Ads 468x60px

MENYAMBUT BULAN ARWAH



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
MENYAMBUT BULAN ARWAH
Mengenang Suara dari Vatikan:
"Ad Resurgendum Cum Christo” - “Bangkit Bersama Kristus”
Instruction regarding the burial of the deceased
and the conservation of the ashes in the case of cremation - Sebuah instruksi - penjelasan tentang penguburan jenazah dan penempatan abu dalam kasus kremasi
Vatikan mengeluarkan instruksi dan penjelasan yang melarang setiap umat Katolik menyimpan sembarangan dan membuang abu dari sisa pembakaran jenazah atau kremasi.
Seruan yang disampaikan Selasa, 25 Oktober 2016 lalu itu melarang seluruh umat Katolik menyimpan abu jenazah di rumah, menaburkannya di tempat-tempat tertentu, membaginya kepada anggota keluarga atau mengubahnya menjadi cenderamata.
Menurut Vatikan, abu jenazah harus disimpan di tempat yang suci, seperti kuburan sesuai dengan petunjuk gereja Katolik.
Dalam sebuah pernyataan pada konferensi pers di Roma, Italia Kardinal Gerhard Muller menegaskan bahwa pemakaman janazah secara utuh lebih baik dibandingkan kremasi. "Kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah," katanya. "Gereja terus-menerus merekomendasikan bahwa jasad dari orang telah meninggal dunia lebih baik di pemakaman atau di tanah suci lainnya."
Muller tidak menampik adanya peningkatan jumlah umat Katolik yang memilih mengkremasi jenazah daripada menguburkannya.
Meski hal ini bertentangan dengan ajaran gereja, namun pengkremasian mulai diizinkan pada 1963, peningkatannya membutuhkan pedoman baru. "Untuk menghindari segala bentuk kesalahpahaman, penyebaran abu di udara, di tanah, di atas air atau lainnya, serta mengubah abu kremasi menjadi objek memorabilia, juga tidak diperbolehkan," kata Muller seperti yang dilansir situs berita Inggris, Guardian 25 Oktober 2016 yang lalu.
Abu dapat disimpan di rumah dengan persetujuan uskup untuk kasus luar biasa atau berdasarkan petunjuk negara. Dokumen Vatikan berjudul "Ad Resurgendum cum Christo", tertanggal 15 Agustus 2016, dan Paus Fransiskus, telah mengesahkannya pada bulan Maret 206.
Dokumen ini sesungguhnya diberlakukan secara resmi dan serentak sebelum peringatan Hari Arwah pada 2 November 2016.
Pastinya, atas doktrin Paus Paulus VI 1 Januari 1967 dalam "Indulgentiarum Doctrina",
KGK nomor 1471, bdk KHK 1983 kanon 992, dstnya, mari kita mendoakan "DOA INDULGENSI" per - 1 November, itulah "kairos", saat penuh rahmat untuk mendoakan anggota keluarga yang sudah wafat.
Salah satu contoh atau bentuk doanya:
+Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, Amin.
Bapa yang maharahim, percaya akan kasih-Mu yang tanpa batas, bersama seluruh Gereja-Mu, pada hari ini kami mohon dengan sangat lepaskanlah...... (nama2 yg didoakan....)
dari segala hukuman atas dosa-dosa mereka.
Perkenankan mereka semua memasuki hidup abadi yg terang dan bahagia di Surga mulia, dan perkenankan mereka memandang kemuliaan cahaya wajah-Mu.
Ini semua kami mohon di dalam Kristus Putra-Mu dan pengantara kami, kini dan sepanjang masa. Amin
Aku percaya .... (1X)
Bapa Kami ... (1 X)
+Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, Amin...
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

NB:
A.
DOKUMEN VERSI INDONESIA:
CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH
1.
Untuk bangkit bersama Kristus, kita harus mati bersama Kristus: kita harus "beralih dari tubuh untuk menetap pada Tuhan" (2 Kor 5:8).
Dengan Instruksi "Piam et Constantem", 5 Juli 1963, maka Tahta Suci menetapkan bahwa "semua pertimbangan yang diperlukan harus diambil untuk melestarikan praktek penghormatan seputar menguburkan orang beriman", namun menambahkan bahwa kremasi tidak "bertentangan secara khusus untuk agama Kristen" dan bahwa tidak boleh ada lagi sakramen dan upacara pemakaman yang harus ditolak bagi mereka yang telah meminta agar mereka dikremasi, dengan syarat bahwa pilihan ini tidak dilakukan melalui "penolakan dogma Kristen, permusuhan dari sebuah kelompok rahasia, atau kebencian atas agama Katolik dan Gereja".[1]
Belakangan, perubahan dalam disiplin gerejawi ini dimasukkan ke dalam Kitab Hukum Kanonik (1983) dan Kitab Hukum Kanonik Gereja Oriental (1990).
Selama tahun-tahun yang melibatkan praktek ini, praktek kremasi telah diketahui meningkat di banyak negara, tetapi secara bersamaan ide-ide baru yang bertentangan dengan iman Gereja juga telah menyebar luas.
Setelah berkonsultasi dengan Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen, Dewan Kepausan untuk Teks Legislatif dan sejumlah Konferensi Uskup dan Sinode Para Uskup dari Gereja-gereja Oriental, Kongregasi untuk Ajaran Iman telah menganggap layak untuk menerbitkan sebuah instruksi baru, dengan maksud menggarisbawahi alasan doktrinal dan pastoral untuk menentukan pilihan sarana penguburan jenazah orang-orang beriman dan menyusun norma-norma yang berkaitan dengan konservasi abu dalam kasus kremasi.
2.
Kebangkitan Yesus adalah puncak kebenaran dari iman Kristen, yang diberitakan sebagai bagian penting dari Misteri Paskah sejak awal Kekristenan: "Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas muridNya." (1 Kor 15:3-5).
Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Kristus membebaskan kita dari dosa dan memberi kita jalan ke kehidupan baru, "supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru." (Rm 6:4).
Selanjutnya, Kristus yang bangkit adalah dasar dan sumber kebangkitan masa depan kita: "Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal [...] Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus." (1 Kor 15:20-22).
Memang benar bahwa Kristus akan membangkitkan kita pada hari akhir; tetapi juga benar bahwa, dengan cara tertentu, kita telah dibangkitkanbersama Kristus.
Dalam baptisan, sebenarnya, kita ditenggelamkan dalam kematian dan kebangkitan Kristus serta secara sakramental menjadi satu denganNya: "karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati."(Kol 2:12). Bersatu dalam Kristus oleh baptisan, kita sudah sungguh-sungguh turut serta dalam kehidupan Kristus yang bangkit (lih Ef 2:6).
Karena Kristus, kematian Kristiani memiliki makna positif. Visi Kristiani tentang kematian memperoleh ungkapan istimewa dalam liturgi Gereja: "Sesungguhnya demi kesetiaan Tuhan, hidup diubahkan bukan berakhir, dan, ketika tempat tinggal duniawi ini berubah menjadi debu, sebuah tempat tinggal yang abadi telah disiapkan untuk mereka di surga". [2]
Dengan kematian, roh terpisah dari tubuh, tetapi dalam kebangkitan, Tuhan akan memberikan kehidupan fana pada tubuh kita, diubahkan oleh persatuan dengan roh kita.
Di masa kita sekarang juga, Gereja dipanggil untuk memberitakan imannya dalam kebangkitan: "Kepercayaan Kristiani adalah kebangkitan orang mati; percaya akan kehidupan".[3]
3.
Mengikuti tradisi Kristiani yang paling kuno, Gereja bersikeras merekomendasikan bahwa jenazah almarhum dimakamkan di pemakaman atau tempat-tempat suci lainnya.[4]
Dalam kenangan akan kematian, pemakaman dan kebangkitan Tuhan, misteri yang menerangi arti Kristiani seputar kematian, [5] penguburan adalah cara yang paling pas untuk mengekspresikan iman dan pengharapan akan kebangkitan tubuh. [6]
Gereja yang, sebagai Ibu, telah mendampingi orang Kristen selama peziarahan di bumi, menawarkan kepada Bapa, di dalam Kristus, anak dari kasih karunia, dan dia menyerahkan kepada bumi, dengan harapan, benih dari tubuh yang akan bangkit dalam kemuliaan.[7]
Dengan memakamkan jenazah orang beriman, Gereja menegaskan imannya akan kebangkitan tubuh,[8] dan bermaksud untuk menunjukkan kebesaran martabat dari tubuh manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari pribadi manusia yang tubuhnya merupakan bagianyang membentuk identitas mereka.[9]
Dia tidak bisa, dan karena itu, membenarkan sikap atau mengizinkan ritual yang melibatkan gagasan keliru tentang kematian, seperti menganggap kematian sebagai pemusnahan manusia secara definitif, atau suatu saat melebur dengan alam atau alam semesta, atau sebagai sebuah tahapan dalam siklus regenerasi, atau sebagai pembebasan definitif dari "penjara" tubuh.
Selanjutnya, pemakaman di kuburan atau tempat suci lain, cukup memadai dengan kesalehan dan penghormatan yang layak kepada jenazah orang beriman, yang melalui Pembaptisan telah menjadi bait Roh Kudus dan di dalam mana "sebagai alat dan saluran, Roh telah melakukan begitu banyak perbuatan baik".[10]
Tobit, hanya, dipuji karena kelayakan yang diperoleh di hadapan Allah oleh karena telah menguburkan yang mati,[11] dan Gereja menganggap penguburan mati orang mati sebagai salah satu karya belas kasih jasmani.[12]
Akhirnya, menguburkan orang beriman di pemakaman atau tempat-tempat suci lainnya mendorong anggota keluarga dan seluruh komunitas Kristiani untuk berdoa dan mengenang yang meninggal, sementara pada saat yang bersamaan memelihara penghormatan terhadap para martir dan orang-orang kudus.
Melalui praktek menguburkan orang mati di pemakaman, di gereja-gereja atau dalam lingkungan gerejanya, tradisi Kristiani telah menjunjung tinggi hubungan antara manusia yanghidup dan yang mati dan telah menentang segala kecenderungan untuk menyederhanakan, atau menjadikannya sebuah urusan pribadi saja, sebuah peristiwa kematian dan makna yang dimilikinya bagi umat Kristen.
4.
Dalam keadaan dimana kremasi dipilih atas pertimbangan sanitasi, ekonomis atau pertimbangan-pertimbangan sosial, pilihan ini tidak pernah boleh melanggar baik dinyatakan secara eksplisit atau menyimpulkan permohonan yang layak berdasarkan iman almarhum.
Gereja tidak mengangkat keberatan doktrinal atas praktek ini, karena kremasi tubuh almarhum tidak mempengaruhi rohnya, juga tidak mencegah Allah, dengan kemahakuasaan-Nya, untuk membangkitkan tubuh almarhum menjadi kehidupan baru.
Jadi kremasi, dalam dan dari dirinya sendiri, secara obyektif tidak meniadakan baik doktrin Kristiani tentang kehidupan kekal roh atau kebangkitan badan.[13]
Tapi, Gereja terus-menerus lebih memilih praktek menguburkan mayat almarhum, karena ini menunjukkan penghargaan diri yang lebih besar terhadap almarhum. Namun demikian, kremasi tidak dilarang, "kecuali itu dipilih karena alasan bertentangan dengan ajaran Kristiani".[14]
Dalam keadaan tidak adanya niat-niat yang bertentangan dengan doktrin Kristiani, Gereja, setelah perayaan ritus pemakaman, mengiringi pilihan kremasi, menyediakan arahan liturgi dan pastoral yang bersangkutan, dan menaruh perhatian khusus untuk menghindari aneka bentuk skandal atau munculnya ketidakpedulian religius.
5.
Ketika, untuk alasan yang sah, kremasi tubuh telah dipilih, abu umat beriman harus diletakkan untuk beristirahat di tempat yang kudus, yaitu di kuburan atau, dalam kasus-kasus tertentu, di gereja atau daerah, yang telah disediakan untuk tujuan ini, dan dengan demikian didedikasikan oleh otoritas gerejawi yang berwenang.
Sejak zaman dulu, orang-orang Kristen telah menginginkan agar umat beriman yang meninggal menjadi objek dari doa-doa dan peringatan kematian dari komunitas Kristiani. Pusara mereka telah menjadi tempat-tempat doa, mengenangkan dan refleksi.
Kaum beriman yang telah meninggal tetap menjadi bagian dari Gereja yang percaya "dalam persekutuan semua orang yang beriman pada Kristus, mereka yang berziarah di bumi, mereka yang meninggal dan sedang dimurnikan, dan yang terberkati di surga, bersama-sama membentuk satu Gereja".[15 ]
Reservasi dari abu di tempat suci,bagi mereka yang meninggal, memberi jaminan bahwa mereka tidak ditinggalkan dalam doa-doa danperingatan kematiannya dalam keluarga atau komunitas Kristiani.
Ini mencegah agar orang beriman yang meninggal dilupakan, atau kurangnya rasa hormat yang ditujukan kepada sisa tubuh mereka, yang sangat mungkin terjadi, terutama segera setelah generasi yang berikutnya juga telah meninggal. Hal ini juga mencegah praktik yang tidak patut atau takhayul.
6.
Demi alasan yang diberikan di atas, konservasi bagi abu yang sudah meninggal di rumah kediaman tidak diizinkan. Hanya di dalam kubur dan kasus luar biasa yang ditentukan pada kondisi budaya yang bersifat lokal, maka suatu kebiasaan, dengan persetujuan Konferensi Wali Gereja atau Sinode Para Uskup Gereja-gereja Oriental, mengizinkan konservasi abu yang meninggal di rumah kediaman pribadi .
Meskipun demikian, abu mungkin tidak boleh dibagi antara beberapa anggota keluarga dan penghormatan harus dipertahankan sehubungan dengan keadaan konservasi yang demikian.
7.
Dalam rangka agar supaya praktek panteisme, naturalisme atau nihilisme harus dihindari, tidak diizinkan untuk menyebarkan abu dari orang beriman baik di udara, di darat, di laut atau dalam berbagai cara lain, juga tidak diperbolehkan mereka diawetkan di dalam benda kenangan, kepingan perhiasan atau benda-benda lainnya.
Segala bentuk tindakan ini tidak dapat diakui sebagai penyetaraan niat akan sanitasi, sosial, atau ekonomis yang telah menjadi alasan dipilihnya kremasi.
8.
Ketika almarhum diketahui telah meminta kremasi dan penyebaran abu mereka dengan alasan yang bertentangan dengan iman Kristiani,maka pemakaman Kristiani harus ditolak untuk orang tersebut sesuai dengan norma-norma hukum.[16]
Yang Berkuasa Penuh,
Paus Fransiskus,
dalam Audiensi yang diberikan kepada Kardinal Prefek pada tanggal 18 Maret 2016, menyetujui Instruksi ini, mengacu pada Sidang Biasa dari Kongregasi ini pada tanggal 2 Maret 2016, dan memerintahkan untuk dipublikasikan.
Roma,
dari Kantor Kongregasi untuk Ajaran Iman,
15 Agustus 2016,
Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga
Gerhard Card. Müller
Prefect
+ Luis F. Ladaria, S.I.
Uskup Agung Thibica Tituler
Sekretaris
[1] AAS 56 (1964), 822-823.
[2] Roman Missal, Kata Pengantar tentang Kematian.
[3] Tertullian, De Resurrectione carnis, 1,1: CCL 2, 921.
[4] Cf. CIC, can. 1176, § 3, bisa. 1205; CCEO, bisa. 876, § 3; bisa. 868.
[5] Cf. Katekismus Gereja Katolik, 1681.
[6] Cf. Katekismus Gereja Katolik, 2300.
[7] Cf. 1 Korintus 15: 42-44; Katekismus Gereja Katolik, 1683.
[8] Cf. St Agustinus, De cura pro mortuis gerenda, 3, 5; CSEL 41, 628:
[9] Konsili Vatikan Kedua, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 14.
[10] St. Augustine, De cura pro mortuis gerenda, 3, 5: CSEL 41, 627.
[11] Cf. Tb 2: 9; 00:12.
[12] Cf. Katekismus Gereja Katolik, 2300.
[13] Cf. Tahta Suci, Instruksi Piam et constantem, 5 Juli 1963: AAS 56 (1964) 822.
[14] CIC, can. 1176 § 3; lih CCEC, bisa. 876 § 3.
[15] Katekismus Gereja Katolik, 962.
[16] CIC, can. 1184; CCEO, can.876, § 3.
B.
DOKUMEN VERSI INGGRIS:
CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH
1. To rise with Christ, we must die with Christ: we must “be away from the body and at home with the Lord” (2 Cor 5:8). With the Instruction Piam et Constantem of 5 July 1963, the then Holy Office established that “all necessary measures must be taken to preserve the practice of reverently burying the faithful departed”, adding however that cremation is not “opposed per se to the Christian religion” and that no longer should the sacraments and funeral rites be denied to those who have asked that they be cremated, under the condition that this choice has not been made through “a denial of Christian dogmas, the animosity of a secret society, or hatred of the Catholic religion and the Church”.[1] Later this change in ecclesiastical discipline was incorporated into the Code of Canon Law (1983) and the Code of Canons of Oriental Churches (1990).
During the intervening years, the practice of cremation has notably increased in many countries, but simultaneously new ideas contrary to the Church’s faith have also become widespread. Having consulted the Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments, the Pontifical Council for Legislative Texts and numerous Episcopal Conferences and Synods of Bishops of the Oriental Churches, the Congregation for the Doctrine of the Faith has deemed opportune the publication of a new Instruction, with the intention of underlining the doctrinal and pastoral reasons for the preference of the burial of the remains of the faithful and to set out norms pertaining to the conservation of ashes in the case of cremation.
2. The resurrection of Jesus is the culminating truth of the Christian faith, preached as an essential part of the Paschal Mystery from the very beginnings of Christianity: “For I handed on to you as of first importance what I also received: that Christ died for our sins in accordance with the scriptures; that he was buried; that he was raised on the third day in accordance with the scriptures; that he appeared to Cephas, then to the Twelve” (1 Cor15:3-5).
Through his death and resurrection, Christ freed us from sin and gave us access to a new life, “so that as Christ was raised from the dead by the glory of the Father, we too might walk in newness of life” (Rm 6:4). Furthermore, the risen Christ is the principle and source of our future resurrection: “Christ has been raised from the dead, the first fruits of those who have fallen asleep […] For as in Adam all die, so also in Christ shall all be made alive” (1 Cor 15:20-22).
It is true that Christ will raise us up on the last day; but it is also true that, in a certain way, we have already risen with Christ. In Baptism, actually, we are immersed in the death and resurrection of Christ and sacramentally assimilated to him: “You were buried with him in baptism, in which you were also raised with him through faith in the power of God, who raised him from the dead” (Col2:12). United with Christ by Baptism, we already truly participate in the life of the risen Christ (cf. Eph 2:6).
Because of Christ, Christian death has a positive meaning. The Christian vision of death receives privileged expression in the liturgy of the Church: “Indeed for your faithful, Lord, life is changed not ended, and, when this earthly dwelling turns to dust, an eternal dwelling is made ready for them in heaven”.[2] By death the soul is separated from the body, but in the resurrection God will give incorruptible life to our body, transformed by reunion with our soul. In our own day also, the Church is called to proclaim her faith in the resurrection: “The confidence of Christians is the resurrection of the dead; believing this we live”.[3]
3. Following the most ancient Christian tradition, the Church insistently recommends that the bodies of the deceased be buried in cemeteries or other sacred places.[4]
In memory of the death, burial and resurrection of the Lord, the mystery that illumines the Christian meaning of death,[5] burial is above all the most fitting way to express faith and hope in the resurrection of the body.[6]
The Church who, as Mother, has accompanied the Christian during his earthly pilgrimage, offers to the Father, in Christ, the child of her grace, and she commits to the earth, in hope, the seed of the body that will rise in glory.[7]
By burying the bodies of the faithful, the Church confirms her faith in the resurrection of the body,[8] and intends to show the great dignity of the human body as an integral part of the human person whose body forms part of their identity.[9] She cannot, therefore, condone attitudes or permit rites that involve erroneous ideas about death, such as considering death as the definitive annihilation of the person, or the moment of fusion with Mother Nature or the universe, or as a stage in the cycle of regeneration, or as the definitive liberation from the “prison” of the body.
Furthermore, burial in a cemetery or another sacred place adequately corresponds to the piety and respect owed to the bodies of the faithful departed who through Baptism have become temples of the Holy Spirit and in which “as instruments and vessels the Spirit has carried out so many good works”.[10]
Tobias, the just, was praised for the merits he acquired in the sight of God for having buried the dead,[11] and the Church considers the burial of dead one of the corporal works of mercy.[12]
Finally, the burial of the faithful departed in cemeteries or other sacred places encourages family members and the whole Christian community to pray for and remember the dead, while at the same time fostering the veneration of martyrs and saints.
Through the practice of burying the dead in cemeteries, in churches or their environs, Christian tradition has upheld the relationship between the living and the dead and has opposed any tendency to minimize, or relegate to the purely private sphere, the event of death and the meaning it has for Christians.
4. In circumstances when cremation is chosen because of sanitary, economic or social considerations, this choice must never violate the explicitly-stated or the reasonably inferable wishes of the deceased faithful. The Church raises no doctrinal objections to this practice, since cremation of the deceased’s body does not affect his or her soul, nor does it prevent God, in his omnipotence, from raising up the deceased body to new life. Thus cremation, in and of itself, objectively negates neither the Christian doctrine of the soul’s immortality nor that of the resurrection of the body.[13]
The Church continues to prefer the practice of burying the bodies of the deceased, because this shows a greater esteem towards the deceased. Nevertheless, cremation is not prohibited, “unless it was chosen for reasons contrary to Christian doctrine”.[14]
In the absence of motives contrary to Christian doctrine, the Church, after the celebration of the funeral rite, accompanies the choice of cremation, providing the relevant liturgical and pastoral directives, and taking particular care to avoid every form of scandal or the appearance of religious indifferentism.
5. When, for legitimate motives, cremation of the body has been chosen, the ashes of the faithful must be laid to rest in a sacred place, that is, in a cemetery or, in certain cases, in a church or an area, which has been set aside for this purpose, and so dedicated by the competent ecclesial authority.
From the earliest times, Christians have desired that the faithful departed become the objects of the Christian community’s prayers and remembrance. Their tombs have become places of prayer, remembrance and reflection. The faithful departed remain part of the Church who believes “in the communion of all the faithful of Christ, those who are pilgrims on earth, the dead who are being purified, and the blessed in heaven, all together forming one Church”.[15]
The reservation of the ashes of the departed in a sacred place ensures that they are not excluded from the prayers and remembrance of their family or the Christian community. It prevents the faithful departed from being forgotten, or their remains from being shown a lack of respect, which eventuality is possible, most especially once the immediately subsequent generation has too passed away. Also it prevents any unfitting or superstitious practices.
6. For the reasons given above, the conservation of the ashes of the departed in a domestic residence is not permitted. Only in grave and exceptional cases dependent on cultural conditions of a localized nature, may the Ordinary, in agreement with the Episcopal Conference or the Synod of Bishops of the Oriental Churches, concede permission for the conservation of the ashes of the departed in a domestic residence. Nonetheless, the ashes may not be divided among various family members and due respect must be maintained regarding the circumstances of such a conservation.
7. In order that every appearance of pantheism, naturalism or nihilism be avoided, it is not permitted to scatter the ashes of the faithful departed in the air, on land, at sea or in some other way, nor may they be preserved in mementos, pieces of jewelry or other objects. These courses of action cannot be legitimized by an appeal to the sanitary, social, or economic motives that may have occasioned the choice of cremation.
8. When the deceased notoriously has requested cremation and the scattering of their ashes for reasons contrary to the Christian faith, a Christian funeral must be denied to that person according to the norms of the law.[16]
The Sovereign Pontiff Francis, in the Audience granted to the undersigned Cardinal Prefect on 18 March 2016, approved the present Instruction, adopted in the Ordinary Session of this Congregation on 2 March 2016, and ordered its publication.
Rome, from the Offices of the Congregation for the Doctrine of the Faith, 15 August 2016, the Solemnity of the Assumption of the Blessed Virgin Mary.
Gerhard Card. Müller
Prefect
+ Luis F. Ladaria, S.I.
Titular Archbishop of Thibica
Secretary
[1] AAS 56 (1964), 822-823.
[2] Roman Missal, Preface I for the Dead.
[3] Tertullian, De Resurrectione carnis, 1,1: CCL 2, 921.
[4] Cf. CIC, can. 1176, § 3, can. 1205;CCEO, can. 876, § 3; can. 868.
[5] Cf. Catechism of the Catholic Church, 1681.
[6] Cf. Catechism of the Catholic Church, 2300.
[7] Cf. 1 Cor 15:42-44; Catechism of the Catholic Church, 1683.
[8] Cf. St. Augustine, De cura pro mortuis gerenda, 3, 5; CSEL 41, 628:
[9] Second Vatican Ecumenical Council, Pastoral ConstitutionGaudium et Spes, 14.
[10] St. Augustine, De cura pro mortuis gerenda, 3, 5: CSEL 41, 627.
[11] Cf. Tb 2:9; 12:12.
[12] Cf. Catechism of the Catholic Church, 2300.
[13] Cf. Holy Office, Instruction Piam et constantem, 5 July 1963: AAS 56 (1964) 822.
[14] CIC, can. 1176 § 3; cf. CCEC, can. 876 § 3.
[15]Catechism of the Catholic Church, 962.
[16]CIC, can. 1184; CCEO, can.876, § 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar