar suara-suara dari keluarga-keluarga dan para gembala Gereja, yang datang ke Roma memikul pada bahu mereka beban dan harapan, kekayaan dan tantangan keluarga-keluarga di seluruh dunia.
Itu tentang menunjukkan daya hidup Gereja Katolik, yang tidak takut membangkitkan hati nurani yang tumpul atau melumuri tangannya dengan diskusi-diskusi yang hidup dan terus terang tentang keluarga.
Itu tentang mencoba melihat dan menafsirkan kenyataan-kenyataan, kenyataan-kenyataan saat ini, melalui mata Allah, sehingga menyalakan api iman dan mencerahkan hati orang-orang pada masa-masa yang ditandai dengan kekecewaan, krisis sosial, ekonomi dan moral, dan berkembangnya pesimisme.
Itu tentang bersaksi kepada semua orang bahwa, bagi Gereja, Injil terus menjadi sebuah sumber penting kebaharuan abadi, menghadapi semua orang yang akan "mengindoktrinasi"-nya dalam batu-batu nisan yang terhempas pada orang lain.
Itu juga tentang meletakkan telanjang hati yang tertutup yang sering kali bersembunyi bahkan di balik ajaran-ajaran Gereja atau niat-niat baik, dengan tujuan menduduki kursi Musa dan hakim, kadang-kadang dengan keunggulan dan kedangkalan, perkara-perkara sulit dan keluarga-keluarga yang terluka.
Itu tentang membuat jelas bahwa Gereja adalah sebuah Gereja orang-orang yang miskin di hadapan Allah dan orang-orang berdosa yang mencari pengampunan, bukan hanya Gereja orang-orang benar dan suci, melainkan Gereja orang-orang yang benar dan suci tepatnya ketika mereka merasakan diri mereka orang-orang berdosa yang miskin.
Itu tentang mencoba membuka cakrawala yang lebih luas, naik di atas teori-teori persekongkolan dan sudut-sudut pandang picik, sehingga mempertahankan dan menyebarkan kebebasan anak-anak Allah, dan meneruskan keindahan kebaruan Kristiani, pada masa-masa yang bertatahkan dalam sebuah bahasa yang kuno atau benar-benar tak terpahamkan.
Dalam perjalanan Sinode ini, pendapat-pendapat yang berbeda yang secara bebas diungkapkan - dan kadang-kadang, sayangnya, tidak sepenuhnya cara-cara yang bermaksud baik - tentunya mengarah kepada sebuah dialog yang kaya dan hidup; mereka menawarkan sebuah gambaran yang lebih hidup dari sebuah Gereja yang tidak hanya "stempel karet", tetapi menarik dari sumber-sumber air hidup dari imannya untuk menyegarkan hati yang mengering.1
Dan - terlepas dari pertanyaan-pertanyaan dogmatis yang dengan jelas didefinisikan oleh Magisterium Gereja - kita juga telah melihat bahwa apa yang tampaknya lumrah bagi seorang uskup pada satu benua, dianggap aneh dan hampir menghebohkan bagi seorang uskup dari benua lainnya; apa yang dianggap sebagai sebuah pelanggaran hak dalam satu masyarakat adalah suatu aturan yang jelas dan tidak bisa diganggu-gugat dalam masyarakat lainnya; apa yang bagi beberapa orang kebebasan hati nurani adalah bagi orang lainnya hanya merupakan kebingungan.
Budaya-budaya sebenarnya cukup beragam, dan masing-masing prinsip umum perlu diinkulturasikan, jika ingin dihormati dan diterapkan.2
Sinode tahun 1985, yang merayakan ulang tahun kedua puluh penutupan Konsili Vatikan II, berbicara tentang inkulturasi sebagai "transformasi intim nilai-nilai budaya yang otentik melalui perpaduan mereka dalam kekristenan, dan mengambil akar Kristiani dalam berbagai budaya manusia".3
Inkulturasi tidak melemahkan nilai-nilai sejati, tetapi menunjukkan kekuatan dan keotentikan mereka yang sebenarnya, karena mereka beradaptasi tanpa mengubah; memang mereka secara diam-diam dan secara bertahap mengubah budaya-budaya yang berbeda.4
Kita telah melihat, juga dengan kekayaan keanekaragaman kita, bahwa tantangan yang sama sesungguhnya berada di depan kita: tantangan mewartakan Injil kepada para pria dan para wanita saat ini, dan membela keluarga dari semua serangan-serangan ideologis dan individualistis.
Dan tanpa pernah jatuh ke dalam bahaya relativisme atau mengutuk orang lain, kita berusaha merangkul, sepenuhnya dan dengan berani, kebaikan dan kemurahan hati Allah yang melampaui segala perhitungan manusia dan menginginkan semata-mata "semua diselamatkan" (bdk 1 Tim 2:4). Dengan cara ini kita berharap mengalami Sinode ini dalam konteks Tahun Yubileum Agung Kerahiman yang diserukan Gereja untuk dirayakan.
Saudara-saudara yang terkasih,
Pengalaman sinode juga membuat kita dengan lebih baik menyadari bahwa para pembela sejati ajaran bukan mereka yang menjunjung tinggi suratnya, tetapi semangatnya; bukan gagasan-gagasan tetapi umat; bukan rumusan tetapi kecuma-cumaan kasih dan pengampunan Allah.
Hal ini bukan tanpa cara untuk mengurangi pentingnya rumusan, hukum-hukum dan perintah-perintah ilahi, tetapi malahan meninggikan kebesaran Allah yang sesungguhnya, yang tidak memperlakukan kita menurut jasa-jasa kita atau bahkan menurut perbuatan-perbuatan kita, tetapi semata-mata menurut kemurahan belas kasih-Nya yang tak terbatas (bdk. Rm 3:21-30; Mzm 129; Luk 11:37-54).
Itu harus dilakukan dengan mengatasi godaan saudara tua yang berulang (bdk. Luk 15:25-32) dan godaan para pekerja yang cemburu (bdk. Mat 20:1-16). Memang, itu berarti lebih menjunjung tinggi semua hukum-hukum dan perintah-perintah yang dibuat bagi manusia dan bukan sebaliknya (bdk. Mrk 2:27).
Dalam pengertian ini, perlunya pertobatan, karya dan upaya manusia mengambil sebuah makna yang lebih dalam, bukan karena harga keselamatan cuma-cuma yang dimenangkan bagi kita oleh Kristus di kayu salib itu, tetapi sebagai sebuah tanggapan terhadap Dia yang pertama-tama mengasihi kita dan menyelamatkan kita dengan harga darah-Nya yang tak berdosa, sementara kita masih berdosa (bdk Rm 5:8).
Tugas pertama Gereja bukan untuk menjatuhkan penghakiman atau kutukan, tetapi untuk memberitakan belas kasih Tuhan, memanggil kepada pertobatan, dan menuntun semua pria dan wanita kepada keselamatan di dalam Tuhan (bdk. Yoh 12:44-50).
Beato Paulus VI mengungkapkan hal ini secara fasih : "Kita bisa membayangkan, kemudian, bahwa dosa-dosa kita, upaya-upaya kita masing-masing untuk berbalik kepada Allah, mengobarkan di dalam diri-Nya nyala api kasih yang lebih intens, keinginan untuk membawa kita kembali kepada diri-Nya dan kepada rencana penyelamatan-Nya ... Allah, di dalam Kristus, menunjukkan diri-Nya adalah kebaikan yang tak terbatas ... Allah baik. Tidak hanya di dalam diri-Nya; Allah - marilah kita mengatakannya dengan air mata - baik kepada kita Ia mengasihi kita, Ia mencari-cari kita, Ia memikirkan kita, Ia mengenal kita, Ia menjamah hati kita dan Ia menunggu kita. Ia akan - dapat dikatakan - senang pada hari ketika kita kembali dan berkata : 'Tuhan, dalam kebaikan-Mu, ampunilah aku'. Maka pertobatan kita menjadi sukacita Allah".5
Santo Yohanes Paulus II juga menyatakan bahwa: "Gereja menghayati sebuah kehidupan yang otentik ketika ia mengaku dan memberitakan belas kasih ... dan ketika ia membawa umat mendekat ke sumber-sumber belas kasih Sang Juruselamat, yang mana ia adalah orang kepercayaan dan penyalurnya".6
Paus Benediktus XVI, juga, mengatakan: "Belas kasih memang merupakan inti utama pesan Injil; ia sesungguhnya adalah nama Allah ... Semoga semua yang dikatakan dan dilakukan Gereja yang mengejawantahkan belas kasih Allah terasa bagi umat manusia. Ketika Gereja harus mengingat sebuah kebenaran yang belum diakui, atau sebuah kebaikan yang dikhianati, ia selalu begitu terdorong oleh kasih yang penuh kemurahan, sehingga orang dapat memiliki hidup dan memilikinya secara berlimpah (Yoh 10:10)".7
Dalam terang semua hal ini, dan bersyukur atas saat rahmat ini yang telah dialami Gereja dalam membahas keluarga, kita merasa saling diperkaya. Banyak dari kita telah merasakan karya Roh Kudus yang adalah tokoh utama dan pemandu Sinode yang sesungguhnya. Bagi kita semua, kata "keluarga" memiliki sebuah resonansi baru, begitu banyak sehingga kata itu sendiri sudah membangkitkan kekayaan panggilan keluarga dan pentingnya pekerjaan-pekerjaan Sinode.8
Akibatnya, bagi Gereja mengakhiri Sinode berarti kembali ke "perjalanan bersama-sama" kita yang sesungguhnya dalam membawa ke setiap penjuru dunia, ke setiap keuskupan, ke setiap komunitas dan ke setiap situasi, terang Injil, pelukan Gereja dan dukungan belas kasih Allah!
Terima kasih!
1 Bdk. Surat Bapa Suci Paus Fransiskus kepada Penasehat Utama Universitas Katolik Kepausan Argentina pada Peringatan Seabad Fakultas Teologinya, 3 Maret 2015.
2 Bdk. Komisi Kitab Suci Kepausan, Fede e cultura alla luce della Bibbia. Atti della Sessione plenaria 1979 della Pontificia Commissione Biblica, LDC, Leumann, 1981; Konsili Ekumenis Vatikan II, Gaudium et Spes, 44.
3 Final Relatio (7 Desember 1985), L’Osservatore Romano, 10 Desember 1985, 7.
4 "Dalam keutamaan perutusan pastoralnya, Gereja harus sungguh tetap memperhatikan perubahan-perubahan sejarah dan pengembangan cara-cara berpikir baru. Tentu saja, bukan menyerahkan kepada mereka, melainkan mengatasi hambatan-hambatan yang berdiri di jalan menerima nasehat-nasehat dan arahan-arahannya" (Wawancara dengan Georges Kardinal Cottier, dalam La Civiltà Cattolica 3963-3964, 8 Agustus 2015, halaman 272).
5 Homili, 23 Juni 1968: Insegnamenti VI (1968), 1177-1178.
6 Dives in Misericordia, 13. Beliau juga mengatakan: "Dalam misteri Paskah ... Allah menampakan diri kepada kita sebagaimana adanya : seorang Bapa yang lembut hati, yang tidak menyerah dalam menghadapi wajah tidak tahu terima kasih anak-anak-Nya dan selalu siap untuk mengampuni (Yohanes Paulus II, Doa Ratu Surga, 23 April 1995: Insegnamenti XVIII, 1 [1995], 1035). Demikian juga beliau menggambarkan perlawanan terhadap belas kasih: "Mentalitas saat ini, lebih mungkin dibandingkan mentalitas orang-orang di masa lalu, tampaknya bertentangan dengan seorang Allah belas kasih, dan bahkan cenderung mengecualikan dari kehidupan dan menghapus dari hati manusia gagasan belas kasih yang sesungguhnya. Kata dan konsep 'belas kasih' tampaknya menyebabkan kegelisahan ... " (Dives in Misericordia [30 November 1980] 2).
7 Doa Ratu Surga, 30 Maret 2008: Insegnamenti IV, 1 (2008), 489-490. Berbicara tentang kekuatan belas kasih, beliau menyatakan : "belas kasihlah yang menetapkan sebuah batasan untuk kejahatan. Di dalamnya terungkap kodrat khusus Allah - kekudusan-Nya, kekuatan kebenaran dan kasih" (Homili pada Hari Minggu Kerahiman Ilahi, 15 April, 2007: Insegnamenti III, 1 [2007], 667).
8 Sebuah tampilan akrostik pada kata "keluarga" [Italia : "famiglia"] dapat membantu kita merangkum perutusan Gereja sebagai tugas : Pembentukan generasi-generasi baru untuk sungguh-sungguh mengalami kasih, bukan sebagai sebuah pencarian individualistis untuk sebuah kesenangan lalu dicampakkan, dan sekali lagi mempercayai kasih sejati, berbuah dan abadi sebagai cara satu-satunya yang muncul dari diri kita sendiri dan bersikap terbuka kepada orang lain, meninggalkan kesepian di belakang, hidup sesuai dengan kehendak Allah, menemukan pemenuhan, menyadari bahwa perkawinan adalah "sebuah pengalaman yang mengungkapkan kasih Allah, membela kesucian hidup, setiap kehidupan, mempertahankan kesatuan dan tak terceraikannya ikatan suami-istri sebagai tanda rahmat Allah dan kemampuan pribadi manusia untuk sungguh-sungguh mengasihi" (Homili pada Misa Pembukaan Sinode, 4 Oktober 2015: L'Osservatore Romano, 5-6 Oktober 2015, halaman 7) dan, lebih jauh lagi, meningkatkan persiapan perkawinan sebagai sarana untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam makna Kristiani Sakramen Perkawinan; Menjamah orang lain, karena sebuah Gereja yang tertutup di atas dirinya adalah sebuah Gereja yang mati, sementara sebuah Gereja yang meninggalkan sekelilingnya di belakang untuk mencari, merangkul dan menuntun orang lain kepada Kristus adalah sebuah Gereja yang mengkhianati dirinya perutusan dan panggilannya yang sesungguhnya; Mengejawantahkan dan membawa belas kasih Allah kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan; kepada orang-orang dikucilkan, kepada orang-orang tua yang terlantar, kepada anak-anak yang tersakiti oleh perceraian para orang tua mereka, kepada keluarga-keluarga miskin yang berjuang untuk bertahan hidup, kepada orang-orang berdosa yang mengetuk pintu-pintu kita dan mereka yang jauh, kepada orang-orang cacat, kepada semua orang yang terluka dalam jiwa dan raga, dan kepada pasangan-pasangan suami istri yang terkoyak oleh kesedihan, penyakit, kematian atau penganiayaan; Menerangi hati nurani yang sering diserang oleh dinamika berbahaya dan hampir tak kentara yang bahkan mencoba untuk menggantikan Allah Sang Pencipta, dinamika yang seharusnya dibuka kedoknya dan menentang hormat penuh terhadap martabat setiap orang; Mendapatkan dan secara rendah hati membangun kembali kepercayaan dalam Gereja, yang telah sungguh-sungguh diperlemah sebagai akibat dari perilaku dan dosa-dosa anak-anaknya - sayangnya, kesaksian yang berlawanan dari skandal-skandal yang dilakukan dalam Gereja oleh beberapa klerus telah merusak kredibilitasnya dan mengaburkan kecerahan pesan keselamatannya; Bekerja secara intens untuk mempertahankan dan mendorong banyak keluarga yang kuat dan setia ini yang, di tengah-tengah perjuangan sehari-hari mereka, terus memberikan sebuah kesaksian besar kesetiaan terhadap ajaran-ajaran Gereja dan perintah-perintah Tuhan; Menciptakan program-program kepedulian pastoral yang diperbarui bagi keluarga berdasarkan Injil dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya, kepedulian pastoral yang mampu menyampaikan Kabar Baik dengan cara yang menarik dan positif dan membantu mengusir dari hati orang muda ketakutan membuat komitmen-komitmen yang pasti, kepedulian pastoral yang sangat memperhatikan anak-anak, yang merupakan korban-korban sesungguhnya dari hancurnya keluarga-keluarga, kepedulian pastoral yang inovatif dan memberikan sebuah persiapan yang cocok untuk Sakramen Perkawinan, ketimbang begitu banyak program yang tampaknya lebih dari sekedar formalitas daripada pelatihan untuk sebuah komitmen seumur hidup; Bertujuan untuk mengasihi tanpa syarat seluruh keluarga, terutama keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan-kesulitan, karena tidak ada satupun keluarga yang harus merasa sendirian atau dikucilkan dari rangkulan Gereja yang penuh kasih, dan skandal yang sesungguhnya adalah sebuah rasa takut akan kasih dan rasa takut menunjukkan kasih nyata tersebut.
******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar