Ads 468x60px

REQUIESCAT IN PACE. "Rohaniwan Cendekiawan Budayawan" Pastor John Dami Mukese SVD ("JDM")



REQUIESCAT IN PACE.
"Rohaniwan Cendekiawan Budayawan"
Pastor John Dami Mukese SVD ("JDM")
Kamis, 26 Oktober 2017,
pukul 02.15 witeng
@ RSUD Ende, Flores,
dalam usia 67 tahun.
John Dami Mukese terlahir pada 24 Maret 1950 di Menggol, Benteng Jawa, Manggarai Timur, Flores, NTT. Pastor Katolik ini dikenal luas sebagai penyair religius, penulis, wartawan dan dosen.
JDM, begitu ia biasa menulis namanya di akhir setiap karya-karya puisinya. Di lingkup sastra NTT, nama Pastor JDM bukanlah nama kemarin sore. Sebagaimana ditulis Yohanes Sehandi dalam “Melacak Jejak Puisi dalam Sastra NTT”, nama dan pengaruh karya-karya sastra JDM sudah mulai dikenal dan dirasakan sejak tahun 1979. Ia disebut sebagai penyair kebanggaan NTT sekaligus penyair produktif NTT, generasi setelah Gerson Poyk.
Ia juga telah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi religius, antara lain:
(1) Doa-Doa Semesta (Nusa Indah, Ende, 1983, 1989, 2015),
(2) Puisi-Puisi Jelata (Nusa Indah, Ende, 1991), (3) Doa-Doa Rumah Kita (1996),
(4) Kupanggil Namamu Madonna (Obor, Jakarta, 2004),
(5) Puisi Anggur (2004),
(6) Menjadi Manusia Kaya Makna. Jakarta: Obor.( 2006)
Bersama dengan sejumlah nama besar lainnya seperti Yosef Pati Wenge (1978); Mikhael B. Beding (1978, 1979, 1980, 1981); Nico Ladjadjawa (1978, 1980); Edu Mikhael Dosi (1978, 1979, 1980); Yohanes Don Bosco Blikololong (1978, 1980, 1981, 1982); Willis C. Naoe (1978, 1979); David Siwa Balla (1978); (12); J Marthen ML. Duan (1979); Valens Sili Tupen (1979); (15) Bernard Tukan (1978, 1980); Kleden Suban Simon (1979, 1981, 1982); Kornelis Hugo Parera (1980); Osy Bataona (1980, 1981, 198); Paulus Lete Boro (1981, 1982, 1983); dan Umbu Landu Paranggi (1982), Pastor JDM mencurahkan seluruh pikiran dan jiwa puitisnya dengan berkarya di dunia sastra.
Pastinya, kepenyairan John Dami Mukese memang tidak diragukan lagi. Puisinya penuh inspirasi yang juga kerap menjembatani pikiran-pikiran teologi yang rumit ke dalam bahasa dan rasa yang sederhana dalam konteks masyarakat Flores yang sederhana tempat ia menulis dan berefleksi.
Puisinya bagai Doa Litani dan Nyanyian Mazmur dalam bentuk baru dan lebih membumi. Puisi seperti "Natal seorang Petani", "Natal Seorang Nelayan", "Natal Buruh Kecil", adalah sebagian kecil refleksi John Dami Mukese akan soal-soal yang berhubungan dengan dimensi religiositas masyarakat.
Kendati titik berangkat puisi John Dami Mukese lebih bernuansa Katolik, namun kemampuan untuk memilih dan memilah kata serta ketaatan pada struktur puisi menyebabkan puisinya dapat dinikmati oleh siapa saja dalam pengalaman religiositas yang beragam.
Barangkali ini alasan yang cukup masuk akal, mengapa sajak-sajaknya berjudul "Doa-Doa Semesta" – yang terdiri dari beberapa bagian
(ditulis dalam 20 bait) layak dan pernah dimuat di majalah sastra terkemuka "HORISON" di tahun 1983.
Adapun buku kumpulan puisi berjudul "Doa-doa Semesta" yang diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah Ende, Cetakan ke-1 1983, cetakan ke-2 1989) inilah yang kemudian melejitkan nama JDM hingga ke tingkat nasional dan disebut sebagai representasi sastrawan kawasan Timur Indonesia: "Chairil Anwar"nya Indonesia Timur.
Di luar puisi dan kepenyairan, John Dami Mukese bukan hanya budayawan tapi sekaligus adalah rohaniwan dan cendekiawan yang merayakan dunia tulis menulis sebagai tempat menumpahkan refleksi yang penuh harapan iman dan kasih, menggugat dan memberikan apresiasi pada kompleksnya kehidupan iman dan zaman masyarakat yang terus berubah.
Belajar di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik Seminari Tinggi St Paulus Ledalero Flores (1980) dan CPAF - University of the Philippines, sejak mahasiswa John Dami Mukese telah biasa menuangkan gagasan-gagasan dalam tulisan di Media FOX, dimana ia masuk dalam sedikit penulis yang menjanjikan.
Dunia menulis dan keprihatinannya pada budaya literasi menempatkannya sebagai redaktur Media Mingguan Dian, dan Flores Pos. Ia juga editor untuk penerbit Nusa Indah Ende.
Sebagai budayawan sekaligus rohaniwan dan cendekiawan, ia merekam kehidupan masyarakat dari bilik-bilik sunyi. Tidak hanya lewat syair puisi tapi juga historiografi, karena John Dami Mukese sejatinya adalah pencinta sejarah dan anugerah.
Ia menjadi editor untuk buku "Indahnya Kaki Mereka" yang bercerita tentang kehidupan misionaris tempo dulu dalam tiga seri buku. Buku ini cukup menggambarkan minat dan keseriusan John Dami Mukese, karena disana ia tidak saja bertindak sebagai editor, tapi juga sebagai pewawancara sekaligus menuliskan kembali hasil wawancaranya. Perspektif sejarahnya dengan mudah dijumpai dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan termasuk memilah struktur penulisan pasca wawancara. Ia menulis bersama sejahrawan Edu Jebarus.
Selain menulis puisi, mantan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Dian, itu juga aktif mengisi kolom opini di sejumlah media online lokal di NTT. Salah satunya adalah “Mengubah Penjara Menjadi Panggung Kemerdekaan”, dipublikasikan di provinsisvdende.weebly.com.
John Dami Mukese telah menjadi "sumur" dimana generasi baru menimbah "oase", "air inspirasi". Boleh dibilang tak mungkin menulis atau membicarakan puisi NTT saat ini, tanpa menyebutkan Penyair John Dami Mukese.
Begitu pun, tak mungkin melewatkan refleksi natal dalam konteks masyarakat petani dan nelayan, tanpa terlebih dahulu menyimak puisinya tentang "Natal seorang Petani" dan "Natal seorang Nelayan". Begitu sederhana, namun menancap di kepala untuk diingat.
Pastinya, kepergian Pastor John tentu saja merupakan sebuah kehilangan bagi dunia sastra NTT khusunya dan Indonesia pada umumnya. Namun gairah sastra yang telah ditorehkan melalui karya-karya puisinya akan terus dikenang dan diapresiasi para pencinta dunia sastra.
Akhirnya: Kita bisa mengutip satu kalimat dari puisinya "Doa untuk Para Misionaris" yakni "Sambutlah di gerbang kemenangan".
Selamat jalan Pater Dr. John Dami Mukese, SVD. Selamat jalan mantan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi SKM Dian dan Harian Flores Pos terbitan Ende, Flores, NTT.
Pater JDM.....
Beristirahatlah dalam damai, di pangkuan Bunda Maria. Salam Soverdian..
"ADALAH IBUKU..."
Puisi-Puisi Jelata, JDM.
Bintang Kejora Malam Hari
adalah mata ibuku awas
Bersinar tak kejap
hingga pagi datang lagi
Angin malam lembut membuai
Lemah tangan ibuku gemulai
Mesra membelai permata hati
Pelita cinta api kasihnya
Bunyi jengkerik malam sunyi
Senandung merdu ibuku lirih
iringi tangis manja biji mata
pucuk harapan masa depannya
Adalah ibuku
menghantar aku tidur lelap
Dengan dongeng para leluhur
Diiringi dendang para dewa
Diselah kecup bunda terkudus
Ditingkah belaian tangan Bapa
Bersama doa-doa penuh hikmah
bawa aku mimpi khayalan sejuta
Kicau Murai pagi hari
adalah bisikan manis ibuku
jalur-jalur pagi fajar menyingsing,
sinar-sinar matanya lembut menyapa
“Hari Baru Telah Terbit, Sayang !
Bangunlah Menyongsong fajar hidupmu !”
(Ende, Desember 1982)
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Bercanda dengan Diam“
Mengintip canda Sdr.John Dami Mukese SVD.
Pernahkan Anda melakukan kegiatan “bercanda dengan diam”? Pertanyaan ini , tentu dianggap pertanyaan konyol. Argumennya sederhana saja : Apa mungkin ? Makhluk apa lagi yang disebut diam itu ? Setahu kita, yang namanya bercanda tentu dilakukan oleh insane dhaif ( baca : manusia). Bukankah begitu ?
Betapa pun kerasnya argument Anda kita mesti tahu bahwa setiap kata pasti memiliki reaksi semantiknya yang sarat makna. Karena itu, sabar dulu. Reaksi seperti di atas, namanya gegabah. “Lho… sabar gimana, pertanyaan di atas sungguh tak masuk akal ?” Sambar kita seolah tak sabar.
Judul di atas adalah judul puisi yang diangkat dari salah satu judul puisi karya Saudara John Dami Mukese, yang terkumpul dalam Kumpulan Puisi Religius “DOA-DOA SEMESTA” terbitan Nusa Indah Ende-Flores, edisi 1989.
Sama seperti Anda, mulanya penulis kaget berat dengan judul “Bercanda dengan Diam”. Tetapi karena sering dibaca baru dipahami kalau itu merupakan judul puisi. Agaknya tepat kalau dikaitkan dengan pengertian puisi bahwa puisi itu taka bisa diberikan batasannya bila belum berhadapan dengan wacananya. “Puisi adalah puisi “, jelas kritikus sastra secara singkat.
Tetapi bila diberikan wacananya ( baca : rupa bentuk puisi) maka, “ puisi adalah pengucapan dan perasaan”, urai HB.Jassin. Itu pula sebabnya, pembaca diajak agar mencoba mengintip,”Bercanda dengan Diam”, berikut ini :
Pada bangku sebuah kapel tua
aku bercanda dengan diam
Diam itu adalah DIAM
Dia diam
Aku pun diam
Tapi diam-ku tak pernah diam
Bahkan Dia tak sanggup mendiamkannya
Namun Dia sabar
Diam-diam bercanda dengan
Diam-ku tak pernah diam
Itulah larik-larik yang penuh misteri yang dihidangkan penyair ( baca : John Dami Mukese) kepada kita. Mengertikah kita setelah menikmatinya? “ Wouw… amat sulit !
Itu membingungkan !” komentar kita. “Mana mungkin manusia bercanda dengan diam ?” tanggap kita untuk kedua kalinya. “Ini bukan sekedar komentar, bukankah “kata diam” bermakna : tinggal, tidak bergerak , mati ?” sambung kita sebagai pembaca atau penikmat semabri bercanda ,”kita dibawa ke mana oleh John Dami Mukese ?”
Diakui atau tidak, pada galibnya, seorang penyair dalam menyair benda seperti batu, kayu, ombak dapat saja bertingkah laku seperti manusia. Ini dimaklumi, seorang penyair lebih menitikberatkan penggunaan makna konotatif ( = makna tak sebenarnya atau makan kiasan ). Saudara John menyadari bahwa perampungan karya puisinya bukan sekedar bermain kata atau merangkai kata sehingga tercipta yang namanya puisi. Dia sadar, puisi merupakan penghayatan totalitas kehidupan manusia , yang dipantulkan oleh seorang penyair dengan segala pribadinya, pikirannya, perasaannya, kemauannya, dll. Dia pun tahu makna denotatif ( =makna yang sebenarnya ) seperti diungkapkan di atas tadi.
Untuk lebih jelasnya, sekali lagi kita mengintip canda ala Saudara John tadi. Nah, hampir dapat dipastikan, dengan berulang –ulangnya beberapa kata yang mewarnai larik-larik puisi itu, setidaknya mendorong kita untuk senantiasa bertanya , “Siapa aku ? Siapa Diam ? Dan apa makna kata kapel ?
Betapa tidak, perulangan tersebut tidak membuat kita bosan. Malahan sebaliknya, membentuk semacam alur nada yang lirikan. Kepada kita, penyair mengisahkan pertemuan tokoh aku dengan si cantik Diam. Percandaan keduanya dilukiskan sangat romantis. Berulang-ulang kita mengintip, sepertinya tiba-tiba kita terkesima dan kemudian terjaga dan terus bertanya, “Candanya koq hanya diam saja. Adakah hal itu dalam keseharian kita ?’
Wah, ternyata, diam-diam kita mengkaji . Ini bukan lagi sesuatu percandaan. Sungguhan malah. Ya, dalam keseharian kita memang tidak pernah menemukan hal “bercanda dengan diam””. Tak ada memang, dan bukan itu yang dimaksudkan Saudara John dalam puisinya “Bercanda dengan Diam”.
Sesungguhnya, diam dalam diamnya aku dan diamnya DIAM, bukan sekedar diam. Mereka diam di kapel tua menyirat makna bahwa mereka sebenarnya sedang “berdialog”. Keduanya mempercakapkan sesuatu. Persoalan apa sambung kita sekenanya. Wah, untuk ke sekian kalinya, ternyata dalam kita mengintip, belum mampu meredam diamnya kita.
Okey, mau tak mau kita mesti mengintip lebih dekat lagi. Dari intipankita, nampak jelas, pendeskripsian suasana romantis yang dilukiskan penyair, membantu kita bahwa sebenarnya, penyair mau memaparkan betapa besarnya kerinduannya kepada Sang Ghaib. Lewat “diamnya”, mau meniti hubungan yang komunikatif. Diam dilukiskan serupa dara di balik tirai. Lalu tercipta sebuah percakapan ( percandaan ) mesra, “ Tapi diam-ku tak pernah diam/ Bahkan Dia tak sanggup mendiamkannya//
Pelukisan suasana itu setidaknya menggugahkita unhtuk terhanyut dalam dialog yang kian melekat , “ Namun Dia sabar/ Diam-diam bercanda dengan/ diam-ku tak pernah diam/” “Wah…betapa indahnya, bila kita menemukan kekasih seperti si cantik DIAM itu “?, canda kita dengan gemas.
Rupa-rupanya canda kita tak berarti. Lalu kita bertanya, “Siapa sih tokoh aku pemuda yang lagi kasmaran itu? Gadis manis lagi cantik itu siapa? Dan apa makna kata kapel. Semakin dikejar, malah semakin jauh, sambung kita.
Karena itu kita mengintipnya dari kata kapel. Bagi saudara kita yang beragama Katolik, kata kapel sama dengan kapela, merupakan bagian dari kesehariannya yakni sebuah tempat untuk melakukan peribadatan. Bentuknya, lebih kecil dari gereja.
Mencermati uraian singkat di atas , tokh akhirnya kita enggan bertanya lebih lanjut. Pasalnya, mana mungkin si tokoh aku yang ysng kita kenal pemuda yang lagi kasmaran tadi melakukan kegiatan bercanda dengan si gadis cantik DIAM di rumah Allah. “Kalau begitu, apa gerangan semua itu ?” sambar kita tak sabar. Ya… siapa lagi tokoh aku yang digambarkan penyair, kalau bukan umat ( baca : umat Katolik sesuai dengan kata kapel ). Sementara itu, “DIAM” yang senantiasa diam itu adalah Sang Khalik yang ghaib. Apa yang dilakukan ? Jawabannya sudah pasti, yakni umat sedang menunaikan ibadah, memuji kebesaran Ilahi, memohon ridhanya sang pencipta langit dan bumi.
Sampai di sini, imaji kita terangsang untuk membayangkan, betapa penyairnya ( baca : John Dami Mukese) memotivasi kita untuk membayangkan gerak langkah, sikap, pikiran dan perasaan serta pencuatan deskripsi situasi yang dilakukan tokoh aku untuk kita contohi. Kemudian kita tergugah sekaligus menggelitik betapa penyairnya melukiskan DIAM ( baca : Allah ) tadi sebagai teman, dan malah jauh merasuk kalbu, hingga kita menganggap-NYA sebagai pacar. Kesemuanya ini paling tidak, penyair berusaha mengajak kita untuk senantiasa berdialog ( baca : berdoa ) tanpa mesti ragu dan bimbang bila berhubungan dengan Allah.
Bagaimana ? “Kalau cuman puisi sih gampang. Lha… koq tak percaya ? Apresiasi pun sudah berlembar-lembar kuhasilkan. Tapi belum kutuangkan dalam bentuk tulisan. “Tau kenapa ?”begitu canda kita setelah mengintip pola canda ala Saudara John tadi.
Ya… jelas tak tahu, kalau kita cuma berkhayal. Mana ada tuh orang tahu kalau kita hanya berangan-angan tanpa diwujud-nyatakan dalam bentuk tulisan,canda penyairnya bila artikel ini sempat dibacanya.
Akhirnya, canda kita ditutup dengan sebuah pertanyaan, “ Sudahkah kita bercanda dengan DIAM pada hari ini ? Semoga !
====
IN PARADISUM DEDUCANT TE ANGELI
AD VITAM AETERNAM.
Saat seseorang berpulang, segumpal awan menjelma menjadi malaikat, dan melayang ke surga meminta Tuhan untuk meletakkan setangkai bunga di atas sebuah bantal
Sang burungpun menyampaikan pesan itu ke bumi dan melantunkan seuntai doa yang menyebabkan hujan menangis
Mereka memang harus pergi, tapi mereka tidak benar-benar pergi. Roh mereka di atas sanalah yang menidurkan matahari, membangunkan rerumputan dan memutar bola dunia
Kadang kau dapat melihat mereka menari di dalam awan di siang hari di saat mereka seharusnya nyenyak tertidur
Mereka melukis keindahan pelangi dan juga temaram matahari senja dan membangunkan ombak di lautan, mereka melambungkan bintang jatuh dan mendengarkan semua harapan, nyanyian mereka merdu dalam hembusan angin, berbisik pada kita : “Jangan terlalu sedih. Pemandangan di sini indah dan aku baik-baik saja”
------
“When somebody dies, a cloud turns into an angel, and flies up to tell God to put another flower on a pillow.
A bird gives the message back to the world and sings a silent prayer that makes the rain cry.....
People dissappear, but they never really go away. The spirits up there put the sun to bed, wake up grass, and spin the earth in dizzy circles.
Sometimes you can see them dancing in a cloud during the day-time, when they’re supposed to be sleeping
They paint the rainbows and also the sunsets,
and make waves splash and tug at the tide. They toss shooting stars and listen to wishes,
and they sing wind-songs, they whisper to us:
“Don’t miss me too much. The view is nice and I’m doing just fine”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar